Saat mobil berhenti tepat di depan rumah, kami bergegas turun. Aku bisa melihat para warga menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik."Yah, wajar saja. Mobil ini terlalu mencolok di pemukiman sederhana seperti ini," batinku sambil menarik napas panjang."Ma, aku ingin bermain, ya. Mama pernah bilang kalau Abiyan boleh bermain jika Papa sudah pulang," pinta Abiyan dengan mendongak ke arahku, matanya berbinar penuh harap."Iya, tapi ganti dulu bajumu," jawabku lembut.Abiyan mengangguk dengan penuh semangat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Kini hanya aku dan Mas Dewangga yang masih mematung di luar rumah. "Sayang, ayo kita masuk juga," kata Mas Dewangga lembut sembari menggenggam tanganku, sedangkan mobil mewah yang tadi kami tumpangi mulai pergi menjauh.Saat Abiyan sudah asyik bermain di luar, tanpa berbasa-basi aku menagih janji pada Mas Dewangga. Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan, dan aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi."Mas, kamu berutang penjelasan padaku," ucapku,
Seseorang yang kini berdiri di hadapanku ternyata Mas Dewangga, suamiku."Total belanjaan istriku jadi berapa, Bu?" tanya suamiku, matanya menatap ibu warung dengan tenang."Eh, itu ... jadi enam puluh lima ribu," jawab ibu warung sedikit terbata-bata, seolah gugup dengan kehadiran Mas Dewangga.Setelah mendengar nominal yang disebut, Mas Dewangga beralih menatapku dan bertanya, "Ada yang ingin kamu beli lagi? Aku akan membayar semuanya.""Tidak. Sudah cukup, Mas."Mendengar jawabanku, Mas Dewangga mengangguk. Dia mengeluarkan dompet dari saku dan menyerahkan uang pecahan seratus ribu pada ibu warung. Sekilas, aku melihat ada beberapa lembar uang di dompet Mas Dewangga, cukup banyak."Mas, uang sebanyak itu dari mana?" tanyaku berbisik sembari menunggu kembalian. Jujur, ada rasa penasaran yang mengganggu."Ini uang kompensasi karena aku dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga menekankan kata 'dituduh' dengan suara yang agak keras, seakan sengaja agar orang-orang di sekitar mendengarnya.
Saat suara langkah kaki mulai mendekat, aku berpura-pura berjalan ke dapur seolah tujuanku ke sana.Aku berpapasan dengan Mas Dewangga. Dia berbasa-basi menanyakan apakah aku sudah mengantar pisang keju ke rumah Ibu atau belum. Setelah itu, suamiku memintaku membantu Abiyan di dapur, dan berlalu begitu saja.Saat aku menoleh ke belakang, aku mendapati suamiku tengah mengecek ponselnya."Besok aku akan menagih janjinya saat Abiyan berangkat sekolah. Dia masih berutang penjelasan padaku," batinku sembari berjalan ke dapur.Hari itu, kami menghabiskan waktu dengan damai, dan meski rasa penasaran terus menghantui, aku berusaha menikmati kebersamaan kami sebagai keluarga. Pagi datang dengan cepat. Meskipun aku tak sabar untuk mencari tahu, aku terlebih dahulu fokus menjalankan rutinitasku. Setelah aku mengantar Abiyan ke sekolah dan di rumah hanya ada aku dan suamiku, aku segera menjalankan rencanaku. Beruntung hari ini dia tidak pergi ke mana-mana, aku juga sudah selesai bersih-bersih r
Mas Dewangga hanya tersenyum tipis, meneguk teh yang tinggal setengah. "Ya, sedikit-sedikit. Toh, sekarang semua orang bisa belajar lewat internet.""Tapi kamu terdengar seperti sudah ahli," desakku, ingin tahu lebih dalam. "Dari mana kamu belajar semua itu? Affiliate marketing, saham, cryptocurrency ... semua terdengar asing buatku.""Yah, anggap saja aku suka membaca dan mencari tahu," jawabnya santai, tetapi aku tahu ada lebih dari sekadar membaca. Aku terus menatapnya, rasa penasaran mulai tumbuh semakin kuat.Mas Dewangga tertawa kecil, mengacak lembut rambutku. "Kamu terlalu banyak berpikir, Sayang. Tenang saja, suatu hari nanti kamu akan tahu segalanya."Jawabannya tak memuaskanku, tetapi rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku tidak pernah surut. Ada misteri di balik ketenangan suamiku yang menunggu untuk diungkap."Aku mau ke kamar mandi dulu, ya," ucap Mas Dewangga, berlalu meninggalkanku yang masih dipenuhi segudang pertanyaan.Aku menghela napas panjang, merasa sedikit ke
Tepat saat aku tiba di ruang tamu, betapa terkejutnya aku melihat sesuatu yang dibawa Mas Dewangga dan Abiyan. Di tangan mereka, ada kantong-kantong belanjaan yang penuh sesak—jauh lebih banyak dari sekadar donat yang tadi kuminta."Mas, ini ... kenapa banyak sekali belanjaannya?" tanyaku, menatap kantong-kantong yang tampak berisi buah-buahan, sayuran, dan bahan makanan lainnya.Mas Dewangga tersenyum, meski ada sedikit lelah di wajahnya. "Aku pikir kita sekalian belanja untuk stok di rumah. Aku lihat tadi ada promo di toko dekat sekolah Abiyan, jadi ya sekalian saja."Abiyan yang sejak tadi mengamati percakapanku dan Mas Dewangga kini ikut bicara.“Ma, minggu depan Abiyan ada ulangan. Kalau Abiyan dapat nilai bagus, boleh minta adik tidak, Ma?” tanyanya dengan polos, membuat wajahku memanas.“Abiyan! Kamu ini tidak boleh minta adik sembarangan,” jawabku terbata-bata, menahan senyum. Sementara itu, Mas Dewangga hanya menatapku dengan tatapan menggoda.“Dengar, tuh. Kalau Abiyan dapat
Meski kedua sosok itu sudah hilang di tikungan, suaranya masih memenuhi pikiranku. Ucapan mereka terus terngiang, rasa cemas semakin menghimpit dadaku. Apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang kami?Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan cemas itu tak mau pergi.Beberapa meter di depan, aku melihat suami dan anakku berjalan bersama. Sekilas, aku melihat Abiyan mengatakan sesuatu pada ayahnya, sebelum tiba-tiba berlari ke arahku dengan penuh semangat.Refleks, aku langsung meletakkan ember dan gayung di tanganku, lalu berjalan cepat menghampiri anakku, khawatir dia akan terjatuh di jalan yang sedikit berbatu itu."Mama!" seru Abiyan ceria.“Abiyan, pelan-pelan saja agar tidak tersandung,” kataku lembut sambil mengelus pucuk kepalanya. "Ma, Abiyan mau main. Boleh, ya?" tanyanya dengan mata penuh harap.Aku tersenyum. Seperti biasa, anakku selalu meminta izin dengan cara yang manis. “Boleh, tapi makan dulu dan jangan lupa kerjakan tugas sekolah, ya.”Men
Aku berusaha menenangkan diri sambil melangkah cepat menuju rumah. Pikiran tentang pria yang tadi aku temui masih berkecamuk. Ada sesuatu yang aneh tentang pertemuan itu."Mungkin dia teman Mas Dewangga," batinku mencoba berpikir positif, meskipun masih ada sedikit rasa tidak nyaman yang terus mengusik, tetapi kenapa wajahnya terasa familiar? Pikiranku mulai teralihkan ke masa-masa sebelumnya. Apakah aku pernah bertemu pria itu sebelumnya? Atau mungkin dia pernah muncul di sekitar sini tanpa aku sadari? Ada sesuatu di wajahnya yang membuatku merasa pernah melihatnya, tetapi aku tak bisa mengingat kapan dan di mana.Sesampainya di rumah, Mas Dewangga sedang duduk di teras dengan pandangan fokus ke ponsel bututnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri suamiku dan menceritakan pertemuan tadi. “Mas, tadi aku bertemu dengan seseorang. Dia memborong daganganku dan menitipkan salam untuk kamu.”Mas Dewangga menoleh, wajahnya sedikit terkejut sebelum senyum tipis terlukis di bibirn
Aku berlari tergesa-gesa menuju jalan raya, napasku tersengal-sengal. Begitu menoleh ke belakang, jantungku seolah berhenti. Kak Dirfan berdiri tak jauh dariku, senyum tipisnya membuat bulu kudukku meremang.Tanpa sadar aku tersandung, hampir jatuh, tetapi dia dengan cepat menangkapku. Tubuhku membeku dalam pelukannya, kehangatannya malah membuatku semakin waspada.“Zoya, kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, seakan tak ada yang salah.Dengan gerakan cepat, aku melepaskan diri. “Iya,” jawabku dingin, lalu melangkah mundur.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, aku berbalik dan melangkah pergi, berusaha melanjutkan berjualan. Namun, aku bisa merasakan bahwa langkah Kak Dirfan terus mengikuti di belakang.“Kak, tolong jangan ikuti aku!” seruku tegas, tetapi langkahnya tetap terdengar.“Aku hanya ingin memastikan kamu aman,” katanya tenang seolah ingin membuatku nyaman.Aku menghentikan langkah dan menoleh, berusaha menahan gemuruh di dadaku. Dengan suara yang bergetar, aku mencoba meng
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e