“Pengantin baru tapi sudah sendirian.”David menyapa Isabelle yang duduk minum teh sendirian di taman. Isabelle tersenyum, meletakkan gelas keramik putih dengan aksen bunga-bunga mawar dibibir gelasnya. Asap mengepul dari teh chamomile yang disesap Isabelle dan dia terlihat tidak begitu senang.“Mana Tristan?” tanya David lagi.Isabelle tidak tahu. Saat dia bangun tadi pagi, Tristan sudah tidak ada di sofa. Isabelle mengira Tristan turun lebih dulu untuk menyantap sarapan, atau sekedar berjalan-jalan pagi. Tapi salah satu pelayan yang ditanyainya mengatakan kalau Tristan pergi mengendarai SUV-nya.“Dia pergi mengurus beberapa hal,” kata Isabelle pelan.“Oh, kalian akan bulan madu? Kemana?”Tidak ada bulan madu. Isabelle dan Tristan tidak membahas soal bulan madu tadi malam, melainkan penegasan atas hubungan diantara mereka. Isabelle bahkan ditinggal tidur oleh Tristan, padahal otak Isabelle sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan soal pernikahan ini.“Bukan bulan madu,” kata Isabel
Billy nyaris mengumpat saat seorang pria mabuk menyenggolnya. Tapi ini adalah bar, semua orang akan berlaku bebas dan Billy tidak berhak marah. Setelah selesai melakukan tugasnya sebagai budak korporat, dia memilih untuk membebaskan diri di sebuah bar privat yang hanya bisa dimasuki dengan kartu keanggotaan resmi saja.Ketika dia duduk dan memesan minuman, dia melihat Tristan juga ada di sana, sedang menenggak alkoholnya. Dia sepertinya sudah mabuk karena wajahnya yang memerah dan juga gerakan tubuh yang melayang-layang.Para wanita rendahan menggerayangi tubuhnya, mencium wajah dan menyentuh dadanya. Billy berdecak. Kasihan sekali Isabelle, ejeknya. Baru saja menikah satu hari, tapi suaminya sudah mabuk-mabukan bersama para wanita di bar.Masih tersisa kemarahan di dada Billy setiap kali dia mengingat Isabelle. Gadis itu bahkan masih berusia awal dua puluh, tapi dia sudah memimpin perusahaan? Apa hebatnya dia? Kenapa bukan Billy saja, atau setidaknya Julia? Kenapa harus memilih gadis
Isabelle hilir mudik di kamarnya. Sejak tadi dia tidak bisa menghubungi Tristan dan khawatir Tristan mungkin mengalami sesuatu yang buruk. Gadis itu memeriksa ponselnya lagi dan berharap ada kabar dari suaminya. Tapi hingga jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, Tristan belum muncul juga.Karena semua anggota keluarganya masih berkumpul di kediaman utama, Isabelle berlari kecil dan mengetuk pintu kamar David. David masih menginap di sana, dia bilang baru akan pulang ke rumah pribadinya besok.Dengan wajah terkantuk-kantuk, David menguap membuka pintu kamar. “Belle, ada apa?”“Tristan belum kembali.” Isabelle menggigit bibirnya khawatir.“Lalu apa?”“Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Belle, Tristan itu seorang pria. Bisa saja dia sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya, karena bagaimana pun kalian menikah mendadak. Mungkin, teman-temannya ingin membuat pesta bersamanya.”“Begitukah?”David menggosok matanya yang memerah, lalu dia menguap untuk ketiga kalinya. “Tapi
“Tristan tidak turun?”David meletakkan piring di depan Isabelle. Gadis itu hanya menggeleng, dan seperti biasa, hanya mereka berdua yang makan malam. Tadi pagi, Billy marah dan mengajak Julia dan Ellie kembali ke rumah mereka. Isabelle menduga keduanya bertengkar karena Billy pulang dalam keadaan mabuk.“Aku akan kembali ke rumah nanti siang,” kata David, membuat Isabelle mengangkat wajah menatapnya.Pria itu tertawa, meletakkan sepotong steik kesukaan Isabelle dan menyiramnya dengan saus. “Jangan menahanku. Aku sudah tiga hari meninggalkan rumah dan sudah saatnya aku kembali.”“Apakah kamu bisa menundanya?” Isabelle memohon.“Tunggu, apakah kamu mengira kamu masih gadis belia itu?” David berdecak. “Kamu sudah menikah. Dilarang manja pada pria lain selain pada suamimu sendiri.”“Tapi kamu adalah kakak iparku,” sungut Isabelle lagi. “Julia tidak ada waktu lagi, dia terlalu sibuk dikekang oleh Billy dan juga mengurus Ellie. Satu-satunya tempatku mencurahkan apa yang ku rasakan hanya ka
Selama beberapa waktu, mereka hanya saling berpandangan. Isabelle merasa waktu berhenti saat dia menatap si wartawan, dan entah kenapa kedua bola mata itu menarik perhatiannya. Rasa haus akan kebenaran, tantangan dan juga ambisi terlihat menyala di matanya.“Maaf. Tolong menyingkir sedikit. Biarkan istri Saya lewat.”Isabelle menoleh, mendapati Tristan ada di sana dengan setelan jas lengkap dan sepatu pantofel hitam yang membuat penampilannya semakin menakjubkan. Kekhawatiran dan rasa penasaran dalam diri Isabelle seketika menguap saat melihat Tristan. Tristan menggandeng tangannya, berusaha membawa Isabelle menembus gerombolan wartawan itu dengan susah payah.Dan pria itu melihat si wartawan wanita berdiri di tempatnya, tidak mengikuti mereka meunju lobi seperti yang dilakukan para wartawan lain. Tristan menganggukkan kepalanya pada wartawan wanita itu, dan wanita itu langsung membalas dengan senyuman seolah mengerti apa yang dimaksud Tristan.“Aku pikir kamu tidak akan hadir,” kata
“Dave, bagaimana menurutmu?” Isabelle menatap David.Pria itu mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Dia menegakkan punggungnya lagi lalu berkata, “Itu memang salah satu solusi yang paling cepat saat ini. Tapi hanya kalau kamu setuju melakukannya.”“Tapi aku masih bingung.” Isabelle memegang kepalanya yang nyaris pecah. “Apa yang terjadi dengan Revive Orion kalau kita menjual saham ke pihak luar?” “Perusahaan sebesar Revive Orion akan selalu menjadi sorotan, Belle. Dengan posisi ini, ada banyak yang bersedia membeli saham kita dan biasanya itu bisa dari pihak swasta, individu, atau lembaga-lembaga resmi lainnya. Kalau mereka sudah setuju, maka mereka akan mengirim orang-orangnya untuk mengambil tempat di beberapa kursi dalam ruangan ini,” kata David, menunjuk beberapa kursi kosong di sisi meja.Isabelle menyipitkan mata. “Maksudmu, akan ada campur tangan pihak luar dalam dewan direksi?”“Sederhananya, ya.”“Kalian memberiku ide untuk menjual perusahaan Daddy?”“Bukan, Belle.” David me
Setibanya mereka di rumah, dua orang pria dengan tubuh tegap dan mengenakan jaket kulit hitam menunggu di ruang tamu. Madam Amy Vase, pelayan yang bekerja hampir dua puluh tahun di kediaman Hawthorne menemui Isabelle lalu berbisik, “Nona, mereka dari kepolisian.”Isabelle menerka-nerka apa yang membuat dua orang polisi itu datang ke kediamannya. Mereka tidak mengenakan seragam, jadi Isabelle tidak mengetahui kalau mereka adalah petugas. Kedua pria itu langsung berdiri menyambut dan menjulurkan tangan pada Isabelle.“Nona Hawthorne, kami dari petugas kepolisian daerah Florida. Kami datang untuk mengantarkan sesuatu untuk Anda.”“Mengantarkan apa?” Isabelle mengernyit.Salah satu dari mereka menyerahkan satu buah kotak, dan begitu menerimanya Isabelle nyaris jatuh karena ternyata kotak itu cukup berat. Beruntung Tristan langsung membantunya dan mengambil alih kotak dari tangan Isabelle.“Apa ini?”“Ini merupakan barang-barang Tuan Tony yang kami temukan di hotel tempatnya menginap. Maaf
Membawa sebuket bunga, Isabelle berajalan menuju makam Stephani. Dari kejauhan dia bisa melihat David berdiri menggunakan payung, sendirian di bawah terik matahari yang panas. Ketika dia sudah sangat dekat, David menoleh, membuka kaca mata Chanel hitamnya lalu berseru, “Belle, kamu di sini?”Isabelle mengangguk, meletakkan buket bunga di makam Stephani dan mengusap batu nisannya. Dia berdiri, menatap David dengan wajah simpati dan melihat mata pria itu sedikit bengkak. Dia pasti habis menangis lagi, batin Isabelle.“Aku pikir kamu sudah lupa.”David mengajak Isabelle duduk beristirahat pada sebuah pondok kecil yang memang disediakan untuk keluarga pengunjung makam. Isabelle membuka kaca matanya, menyelipkannya ke kerah bajunya lalu duduk. Angin sepoi menerbangkan rambutnya yang berantakan dan tiba-tiba dia teringat dengan berkas yang baru saja dibacanya.“Kamu ke sini bukan untuk bertemu Stephani, bukan?” tebak David.Gadis itu menatap David, satu-satunya pria yang dipercayainya setel