“Bagaimana menurutmu, yang silver atau gold?”
Julia mengangkat dua potong gaun pendek yang berbeda. Dia sedang bertanya pada suaminya, Billy Sparks. Tapi sang suami malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Julia seperti hari-hari sebelumnya. Julia paham. Sebagai perdana menteri, Billy amat sibuk. Tapi setidaknya pria itu bisa menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada Julia dan puterinya layaknya suami dan ayah pada umumnya.
“Billy, apa kamu mendengarku?” tanya Julia lagi.
Billy mengangkat wajah, melihat sekilas saja gaun yang diangkat Julia. Billy berpikir, kapan terakhir kali dia menganggap Julia menarik secara seksual. Bukan berarti ada yang salah dalam diri Billy. Julia cantik, Billy mengakuinya. Dengan postur tinggi semampai, rambut pirang bergelombang dan tulang pipi yang menonjol, dia adalah dambaan para pria ketika mereka masih lajang, pun sekarang setelah pernikahan mereka memasuki tahun ke tujuh.
Tapi setelah menikah, Julia ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Julia terdidik menjadi seorang puteri yang tidak tertarik pada usaha Tony, atau aset-asetnya. Billy dulu berpikir menikahi Julia akan menambah amunisi untuk kelancaran karirnya. Tapi ternyata, Julia hanya gadis yang menginginkan kehidupan stabil dan sederhana layaknya cerita dongeng.
“Gold,” katanya dingin. “Lagipula, menurutku tidak masalah kamu memakai yang mana. Toh kamu bukanlah pewaris keluarga Hawthorne. Untuk apa menghabiskan waktu mengatur penampilan?”
Julia terhenyak. Sejak pembacaan surat wasiat, Billy mengomel pada Julia tentang posisinya sebagai puteri tertua. Billy menghinanya, mengatakan Julia tidak terlalu cakap dan pintar sehingga Tony tidak memilihnya sebagai ahli waris. Julia hanya mendapatkan beberapa hektar peternakan di sebuah desa milik neneknya serta sebuah villa mewah. Tapi bagi Julia, itu sudah lebih dari cukup.
“Aku memang tidak mengharapkan warisan Dad,” ujar Julia lagi, tetap pada pendiriannya.
“Tapi aku butuh!” Billy berteriak. “Bayangkan sekuat apa posisiku dalam parlemen dengan adanya sokongan dari warisan itu. Tak akan ada yang sanggup menggulingkanku, semua orang akan bertekuk lutut.”
Dia terlalu ambisius, batin Julia. Padahal apa yang Billy dapat sudah membuat posisinya sangat aman. Semua orang menghormatinya, semua mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Satu-satunya perdana menteri yang mau turun ke masyarakat kelas bawah dan masyarakat menyukainya. Apa lagi yang kurang?
“Billy...”
“Kalau bukan karena Ellie, aku tidak akan bertahan bersamamu!”
Billy meninggalkannya sendirian dalam ruangan itu. Julia memaksa diri untuk tersenyum, toh ini bukan pertama kalinya dia mengalami hal menyakitkan dari suaminya. Ya, tentu saja. Keberadaan Ellie, puteri mereka, membuat Billy harus bertanggung jawab penuh. Terlanjur memiliki image penyayang keluarga, Billy tentu tidak bisa mengabaikan Julia dan Ellie begitu saja.
Tapi Julia tersiksa. Hari demi hari seperti neraka baginya selama hidup bersama Billy. Obsesi serta haus akan harta membuat Billy selalu mendesak Julia, menghinanya, bahkan tak pelak melakukan tindak kekerasannya.
Wanita itu duduk muram di hadapan meja rias kayu kenari dari zaman Louis XII yang mahal, yang mereka dapat di lelang amal tiga tahun silam. Julia menyukainya, tapi Billy menolak membawanya ke rumah tinggal mereka pribadi dengan alasan mereka tidak butuh meja itu. Akhirnya, Julia menempatkannya di kamar pribadinya di kediaman Hawthorne.
Julia bergegas mengganti pakaiannya dengan gaun silver yang dia rasa lebih tepat untuk tema pesta malam ini. Setelah memperbaiki kembali riasannya, wanita itu menatap dirinya sendiri dalam pantulan cermin. Dia sempurna. Wajah cantik dan tubuh tingginya terasa sangat pas dibalut gaun silver glitter yang memukau. Sayangnya, Billy tidak bisa melihat semua itu dari diri Julia.
Dia turun ke bawah, berjalan menuju taman dimana after party pernikahan Isabelle dan Tristan dilaksanakan. Puterinya Ellie berlarian ke sana kemari bersama beberapa anak lainnya, membuat pengasuh terlihat sedikit kewalahan.
Ini pesta pernikahan yang bergengsi. Keluarga Hawthorne membuat pesta besar mengingat Isabelle adalah puteri bungsu dan puteri terakhir yang akan menikah. Para pesohor berdatangan, mulai dari miliuner, politisi, supermodel, artis dan masih banyak lainnya, berkumpul di taman luas itu.
Billy terlihat berbicara dengan salah satu senator penting di kota beserta istrinya. Di tempat lain, Isabelle dan Tristan pun menyambut tamu-tamu yang hadir. Kali ini, mereka bertemu dengan Will Raffe, salah satu raja wall street yang terkenal di Amerika Serikat.
Julia menyesap anggurnya, melihat bagaimana wajah sang adik tersenyum penuh bahagia. Julia tidak iri, dia tidak akan terpengaruh oleh desakan Billy dan cemoohannya. Sebaliknya, Julia tahu Isabelle berhak mendapatkan semua ini. Sebagai puteri bungsu, Isabelle satu-satunya anak yang tidak merasakan kasih sayang ibu mereka karena ibu mereka meninggal dua bulan setelah melahirkan Isabelle.
Jadi Julia meyakinkan dirinya untuk tidak akan pernah cemburu pada kehidupan Isabelle. Dan fakta bahwa hanya tinggal mereka berdua keluarga Hawthorne yang tersisa, Julia ingin memberikan Isabelle kebahagiaan yang penuh.
“Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan. Aku melambaikan tangan dan memanggilmu, tapi kamu bahkan tidak mengetahuinya,” keluh Isabelle, tahu-tahu sudah berdiri di sisi Julia.
Julia terkejut, namun dia tersenyum memeluk sang adik. “Mana suamimu?”
“Di sana,” tunjuk Isabelle. “Dia berbicara dengan kata-kata yang sulit ku mengerti, tentang keadaan politik, saham, aku tidak mengerti,” keluh Isabelle. “Untung saja aku melihatmu.”
Julia mengelus kepala Isabelle. “Kamu harus segera mempelajarinya. Sebagai penerus perusahaan, kamu harus mengerti semua kata-kata itu.”
“Ya, kamu benar. Seandainya saja Dad memilihmu, aku tidak akan merasa terbebani seperti ini.”
Dad mungkin tahu Billy akan lupa diri kalau dia mewariskan hartanya padaku. Memberikan kuasa padamu sudah pilihan tepat, pikir Julia.
“Omong-omong, apakah hubunganmu dengan Billy baik-baik saja?”
“Kenapa bertanya seperti itu?”
“Kalian tidak pernah bersama. Maksudku, saat pemberkatan tadi dan juga sekarang. Kalian duduk bersama tapi ada jarak diantara kalian, dan sekarang, Billy sendirian menyapa para tamu. Apa kalian ribut soal harta warisan Dad? Billy keberatan?”
Julia menggeleng, menatap Billy di kejauhan. “Politik membuatnya seperti itu,” kata Julia, berusaha menutupi kenyataan pahit perilaku Billy. “Aku tahu profesinya penuh dengan tekanan dan aku hanya berusaha menjadi istri yang pengertian. Dia bisa ikut dalam acara keluarga saja sudah membuatku puas.”
Sang kakak menatap Isabelle lagi dan berkata, “Sebaliknya, aku justru khawatir padamu.”
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” Isabelle mengangkat alisnya.“Tristan bukan pria dari kalangan kita. Bukan berarti aku merendahkannya, tapi menikahi seorang putera pelayan tentu akan mendatangkan banyak pemikiran negatif terhadapmu. Aku tidak tahu apakah Tristan pria yang cakap dan bisa diandalkan, tapi ku mohon, kalau kamu tidak bahagia, katakan padaku, Belle. Jangan memendamnya sendirian.”Isabelle tertawa kecil. Dia sedang menipu Julia, berusaha agar sang kakak tidak terlalu khawatir padanya dan juga pada pernikahannya. Ya, Tristan bukan pria dari kalangan atas. Tapi Isabelle sudah jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu.Walau Tristan sudah menyatakan alasan kenapa dia menikah dengan Isabelle, Isabelle berjanji untuk tidak menunjukkan ‘kegagalan’ pernikahan itu pada Julia. Isabelle tahu, Julia tidak bahagia dengan pernikahannya sendiri, jadi dia berusaha untuk tidak memberitahu Julia soal apa pun.“Tenang saja, Jule. Aku dan Tristan akan baik-baik saja.”Semakin malam, tama
“Pengantin baru tapi sudah sendirian.”David menyapa Isabelle yang duduk minum teh sendirian di taman. Isabelle tersenyum, meletakkan gelas keramik putih dengan aksen bunga-bunga mawar dibibir gelasnya. Asap mengepul dari teh chamomile yang disesap Isabelle dan dia terlihat tidak begitu senang.“Mana Tristan?” tanya David lagi.Isabelle tidak tahu. Saat dia bangun tadi pagi, Tristan sudah tidak ada di sofa. Isabelle mengira Tristan turun lebih dulu untuk menyantap sarapan, atau sekedar berjalan-jalan pagi. Tapi salah satu pelayan yang ditanyainya mengatakan kalau Tristan pergi mengendarai SUV-nya.“Dia pergi mengurus beberapa hal,” kata Isabelle pelan.“Oh, kalian akan bulan madu? Kemana?”Tidak ada bulan madu. Isabelle dan Tristan tidak membahas soal bulan madu tadi malam, melainkan penegasan atas hubungan diantara mereka. Isabelle bahkan ditinggal tidur oleh Tristan, padahal otak Isabelle sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan soal pernikahan ini.“Bukan bulan madu,” kata Isabel
Billy nyaris mengumpat saat seorang pria mabuk menyenggolnya. Tapi ini adalah bar, semua orang akan berlaku bebas dan Billy tidak berhak marah. Setelah selesai melakukan tugasnya sebagai budak korporat, dia memilih untuk membebaskan diri di sebuah bar privat yang hanya bisa dimasuki dengan kartu keanggotaan resmi saja.Ketika dia duduk dan memesan minuman, dia melihat Tristan juga ada di sana, sedang menenggak alkoholnya. Dia sepertinya sudah mabuk karena wajahnya yang memerah dan juga gerakan tubuh yang melayang-layang.Para wanita rendahan menggerayangi tubuhnya, mencium wajah dan menyentuh dadanya. Billy berdecak. Kasihan sekali Isabelle, ejeknya. Baru saja menikah satu hari, tapi suaminya sudah mabuk-mabukan bersama para wanita di bar.Masih tersisa kemarahan di dada Billy setiap kali dia mengingat Isabelle. Gadis itu bahkan masih berusia awal dua puluh, tapi dia sudah memimpin perusahaan? Apa hebatnya dia? Kenapa bukan Billy saja, atau setidaknya Julia? Kenapa harus memilih gadis
Isabelle hilir mudik di kamarnya. Sejak tadi dia tidak bisa menghubungi Tristan dan khawatir Tristan mungkin mengalami sesuatu yang buruk. Gadis itu memeriksa ponselnya lagi dan berharap ada kabar dari suaminya. Tapi hingga jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, Tristan belum muncul juga.Karena semua anggota keluarganya masih berkumpul di kediaman utama, Isabelle berlari kecil dan mengetuk pintu kamar David. David masih menginap di sana, dia bilang baru akan pulang ke rumah pribadinya besok.Dengan wajah terkantuk-kantuk, David menguap membuka pintu kamar. “Belle, ada apa?”“Tristan belum kembali.” Isabelle menggigit bibirnya khawatir.“Lalu apa?”“Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Belle, Tristan itu seorang pria. Bisa saja dia sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya, karena bagaimana pun kalian menikah mendadak. Mungkin, teman-temannya ingin membuat pesta bersamanya.”“Begitukah?”David menggosok matanya yang memerah, lalu dia menguap untuk ketiga kalinya. “Tapi
“Tristan tidak turun?”David meletakkan piring di depan Isabelle. Gadis itu hanya menggeleng, dan seperti biasa, hanya mereka berdua yang makan malam. Tadi pagi, Billy marah dan mengajak Julia dan Ellie kembali ke rumah mereka. Isabelle menduga keduanya bertengkar karena Billy pulang dalam keadaan mabuk.“Aku akan kembali ke rumah nanti siang,” kata David, membuat Isabelle mengangkat wajah menatapnya.Pria itu tertawa, meletakkan sepotong steik kesukaan Isabelle dan menyiramnya dengan saus. “Jangan menahanku. Aku sudah tiga hari meninggalkan rumah dan sudah saatnya aku kembali.”“Apakah kamu bisa menundanya?” Isabelle memohon.“Tunggu, apakah kamu mengira kamu masih gadis belia itu?” David berdecak. “Kamu sudah menikah. Dilarang manja pada pria lain selain pada suamimu sendiri.”“Tapi kamu adalah kakak iparku,” sungut Isabelle lagi. “Julia tidak ada waktu lagi, dia terlalu sibuk dikekang oleh Billy dan juga mengurus Ellie. Satu-satunya tempatku mencurahkan apa yang ku rasakan hanya ka
Selama beberapa waktu, mereka hanya saling berpandangan. Isabelle merasa waktu berhenti saat dia menatap si wartawan, dan entah kenapa kedua bola mata itu menarik perhatiannya. Rasa haus akan kebenaran, tantangan dan juga ambisi terlihat menyala di matanya.“Maaf. Tolong menyingkir sedikit. Biarkan istri Saya lewat.”Isabelle menoleh, mendapati Tristan ada di sana dengan setelan jas lengkap dan sepatu pantofel hitam yang membuat penampilannya semakin menakjubkan. Kekhawatiran dan rasa penasaran dalam diri Isabelle seketika menguap saat melihat Tristan. Tristan menggandeng tangannya, berusaha membawa Isabelle menembus gerombolan wartawan itu dengan susah payah.Dan pria itu melihat si wartawan wanita berdiri di tempatnya, tidak mengikuti mereka meunju lobi seperti yang dilakukan para wartawan lain. Tristan menganggukkan kepalanya pada wartawan wanita itu, dan wanita itu langsung membalas dengan senyuman seolah mengerti apa yang dimaksud Tristan.“Aku pikir kamu tidak akan hadir,” kata
“Dave, bagaimana menurutmu?” Isabelle menatap David.Pria itu mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Dia menegakkan punggungnya lagi lalu berkata, “Itu memang salah satu solusi yang paling cepat saat ini. Tapi hanya kalau kamu setuju melakukannya.”“Tapi aku masih bingung.” Isabelle memegang kepalanya yang nyaris pecah. “Apa yang terjadi dengan Revive Orion kalau kita menjual saham ke pihak luar?” “Perusahaan sebesar Revive Orion akan selalu menjadi sorotan, Belle. Dengan posisi ini, ada banyak yang bersedia membeli saham kita dan biasanya itu bisa dari pihak swasta, individu, atau lembaga-lembaga resmi lainnya. Kalau mereka sudah setuju, maka mereka akan mengirim orang-orangnya untuk mengambil tempat di beberapa kursi dalam ruangan ini,” kata David, menunjuk beberapa kursi kosong di sisi meja.Isabelle menyipitkan mata. “Maksudmu, akan ada campur tangan pihak luar dalam dewan direksi?”“Sederhananya, ya.”“Kalian memberiku ide untuk menjual perusahaan Daddy?”“Bukan, Belle.” David me
Setibanya mereka di rumah, dua orang pria dengan tubuh tegap dan mengenakan jaket kulit hitam menunggu di ruang tamu. Madam Amy Vase, pelayan yang bekerja hampir dua puluh tahun di kediaman Hawthorne menemui Isabelle lalu berbisik, “Nona, mereka dari kepolisian.”Isabelle menerka-nerka apa yang membuat dua orang polisi itu datang ke kediamannya. Mereka tidak mengenakan seragam, jadi Isabelle tidak mengetahui kalau mereka adalah petugas. Kedua pria itu langsung berdiri menyambut dan menjulurkan tangan pada Isabelle.“Nona Hawthorne, kami dari petugas kepolisian daerah Florida. Kami datang untuk mengantarkan sesuatu untuk Anda.”“Mengantarkan apa?” Isabelle mengernyit.Salah satu dari mereka menyerahkan satu buah kotak, dan begitu menerimanya Isabelle nyaris jatuh karena ternyata kotak itu cukup berat. Beruntung Tristan langsung membantunya dan mengambil alih kotak dari tangan Isabelle.“Apa ini?”“Ini merupakan barang-barang Tuan Tony yang kami temukan di hotel tempatnya menginap. Maaf