Mas Dewangga hanya tersenyum tipis, meneguk teh yang tinggal setengah. "Ya, sedikit-sedikit. Toh, sekarang semua orang bisa belajar lewat internet.""Tapi kamu terdengar seperti sudah ahli," desakku, ingin tahu lebih dalam. "Dari mana kamu belajar semua itu? Affiliate marketing, saham, cryptocurrency ... semua terdengar asing buatku.""Yah, anggap saja aku suka membaca dan mencari tahu," jawabnya santai, tetapi aku tahu ada lebih dari sekadar membaca. Aku terus menatapnya, rasa penasaran mulai tumbuh semakin kuat.Mas Dewangga tertawa kecil, mengacak lembut rambutku. "Kamu terlalu banyak berpikir, Sayang. Tenang saja, suatu hari nanti kamu akan tahu segalanya."Jawabannya tak memuaskanku, tetapi rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku tidak pernah surut. Ada misteri di balik ketenangan suamiku yang menunggu untuk diungkap."Aku mau ke kamar mandi dulu, ya," ucap Mas Dewangga, berlalu meninggalkanku yang masih dipenuhi segudang pertanyaan.Aku menghela napas panjang, merasa sedikit ke
Tepat saat aku tiba di ruang tamu, betapa terkejutnya aku melihat sesuatu yang dibawa Mas Dewangga dan Abiyan. Di tangan mereka, ada kantong-kantong belanjaan yang penuh sesak—jauh lebih banyak dari sekadar donat yang tadi kuminta."Mas, ini ... kenapa banyak sekali belanjaannya?" tanyaku, menatap kantong-kantong yang tampak berisi buah-buahan, sayuran, dan bahan makanan lainnya.Mas Dewangga tersenyum, meski ada sedikit lelah di wajahnya. "Aku pikir kita sekalian belanja untuk stok di rumah. Aku lihat tadi ada promo di toko dekat sekolah Abiyan, jadi ya sekalian saja."Abiyan yang sejak tadi mengamati percakapanku dan Mas Dewangga kini ikut bicara.“Ma, minggu depan Abiyan ada ulangan. Kalau Abiyan dapat nilai bagus, boleh minta adik tidak, Ma?” tanyanya dengan polos, membuat wajahku memanas.“Abiyan! Kamu ini tidak boleh minta adik sembarangan,” jawabku terbata-bata, menahan senyum. Sementara itu, Mas Dewangga hanya menatapku dengan tatapan menggoda.“Dengar, tuh. Kalau Abiyan dapat
Meski kedua sosok itu sudah hilang di tikungan, suaranya masih memenuhi pikiranku. Ucapan mereka terus terngiang, rasa cemas semakin menghimpit dadaku. Apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang kami?Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan cemas itu tak mau pergi.Beberapa meter di depan, aku melihat suami dan anakku berjalan bersama. Sekilas, aku melihat Abiyan mengatakan sesuatu pada ayahnya, sebelum tiba-tiba berlari ke arahku dengan penuh semangat.Refleks, aku langsung meletakkan ember dan gayung di tanganku, lalu berjalan cepat menghampiri anakku, khawatir dia akan terjatuh di jalan yang sedikit berbatu itu."Mama!" seru Abiyan ceria.“Abiyan, pelan-pelan saja agar tidak tersandung,” kataku lembut sambil mengelus pucuk kepalanya. "Ma, Abiyan mau main. Boleh, ya?" tanyanya dengan mata penuh harap.Aku tersenyum. Seperti biasa, anakku selalu meminta izin dengan cara yang manis. “Boleh, tapi makan dulu dan jangan lupa kerjakan tugas sekolah, ya.”Men
Aku berusaha menenangkan diri sambil melangkah cepat menuju rumah. Pikiran tentang pria yang tadi aku temui masih berkecamuk. Ada sesuatu yang aneh tentang pertemuan itu."Mungkin dia teman Mas Dewangga," batinku mencoba berpikir positif, meskipun masih ada sedikit rasa tidak nyaman yang terus mengusik, tetapi kenapa wajahnya terasa familiar? Pikiranku mulai teralihkan ke masa-masa sebelumnya. Apakah aku pernah bertemu pria itu sebelumnya? Atau mungkin dia pernah muncul di sekitar sini tanpa aku sadari? Ada sesuatu di wajahnya yang membuatku merasa pernah melihatnya, tetapi aku tak bisa mengingat kapan dan di mana.Sesampainya di rumah, Mas Dewangga sedang duduk di teras dengan pandangan fokus ke ponsel bututnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri suamiku dan menceritakan pertemuan tadi. “Mas, tadi aku bertemu dengan seseorang. Dia memborong daganganku dan menitipkan salam untuk kamu.”Mas Dewangga menoleh, wajahnya sedikit terkejut sebelum senyum tipis terlukis di bibirn
Aku berlari tergesa-gesa menuju jalan raya, napasku tersengal-sengal. Begitu menoleh ke belakang, jantungku seolah berhenti. Kak Dirfan berdiri tak jauh dariku, senyum tipisnya membuat bulu kudukku meremang.Tanpa sadar aku tersandung, hampir jatuh, tetapi dia dengan cepat menangkapku. Tubuhku membeku dalam pelukannya, kehangatannya malah membuatku semakin waspada.“Zoya, kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, seakan tak ada yang salah.Dengan gerakan cepat, aku melepaskan diri. “Iya,” jawabku dingin, lalu melangkah mundur.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, aku berbalik dan melangkah pergi, berusaha melanjutkan berjualan. Namun, aku bisa merasakan bahwa langkah Kak Dirfan terus mengikuti di belakang.“Kak, tolong jangan ikuti aku!” seruku tegas, tetapi langkahnya tetap terdengar.“Aku hanya ingin memastikan kamu aman,” katanya tenang seolah ingin membuatku nyaman.Aku menghentikan langkah dan menoleh, berusaha menahan gemuruh di dadaku. Dengan suara yang bergetar, aku mencoba meng
Aku memutuskan untuk menunggu sampai Mas Dewangga selesai. Setelah selesai menelepon, aku mendekatinya."Siapa yang menelepon, Mas?" tanyaku, mencoba terdengar tenang meski di dalam hati ada ketegangan yang sulit dijelaskan.Mas Dewangga menoleh cepat, tampak terkejut. "Sayang ... mengagetkan saja." Suamiku tersenyum, tetapi senyumnya terlalu cepat. "Cuma teman biasa kok," lanjutnya santai, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, aku tak yakin. Perasaan itu masih menggantung di dadaku, membuatku ragu. "Jangan-jangan ... kamu selingkuh, ya?" ucapku tanpa berpikir panjang, suaraku penuh curiga. Aku tahu ini mungkin terdengar kasar, tetapi aku tak bisa menahan diri.Mas Dewangga tertawa kecil, seolah pertanyaanku lucu. "Selingkuh? Aku ini hanya tukang parkir, Sayang. Mana ada yang tertarik sama aku?"Aku diam, mencoba mencerna kata-katanya. Namun, aku masih merasakan sesuatu yang tak wajar. "Tapi kamu kan tampan, Mas. Siapa tahu ada yang mendekati kamu."Ekspresinya berubah sek
"Apa yang kamu tahu tentang kampanye ini, Zoya? Tidak usah sok tahu!" kata Bu Ida, nadanya terdengar lebih dingin dari biasanya.Beberapa ibu-ibu lainnya tertawa kecil, tetapi aku tidak goyah. Aku tetap tersenyum lebar, menatap Bu Ida dengan tenang."Soal kampanye, kalau ibu-ibu tertarik, kita bisa kerja sama untuk jualan makanan ringan atau minuman. Pasti laris. Orang-orang akan berkumpul, jadi kenapa kita tidak manfaatkan kesempatan ini?" jelasku, suaraku terdengar lebih percaya diri.Ibu-ibu yang awalnya tidak terlalu peduli kini mulai memperhatikanku dengan lebih serius. Beberapa dari mereka berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Bu Ida merengut, terlihat tidak puas. "Ya, tapi kita tidak tahu siapa saja yang akan datang. Apa benar banyak yang tertarik?"Aku tersenyum tipis, tak kehilangan ketenangan. "Justru itulah, Bu. Calon presiden biasanya punya pendukung fanatik. Acara besar seperti ini selalu punya peluang."Aku bisa melihat keterkejutan di wajah ibu-ibu lainnya. Mereka b
Meski Mas Dewangga masih terdiam, aku tetap setia menunggunya, meskipun detak jantungku semakin cepat. Apa lagi kali ini? Aku merasa seakan menunggu sebuah bom waktu yang akan segera meledak.Akhirnya, suamiku mulai bersuara."Orang itu sedang survei tempat untuk kampanye. Katanya ... kemungkinan salah satu calon presiden akan kampanye di daerah sekitar sini. Kami hanya ngobrol sebentar, lalu dia pergi," jawab Mas Dewangga. Senyumnya tipis, terlihat sedikit dipaksakan, seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar obrolan singkat itu.Aku terdiam. Penjelasan Mas Dewangga terdengar masuk akal, mengingat tadi siang aku juga sempat mendengar obrolan ibu-ibu soal rencana kampanye calon presiden. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di pikiranku. "Tapi kenapa kamu harus menemani dia? Bukankah kamu seharusnya tetap di parkiran untuk menjaga kendaraan?" Aku tahu pertanyaanku seakan memojokkan suamiku, tetapi aku tak punya pilihan lain. Aku perlu tahu lebih banyak.Mas Dewangga menghela na