Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu.
Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya.Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi, ia yang akan menentukan kapan dan bagaimana permainan panas ini berjalan, tanpa ia tahu jika menjadi pasrah di bawah kendali Anna jauh lebih nikmat.Namun, kesenangan Anna akan penaklukkan Revan di bawah sana harus terusik oleh suara dering ponsel. Terlebih saat fokus Revan langsung teralihkan pada suara panggilan telepon di ponselnya. Tanpa perlu melihat, Anna tahu siapa yang menghubungi nomor Revan. Tak ingin pergulatan panas ini berakhir menyedihkan, Anna dengan cepat mengalihkan atensi Revan. Tangannya menarik pipi Revan, memaksa laki-laki itu menatap dirinya sepenuhnya. Dengan gerakan sensual, Anna mendekat, memberikan sesuatu miliknya yang menggantung bebas untuk mengalihkan dunia Revan.Rencana Anna berhasil, dua pepaya gandul miliknya berhasil mengalihkan perhatian Revan dari suara berisik ponselnya. Napas Anna terengah, desahnya tak lagi tertahan ketika gigitan-gigitan kecil dan remasan tangan Revan membuatnya seakan melayang ke angan tanpa batas. Tapi lagi-lagi suara berisik dari ponsel Revan mengganggu, membuat kegelisahan kian tak menentu dalam benak Anna.Tidak! Anna tak akan membiarkan Revan pergi, malam ini ia ingin memiliki Revan seorang diri. Keinginan menggebu-gebu itu yang akhirnya membuat ide gila muncul di kepala Anna, ketika tangannya yang terbebas meraih ponsel dari atas nakas.Anna memandangi layar ponsel Revan, di mana nama Anggita muncul berkali-kali. Jika sebelumnya panggilan itu diabaikan, kali ini jemari lentik Anna mengusap layar, membiarkan panggilan itu terhubung. Tak hanya itu, Anna bahkan dengan sengaja mengeraskan suara desah seksinya, ketika kedua tangan Revan kini mencengkram kuat pinggangnya dan membantu pinggulnya bergoyang lebih kencang.Anna tahu jika yang ia lakukan salah. Ia tahu jika dirinya jahat karena membiarkan Anggita di seberang telepon mendengar suara-suara laknat penghianatan suaminya. Namun, Anna tak menyesal, bahkan jika akhirnya karena hal ini Revan dan Anggita akan bertengkar hebat dan fatalnya mereka mungkin saja akan bercerai. Bukankah justru itu yang Anna mau? Ya, dengan begitu Anna bisa memiliki Revan seutuhnya, tanpa perlu lagi berbagi dengan siapa pun."I love you, Revan," bisik Anna ketika keduanya mencapai puncak pelepasan.Anna tak berharap Revan akan membalas ucapannya, atau memberinya kecupan manis di bibir selayaknya pasangan yang saling mencintai. Tidak, Anna tahu Revan tak akan melakukan itu. Membiarkannya tetap berada di atas laki-laki itu dan memeluk eratnya saja sudah lebih dari cukup buat Anna. Cinta benar-benar membutakannya, membuatnya tampak bodoh karena mencintai sepihak atasannya.***Anna pasrah saat Revan mendudukkannya di atas wastafel. Pagi yang dingin, tapi terasa panas akibat gairah yang memuncak. Kaki Anna menjepit pinggang Revan, ia menggigit bibirnya kuat-kuat saat tubuhnya dihentak berkali-kali oleh Revan.Lagi-lagi, keduanya melakukan olahraga panas itu untuk kesekian kali dan kali ini di dalam kamar mandi. Seakan tak ada puasnya, baik Anna maupun Revan terus menjamah satu sama lain. Mencoba berbagai macam gaya, sampai mencapai puncak kenikmatan untuk kesekian kalinya."Aku mencintaimu," bisik Revan, yang ternyata hanya terjadi dalam imajinasi Anna.Ya, pergulatan panas yang barusan itu memang hanya lamunan Anna yang tengah mematung di depan cermin wastafel. Mata Anna menyusuri sekujur tubuhnya yang dipenuhi tanda cinta buatan Revan semalam. Meski selepas percintaan panas semalam Revan langsung tidur, Anna senang karena ketika ia bangun laki-laki itu masih tertidur lelap di sisinya. Itu artinya usahanya menahan Revan di sini berhasil.Lamunan Anna terpaksa buyar ketika pintu kamar mandi terbuka, menampilkan seseorang yang jadi fantasinya berdiri di ambang pintu dengan wajah masih mengantuk."Kamu sudah selesai?" tanya Revan, mengucek-ngucek sebelah matanya.Anna mengangguk, meraih jubah mandinya untuk membalut tubuh polosnya. Meski sejujurnya ia lebih suka tampil tanpa sehelai benang pun di depan Revan. Tapi demi menjaga image-nya di mata Revan, Anna tak melakukan hal itu selain di atas ranjang."Kenapa kamu nggak bangunin aku?" Suara Revan menghentikan Anna yang baru saja melewatinya.Anna menoleh ke belakang, matanya bertemu dengan tatapan Revan yang seperti biasa selalu datar kepadanya. Berbeda ketika mereka tengah bercinta, tatapan datar itu seolah berubah jadi penuh damba kepadanya."Kamu kelihatan pulas banget tidurnya, aku yakin kamu sangat lelah, makanya aku nggak tega buat bangunin kamu," jawab Anna, meski benar itu alasannya. Tapi alasan terkuatnya ialah ia tak ingin Revan menemui istrinya di rumah.Revan menghela napas, tak berniat mendebat meski ia tampak tak puas dengan jawaban Anna. "Lain kali bangunkan aku."Anna mengangguk. "Kamu mau sarapan apa?" tanyanya sebelum Revan masuk ke kamar mandi."Nggak usah, habis ini aku langsung pulang," ucapnya, kemudian Revan berlalu ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat.Anna menghela napas kasar. Sudah biasa mendapat tanggapan seperti itu. Revan memang selalu bersikap dingin kepadanya, hanya di saat mereka bercinta Anna bisa melihat sisi Revan yang berbeda terhadapnya. Itu kenapa Anna rela dijadikan istri simpanan, asalkan ia bisa memiliki Revan meski hanya di atas ranjang.Anna tak peduli dengan penilaian orang atas keputusannya. Baginya memiliki Revan adalah tujuan hidupnya. Ia sudah menaruh hati pada laki-laki itu, jauh sebelum Revan menikah dengan istrinya sekarang. Seandainya saja derajat mereka setara, mungkin Anna tak perlu memendam lama perasaannya pada sang atasan. Sayangnya derajat mereka terlampau jauh, layaknya bumi dan langit yang mustahil bisa bersanding. Meski pada akhirnya Anna memaksakan hal itu walaupun dengan cara yang salah."Revan," panggil Anna ketika melihat Revan tampak terburu-buru akan pergi. "Aku sudah buatkan sarapan." Anna menghampiri Revan."Aku nggak suka sarapan, bukannya kamu tahu itu?" Bukan respon yang Anna harapkan, tapi ia tahu Revan akan mengatakan hal itu."Aku tahu," ucap Anna, meraih tangan Revan dan menuntunnya ke meja makan. "Makanya aku cuma buatkan kamu kopi sama sandwich." Menyuruh Revan duduk dan menunjukkan hidangan di meja makan yang sudah Anna siapkan untuknya. "Dari semalam kamu belum makan apa-apa. Paling enggak kamu bisa ganjel dulu pakai sandwich. Ingat, pagi ini ada pertemuan penting dengan investor, kamu nggak boleh kehilangan fokus hanya karena perut kamu lapar."Revan terdiam memandangi sepotong sandwich dan secangkir kopi panas yang mengepulkan asap nikmat. Dari aromanya saja tak perlu diragukan lagi kopi buatan Anna memang yang terbaik menurutnya. Juga sandwich yang tampak menggugah selera, mendorongnya untuk mencicipi."Makanlah," suruh Anna. "Jangan sampai nanti kamu kena maag. Bukankah kamu sendiri yang bilang benci sakit. Kalau kamu sering mengabaikan sarapan, ditambah jam makan yang nggak menentu, bisa-bisa kamu nanti kena maag."Anna memang perhatian, Revan akui itu. Bahkan sebelum status wanita itu berganti sebagai istri sirinya, Anna memang selalu mempedulikan kesehatannya. Mungkin karena itu termasuk tanggung jawabnya sebagai sekretaris. Tapi makin ke sini, bentuk perhatian Anna mulai membuat hati Revan tersentil. Entah mengapa ia selalu merasa diistimewakan setiap kali bersama Anna, wanita itu mampu menghangatkan suasana, berbanding terbalik jika dirinya berada di rumah, bersama dengan istri sahnya."Kamu mau langsung ke kantor?" tanya Revan, ketika Anna berniat meninggalkannya di meja makan.Anna mengangguk. "Semua kebutuhan aku sudah kamu siapkan di sini, jadi aku nggak perlu repot-repot pulang ke apartemen. Bisa hemat waktu juga kan."Memang benar, semua kebutuhan Anna baik pakaian, tas, sepatu sampai alat make-up sudah disediakan oleh Revan di rumah ini. Rumah kedua mereka, tempat di mana mereka bisa bertemu dan melakukan percintaan tanpa takut akan ada yang memergokinya. Revan sengaja menyediakan hunian ini khusus untuk Anna dan dirinya bertemu, demi menjaga hubungan terlarang mereka dari orang-orang sekitar."Hati-hati." Hanya itu yang terlontar dari mulut Revan, selanjutnya laki-laki itu mulai sibuk mengisi mulutnya dengan potongan sandwich.Anna tersenyum masam, harusnya ia sudah terbiasa. Memangnya apa yang Anna harapkan, berharap Revan akan menawarinya tumpangan dan berangkat ke kantor bareng? Jangan mimpi, laki-laki itu tak akan pernah melakukannya. Bahkan jika Anna tak bisa menyetir sendiri, maka Revan akan menyuruhnya naik taksi alih-alih bersedia memberikan tumpangan. Anna sudah hapal semua itu, tapi ia tetap saja merasa kecewa setiap kali ekspektasinya akan Revan selalu saja gagal.***Anggita merenung di meja makan, dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Kantung matanya tampak begitu jelas, wajahnya tampak kuyu karena semalaman begadang. Ya, ia sama sekali tak bisa tidur ketika mengetahui suaminya tidak pulang dan satu fakta lain bahwa suaminya sedang bersama wanita lain. Bahkan ia masih mengenakan pakaian semalam, dengan riasan make-up yang belum sempat dibersihkan juga.Meskipun dirinya dan sang suami tak saling mencintai, tapi Anggita tak pernah menyangka bahwa Revan akan menodai pernikahannya dengan pengkhianatan. Walaupun sebenarnya Anggita sudah sering memikirkan akan kejadian seperti ini akan terjadi, mengingat ia tak pernah melakukan kewajibannya dan juga memberikan hak Revan sebagai suaminya. Anggita sadar itu juga karena dirinya, tapi ia menolak untuk disalahkan. Menurutnya tak seharusnya Revan mencari pelampiasan di luaran sana, apalagi sampai mengabaikan hal yang lebih penting.Makan malam keluarga!Acara yang sangat penting tapi semalam Revan mengabaikannya dengan tidak hadir. Hal itu menambah serentetan alasan Anggita marah kepada suaminya. Karena ulah Revan semalam, ia jadi harus berbohong untuk menutupi keadaan rumah tangganya dari kedua orangtuanya. Meski ia berhasil menutupinya, tak lantas membuatnya lega ketika mengetahui Revan tak kunjung pulang sampai pagi."Pagi Tuan." Suara pelayan yang menyambut kedatangan sang majikan, sukses mengalihkan atensi Anggita bersamaan suara langkah kaki menuju ke arahnya.Bisa Anggita lihat siapa yang baru saja datang. Ya, sosok yang semalaman ia tunggu kehadirannya. Bukan karena rindu, tapi karena ingin ia jadikan pelampiasan kekesalannya."Dari mana saja kamu?" sergah Anggita, tatapannya dingin dan menusuk."Bukan urusan kamu," jawab Revan, berlalu melewati Anggita. Ia sedang tak ingin berdebat dengan istrinya apalagi sampai bertengkar. Ia pulang hanya ingin mengganti pakaiannya dan setelah itu berangkat ke kantor, karena ada pertemuan penting yang harus ia hadiri pagi ini.Namun, sepertinya Anggita tak paham dengan hal itu. Istrinya itu bergerak cepat menghalangi langkah Revan yang akan menaiki tangga. "Bukan urusan aku, kamu bilang?" Anggita berdecih, menatap sinis Revan. "Kamu lupa? Aku ini istri kamu, jadi aku berhak tahu ke mana saja kamu pergi semalaman!" teriaknya, menumpahkan emosi yang tak lagi bisa dibendung.Revan menghela napas kasar, memandang muak Anggita yang berubah jadi macan ganas. "Sejak kapan kamu peduli? Bukankah kamu biasanya nggak mau tahu soal apa pun tentangku?"Anggita mengepalkan kedua tangannya, matanya memicing tajam. Seakan sorot matanya yang runcing siap menusuk Revan sampai mati. "Ya, aku memang nggak peduli, termasuk kamu mau tidur dengan wanita mana pun aku tidak peduli! Tapi permasalahannya gara-gara keegoisan kamu yang lebih memilih tidur dengan jalang, aku harus berbohong untuk menutupinya dari orangtuaku! Apa kamu lupa? Harusnya semalam kamu datang buat makan malam keluarga, bukan malah tidur dengan wanita lain berengsek!"Revan sedikit terkejut, dari mana Anggita tahu. Meski begitu ia berusaha menormalkan ekspresinya tetap datar menghadapi amukan Anggita. "Maaf, aku lupa.""Maaf kamu bilang?" Anggita tak terima. "Kamu pikir maaf saja cukup?""Lalu kamu mau apa?" Revan benar-benar lelah menghadapi Anggita. Ia tak ingin bertengkar lagi, tapi mustahil Anggita bisa meredam emosinya."Siapa jalang yang kamu tiduri semalam?" cecar Anggita, menuntut nama wanita yang telah menjadi duri dalam rumah tangganya."Apa itu penting?""Ya! Itu penting! Karena aku tidak sudi bersaing dengan seorang jalang!""Kalau begitu kenapa kamu tak penuhi tanggung jawabmu, agar aku tak perlu menyewa jalang lagi!" ucap Revan, membuat Anggita seketika terdiam membisu.Anggita tak tahu jika Revan akan membalas ucapannya seperti itu. Padahal dari awal mereka sama-sama tahu jika pernikahan mereka ini terpaksa, jadi Anggita tak ingin Revan menuntut hak apa pun darinya. Begitu juga dengannya yang tak perlu memenuhi tanggung jawab sebagai istrinya, termasuk melayani Revan di atas ranjang."Kenapa diam? Kamu nggak bisa?" Revan tersenyum miring, mencemooh. "Kalau begitu berhenti campuri urusanku, termasuk soal dengan siapa aku akan tidur," ucapnya di telinga Anggita, kemudian melangkah melewatinya dan berlalu menaiki tangga.Anggita kian erat mengepalkan kedua tangan yang mencengkram kuat dress yang ia kenakan. Matanya memerah menahan amarah yang seakan siap meledak! "Revan sialan! Lihat saja, cepat atau lambat aku akan menemukan jalang sialan itu!"Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su
Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja. Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?""Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja."Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan
Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu. Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat s
"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya. Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari
Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya. Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan. Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu. Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung,