Dalam balutan gaun pernikahan salah satu koleksi desainer Sarah Burton, Isabelle terlihat sangat cantik. Gaun putih mewah itu terlihat begitu tepat dan pas di tubuh mungil Isabelle, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya dengan begitu indah.
Sang Paman menjadi perwaliannya menggantikan mendiang ayahnya saat dia akan berjalan menuju altar untuk bertemu calon suaminya untuk pertama kalinya. Isabelle terlihat gugup, namun dia bersyukur veil yang menutupi wajahnya akan bisa menyembunyikan kegugupannya.
Dia melihat Tristan selagi dia melangkah. Pria itu terlihat hebat dan mencolok. Mengenakan setelan jas tuksedo berwarna senada dengan gaunnya, Tristan tampil sangat memukau. Dia tampan, sangat berkharisma dan memiliki aura yang mematikan. Garis tegas membingkai wajahnya dan rambut cokelat itu begitu tepat untuknya.
Sungguh, Isabelle merasakan jantungnya berdetak cepat pada pria itu saat pertemuan pertamanya ini. Isabelle tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya ketika dia bertemu teman-teman prianya di universitas. Tapi terhadap Tristan, dia memiliki perasaan membuncah yang sulit digambarkan.
Tristan mengulurkan tangannya menyambut Isabelle. Tangan Isabelle gemetar, tubuhnya gemetar, seluruh persendiannya gemetar. Dilihat dari dekat, Tristan semakin menghipnotisnya. Isabelle bertanya-tanya apakah ketampanan pria ini menjadi salah satu alasan ayahnya memilih menikahkan dia dengannya.
Acara berlangsung hikmat, hingga tiba giliran mereka mengucap sumpah dan bertukar cincin. Pendeta mempersilahkan pengantin pria mencium pengantin wanita, namun Tristan jelas saja sangat enggan. Bukan karena dia baru pertama kali melakukannya, namun karena Tristan justru menganggap Isabelle sebagai penghalang dalam kehidupannya.
Tapi begitu menyibak veil dan wajah teduh Isabelle tersingkap, Tristan harus mengakui jika Isabelle jauh dari bayangannya selama ini. Dia cantik. Isabelle memiliki kecantikan yang unik yang tidak bisa dijabarkan Tristan, sejenis kecantikan yang belum pernah dia temui sebelumnya pada para gadis yang ditidurinya selama ini.
Sebagai pria, tentu saja Isabelle menawan. Tapi sebagai seorang Tristan yang harus mengorbankan kesenangan dan kebahagiaannya untuk wanita ini, Tristan sama sekali tidak tertarik. Kedua mata mereka bertemu, dan Tristan harus melakukan tugasnya.
Anggap saja dia wanita yang kau temui di pinggir jalan dengan bayaran puluhan dolar, keluh Tristan pada dirinya sendiri.
Dia menunduk, mendaratkan ciuman hangat yang singkat di bibir Isabelle. Bahkan para tamu belum sempat bertepuk tangan saat Tristan sudah menarik dirinya lagi. Namun walau singkat, ini adalah ciuman pertama Isabelle dan dia seperti bermimpi kalau ternyata dia melakukannya untuk pertama kali bersama suaminya.
Acara kembali dilanjutkan. Tristan menggandeng Isabelle masuk ke dalam ruangan khusus yang diperuntukkan bagi pengantin sementara para pelayan sedang menyiapkan gaun dan jas lain untuk dipakai keduanya.
Tristan menyalakan rokoknya dan duduk sedikit menjauh dari Isabelle. Menyadari sikap dingin Tristan, Isabelle mulai menebak-nebak kepribadian pria itu. Apakah dia memang memiliki sikap seperti ini atau dia hanya memberikan sisi dinginnya padanya.
“Aku rasa kita harus meluruskan satu hal.” Tristan mengepulkan asap ke udara sebelum berbicara.
“Meluruskan apa?” Isabelle menatapnya.
“Pernikahan ini.”
Jadi dia memang sengaja bersikap dingin padaku? Dia terpaksa menikahiku?
“Memangnya kenapa dengan pernikahan ini?” Isabelle balik bertanya.
Tristan tertawa, dan Isabelle tahu tawa itu mengejeknya. “Memangnya kamu yakin sekali aku benar-benar mau menikahimu?”
Isabelle sakit hati. Dia menggenggam gaun pengantinnya selagi menatap wajah Tristan lekat-lekat. “Jadi kamu terpaksa?”
“Tentu saja!”
Suara Tristan terdengar nyaring di telinga Isabelle. Beruntung ruangan mereka kedap suara, jadi Isabelle tidak takut pembicaraan mereka akan terdengar keluar.
“Kamu memang impian para pria di luar sana. Mereka berlomba-lomba menjadi menantu keluarga Hawthorne yang terkenal, tapi bagiku, kamu sama sekali tidak menarik! Kalau bukan karena surat wasiat itu, aku sungguh tidak akan menikahimu.”
Isabelle masih diam. Dia memberikan Tristan waktu untuk mengungkapkan isi hatinya, dengan begitu Isabelle akan tahu mengambil sikap terhadap pria itu. Tristan menyulut lagi rokok keduanya. Karena Isabelle tak banyak bicara, dia merasa menjadi seorang pria brengsek di sana.
Walau ya, Tristan mengakui dirinya bukanlah orang suci. Sebagai seorang pemuda yang bebas dan normal, Tristan memiliki petualangan seksual yang tak terhitung jumlahnya. Dia meniduri banyak wanita, dari kelas atas hingga wanita yang tak sengaja ditemuinya di bar-bar kecil.
Mereka yang menarik perhatian Tristan, yang menawarkan diri secara ‘cuma-cuma’. Tristan tak kuasa menolaknya, jadi dia menyangkal kalau ada orang yang mengatakan dirinya brengsek. Dia hanya pria normal, itu sebutan yang paling adil.
“Kamu tidak mau mengatakan apa pun?” Tristan melirik Isabelle.
Isabelle menegakkan punggungnya. Semua kata-kata Tristan menyakiti perasaannya. Tapi alih-alih marah, Isabelle memilih tersenyum. Dia melepas sarung tangan putih yang masih melekat di tangannya, melihat dengan jelas cincin yang baru beberapa jam lalu disematkan oleh Tristan ke jarinya.
“Well, aku cukup sadar diri,” gumam Isabelle. “Terimakasih sudah mau menikah denganku. Aku tahu, kamu mungkin mengorbankan banyak hal demi bisa mewujudkan impian ayahku dan aku merasa itu sudah lebih dari cukup. Kelak, kalau kamu ingin bercerai, kamu boleh mengatakannya padaku langsung.”
Tristan mendadak mematung. Tidak, bukan jawaban seperti ini yang seharusnya dia dengar. Dia berharap Isabelle memarahinya, mengamuk tidak jelas sehingga Tristan memiliki alibi untuk menjauhi Isabelle. Dia bisa menyebut Isabelle sebagai wanita dengan tempramen buruk dan semua orang akan memakluminya.
Tapi ucapan terimakasih? Sungguh, Tristan tidak mengharapkan hal itu sama sekali.
“Kamu tidak marah?”
“Marah?” Isabelle berdiri, berjalan membelakangi Tristan sambil memegang kelopak-kelopak bunga mawar putih yang ditata di sana. “Apakah aku berhak?”
“Tentu saja. Kamu bahkan berhak menamparku,” seru Tristan.
Isabelle memutar tubuh, menumpukan pinggulnya pada sisi meja. “Apakah mungkin kamu sudah memiliki wanita dalam hidupmu?”
Tristan menggeleng. Ada banyak wanita, memang begitu adanya. Tapi dia tahu persis wanita yang dimaksud Isabelle, yaitu kekasih yang akan dinikahinya. Isabelle bertanya mungkin karena dia takut kalau pernikahan mereka akan mendatangkan masalah pada hubungan pribadi Tristan.“Kalau begitu, aku rasa pernikahan ini akan baik-baik saja.” Isabelle tersenyum lagi. “Aku hanya membutuhkan status agar bisa menjalankan perusahaan ayahku dan menjaga aset-asetnya. Selagi kamu menjaga nama baik keluarga Hawthorne, maka aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Tidak cinta, tidak tanggung jawab. Kita akan menjalankan kehidupan kita secara terpisah walau kita tinggal di bawah atap yang sama. Apa kamu keberatan?”Tristan justru merasa sedikit bersalah. Isabelle mengatakannya tanpa beban apa pun, seolah ini adalah sebuah kepasrahan. Atau, wanita itu memang sudah merencanakannya sejak awal? Jadi dia yang meminta Nicholas untuk menutup semua aksesku di dunia hiburan?“Well, kamu sangat baik.” Tristan menyi
“Bagaimana menurutmu, yang silver atau gold?”Julia mengangkat dua potong gaun pendek yang berbeda. Dia sedang bertanya pada suaminya, Billy Sparks. Tapi sang suami malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Julia seperti hari-hari sebelumnya. Julia paham. Sebagai perdana menteri, Billy amat sibuk. Tapi setidaknya pria itu bisa menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada Julia dan puterinya layaknya suami dan ayah pada umumnya.“Billy, apa kamu mendengarku?” tanya Julia lagi.Billy mengangkat wajah, melihat sekilas saja gaun yang diangkat Julia. Billy berpikir, kapan terakhir kali dia menganggap Julia menarik secara seksual. Bukan berarti ada yang salah dalam diri Billy. Julia cantik, Billy mengakuinya. Dengan postur tinggi semampai, rambut pirang bergelombang dan tulang pipi yang menonjol, dia adalah dambaan para pria ketika mereka masih lajang, pun sekarang setelah pernikahan mereka memasuki tahun ke tujuh.Tapi setelah menikah, Julia ternyata tidak seperti yang diharapkannya.
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” Isabelle mengangkat alisnya.“Tristan bukan pria dari kalangan kita. Bukan berarti aku merendahkannya, tapi menikahi seorang putera pelayan tentu akan mendatangkan banyak pemikiran negatif terhadapmu. Aku tidak tahu apakah Tristan pria yang cakap dan bisa diandalkan, tapi ku mohon, kalau kamu tidak bahagia, katakan padaku, Belle. Jangan memendamnya sendirian.”Isabelle tertawa kecil. Dia sedang menipu Julia, berusaha agar sang kakak tidak terlalu khawatir padanya dan juga pada pernikahannya. Ya, Tristan bukan pria dari kalangan atas. Tapi Isabelle sudah jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu.Walau Tristan sudah menyatakan alasan kenapa dia menikah dengan Isabelle, Isabelle berjanji untuk tidak menunjukkan ‘kegagalan’ pernikahan itu pada Julia. Isabelle tahu, Julia tidak bahagia dengan pernikahannya sendiri, jadi dia berusaha untuk tidak memberitahu Julia soal apa pun.“Tenang saja, Jule. Aku dan Tristan akan baik-baik saja.”Semakin malam, tama
“Pengantin baru tapi sudah sendirian.”David menyapa Isabelle yang duduk minum teh sendirian di taman. Isabelle tersenyum, meletakkan gelas keramik putih dengan aksen bunga-bunga mawar dibibir gelasnya. Asap mengepul dari teh chamomile yang disesap Isabelle dan dia terlihat tidak begitu senang.“Mana Tristan?” tanya David lagi.Isabelle tidak tahu. Saat dia bangun tadi pagi, Tristan sudah tidak ada di sofa. Isabelle mengira Tristan turun lebih dulu untuk menyantap sarapan, atau sekedar berjalan-jalan pagi. Tapi salah satu pelayan yang ditanyainya mengatakan kalau Tristan pergi mengendarai SUV-nya.“Dia pergi mengurus beberapa hal,” kata Isabelle pelan.“Oh, kalian akan bulan madu? Kemana?”Tidak ada bulan madu. Isabelle dan Tristan tidak membahas soal bulan madu tadi malam, melainkan penegasan atas hubungan diantara mereka. Isabelle bahkan ditinggal tidur oleh Tristan, padahal otak Isabelle sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan soal pernikahan ini.“Bukan bulan madu,” kata Isabel
Billy nyaris mengumpat saat seorang pria mabuk menyenggolnya. Tapi ini adalah bar, semua orang akan berlaku bebas dan Billy tidak berhak marah. Setelah selesai melakukan tugasnya sebagai budak korporat, dia memilih untuk membebaskan diri di sebuah bar privat yang hanya bisa dimasuki dengan kartu keanggotaan resmi saja.Ketika dia duduk dan memesan minuman, dia melihat Tristan juga ada di sana, sedang menenggak alkoholnya. Dia sepertinya sudah mabuk karena wajahnya yang memerah dan juga gerakan tubuh yang melayang-layang.Para wanita rendahan menggerayangi tubuhnya, mencium wajah dan menyentuh dadanya. Billy berdecak. Kasihan sekali Isabelle, ejeknya. Baru saja menikah satu hari, tapi suaminya sudah mabuk-mabukan bersama para wanita di bar.Masih tersisa kemarahan di dada Billy setiap kali dia mengingat Isabelle. Gadis itu bahkan masih berusia awal dua puluh, tapi dia sudah memimpin perusahaan? Apa hebatnya dia? Kenapa bukan Billy saja, atau setidaknya Julia? Kenapa harus memilih gadis
Isabelle hilir mudik di kamarnya. Sejak tadi dia tidak bisa menghubungi Tristan dan khawatir Tristan mungkin mengalami sesuatu yang buruk. Gadis itu memeriksa ponselnya lagi dan berharap ada kabar dari suaminya. Tapi hingga jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, Tristan belum muncul juga.Karena semua anggota keluarganya masih berkumpul di kediaman utama, Isabelle berlari kecil dan mengetuk pintu kamar David. David masih menginap di sana, dia bilang baru akan pulang ke rumah pribadinya besok.Dengan wajah terkantuk-kantuk, David menguap membuka pintu kamar. “Belle, ada apa?”“Tristan belum kembali.” Isabelle menggigit bibirnya khawatir.“Lalu apa?”“Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Belle, Tristan itu seorang pria. Bisa saja dia sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya, karena bagaimana pun kalian menikah mendadak. Mungkin, teman-temannya ingin membuat pesta bersamanya.”“Begitukah?”David menggosok matanya yang memerah, lalu dia menguap untuk ketiga kalinya. “Tapi
“Tristan tidak turun?”David meletakkan piring di depan Isabelle. Gadis itu hanya menggeleng, dan seperti biasa, hanya mereka berdua yang makan malam. Tadi pagi, Billy marah dan mengajak Julia dan Ellie kembali ke rumah mereka. Isabelle menduga keduanya bertengkar karena Billy pulang dalam keadaan mabuk.“Aku akan kembali ke rumah nanti siang,” kata David, membuat Isabelle mengangkat wajah menatapnya.Pria itu tertawa, meletakkan sepotong steik kesukaan Isabelle dan menyiramnya dengan saus. “Jangan menahanku. Aku sudah tiga hari meninggalkan rumah dan sudah saatnya aku kembali.”“Apakah kamu bisa menundanya?” Isabelle memohon.“Tunggu, apakah kamu mengira kamu masih gadis belia itu?” David berdecak. “Kamu sudah menikah. Dilarang manja pada pria lain selain pada suamimu sendiri.”“Tapi kamu adalah kakak iparku,” sungut Isabelle lagi. “Julia tidak ada waktu lagi, dia terlalu sibuk dikekang oleh Billy dan juga mengurus Ellie. Satu-satunya tempatku mencurahkan apa yang ku rasakan hanya ka
Selama beberapa waktu, mereka hanya saling berpandangan. Isabelle merasa waktu berhenti saat dia menatap si wartawan, dan entah kenapa kedua bola mata itu menarik perhatiannya. Rasa haus akan kebenaran, tantangan dan juga ambisi terlihat menyala di matanya.“Maaf. Tolong menyingkir sedikit. Biarkan istri Saya lewat.”Isabelle menoleh, mendapati Tristan ada di sana dengan setelan jas lengkap dan sepatu pantofel hitam yang membuat penampilannya semakin menakjubkan. Kekhawatiran dan rasa penasaran dalam diri Isabelle seketika menguap saat melihat Tristan. Tristan menggandeng tangannya, berusaha membawa Isabelle menembus gerombolan wartawan itu dengan susah payah.Dan pria itu melihat si wartawan wanita berdiri di tempatnya, tidak mengikuti mereka meunju lobi seperti yang dilakukan para wartawan lain. Tristan menganggukkan kepalanya pada wartawan wanita itu, dan wanita itu langsung membalas dengan senyuman seolah mengerti apa yang dimaksud Tristan.“Aku pikir kamu tidak akan hadir,” kata
Ben menggosok matanya saat melihat nominal biaya pengobatan yang harus dikeluarkannya untuk Sora. Sora membutuhkan setidaknya dua jenis operasi untuk mneyelamatkan nyawanya dan Ben memang berniat untuk bertanggung jawab.Dia hanya tidak menyangka kalau ternyata biayanya akan sebanyak ini.Pria itu menyerahkan kartu kreditnya. Entah bagaimana caranya untuk membayar tagihan kartunya bulan depan, namun dia akan berusaha. Saat ini, menyelamatkan nyawa Sora jauh lebih penting. Dia masih bisa mencari pekerjaan lain di luar sana sementara Sora mungkin hanya memiliki kesempatan hidup kali ini saja.Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Kepalanya berdenyut sakit. Dia berkendaraan untuk mencari sedikit celah untuk kasus minyak esensial yang merenggut nyawa istri dan anak dalam rahim istrinya. Dia tidak bisa mengandalkan orang-orang itu lagi walau mereka berjanji akan menegakkan keadilan untuknya.Nyatanya, setelah Revive Orion dinyatakan tidak bersalah, kasus itu langsung tenggelam. Tak ada stasiu
Judy membereskan barang-barang terakhirnya saat dia mendengar sebuah bunyi mencurigakan di luar apartemen. Dia seperti mendengar derap langkah dengan tempo tak biasa, seperti orang-orang yang tengah mengerubuti bangunan itu.Setelah Tristan memberitahunya soal kemungkinan persembunyiannya diketahui, Judy segera meminta orang-orangnya untuk memindahkan sejumlah komputer dan juga beberapa kardus berkas terlebih dahulu. Dan setelah barang-barang utama itu dipastikan selamat oleh Judy, baru dia menyusul.Namun siapa yang menyangka kalau ternyata langkahnya akan terlambat beberapa menit. Orang-orang ini sudah mengepung apartemen tempatnya dan Tristan melakukan pertemuan, Judy bisa melihat bayangan mereka dari celah bagian bawah pintu.Wanita itu mengambil pistolnya, menyematkannya ke belakang tubuh. Judy membuka jendela, menyelempangkan ranselnya dan segera turun melalui tingkap yang sedikit menjorok. Dia menempel tubuhnya ke dinding, menggeser kakinya selangkah demi selangkah hingga dia t
“Gagal!” kata Tristan lewat ponselnya.Dia mengurut keningnya pelan. Dia menghembuskan asap rokok ke udara saat dia berada dalam ruangan khusus untuk perokok. Jepang memang kota yang unik dan tegas. Jika di Amerika dia bisa merokok kapan saja dan dimana saja, di negara ini berbeda.Isabelle menunggu di luar. Gadis itu terlihat sedih karena kematian Tetsuka. Saat mengetahui kalau yang dibawa polisi adalah mayat Tetsuka, Isabelle menangis tak karu-karuan. Apalagi ketika istri Tetsuka meraung sambil meneriakkan nama puteri mereka, tangisan Isabelle makin tak terkendali.Bulan madu ini membawa bencana, pasti begitu pikir Isabelle.Tristan menunggu sampai akhirnya Judy bicara, lebih tepatnya meneriakinya. “Apa yang kamu lakukan selama di sana? Bukankah kamu bilang tujuanmu untuk mencaritahu rahasia Tony? Atau, kamu malah terlalu fokus menghabiskan waktumu dengan Isabelle?”“Judy, apakah kamu tahu bukan itu masalahnya?”“Lalu apa?” teriak Judy lagi.“Seseorang mengikuti kita, mengerti!” Tri
Mereka menghabiskan waktu mengunjungi beberapa tempat di Jepang. Seumur hidup, ini adalah perjalanan yang paling mengesankan bagi Isabelle. Bagaimana tidak, dia hanya membawa pakaian yang melekat dalam badannya, dan ketika mereka tiba, ternyata di dalam kamar hotel sudah tersedia setidaknya empat pasang gaun Yves Saint Laurent di atas tempat tidur.Ternyata, Tristan benar-benar sangat mempersiapkan bulan madu mereka. Hal itu membuat Isabelle merasa sangat dicintai oleh pria itu. Dia tidak akan melupakan hal ini seumur hidupnya.Keduanya berjalan menyusuri Shibuya, berpapasan dengan banyak pengunjung lainnya seperti mereka. Shibuya adalah kota yang hidup selama dua puluh empat jam. Banyak toko-toko branded di sini, salah satunya adalah toko Revive Orion yang dikunjungi oleh keduanya dengan sengaja.“Halo, Tuan Tristan. Senang melihat Anda kembali,” sapa sang manager, Shiba Tetsuka.Pria berusia lima puluhan itu membungkukkan tubuh pada Tristan dan Isabelle, dan keduanya melakukan hal y
“Aku ingin tahu apa yang paling kamu sukai.”Isabelle nyaris tertawa mendengar pertanyaan Tristan. Dia sedang santai di rumah sambil memandang matahari sore yang hendak turun sementara suaminya itu sedang melakukan kunjungan ke salah satu cabang perusahaan bersama David.“Kamu!” sahut Isabelle santai.“Aku tak perlu bertanya soal itu.” Tristan menyahut dengan percaya diri. “Aku tahu kamu sangat menyukaiku.”“Lalu apa?” Isabelle balik bertanya.“Brand fashion kesukaanmu, atau makanan. Apa pun. Pernikahan kita hampir dua bulan tapi aku ingat kalau aku belum pernah bertanya soal ini.”Isabelle menahan diri untuk berteriak karena terlalu senang. Gadis itu berdehem pelan, menyandarkan tubuhnya di sisi balkon rumah sambil tersenyum. Dia sangat mencintai Tristan. Demi apa pun, Isabelle sangat bergantung pada pria itu sekarang.“Well, aku tidak punya brand tertentu dalam hal fashion,” sahutnya. “Aku membeli merk apa pun kalau aku menyukai produknya. Jadi, aku tidak memiliki preferensi tertent
“Kamu ingin aku melakukan apa?” tanya Summer Vinch, gadis berusia 25 tahun, seorang hacker kenamaan yang identitasnya tersembunyi.Namun detektif Don menemukan dia ketika gadis itu membutuhkan bantuan lima tahun yang lalu. Dan sejak itu, keduanya dekat seperti seorang ayah dan puterinya. Summer meludahkan sisa permen karetnya, lalu menatap detektif Don lagi.“Kamu yakin?” Gadis itu mengangkat alis.“Aku tahu ini ilegal. Tapi, aku harus melakukannya.”Summer menimbang-nimbang. Baginya, ini pekerjaan yang mudah. Ketika jemarinya menari diantara huruf dan angka di keyboard komputernya, dia tidak akan kesulitan menemukan dunia lain di dalam layar itu. Semua yang tersembunyi dalam dunia nyata akan tersingkap. Semuanya, bahkan rahasia yang terburuk sekalipun.“Well, baiklah.” Summer memutar kursi menghadap ke layar komputer. “Apa yang ingin kamu ketahui?”“Semuanya. Tentang Billy Spark, Tristan Theodore, David Castel dan juga Julia Hawthorne. Aku ingin kamu menemukan semua sisi kehidupan te
Isabelle menyandarkan tubuhnya di pundak Tristan setelah seharian penuh disibukkan oleh Mellany. Dia menatap Tristan yang sibuk memeriksa sesuatu di laptop lalu dia menegakkan tubuh lagi. “Apa yang kamu lakukan?”“David memintaku untuk memeriksa beberapa cabang yang bermasalah dan aku meminta data dari mereka,” sahut Tristan tanpa menoleh. “Aku sedang melihat masalah apa yang mereka hadapi sebenarnya.”“Kamu sudah bisa menyimpulkannya?”Tristan terlihat menghela nafas, lalu menatap Isabelle. “Ada banyak eselon tinggi yang melakukan perintah tak manusiawi. Mereka banyak memeras Revive Orion dan juga staff yang bekerja di bawah mereka.”“Separah itu?”“Tenang saja.” Tristan menutup laptop dan menepuk pundak telapak tangan Isabelle. “Mereka tidak akan bisa menjatuhkan Revive Orion.”“Aku harap begitu,” gumam Isabelle lagi. “Omong-omong, sepupuku baru kembali dari Prancis. Dia bilang, dia ingin bertemu denganmu.”“Maksudmu Mellany?”Isabelle cukup terkejut karena ternyata Tristan mengenal
Taksi berhenti di wilayah Midtown West dan Ben langsung turun usai membayar ongkos taksi. Mellany menurunkan kopernya dengan susah payah dan menyusul Ben yang sudah berjalan cepat meninggalkannya.“Hei, tunggu aku!” teriak Mellany.Ben menoleh. Dia mengernyit melihat kelakuan Mellany yang membuatnya muak dan tidak tertarik sama sekali. “Apa yang sebenarnya kamu butuhkan?” tanya Ben dingin.“Sudah ku bilang aku tidak punya uang, jadi aku...”Mellany terjekut saat Ben melempar beberapa lembar dollar ke arahnya. Gadis itu membiarkan uang berserakan di jalan dengan wajah yang ditekuk. “Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Kenapa tidak boleh?” katanya pelan.“Nona. Aku baru kehilangan anak dan istriku, jadi aku tidak memiliki tenaga untuk meladeni permainanmu. Jika kamu tidak punya uang, aku sudah memberikannya. Silahkan tinggalkan aku.”Mellany mematung. Dia sudah menikah dan ternyata baru saja kehilangan anak dan istrinya? Itu sebabnya dia terlihat sangat menderita? Mellany menatap Ben l
Mellany Blaire berjalan sambil bersungut-sungut. Digeretnya koper besarnya keluar dari restoran cepat saji karena staff di sana memarahinya. Bagaimana tidak, semua kartunya ditolak dan dia sama sekali tidak memiliki uang cash.Gadis itu menggerutu, menaungi wajahnya dari sengatan panas matahari. Sang ayah memintanya kembali pulang ke New York karena ingin menikahkan Mellany dengan salah satu pria, anak sahabatnya. Padahal, Mellany sudah merasa sangat nyaman berada di Prancis selama lima tahun terakhir.Tapi ancaman ayahnya membuat nyalinya ciut. Dan terbukti, begitu dia mendarat, hal pahit ini terjadi. Dia tidak memiliki akses apa pun bahkan hanya untuk sekedar makan burger seharga beberapa puluh dollar saja.“Dad, aku membencimu,” teriak Mellany saat ayahnya, Teddy Blaire menghubunginya.Terdengar tawa renyah ayahnya di seberang sana, lalu pria itu berkata, “Keluarga Blaire hanya memiliki kamu sebagai puteri satu-satunya. Aku sudah tua, Mel. Semua sepupumu sudah menikah dan hanya tin