Share

Bab 6

Zico mengerutkan keningnya, dia merasa tertipu.

Di ruang tamu, Lasri sudah bangun untuk menyiapkan sarapan.

Melihat Cassie yang mengenakan piama duduk di sofa sendirian, dia pun bertanya sambil tersenyum, "Semalam tidur nyenyak?"

Dia mengira Zico akan menemani Hazel dan tidak pulang. Tengah malam, dia mendengar suara dan bangun. Dia tahu Zico pulang dan tidur di kamar sendiri.

Cassie adalah istri yang dipilihkan oleh Berly, dia pasti adalah gadis baik. Melihat Zico menikah, Lasri yang sudah lama merawat Zico pun bahagia.

Nada dan ekspresinya terlalu ramah, terkesan agak ambigu.

Cassie tersenyum kaku. "Nye ... nyenyak."

"Kalau begitu cepat ganti baju. Aku siapkan sarapan, bentar lagi siap." Lasri pergi ke dapur untuk membuat sarapan.

Cassie menundukkan kepala dan melihat piamanya, pakaiannya masih berada di kamar.

Sekarang, seharusnya Zico sudah berpakaian, 'kan?

Dia bangkit dan berjalan menuju kamar. Sesampai di depan pintu, dia mengetuk pintu.

Tidak ada yang menjawab.

Dia mengetuk lagi, tetapi tidak ada respons.

Alhasil, dia pun membuka pintu. Pintu tidak dikunci dari dalam dan langsung terbuka.

Namun saat pintu terbuka, sekujur tubuhnya diterpa oleh angin dingin dan membuatnya menggigil.

Zico duduk di samping kasur sambil menatap selembar kertas.

Kertas itu ....

Cassie segera mengetahui apa yang dipegang oleh Zico. Kemudian, matanya tertuju pada benda-benda yang berserakan di atas lantai. Dia kesal karena Zico tidak menghargai privasinya. Dia berlari masuk untuk merampas kertas itu sambil bertanya, "Kenapa kamu melihat barang orang lain tanpa izin? Kamu tahu privasi nggak?"

Hehe.

Zico tersenyum sinis. "Privasi?"

Ekspresi sinisnya tampak sangat menakutkan. "Kamu menikah denganku dalam keadaan hamil, sekarang malah membicarakan soal privasi?"

"Aku, aku ...." Cassie ingin menjelaskan, tetapi tidak menemukan kata yang tepat.

Zico berdiri, langkahnya lambat dan teratur. Setiap dia melangkah, suhu di sekitar seolah-olah turun beberapa derajat dan keningnya diselimuti dengan kabut gelap. "Katakan, apa tujuanmu?"

Ingin dia menjadi ayah dari anak ini dan berharap anak ini sebagai cucu sulung Keluarga Carlo?

Apa kesepakatan itu hanyalah jebakan?

Makin dipikirkan, ekspresinya makin muram.

Cassie mengatupkan bibirnya, tubuhnya gemetaran, dia terus melangkah mundur sambil memeluk perutnya dengan ketakutan. Dia takut Zico akan melukai bayi di dalam perutnya. "Aku bukan sengaja mau menyembunyikannya darimu. Kita hanya nikah kontrak, makanya aku nggak bilang, aku nggak punya tujuan lain."

Nada bicara Zico terdengar sangat menakutkan. "Benarkah?"

Cassie melindungi perut bagian bawahnya sambil melangkah mundur. Dia berusaha untuk tenang. "Benar, hal seperti ini mana bisa ditutupi? Kalau aku punya niat lain, aku bakal kena karma. Lagian kalau aku terus menjerat Pak Zico, Pak Zico pasti punya cara untuk menyingkirkanku, 'kan?"

Meskipun gerakannya sangat pelan dan hati-hati, Zico tetap menyadari hal ini dan melirik perut bagian bawahnya.

Dia menatap Cassie sambil bertanya, "Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"

Zico tidak akan percaya padanya begitu saja.

Dia memeluk perutnya dengan erat. Anak ini memang adalah kecelakaan, tetapi anak ini adalah darah dagingnya. Dia sudah kehilangan adiknya, jadi dia ingin melahirkan anak ini.

Kelak, mereka akan hidup bertiga bersama ibunya.

Mengingat malam itu, tubuhnya otomatis bergetar dan telapak tangannya pun berkeringat. "Aku, aku juga baru tahu."

Dia bahkan tidak berani memberi tahu Debby bahwa dia pergi melakukan pemeriksaan ke rumah sakit. Jadi, dia tidak berani meletakkan hasil USG ini di rumah karena takut ketahuan.

Tak disangka, malah muncul masalah sebesar ini.

Zico curiga dia punya tujuan lain.

Dia baru berusia delapan belas tahun, tetapi ....

Kehidupannya begitu kacau?

Ekspresi Zico makin muram, dia berkata dengan tegas, "Satu bulan ini, jangan macam-macam. Kalau sampai aku tahu kamu ...."

"Nggak, nggak akan. Aku nggak akan macam-macam. Kalau aku melakukan hal yang keterlaluan, Pak Zico boleh melakukan apa pun padaku," jawab Cassie.

Sekalipun Zico tidak percaya padanya, dia tidak boleh membiarkan Zico curiga padanya.

Pada dasarnya, situasinya sangat sulit. Kalau sampai jumlah musuhnya bertambah, dia akan makin sulit mengambil kembali barang-barangnya.

Zico menatapnya dalam-dalam, seolah-olah ingin menguji kebenaran dari ucapannya.

"Tuk tuk." Tepat pada saat ini, Lasri datang. "Sarapan sudah siap."

Zico mengalihkan pandangannya, dia berkata dengan kesal, "Bereskan barang-barangmu."

Setelah berkata demikian, dia berbalik pergi.

Begitu Zico pergi, kaki Cassie sontak melemas. Dia bersandar di lemari untuk cukup lama. Setelah itu, dia baru berjongkok untuk memungut pakaian di lantai.

Ketika melihat hasil USG di tangannya, air matanya menetes ke atas kertas.

Dia menyeka wajahnya. Dia tidak boleh menangis, menangis adalah wujud kelemahan.

Dia harus kuat, ibu dan bayi di dalam kandungan membutuhkannya.

Dia melipat kertas USG itu dan pergi mengganti pakaian.

Tidak ada seorang pun di ruang makan, hanya terlihat gelas dan piring kosong di atas meja. Sepertinya Zico sudah selesai makan.

Entah mengapa Cassie merasa lega. Berinteraksi dengan Zico sungguh menakutkan.

Dia berjalan ke meja makan dan mulai menyantap sarapan.

Setelah sarapan, dia keluar. Dia berjanji akan pulang ke rumah dan tidak ingin Debby mengkhawatirkannya.

Begitu masuk, Debby langsung menariknya dan bertanya, "Tuan muda Keluarga Carlo itu ...."

"Bu." Nada bicara Cassie sangat serius, dia tidak ingin membahas hal ini. "Dia baik, nggak usah khawatir."

Debby kembali menghela napas. Putrinya memiliki pandangan sendiri dan tidak ingin mendengar omelannya, dia pun sedih. "Aku hanya mengkhawatirkanmu."

Dia khawatir pria itu tidak baik pada Cassie.

Cassie memeluknya. Dia bukan sengaja ingin membuat Debby sedih, hanya saja setelah menghadapi Zico, tenaganya banyak terkuras.

"Bu, aku cuma agak lelah, bukan sengaja."

"Ibu tahu, Ibu nggak menyalahkanmu." Debby menepuk punggungnya, sepertinya dia sangat lelah. "Kalau lelah, tidur sana."

Cassie mengangguk. Meskipun tidak ingin tidur, dia merasa sangat lelah. Sesampai di kamar, dia langsung tertidur.

Siang hari, Debby menyiapkan makan siang dan memanggilnya bangun untuk makan.

Mereka duduk di meja makan, Debby mengambilkan nasi untuk Cassie. "Ibu masak ikan kesukaanmu."

Debby merasa bersalah pada Cassie. Meskipun dia melahirkan Cassie, dia gagal membahagiakan Cassie dan membuat Cassie hidup menderita.

Cassie melihat ikan asam manis yang dibuat oleh ibunya. Dulu, ini adalah makanan kesukaannya. Namun saat mencium aroma ini, dia malah merasa mual.

Dia tidak sanggup menahan diri. "Uek."

"Cassie."

Cassie tidak sempat menjelaskan. Dia menutup mulutnya dan pergi ke kamar mandi untuk muntah.

Debby menyusul dengan cemas. Melihat gejala Cassie dan wajah Cassie yang agak pucat, dia dapat menebak bahwa Cassie hamil. Namun, dia tidak terlalu percaya. Cassie sangat tertutup, tidak pernah pacaran dan sangat mencintai diri sendiri.

Suara Debby agak gemetaran. "Cassie, ada apa denganmu?"

Tubuh Cassie menegang, dia menggenggam erat wastafel. Dia memutuskan untuk melahirkan anak ini, cepat atau lambat, Debby akan tahu.

Dia berbalik untuk menatap ibunya dan mengumpulkan keberanian.

"Bu, aku hamil."

Seketika, Debby mundur selangkah. Dia tidak percaya, Cassie baru berusia delapan belas tahun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status