Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja.
Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?" "Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja." Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan aja dia cemburu." Mendengar penuturan Revan, sontak Anggita melotot tidak terima. What the hell. "Kamu—" Anggita berniat menyembur Revan dengan kata-kata mutiara yang ia siapkan, tapi suaminya itu berhasil membuatnya terbungkam ketika tangannya tiba-tiba menggenggam erat dirinya. "Kamu jangan khawatir, aku nggak akan pernah macem-macem kok, buat aku, kamu satu-satunya wanita paling istimewa di hidup aku, nggak ada yang lain." Bahkan Revan tanpa segan mengusap pipi Anggita yang terpaku, memberinya senyuman semanis mungkin. "Ana ngirim pesan, cuma ngingetin soal jadwal besok. Dia emang selalu rutin kirim pesan buat ingetin jadwal kerja aku, nggak lebih. Jadi kamu jangan jealous ya." Mata Anggita berkedut, tangannya mencengkram paha. Dalam hati ia memaki habis-habisan Revan yang berlagak sok manis, berakting seolah dirinya suami paling setia. Padahal Anggita yakin kalau Revan sering bermain wanita di luaran sana, mengingat ia tidak pernah memenuhi kewajibannya dan tidak mungkin Revan bisa menahan hasratnya. Sejujurnya Anggita tidak peduli, mau Revan berkencan dengan siapa pun, ia tidak peduli. Hanya saja Anggita paling benci jika melihat Revan sibuk dengan ponselnya di tengah acara makan malam bersama orangtuanya. "Benar Anggita, kamu harusnya jangan cemburuan gitu. Enggak mungkin Revan macem-macem sama kamu." Mamanya menimpali, tersenyum bahagia melihat putrinya begitu dicintai oleh suaminya. Andai saja ia tahu kebenarannya, bahwa keduanya tidak saling cinta. Sementara papa Anggita terkekeh, lalu berucap. "Jadi, kapan kalian mau kasih kami cucu?" Anggita langsung berdeham, mengambil air minum dan menenggak habis isinya. Ia paling benci mendengar pertanyaan tersebut. "Doakan saja ya Pa, secepatnya. Aku sama Anggita juga lagi usaha, iya, 'kan, Sayang." Revan menggenggam kembali tangan Anggita. Anggita sontak melotot, tapi Revan malah mencengkram genggaman pada tangannya. Seolah lewat sorot matanya tengah memperingati Anggita agar menurut saja. Anggita tak berdaya, ia tidak mungkin menghempas tangan suaminya. Bagaimanapun, orangtuanya tidak boleh tahu kalau sebenarnya ia dan Revan tidak akur. "Iya Pa. Nanti kalau emang udah saatnya, pasti dikasih kok," tutur Anggita, dalam hati menggerutu. Sampai kapan pun, aku nggak akan mau mengandung anaknya! Nggak sudi! "Ini," Papa Anggita menyodorkan secarik kartu nama kepada keduanya, "kalian bisa dateng ke kliniknya. Papa udah bilang sama dia, kalian bisa mulai program sama dr. Stefan. Dia sangat berpengalaman dan banyak pasiennya yang berhasil hamil dalam waktu singkat." "Iya Pa, makasih ya Pa." Revan menerima kartu nama tersebut dan obrolan mereka pun terus berlanjut. Sebenarnya Revan pun sama muaknya seperti Anggita, ketika ia harus berlagak seolah keduanya pasangan suami istri yang romantis. Namun, ia terpaksa melakukannya karena tidak mau orangtua Anggita mengetahui kebenarannya kalau ia dan Anggita tidak pernah akur. Bahkan sampai detik ini, dirinya belum sekalipun menyentuh Anggita. Jadi, bagaimana mereka mau dapat cucu, kalau Anggita saja enggan menjalankan kewajibannya. Untungnya baik Revan maupun Anggita sama-sama jago bersandiwara, sampai-sampai kedua orangtua Anggita sama sekali tidak merasa curiga. Sepanjang makan malam pun, papa Anggita terus memuji Revan yang begitu perhatian pada putri semata wayangnya. Hal itu membuat Anggita mual, untungnya makan malam itu segera berakhir dan keduanya memutuskan pulang, menolak bujukan mamanya untuk menginap. "Beneran nggak mau nginep aja?" Mama Anggita masih terus membujuk, mengantar keduanya sampai mobil. Anggita yang sudah mau masuk mobil, menoleh sambil menggelengkan kepala. "Enggak Ma, besok aku ada pertemuan penting, jadi malam ini aku harus persiapkan semuanya." Papa Anggita menyahuti. "Jangan sibuk sama kerjaan mulu. Inget, kalian harus bikinin mama sama papa cucu." Anggita memutar bola mata, malas meladeni ucapan papanya. Ia segera masuk mobil, berpamitan pada mama papanya. "Kami pulang dulu, babay." Rasanya lega setelah keluar dari gerbang rumah orangtua Anggita. Kini baik Revan, maupun Anggita tidak perlu lagi berpura-pura jadi sepasang suami istri romantis. Keduanya kembali ke mode saling memusuhi satu sama lain. Bahkan keduanya saling membisu sepanjang perjalanan pulang, sampai akhirnya Revan buka suara lebih dulu. "Jadi kapan kamu bakal merealisasikan keinginan papa mama kamu?" Revan kembali membuka bahasan soal pembicaraan tadi di meja makan. Mendengar pertanyaan Revan, sontak Anggita yang tengah menyenderkan kepala ke dekat jendela seketika menoleh pada Revan. "Maksud kamu?" Revan mengembuskan napas kasar. "Kamu bukan anak kecil, kamu paham betul maksud pertanyaanku." Ia tidak suka bertele-tele. Anggita mengerti. Ia tersenyum sinis menanggapinya. "Kenapa? Kamu pengen banget ya?" Lalu mencibir Revan. "Jangan mimpi!" Revan berdecih, tetap berusaha tenang meski egonya mulai tersentil oleh keangkuhan Anggita. "Sebenarnya aku sama sekali nggak minat sama kamu. Bukankah kita sama-sama tahu, kalau itu semua tuntutan orangtua kita. Jadi nggak usah kepedean, aku sama sekali nggak tertarik dengan punyamu. Bahkan aku bisa dapatkan yang lebih baik dari milikmu." Ucapan pedas Revan, sukses menyulut kemarahan Anggita. "Apa?" Jelas ia tidak terima, merasa dihina seakan ia tidak lebih baik dari wanita murahan yang bisa Revan dapatkan. "Kamu pikir aku tertarik padamu? Lagian siapa juga yang geer! Dan satu hal, aku nggak peduli kalau kamu mau melakukannya dengan siapa pun, tapi jangan pernah bandingkan aku dengan wanita-wanita murahan itu!" Revan malas ribut, mengabaikan Anggita yang menggebu-gebu dengan emosinya. Ketika mobilnya mulai memasuki pekarangan rumahnya yang luas dan saat mobilnya baru saja berhenti, Anggita bergegas keluar, membanting pintu mobilnya dengan sangat kencang. Revan mau marah, tapi ia menahannya. Kepalanya mendadak pening. "Sial!" Revan memijit kepalanya yang berdenyut. Di saat seperti ini, yang ia butuhkan hanyalah belaian lembut tangan Ana. Revan pun segera menghubungi nomor Ana, tanpa perlu menunggu, panggilannya langsung diangkat. "Kamu di mana?" "Di apart." Terdengar suara lembut Ana menyahut. "Tiga puluh menit lagi aku sampai," kata Revan. "Ya?" Revan tak lagi menyahuti dan langsung menutup sambungan telepon. Ia segera tancap gas, meninggalkan kediamannya. Hal itu dilihat oleh Anggita yang sudah berada di kamarnya. Anggita menatap kepergian suaminya, entah kenapa ia begitu marah melihat Revan kembali pergi meninggalkannya di rumah ini sendirian. "Kamu memang benar-benar berengsek Revan!" *** Ana baru saja selesai mandi saat bel pintu apartemennya berbunyi. Ia bergegas mengecek, melihat siapa yang datang. Ketika mengetahui Revan yang berada di depan pintu, Ana buru-buru membukakan pintu untuk laki-laki itu. "Revan?" Ana menyambut kedatangan Revan dengan sedikit heran. Pasalnya untuk pertama kali, laki-laki itu mendatangi apartemennya. Biasanya jika butuh, Revan akan memanggilnya datang ke rumah rahasia mereka. "Kamu—" Ana tercekat ketika Revan langsung menghambur padanya, merengkuh pinggangnya dan memburu bibirnya. Ana tidak menolak, karena ia juga menginginkan setiap sentuhan yang Revan berikan. Tangannya terulur meremas rambut Revan, ketika laki-laki itu menciumnya secara brutal. Ana dibuat tak berdaya, lemas, dan pasrah ketika jubah mandinya dilepas paksa oleh Revan. Ana menggeram, merasakan sensasi menyengat dari setiap kecupan yang Revan berikan di sekujur tubuhnya. Ia begitu menikmatinya, tapi sayangnya hal itu harus terhenti ketika sebuah panggilan masuk di ponsel Ana menginterupsi keduanya. Ana melirik ponselnya yang ada di atas nakas, melihat nama si pemanggil muncul di layar. Matanya seketika melebar saat mengetahui siapa yang menelepon. Ana beralih menatap Revan yang turut melihat ke arah layar ponselnya. "Bu Anggita," lirihnya. Revan tampak kesal, tak habis pikir. Untuk apa Anggita menghubungi Ana, mengganggu kesenangannya. "Abaikan saja!" ucapnya. "Tapi ...," Ana ragu, takut. "Ana, kamu tahu kan, siapa yang harus kamu patuhi perintahnya?" Revan mempertegas kedudukannya atas Ana. Ana seperti dihipnotis, hanya mengangguk patuh. "Good." Revan tersenyum. Sangat manis di mata Ana. Ia begitu mendambakan senyuman itu, membuatnya luluh dan lupa bahwa Revan adalah suami orang. Juga dirinya yang hanya sebatas istri simpanan. "Kepala aku pusing," ucap Revan kemudian. "Kamu sakit?" Ana refleks menyentuh jidat Revan. "Astaga, kamu demam." Ana panik mendapati suhu tubuh Revan yang meningkat. "Aku panggilkan dokter—" Ana berniat bangkit untuk menelepon dokter, tapi Revan segera menariknya kembali. "Revan—" "Aku nggak butuh dokter, yang aku butuhkan kamu," ucap Revan. "Ya?" Ana tertegun. Ia tidak salah dengar, 'kan? Revan membutuhkannya, alih-alih dokter. Seketika taman bunga di hatinya bermekaran, pipinya merona. Revan mengangguk, mendekap Ana dan menempatkan dagunya di atas bahu Ana. "Aku cuma butuh kamu, kamu tahu kan harus apa?" lirih Revan di dekat telinga Ana, sembari menghirup aroma tubuh Ana yang memabukkan. "Buat aku melayang, Ana."Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu. Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat s
"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya. Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari
Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya. Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan. Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu. Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung,
Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu. Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya. Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi
Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su