Dalam balutan gaun pernikahan salah satu koleksi desainer Sarah Burton, Isabelle terlihat sangat cantik. Gaun putih mewah itu terlihat begitu tepat dan pas di tubuh mungil Isabelle, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya dengan begitu indah.
Sang Paman menjadi perwaliannya menggantikan mendiang ayahnya saat dia akan berjalan menuju altar untuk bertemu calon suaminya untuk pertama kalinya. Isabelle terlihat gugup, namun dia bersyukur veil yang menutupi wajahnya akan bisa menyembunyikan kegugupannya.
Dia melihat Tristan selagi dia melangkah. Pria itu terlihat hebat dan mencolok. Mengenakan setelan jas tuksedo berwarna senada dengan gaunnya, Tristan tampil sangat memukau. Dia tampan, sangat berkharisma dan memiliki aura yang mematikan. Garis tegas membingkai wajahnya dan rambut cokelat itu begitu tepat untuknya.
Sungguh, Isabelle merasakan jantungnya berdetak cepat pada pria itu saat pertemuan pertamanya ini. Isabelle tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya ketika dia bertemu teman-teman prianya di universitas. Tapi terhadap Tristan, dia memiliki perasaan membuncah yang sulit digambarkan.
Tristan mengulurkan tangannya menyambut Isabelle. Tangan Isabelle gemetar, tubuhnya gemetar, seluruh persendiannya gemetar. Dilihat dari dekat, Tristan semakin menghipnotisnya. Isabelle bertanya-tanya apakah ketampanan pria ini menjadi salah satu alasan ayahnya memilih menikahkan dia dengannya.
Acara berlangsung hikmat, hingga tiba giliran mereka mengucap sumpah dan bertukar cincin. Pendeta mempersilahkan pengantin pria mencium pengantin wanita, namun Tristan jelas saja sangat enggan. Bukan karena dia baru pertama kali melakukannya, namun karena Tristan justru menganggap Isabelle sebagai penghalang dalam kehidupannya.
Tapi begitu menyibak veil dan wajah teduh Isabelle tersingkap, Tristan harus mengakui jika Isabelle jauh dari bayangannya selama ini. Dia cantik. Isabelle memiliki kecantikan yang unik yang tidak bisa dijabarkan Tristan, sejenis kecantikan yang belum pernah dia temui sebelumnya pada para gadis yang ditidurinya selama ini.
Sebagai pria, tentu saja Isabelle menawan. Tapi sebagai seorang Tristan yang harus mengorbankan kesenangan dan kebahagiaannya untuk wanita ini, Tristan sama sekali tidak tertarik. Kedua mata mereka bertemu, dan Tristan harus melakukan tugasnya.
Anggap saja dia wanita yang kau temui di pinggir jalan dengan bayaran puluhan dolar, keluh Tristan pada dirinya sendiri.
Dia menunduk, mendaratkan ciuman hangat yang singkat di bibir Isabelle. Bahkan para tamu belum sempat bertepuk tangan saat Tristan sudah menarik dirinya lagi. Namun walau singkat, ini adalah ciuman pertama Isabelle dan dia seperti bermimpi kalau ternyata dia melakukannya untuk pertama kali bersama suaminya.
Acara kembali dilanjutkan. Tristan menggandeng Isabelle masuk ke dalam ruangan khusus yang diperuntukkan bagi pengantin sementara para pelayan sedang menyiapkan gaun dan jas lain untuk dipakai keduanya.
Tristan menyalakan rokoknya dan duduk sedikit menjauh dari Isabelle. Menyadari sikap dingin Tristan, Isabelle mulai menebak-nebak kepribadian pria itu. Apakah dia memang memiliki sikap seperti ini atau dia hanya memberikan sisi dinginnya padanya.
“Aku rasa kita harus meluruskan satu hal.” Tristan mengepulkan asap ke udara sebelum berbicara.
“Meluruskan apa?” Isabelle menatapnya.
“Pernikahan ini.”
Jadi dia memang sengaja bersikap dingin padaku? Dia terpaksa menikahiku?
“Memangnya kenapa dengan pernikahan ini?” Isabelle balik bertanya.
Tristan tertawa, dan Isabelle tahu tawa itu mengejeknya. “Memangnya kamu yakin sekali aku benar-benar mau menikahimu?”
Isabelle sakit hati. Dia menggenggam gaun pengantinnya selagi menatap wajah Tristan lekat-lekat. “Jadi kamu terpaksa?”
“Tentu saja!”
Suara Tristan terdengar nyaring di telinga Isabelle. Beruntung ruangan mereka kedap suara, jadi Isabelle tidak takut pembicaraan mereka akan terdengar keluar.
“Kamu memang impian para pria di luar sana. Mereka berlomba-lomba menjadi menantu keluarga Hawthorne yang terkenal, tapi bagiku, kamu sama sekali tidak menarik! Kalau bukan karena surat wasiat itu, aku sungguh tidak akan menikahimu.”
Isabelle masih diam. Dia memberikan Tristan waktu untuk mengungkapkan isi hatinya, dengan begitu Isabelle akan tahu mengambil sikap terhadap pria itu. Tristan menyulut lagi rokok keduanya. Karena Isabelle tak banyak bicara, dia merasa menjadi seorang pria brengsek di sana.
Walau ya, Tristan mengakui dirinya bukanlah orang suci. Sebagai seorang pemuda yang bebas dan normal, Tristan memiliki petualangan seksual yang tak terhitung jumlahnya. Dia meniduri banyak wanita, dari kelas atas hingga wanita yang tak sengaja ditemuinya di bar-bar kecil.
Mereka yang menarik perhatian Tristan, yang menawarkan diri secara ‘cuma-cuma’. Tristan tak kuasa menolaknya, jadi dia menyangkal kalau ada orang yang mengatakan dirinya brengsek. Dia hanya pria normal, itu sebutan yang paling adil.
“Kamu tidak mau mengatakan apa pun?” Tristan melirik Isabelle.
Isabelle menegakkan punggungnya. Semua kata-kata Tristan menyakiti perasaannya. Tapi alih-alih marah, Isabelle memilih tersenyum. Dia melepas sarung tangan putih yang masih melekat di tangannya, melihat dengan jelas cincin yang baru beberapa jam lalu disematkan oleh Tristan ke jarinya.
“Well, aku cukup sadar diri,” gumam Isabelle. “Terimakasih sudah mau menikah denganku. Aku tahu, kamu mungkin mengorbankan banyak hal demi bisa mewujudkan impian ayahku dan aku merasa itu sudah lebih dari cukup. Kelak, kalau kamu ingin bercerai, kamu boleh mengatakannya padaku langsung.”
Tristan mendadak mematung. Tidak, bukan jawaban seperti ini yang seharusnya dia dengar. Dia berharap Isabelle memarahinya, mengamuk tidak jelas sehingga Tristan memiliki alibi untuk menjauhi Isabelle. Dia bisa menyebut Isabelle sebagai wanita dengan tempramen buruk dan semua orang akan memakluminya.
Tapi ucapan terimakasih? Sungguh, Tristan tidak mengharapkan hal itu sama sekali.
“Kamu tidak marah?”
“Marah?” Isabelle berdiri, berjalan membelakangi Tristan sambil memegang kelopak-kelopak bunga mawar putih yang ditata di sana. “Apakah aku berhak?”
“Tentu saja. Kamu bahkan berhak menamparku,” seru Tristan.
Isabelle memutar tubuh, menumpukan pinggulnya pada sisi meja. “Apakah mungkin kamu sudah memiliki wanita dalam hidupmu?”
Tristan menggeleng. Ada banyak wanita, memang begitu adanya. Tapi dia tahu persis wanita yang dimaksud Isabelle, yaitu kekasih yang akan dinikahinya. Isabelle bertanya mungkin karena dia takut kalau pernikahan mereka akan mendatangkan masalah pada hubungan pribadi Tristan.“Kalau begitu, aku rasa pernikahan ini akan baik-baik saja.” Isabelle tersenyum lagi. “Aku hanya membutuhkan status agar bisa menjalankan perusahaan ayahku dan menjaga aset-asetnya. Selagi kamu menjaga nama baik keluarga Hawthorne, maka aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Tidak cinta, tidak tanggung jawab. Kita akan menjalankan kehidupan kita secara terpisah walau kita tinggal di bawah atap yang sama. Apa kamu keberatan?”Tristan justru merasa sedikit bersalah. Isabelle mengatakannya tanpa beban apa pun, seolah ini adalah sebuah kepasrahan. Atau, wanita itu memang sudah merencanakannya sejak awal? Jadi dia yang meminta Nicholas untuk menutup semua aksesku di dunia hiburan?“Well, kamu sangat baik.” Tristan menyi
“Bagaimana menurutmu, yang silver atau gold?”Julia mengangkat dua potong gaun pendek yang berbeda. Dia sedang bertanya pada suaminya, Billy Sparks. Tapi sang suami malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Julia seperti hari-hari sebelumnya. Julia paham. Sebagai perdana menteri, Billy amat sibuk. Tapi setidaknya pria itu bisa menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada Julia dan puterinya layaknya suami dan ayah pada umumnya.“Billy, apa kamu mendengarku?” tanya Julia lagi.Billy mengangkat wajah, melihat sekilas saja gaun yang diangkat Julia. Billy berpikir, kapan terakhir kali dia menganggap Julia menarik secara seksual. Bukan berarti ada yang salah dalam diri Billy. Julia cantik, Billy mengakuinya. Dengan postur tinggi semampai, rambut pirang bergelombang dan tulang pipi yang menonjol, dia adalah dambaan para pria ketika mereka masih lajang, pun sekarang setelah pernikahan mereka memasuki tahun ke tujuh.Tapi setelah menikah, Julia ternyata tidak seperti yang diharapkannya.
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” Isabelle mengangkat alisnya.“Tristan bukan pria dari kalangan kita. Bukan berarti aku merendahkannya, tapi menikahi seorang putera pelayan tentu akan mendatangkan banyak pemikiran negatif terhadapmu. Aku tidak tahu apakah Tristan pria yang cakap dan bisa diandalkan, tapi ku mohon, kalau kamu tidak bahagia, katakan padaku, Belle. Jangan memendamnya sendirian.”Isabelle tertawa kecil. Dia sedang menipu Julia, berusaha agar sang kakak tidak terlalu khawatir padanya dan juga pada pernikahannya. Ya, Tristan bukan pria dari kalangan atas. Tapi Isabelle sudah jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu.Walau Tristan sudah menyatakan alasan kenapa dia menikah dengan Isabelle, Isabelle berjanji untuk tidak menunjukkan ‘kegagalan’ pernikahan itu pada Julia. Isabelle tahu, Julia tidak bahagia dengan pernikahannya sendiri, jadi dia berusaha untuk tidak memberitahu Julia soal apa pun.“Tenang saja, Jule. Aku dan Tristan akan baik-baik saja.”Semakin malam, tama
“Pengantin baru tapi sudah sendirian.”David menyapa Isabelle yang duduk minum teh sendirian di taman. Isabelle tersenyum, meletakkan gelas keramik putih dengan aksen bunga-bunga mawar dibibir gelasnya. Asap mengepul dari teh chamomile yang disesap Isabelle dan dia terlihat tidak begitu senang.“Mana Tristan?” tanya David lagi.Isabelle tidak tahu. Saat dia bangun tadi pagi, Tristan sudah tidak ada di sofa. Isabelle mengira Tristan turun lebih dulu untuk menyantap sarapan, atau sekedar berjalan-jalan pagi. Tapi salah satu pelayan yang ditanyainya mengatakan kalau Tristan pergi mengendarai SUV-nya.“Dia pergi mengurus beberapa hal,” kata Isabelle pelan.“Oh, kalian akan bulan madu? Kemana?”Tidak ada bulan madu. Isabelle dan Tristan tidak membahas soal bulan madu tadi malam, melainkan penegasan atas hubungan diantara mereka. Isabelle bahkan ditinggal tidur oleh Tristan, padahal otak Isabelle sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan soal pernikahan ini.“Bukan bulan madu,” kata Isabel
Billy nyaris mengumpat saat seorang pria mabuk menyenggolnya. Tapi ini adalah bar, semua orang akan berlaku bebas dan Billy tidak berhak marah. Setelah selesai melakukan tugasnya sebagai budak korporat, dia memilih untuk membebaskan diri di sebuah bar privat yang hanya bisa dimasuki dengan kartu keanggotaan resmi saja.Ketika dia duduk dan memesan minuman, dia melihat Tristan juga ada di sana, sedang menenggak alkoholnya. Dia sepertinya sudah mabuk karena wajahnya yang memerah dan juga gerakan tubuh yang melayang-layang.Para wanita rendahan menggerayangi tubuhnya, mencium wajah dan menyentuh dadanya. Billy berdecak. Kasihan sekali Isabelle, ejeknya. Baru saja menikah satu hari, tapi suaminya sudah mabuk-mabukan bersama para wanita di bar.Masih tersisa kemarahan di dada Billy setiap kali dia mengingat Isabelle. Gadis itu bahkan masih berusia awal dua puluh, tapi dia sudah memimpin perusahaan? Apa hebatnya dia? Kenapa bukan Billy saja, atau setidaknya Julia? Kenapa harus memilih gadis
Isabelle hilir mudik di kamarnya. Sejak tadi dia tidak bisa menghubungi Tristan dan khawatir Tristan mungkin mengalami sesuatu yang buruk. Gadis itu memeriksa ponselnya lagi dan berharap ada kabar dari suaminya. Tapi hingga jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, Tristan belum muncul juga.Karena semua anggota keluarganya masih berkumpul di kediaman utama, Isabelle berlari kecil dan mengetuk pintu kamar David. David masih menginap di sana, dia bilang baru akan pulang ke rumah pribadinya besok.Dengan wajah terkantuk-kantuk, David menguap membuka pintu kamar. “Belle, ada apa?”“Tristan belum kembali.” Isabelle menggigit bibirnya khawatir.“Lalu apa?”“Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Belle, Tristan itu seorang pria. Bisa saja dia sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya, karena bagaimana pun kalian menikah mendadak. Mungkin, teman-temannya ingin membuat pesta bersamanya.”“Begitukah?”David menggosok matanya yang memerah, lalu dia menguap untuk ketiga kalinya. “Tapi
“Tristan tidak turun?”David meletakkan piring di depan Isabelle. Gadis itu hanya menggeleng, dan seperti biasa, hanya mereka berdua yang makan malam. Tadi pagi, Billy marah dan mengajak Julia dan Ellie kembali ke rumah mereka. Isabelle menduga keduanya bertengkar karena Billy pulang dalam keadaan mabuk.“Aku akan kembali ke rumah nanti siang,” kata David, membuat Isabelle mengangkat wajah menatapnya.Pria itu tertawa, meletakkan sepotong steik kesukaan Isabelle dan menyiramnya dengan saus. “Jangan menahanku. Aku sudah tiga hari meninggalkan rumah dan sudah saatnya aku kembali.”“Apakah kamu bisa menundanya?” Isabelle memohon.“Tunggu, apakah kamu mengira kamu masih gadis belia itu?” David berdecak. “Kamu sudah menikah. Dilarang manja pada pria lain selain pada suamimu sendiri.”“Tapi kamu adalah kakak iparku,” sungut Isabelle lagi. “Julia tidak ada waktu lagi, dia terlalu sibuk dikekang oleh Billy dan juga mengurus Ellie. Satu-satunya tempatku mencurahkan apa yang ku rasakan hanya ka
Selama beberapa waktu, mereka hanya saling berpandangan. Isabelle merasa waktu berhenti saat dia menatap si wartawan, dan entah kenapa kedua bola mata itu menarik perhatiannya. Rasa haus akan kebenaran, tantangan dan juga ambisi terlihat menyala di matanya.“Maaf. Tolong menyingkir sedikit. Biarkan istri Saya lewat.”Isabelle menoleh, mendapati Tristan ada di sana dengan setelan jas lengkap dan sepatu pantofel hitam yang membuat penampilannya semakin menakjubkan. Kekhawatiran dan rasa penasaran dalam diri Isabelle seketika menguap saat melihat Tristan. Tristan menggandeng tangannya, berusaha membawa Isabelle menembus gerombolan wartawan itu dengan susah payah.Dan pria itu melihat si wartawan wanita berdiri di tempatnya, tidak mengikuti mereka meunju lobi seperti yang dilakukan para wartawan lain. Tristan menganggukkan kepalanya pada wartawan wanita itu, dan wanita itu langsung membalas dengan senyuman seolah mengerti apa yang dimaksud Tristan.“Aku pikir kamu tidak akan hadir,” kata