Share

Tuan, Nyonya, dan Tuan Muda

Benar saja, waktu yang kuhabiskan di ruang kunjungan terasa jauh lebih lama, terutama setelah Dewangga menyuruh pria berjas hitam itu untuk meminta perpanjangan waktu. Hingga menjelang jam pulang sekolah Abiyan, belum ada tanda-tanda petugas yang datang untuk memberitahukan bahwa waktu kunjungan sudah habis.

Akhirnya aku harus berpamitan.

“Mas, aku harus menjemput Abiyan,” ucapku pelan, tak ingin mengganggu suasana. Namun, saat aku berdiri, Mas Dewangga tiba-tiba menarikku dalam pelukan erat, seakan tak rela aku pergi.

“Janji besok datang lagi dengan Abiyan. Bawa makanan enak untukku,” pintanya sambil mengecup pucuk kepalaku.

Aku tersenyum lembut dan mengangguk. “Pasti, Mas. Aku akan datang lagi.”

“Hati-hati di jalan. Kalau pria itu muncul lagi, tonjok pipinya sampai ungu,” tambahnya dengan nada bercanda, berusaha meringankan suasana.

Aku tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Suasana hangat tadi masih menempel di hati, tetapi pikiranku kini kembali dipenuhi oleh percakapan antara suamiku dan pria berjas hitam. Tanpa sadar, perjalanan menuju sekolah Abiyan terasa begitu cepat.

Setelah menjemput Abiyan dan hampir tiba di rumah, aku menyuruhnya pulang lebih dulu. “Abiyan, pulang duluan, ya. Mama mau ke warung sebentar.”

“Baik, Ma,” jawabnya patuh, lalu berjalan menuju rumah sendirian.

Sementara itu, aku bergegas ke warung, diiringi tatapan sinis dari ibu-ibu yang berkumpul di sana. Seperti biasa, sindiran mereka menyengat telinga, tetapi aku memilih mengabaikan dan buru-buru menyelesaikan urusan di sana. Pikiran tentang pria berjas hitam masih mendominasi kepalaku, membuat hinaan mereka terasa tak berarti.

Namun, begitu sampai di dekat rumah, dadaku berdebar kencang mendengar suara tangisan Abiyan. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari masuk.

“Kamu tidak boleh begitu pada orang yang lebih tua!” Teriakan Ibu menggema di dalam rumah. Aku mendapati tangannya terangkat, siap memukul Abiyan. Dengan cepat aku menghalangi.

“Ibu, ada apa ini?” tanyaku dengan napasku tersengal.

"Anakmu ini sudah mengusir Dirfan, bahkan berani meneriakinya! Padahal Dirfan itu calon ayah barunya!" Suara Ibu membahana, membuatku terkejut. Ternyata Dirfan masih berada di rumah selama aku pergi, meskipun sekarang dia sudah tidak ada.

Namun, di balik keterkejutanku, aku merasa bangga. Abiyan berhasil mengusir pria itu.

"Bu, ayah Abiyan hanya Mas Dewangga seorang, dan anakku sudah benar dengan mengusirnya. Pria asing tidak boleh berlama-lama di rumah seorang wanita yang sudah bersuami," jawabku tegas. Kulihat wajah Ibu memerah, menahan amarah.

"Terserah kau saja!" gerutunya, lalu meninggalkan rumah dan membanting pintu dengan keras.

Aku menghela napas, lalu berjongkok di depan Abiyan. Dengan lembut, kupeluk tubuh kecilnya yang masih gemetar.

"Jangan dengarkan kata-kata nenek, ya. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Mama bangga padamu." Kusapu air matanya yang masih tersisa di pipi.

"Sekarang, gantilah pakaianmu. Ibu akan siapkan makan siang. Setelah itu, belajar saja di rumah, ya? Jangan keluar sampai ayahmu pulang," kataku sambil tersenyum. Abiyan mengangguk, lalu berjalan menuju kamar.

***

Keesokan paginya aku terbangun oleh suara ketukan pintu yang cukup keras. Dengan langkah malas, aku berjalan menuju pintu.

Sebelum membuka pintu, aku mengintip sedikit ke jendela. Aku takut yang datang adalah Kak Dirfan. Namun, rasa khawatirku langsung menguap saat aku melihat siapa yang berdiri di sana. Rasa lega menyelinap begitu aku melihat wajah Ibu, bukan Kak Dirfan seperti yang kutakutkan.

Aku segera membuka pintu.

"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan sopan sembari mengucek mata yang masih berat.

"Zoya, bersiap-siaplah. Nanti siang sepupumu akan menikah. Ibu lupa memberitahukannya padamu kemarin. Pokoknya jam dua belas kamu harus sudah siap. Ajak juga Abiyan," jelas Ibu panjang lebar, suaranya terdengar mendesak. Sebelum aku sempat menjawab, Ibu sudah berbalik dan berlalu begitu saja.

Aku melirik jam dinding. Masih beberapa jam lagi sebelum jam dua belas. Beruntung ini hari Minggu, aku bisa bersiap-siap tanpa terburu-buru.

Untuk mengisi waktu, aku memutuskan membersihkan rumah dan membuat bakso-baksoan hasil belanja kemarin untuk dibawa ke penjara setelah acara pernikahan nanti.

Ketika jam hampir menunjukkan pukul dua belas, aku dan Abiyan sudah siap. Kami segera keluar rumah menuju rumah Ibu. Namun, langkahku terhenti sejenak ketika melihat sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah Ibu.

Jantungku kembali berdegup lebih kencang saat mataku menangkap mobil itu. Ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Mobil ini ... aku pernah melihatnya sebelumnya, dan firasatku langsung buruk.

Rasa penasaran mendorongku mempercepat langkah menuju rumah Ibu, kebetulan pintu rumah juga terbuka. Beberapa meter sebelum sampai, Ibu tiba-tiba keluar, diikuti seorang pria berbaju batik yang membuatku membelalakkan mata.

"Zoya, kamu sudah siap? Baguslah kalau begitu. Dirfan akan mengantar kita," kata Ibu santai seolah-olah itu hal yang wajar.

Melihat sosok Dirfan di samping Ibu, darahku mendidih. Tidak, aku tidak akan membiarkan ini terjadi.

"Bu, aku tidak mau," kataku, menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku akan naik ojek saja dengan Abiyan."

Perdebatan pun terjadi di antara aku dan Ibu. Namun, ujung-ujungnya aku mengalah karena Ibu mengancamku. Ibu berkata bahwa dia akan memprovokasi Mas Dewangga untuk menceraikanku. Tentu aku tidak mau.

Dengan berat hati, akhirnya aku ikut naik ke mobil. Aku dan Abiyan duduk di belakang, malas jika harus berinteraksi dengan pria itu.

Sesampainya di acara, kami pun turun dari mobil. Di sana aku mencari-cari kesempatan untuk menjauh dari Ibu dan Kak Dirfan. Hingga saat mereka lengah, aku dan Abiyan langsung berjalan menuju ke belakang.

Melihat ada beberapa ibu-ibu tengah mencuci piring, ingin rasanya aku ikut bergabung daripada harus bersama dengan ibu dan Kak Dirfan.

Hingga di detik berikutnya, tiba-tiba saja ada yang menyentuh bahuku dan membuatku berbalik. Jantungku berdegup kencang saat melihat pria yang berdiri di hadapanku.

"Mas ...." Aku tersenyum lebar saat suamiku ada di sini, di depanku. Dengan cepat aku memeluknya.

Abiyan yang juga menyadarinya pun langsung memeluk ayahnya.

"Mas, kamu sudah keluar?" tanyaku dengan mata berbinar.

"Iya, aku sudah keluar dari penjara," jawab Mas Dewangga sembari menggendong Abiyan.

"Papa!" seru Abiyan sembari terus-terusan memeluk leher ayahnya.

Setelah acara peluk-pelukan, suamiku mengajakku untuk pulang. Aku langsung mengangguk patuh karena aku pun ingin cepat-cepat pulang.

Namun, saat tiba di parkiran, tiba-tiba saja mobil hitam mewah berhenti tepat di depan kami.

Aku terpaku sejenak. Mobil itu bukan mobil sembarangan. Di mobil itu terdapat logo yang hanya pernah kulihat di televisi. Jantungku semakin berdetak cepat.

Ketika pintu mobil terbuka, seorang sopir berseragam hitam elegan keluar dan membukakan pintu untuk kami.

"Tuan, Nyonya, dan Tuan Muda, silakan masuk," katanya dengan sopan.

Aku hanya berdiri terpaku, sulit mempercayai apa yang baru saja kudengar. Tuan? Nyonya? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status