Tristan menggeleng. Ada banyak wanita, memang begitu adanya. Tapi dia tahu persis wanita yang dimaksud Isabelle, yaitu kekasih yang akan dinikahinya. Isabelle bertanya mungkin karena dia takut kalau pernikahan mereka akan mendatangkan masalah pada hubungan pribadi Tristan.
“Kalau begitu, aku rasa pernikahan ini akan baik-baik saja.” Isabelle tersenyum lagi. “Aku hanya membutuhkan status agar bisa menjalankan perusahaan ayahku dan menjaga aset-asetnya. Selagi kamu menjaga nama baik keluarga Hawthorne, maka aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Tidak cinta, tidak tanggung jawab. Kita akan menjalankan kehidupan kita secara terpisah walau kita tinggal di bawah atap yang sama. Apa kamu keberatan?”
Tristan justru merasa sedikit bersalah. Isabelle mengatakannya tanpa beban apa pun, seolah ini adalah sebuah kepasrahan. Atau, wanita itu memang sudah merencanakannya sejak awal? Jadi dia yang meminta Nicholas untuk menutup semua aksesku di dunia hiburan?
“Well, kamu sangat baik.” Tristan menyimpan kotak rokoknya. “Aku mengapresiasinya. Kalau begitu, kamu boleh berganti gaun dan aku akan menyapa para tamu.”
Isabelle memaksa diri untuk tersenyum. Dia mengangguk, menyaksikan Tristan hilang di balik pintu. Gadis itu memegang dadanya yang sesak oleh pengakuan blak-blakan pria yang kini sudah menjadi suaminya itu. Seharusnya Isabelle bisa mengabaikan perkataan Tristan dan menganggapnya angin lalu, karena bagaimana pun juga, mereka baru pertama kali bertemu dan Tristan adalah orang asing.
Tapi mereka sudah menikah. Pernikahan ini mengikat dirinya dan pria itu. Isabelle tidak menyangka kalau Tristan justru akan menyakiti hatinya pada hari pernikahannya sendiri. Belum sembuh luka sakit hatinya akibat kehilangan sang ayah, kini dia harus sakit hati karena suaminya sendiri.
“Hei.”
Isabelle menoleh saat David, kakak ipar keduanya menyembulkan kepalanya dari celah pintu.
“Keberatan kalau aku masuk?”
Gadis itu menggeleng. Dia membentangkan tangannya saat David berjalan ke arahnya dan membenamkan dirinya dalam pelukan pria itu. David menepuk punggung Isabelle, mengusapnya dengan lembut.
“Stephani pasti senang sekarang di surga. Adik kecilnya sudah dewasa dan menikah,” gumam David.
Isabelle memejamkan mata. Dia ingat wajah Stephani, kakaknya itu dengan begitu jelas. David pasti sangat merindukannya, pikir Isabelle. Dia melepas pelukannya, menarik David duduk bersamanya di sofa.
“Kenapa aku merasa wajahmu begitu kusut? Kamu adalah pengantin wanita, bintang utama dalam acara ini. Kenapa wajahmu muram begitu?” David mengernyit.
“Memang iya?” Isabelle malah balik bertanya seraya memegang wajahnya. “Aku rasa wajahku tidak kusut, tapi terlalu cantik.”
David terkekeh oleh lelucon Isabelle. Walau setiap bertemu Isabelle selalu memberinya lelucon aneh, David tetap saja tertawa. Isabelle mengatakan lebih banyak hal lucu lainnya dan David terpingkal-pingkal olehnya.
Isabelle tahu David kesepian dan menderita sejak kematian kakaknya. Namun satu hal yang dikagumi Isabelle, David tak pernah terpikir untuk mengganti posisi Stephani dalam hatinya. Isabelle dan Tony bahkan pernah beberapa kali mengenalkan David pada wanita, namun David menolak mentah-mentah dan mengatakan kalau dia hanya akan menikah sekali saja.
Kesetiaan David sangat menyentuh perasaan Isabelle dan sekaligus menjadikan David menjadi menantu kesayangan Tony. Sikapnya yang tidak materialistis dan sangat menjaga Isabelle dan Tony pun menjadikan David sebagai sosok yang paling disukai oleh orang-orang, khususnya para pelayan di rumahnya.
“Dave, aku rasa sudah waktunya kamu memikirkan dirimu sendiri,” kata Isabelle, setelah tawa David mereda.
David berdecak, terlihat menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Aku serius,” bujuk Isabelle. “Menikahlah dengan wanita yang kamu yakini bisa menemanimu. Kami tidak akan menghalangimu dan kamu tetap akan menjadi bagian keluarga Hawthorne.”
“Aku hanya mencintai Stephani, Belle.” David menggeleng. “Aku akan menyakiti perasaan wanita yang ku nikahi, kalau aku menikah hanya untuk mencari wanita yang bisa menjagaku. Aku rasa aku bisa sendiri dan sepertinya sudah terbiasa. Aku tidak mau berkhianat pada Stephani,” gumamnya, memutar cincin pernikahan yang masih dipakainya.
“Tapi...”
“Aku datang untuk menengokmu,” potong David, “bukan membahas kehidupan pribadiku.”
“Bagus sekali kalau bisa bertemu dan menikah dengan orang yang saling mencintai seperti kalian,” keluh Isabelle.
David dengan cepat mengetahui arah pembicaraan Isabelle, jadi dia memutar tubuh adik iparnya itu ke arahnya. “Itu alasan kenapa aku di sini,” katanya. “Belle, dengar. Aku tahu kamu belum pernah bertemu Tristan sebelumnya dan aku yakin sekarang kamu pasti merasa menikahi orang asing. Tapi percayalah, pilihan Dad tak akan salah.”
Isabelle memaksa diri tersenyum. Tangannya sibuk memainkan renda-renda gaun pernikahan yang masih dia kenakan.
“Tristan pasti orang baik,” kata David lagi. “Dad pasti tahu kepribadian Tristan seperti apa sehingga dia memilihnya. Tidak masalah kalau kalian akan melalui step saling mengenal terlebih dahulu setelah ini. Tidak masalah kalau kalian masih belum mau bersentuhan. Tapi jangan bertengkar, oke?”
Isabelle tahu Tristan amat trauma pada pertengkaran. Kematian Stephani terjadi tepat ketika mereka bertengkar lalu Stephani kabur dari rumah. Diliputi amarah membuatnya memacu sedannya dengan kecepatan tinggi hingga mobilnya menabrak sebuah truk yang parkir di sisi jalan.
Cerita ini hanya diungkapkan David pada Isabelle saja karena selama ini keluarga menganggap itu sebuah kecelakaan tunggal. Jadi Isabelle tahu kenapa David menasehatinya seperti itu.
“Kalian akan menemukan hal-hal yang asing atau tidak sesuai dengan kepribadian kalian, bahkan bertentangan dengan gaya khas kalian selama ini. Duduk dan bicara baik-baik adalah solusinya, Belle. Jangan egois. Mengalah terhadap pasangan bukan berarti kamu benar-benar kalah. Aku tahu kalian akan melalui masa yang sulit untuk saling mengenal, tapi jangan menyerah.”
Seandainya saja seperti itu, batin Isabelle. Pernikahan mereka baru sah selama beberapa jam tapi Tristan sudah memberikan sisi dingin dan fakta menyakitkan itu padanya. Tapi demi menghormati David, Isabelle mengangguk pertanda dia akan melakukan apa yang dikatakan pria itu.
“Akan ku lakukan!”
“Bagaimana menurutmu, yang silver atau gold?”Julia mengangkat dua potong gaun pendek yang berbeda. Dia sedang bertanya pada suaminya, Billy Sparks. Tapi sang suami malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Julia seperti hari-hari sebelumnya. Julia paham. Sebagai perdana menteri, Billy amat sibuk. Tapi setidaknya pria itu bisa menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada Julia dan puterinya layaknya suami dan ayah pada umumnya.“Billy, apa kamu mendengarku?” tanya Julia lagi.Billy mengangkat wajah, melihat sekilas saja gaun yang diangkat Julia. Billy berpikir, kapan terakhir kali dia menganggap Julia menarik secara seksual. Bukan berarti ada yang salah dalam diri Billy. Julia cantik, Billy mengakuinya. Dengan postur tinggi semampai, rambut pirang bergelombang dan tulang pipi yang menonjol, dia adalah dambaan para pria ketika mereka masih lajang, pun sekarang setelah pernikahan mereka memasuki tahun ke tujuh.Tapi setelah menikah, Julia ternyata tidak seperti yang diharapkannya.
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” Isabelle mengangkat alisnya.“Tristan bukan pria dari kalangan kita. Bukan berarti aku merendahkannya, tapi menikahi seorang putera pelayan tentu akan mendatangkan banyak pemikiran negatif terhadapmu. Aku tidak tahu apakah Tristan pria yang cakap dan bisa diandalkan, tapi ku mohon, kalau kamu tidak bahagia, katakan padaku, Belle. Jangan memendamnya sendirian.”Isabelle tertawa kecil. Dia sedang menipu Julia, berusaha agar sang kakak tidak terlalu khawatir padanya dan juga pada pernikahannya. Ya, Tristan bukan pria dari kalangan atas. Tapi Isabelle sudah jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu.Walau Tristan sudah menyatakan alasan kenapa dia menikah dengan Isabelle, Isabelle berjanji untuk tidak menunjukkan ‘kegagalan’ pernikahan itu pada Julia. Isabelle tahu, Julia tidak bahagia dengan pernikahannya sendiri, jadi dia berusaha untuk tidak memberitahu Julia soal apa pun.“Tenang saja, Jule. Aku dan Tristan akan baik-baik saja.”Semakin malam, tama
“Pengantin baru tapi sudah sendirian.”David menyapa Isabelle yang duduk minum teh sendirian di taman. Isabelle tersenyum, meletakkan gelas keramik putih dengan aksen bunga-bunga mawar dibibir gelasnya. Asap mengepul dari teh chamomile yang disesap Isabelle dan dia terlihat tidak begitu senang.“Mana Tristan?” tanya David lagi.Isabelle tidak tahu. Saat dia bangun tadi pagi, Tristan sudah tidak ada di sofa. Isabelle mengira Tristan turun lebih dulu untuk menyantap sarapan, atau sekedar berjalan-jalan pagi. Tapi salah satu pelayan yang ditanyainya mengatakan kalau Tristan pergi mengendarai SUV-nya.“Dia pergi mengurus beberapa hal,” kata Isabelle pelan.“Oh, kalian akan bulan madu? Kemana?”Tidak ada bulan madu. Isabelle dan Tristan tidak membahas soal bulan madu tadi malam, melainkan penegasan atas hubungan diantara mereka. Isabelle bahkan ditinggal tidur oleh Tristan, padahal otak Isabelle sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan soal pernikahan ini.“Bukan bulan madu,” kata Isabel
Billy nyaris mengumpat saat seorang pria mabuk menyenggolnya. Tapi ini adalah bar, semua orang akan berlaku bebas dan Billy tidak berhak marah. Setelah selesai melakukan tugasnya sebagai budak korporat, dia memilih untuk membebaskan diri di sebuah bar privat yang hanya bisa dimasuki dengan kartu keanggotaan resmi saja.Ketika dia duduk dan memesan minuman, dia melihat Tristan juga ada di sana, sedang menenggak alkoholnya. Dia sepertinya sudah mabuk karena wajahnya yang memerah dan juga gerakan tubuh yang melayang-layang.Para wanita rendahan menggerayangi tubuhnya, mencium wajah dan menyentuh dadanya. Billy berdecak. Kasihan sekali Isabelle, ejeknya. Baru saja menikah satu hari, tapi suaminya sudah mabuk-mabukan bersama para wanita di bar.Masih tersisa kemarahan di dada Billy setiap kali dia mengingat Isabelle. Gadis itu bahkan masih berusia awal dua puluh, tapi dia sudah memimpin perusahaan? Apa hebatnya dia? Kenapa bukan Billy saja, atau setidaknya Julia? Kenapa harus memilih gadis
Isabelle hilir mudik di kamarnya. Sejak tadi dia tidak bisa menghubungi Tristan dan khawatir Tristan mungkin mengalami sesuatu yang buruk. Gadis itu memeriksa ponselnya lagi dan berharap ada kabar dari suaminya. Tapi hingga jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, Tristan belum muncul juga.Karena semua anggota keluarganya masih berkumpul di kediaman utama, Isabelle berlari kecil dan mengetuk pintu kamar David. David masih menginap di sana, dia bilang baru akan pulang ke rumah pribadinya besok.Dengan wajah terkantuk-kantuk, David menguap membuka pintu kamar. “Belle, ada apa?”“Tristan belum kembali.” Isabelle menggigit bibirnya khawatir.“Lalu apa?”“Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Belle, Tristan itu seorang pria. Bisa saja dia sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya, karena bagaimana pun kalian menikah mendadak. Mungkin, teman-temannya ingin membuat pesta bersamanya.”“Begitukah?”David menggosok matanya yang memerah, lalu dia menguap untuk ketiga kalinya. “Tapi
“Tristan tidak turun?”David meletakkan piring di depan Isabelle. Gadis itu hanya menggeleng, dan seperti biasa, hanya mereka berdua yang makan malam. Tadi pagi, Billy marah dan mengajak Julia dan Ellie kembali ke rumah mereka. Isabelle menduga keduanya bertengkar karena Billy pulang dalam keadaan mabuk.“Aku akan kembali ke rumah nanti siang,” kata David, membuat Isabelle mengangkat wajah menatapnya.Pria itu tertawa, meletakkan sepotong steik kesukaan Isabelle dan menyiramnya dengan saus. “Jangan menahanku. Aku sudah tiga hari meninggalkan rumah dan sudah saatnya aku kembali.”“Apakah kamu bisa menundanya?” Isabelle memohon.“Tunggu, apakah kamu mengira kamu masih gadis belia itu?” David berdecak. “Kamu sudah menikah. Dilarang manja pada pria lain selain pada suamimu sendiri.”“Tapi kamu adalah kakak iparku,” sungut Isabelle lagi. “Julia tidak ada waktu lagi, dia terlalu sibuk dikekang oleh Billy dan juga mengurus Ellie. Satu-satunya tempatku mencurahkan apa yang ku rasakan hanya ka
Selama beberapa waktu, mereka hanya saling berpandangan. Isabelle merasa waktu berhenti saat dia menatap si wartawan, dan entah kenapa kedua bola mata itu menarik perhatiannya. Rasa haus akan kebenaran, tantangan dan juga ambisi terlihat menyala di matanya.“Maaf. Tolong menyingkir sedikit. Biarkan istri Saya lewat.”Isabelle menoleh, mendapati Tristan ada di sana dengan setelan jas lengkap dan sepatu pantofel hitam yang membuat penampilannya semakin menakjubkan. Kekhawatiran dan rasa penasaran dalam diri Isabelle seketika menguap saat melihat Tristan. Tristan menggandeng tangannya, berusaha membawa Isabelle menembus gerombolan wartawan itu dengan susah payah.Dan pria itu melihat si wartawan wanita berdiri di tempatnya, tidak mengikuti mereka meunju lobi seperti yang dilakukan para wartawan lain. Tristan menganggukkan kepalanya pada wartawan wanita itu, dan wanita itu langsung membalas dengan senyuman seolah mengerti apa yang dimaksud Tristan.“Aku pikir kamu tidak akan hadir,” kata
“Dave, bagaimana menurutmu?” Isabelle menatap David.Pria itu mengetuk-ngetuk jarinya ke atas meja. Dia menegakkan punggungnya lagi lalu berkata, “Itu memang salah satu solusi yang paling cepat saat ini. Tapi hanya kalau kamu setuju melakukannya.”“Tapi aku masih bingung.” Isabelle memegang kepalanya yang nyaris pecah. “Apa yang terjadi dengan Revive Orion kalau kita menjual saham ke pihak luar?” “Perusahaan sebesar Revive Orion akan selalu menjadi sorotan, Belle. Dengan posisi ini, ada banyak yang bersedia membeli saham kita dan biasanya itu bisa dari pihak swasta, individu, atau lembaga-lembaga resmi lainnya. Kalau mereka sudah setuju, maka mereka akan mengirim orang-orangnya untuk mengambil tempat di beberapa kursi dalam ruangan ini,” kata David, menunjuk beberapa kursi kosong di sisi meja.Isabelle menyipitkan mata. “Maksudmu, akan ada campur tangan pihak luar dalam dewan direksi?”“Sederhananya, ya.”“Kalian memberiku ide untuk menjual perusahaan Daddy?”“Bukan, Belle.” David me
Ben menggosok matanya saat melihat nominal biaya pengobatan yang harus dikeluarkannya untuk Sora. Sora membutuhkan setidaknya dua jenis operasi untuk mneyelamatkan nyawanya dan Ben memang berniat untuk bertanggung jawab.Dia hanya tidak menyangka kalau ternyata biayanya akan sebanyak ini.Pria itu menyerahkan kartu kreditnya. Entah bagaimana caranya untuk membayar tagihan kartunya bulan depan, namun dia akan berusaha. Saat ini, menyelamatkan nyawa Sora jauh lebih penting. Dia masih bisa mencari pekerjaan lain di luar sana sementara Sora mungkin hanya memiliki kesempatan hidup kali ini saja.Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Kepalanya berdenyut sakit. Dia berkendaraan untuk mencari sedikit celah untuk kasus minyak esensial yang merenggut nyawa istri dan anak dalam rahim istrinya. Dia tidak bisa mengandalkan orang-orang itu lagi walau mereka berjanji akan menegakkan keadilan untuknya.Nyatanya, setelah Revive Orion dinyatakan tidak bersalah, kasus itu langsung tenggelam. Tak ada stasiu
Judy membereskan barang-barang terakhirnya saat dia mendengar sebuah bunyi mencurigakan di luar apartemen. Dia seperti mendengar derap langkah dengan tempo tak biasa, seperti orang-orang yang tengah mengerubuti bangunan itu.Setelah Tristan memberitahunya soal kemungkinan persembunyiannya diketahui, Judy segera meminta orang-orangnya untuk memindahkan sejumlah komputer dan juga beberapa kardus berkas terlebih dahulu. Dan setelah barang-barang utama itu dipastikan selamat oleh Judy, baru dia menyusul.Namun siapa yang menyangka kalau ternyata langkahnya akan terlambat beberapa menit. Orang-orang ini sudah mengepung apartemen tempatnya dan Tristan melakukan pertemuan, Judy bisa melihat bayangan mereka dari celah bagian bawah pintu.Wanita itu mengambil pistolnya, menyematkannya ke belakang tubuh. Judy membuka jendela, menyelempangkan ranselnya dan segera turun melalui tingkap yang sedikit menjorok. Dia menempel tubuhnya ke dinding, menggeser kakinya selangkah demi selangkah hingga dia t
“Gagal!” kata Tristan lewat ponselnya.Dia mengurut keningnya pelan. Dia menghembuskan asap rokok ke udara saat dia berada dalam ruangan khusus untuk perokok. Jepang memang kota yang unik dan tegas. Jika di Amerika dia bisa merokok kapan saja dan dimana saja, di negara ini berbeda.Isabelle menunggu di luar. Gadis itu terlihat sedih karena kematian Tetsuka. Saat mengetahui kalau yang dibawa polisi adalah mayat Tetsuka, Isabelle menangis tak karu-karuan. Apalagi ketika istri Tetsuka meraung sambil meneriakkan nama puteri mereka, tangisan Isabelle makin tak terkendali.Bulan madu ini membawa bencana, pasti begitu pikir Isabelle.Tristan menunggu sampai akhirnya Judy bicara, lebih tepatnya meneriakinya. “Apa yang kamu lakukan selama di sana? Bukankah kamu bilang tujuanmu untuk mencaritahu rahasia Tony? Atau, kamu malah terlalu fokus menghabiskan waktumu dengan Isabelle?”“Judy, apakah kamu tahu bukan itu masalahnya?”“Lalu apa?” teriak Judy lagi.“Seseorang mengikuti kita, mengerti!” Tri
Mereka menghabiskan waktu mengunjungi beberapa tempat di Jepang. Seumur hidup, ini adalah perjalanan yang paling mengesankan bagi Isabelle. Bagaimana tidak, dia hanya membawa pakaian yang melekat dalam badannya, dan ketika mereka tiba, ternyata di dalam kamar hotel sudah tersedia setidaknya empat pasang gaun Yves Saint Laurent di atas tempat tidur.Ternyata, Tristan benar-benar sangat mempersiapkan bulan madu mereka. Hal itu membuat Isabelle merasa sangat dicintai oleh pria itu. Dia tidak akan melupakan hal ini seumur hidupnya.Keduanya berjalan menyusuri Shibuya, berpapasan dengan banyak pengunjung lainnya seperti mereka. Shibuya adalah kota yang hidup selama dua puluh empat jam. Banyak toko-toko branded di sini, salah satunya adalah toko Revive Orion yang dikunjungi oleh keduanya dengan sengaja.“Halo, Tuan Tristan. Senang melihat Anda kembali,” sapa sang manager, Shiba Tetsuka.Pria berusia lima puluhan itu membungkukkan tubuh pada Tristan dan Isabelle, dan keduanya melakukan hal y
“Aku ingin tahu apa yang paling kamu sukai.”Isabelle nyaris tertawa mendengar pertanyaan Tristan. Dia sedang santai di rumah sambil memandang matahari sore yang hendak turun sementara suaminya itu sedang melakukan kunjungan ke salah satu cabang perusahaan bersama David.“Kamu!” sahut Isabelle santai.“Aku tak perlu bertanya soal itu.” Tristan menyahut dengan percaya diri. “Aku tahu kamu sangat menyukaiku.”“Lalu apa?” Isabelle balik bertanya.“Brand fashion kesukaanmu, atau makanan. Apa pun. Pernikahan kita hampir dua bulan tapi aku ingat kalau aku belum pernah bertanya soal ini.”Isabelle menahan diri untuk berteriak karena terlalu senang. Gadis itu berdehem pelan, menyandarkan tubuhnya di sisi balkon rumah sambil tersenyum. Dia sangat mencintai Tristan. Demi apa pun, Isabelle sangat bergantung pada pria itu sekarang.“Well, aku tidak punya brand tertentu dalam hal fashion,” sahutnya. “Aku membeli merk apa pun kalau aku menyukai produknya. Jadi, aku tidak memiliki preferensi tertent
“Kamu ingin aku melakukan apa?” tanya Summer Vinch, gadis berusia 25 tahun, seorang hacker kenamaan yang identitasnya tersembunyi.Namun detektif Don menemukan dia ketika gadis itu membutuhkan bantuan lima tahun yang lalu. Dan sejak itu, keduanya dekat seperti seorang ayah dan puterinya. Summer meludahkan sisa permen karetnya, lalu menatap detektif Don lagi.“Kamu yakin?” Gadis itu mengangkat alis.“Aku tahu ini ilegal. Tapi, aku harus melakukannya.”Summer menimbang-nimbang. Baginya, ini pekerjaan yang mudah. Ketika jemarinya menari diantara huruf dan angka di keyboard komputernya, dia tidak akan kesulitan menemukan dunia lain di dalam layar itu. Semua yang tersembunyi dalam dunia nyata akan tersingkap. Semuanya, bahkan rahasia yang terburuk sekalipun.“Well, baiklah.” Summer memutar kursi menghadap ke layar komputer. “Apa yang ingin kamu ketahui?”“Semuanya. Tentang Billy Spark, Tristan Theodore, David Castel dan juga Julia Hawthorne. Aku ingin kamu menemukan semua sisi kehidupan te
Isabelle menyandarkan tubuhnya di pundak Tristan setelah seharian penuh disibukkan oleh Mellany. Dia menatap Tristan yang sibuk memeriksa sesuatu di laptop lalu dia menegakkan tubuh lagi. “Apa yang kamu lakukan?”“David memintaku untuk memeriksa beberapa cabang yang bermasalah dan aku meminta data dari mereka,” sahut Tristan tanpa menoleh. “Aku sedang melihat masalah apa yang mereka hadapi sebenarnya.”“Kamu sudah bisa menyimpulkannya?”Tristan terlihat menghela nafas, lalu menatap Isabelle. “Ada banyak eselon tinggi yang melakukan perintah tak manusiawi. Mereka banyak memeras Revive Orion dan juga staff yang bekerja di bawah mereka.”“Separah itu?”“Tenang saja.” Tristan menutup laptop dan menepuk pundak telapak tangan Isabelle. “Mereka tidak akan bisa menjatuhkan Revive Orion.”“Aku harap begitu,” gumam Isabelle lagi. “Omong-omong, sepupuku baru kembali dari Prancis. Dia bilang, dia ingin bertemu denganmu.”“Maksudmu Mellany?”Isabelle cukup terkejut karena ternyata Tristan mengenal
Taksi berhenti di wilayah Midtown West dan Ben langsung turun usai membayar ongkos taksi. Mellany menurunkan kopernya dengan susah payah dan menyusul Ben yang sudah berjalan cepat meninggalkannya.“Hei, tunggu aku!” teriak Mellany.Ben menoleh. Dia mengernyit melihat kelakuan Mellany yang membuatnya muak dan tidak tertarik sama sekali. “Apa yang sebenarnya kamu butuhkan?” tanya Ben dingin.“Sudah ku bilang aku tidak punya uang, jadi aku...”Mellany terjekut saat Ben melempar beberapa lembar dollar ke arahnya. Gadis itu membiarkan uang berserakan di jalan dengan wajah yang ditekuk. “Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Kenapa tidak boleh?” katanya pelan.“Nona. Aku baru kehilangan anak dan istriku, jadi aku tidak memiliki tenaga untuk meladeni permainanmu. Jika kamu tidak punya uang, aku sudah memberikannya. Silahkan tinggalkan aku.”Mellany mematung. Dia sudah menikah dan ternyata baru saja kehilangan anak dan istrinya? Itu sebabnya dia terlihat sangat menderita? Mellany menatap Ben l
Mellany Blaire berjalan sambil bersungut-sungut. Digeretnya koper besarnya keluar dari restoran cepat saji karena staff di sana memarahinya. Bagaimana tidak, semua kartunya ditolak dan dia sama sekali tidak memiliki uang cash.Gadis itu menggerutu, menaungi wajahnya dari sengatan panas matahari. Sang ayah memintanya kembali pulang ke New York karena ingin menikahkan Mellany dengan salah satu pria, anak sahabatnya. Padahal, Mellany sudah merasa sangat nyaman berada di Prancis selama lima tahun terakhir.Tapi ancaman ayahnya membuat nyalinya ciut. Dan terbukti, begitu dia mendarat, hal pahit ini terjadi. Dia tidak memiliki akses apa pun bahkan hanya untuk sekedar makan burger seharga beberapa puluh dollar saja.“Dad, aku membencimu,” teriak Mellany saat ayahnya, Teddy Blaire menghubunginya.Terdengar tawa renyah ayahnya di seberang sana, lalu pria itu berkata, “Keluarga Blaire hanya memiliki kamu sebagai puteri satu-satunya. Aku sudah tua, Mel. Semua sepupumu sudah menikah dan hanya tin