Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu.
Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat sekarang Revan menatapnya seperti itu. Ia buru-buru mengedarkan pandangannya, berusaha tetap tenang, meski dadanya berdetak sangat kencang. Astaga! Ana berdeham, melegakan tenggorokan yang serasa kekeringan. "Ada apa?" tanyanya. Alih-alih menjawab, Revan malah balik bertanya. "Jam berapa sekarang?" Ana melirik jam beker yang ada di atas nakas, lalu menjawab, "Jam setengah tujuh." Mendengar jawaban Ana, Revan seketika bangun. Membuat Ana terkejut dan segera menahannya, tapi gagal. "Ada apa?" tanya Ana sekali lagi. "Kamu masih lemas, sebaiknya kamu istirahat dulu." Ana berusaha membawa Revan kembali tidur, tapi laki-laki itu menolak. "Aku harus ke kantor," ucap Revan, menyibak selimut yang membungkus kakinya. Ana menghela napas, paham kalau Revan memang si workaholic. "Sakit bukan jadi alasan untuk bermalas-malasan." Ana teringat ucapan laki-laki itu setiap kali sakit dan Ana memintanya untuk beristirahat saja. "Apa nggak sebaiknya hari ini libur saja," pinta Ana, mengkhawatirkan keadaan Revan. "Kamu masih sedikit demam." "Nggak bisa, hari ini ada rapat penting sama investor, ada peninjauan lokasi juga. Aku harus tetap ke kantor." Revan bersikeras, ia bergegas bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Tentu saja Ana tak berdaya, ia tidak bisa memaksa Revan. Alhasil Ana hanya bisa menghela napas, berharap Revan akan baik-baik saja. Meski ia tetap merasa cemas, mengkhawatirkan kesehatan Revan. "Ana," panggil Revan sebelum masuk ke kamar mandi. "Iya." Ana mendongak, melihat ke arah Revan yang berdiri di depan pintu. "Kamu bisa carikan aku baju?" tanyanya. "Aku nggak mungkin pakai baju semalam." Ana menganggukkan kepala. "Kamu nggak perlu khawatir." "Oke, kamu selalu bisa aku andalkan. Jangan coba-coba untuk berhenti, aku nggak mau kehilangan sekretaris sebaik kamu." Mendengar penuturan Revan, Ana hanya tersenyum simpul. Bukankah harusnya ia senang? Karena ternyata Revan sangat membutuhkan keberadaannya di sisi laki-laki itu. Namun, menyadari Revan menginginkannya berada di sisinya sebagai sekretaris, jelas itu menyakitkan buat Ana. Kenapa bukan sebagai istri? Hati Ana menjerit frustrasi. "Ana." Panggilan Revan kembali menarik perhatian Ana yang sempat termenung sesaat. "Iya, ada apa? Kamu butuh sesuatu?" Ana bangkit dari duduknya, bersiap jika Revan membutuhkan bantuannya. "Aku pengen nasi goreng buatan kamu, boleh?" Untuk pertama kalinya Revan meminta Ana untuk membuatkannya masakan. Padahal biasanya Revan selalu menolak jika Ana menawarkan diri untuk membuatkan makanan. "Nasi goreng?" Ana memastikan. Revan mengangguk. "Nasi goreng pedas manis yang pernah kamu kasih buat aku." Ana ingat, dulu dirinya pernah membawa bekal nasi goreng dan waktu itu mereka lagi buru-buru mau rapat di luar kantor. Revan yang nggak sempat sarapan, lantas memakan bekal yang Ana tawarkan. Ana rela menahan perut kosong, demi melihat Revan makan masakannya. "Tentu." Senyum Ana tercetak jelas di bibirnya, ia tak bisa memungkiri kebahagiaan yang merayapi hatinya saat ini. Karena memang ini momen yang selalu Ana tunggu setelah sekian lama. "Aku akan buatkan nasi goreng pedas manis buat kamu." "Terima kasih." Setelah itu Revan langsung menghilang di balik pintu kamar mandi yang tertutup. Ana tak bisa menyembunyikan senyumnya, ia sangat senang hanya mendengar ucapan terima kasih dari Revan. Bahkan Ana merasa kalau Revan hari ini tidak sekaku biasanya. Apakah Revan mulai sadar, makanya dia mulai berubah untuk memperlakukan Ana selayaknya seorang istri? Jika memang benar, Ana sangat bersyukur dan penantiannya selama ini tak akan sia-sia. Suara bel menginterupsi Ana. Siapa? Ana bertanya-tanya, heran karena ada yang membunyikan bel di pagi hari. Mengingat Ana tidak punya janji dengan siapa pun. Jangan-jangan .... Ana terlihat panik, bergegas menuju pintu. Ia mengecek terlebih dahulu lewat layar interkom, memastikan siapa yang berada di depan pintu apartemennya. Jantung Ana berdegup kencang, gelisah dan takut menggerogoti benaknya. Hatinya terus merapal doa, berharap apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Ana mengembuskan napas kasar, cukup lega saat melihat orang di depan pintu bukanlah Anggita. Ia sudah ketakutan, jika orang yang bertamu pagi-pagi adalah Anggita. Bisa saja kan wanita itu datang kemari untuk mencari suaminya yang tidak pulang semalaman. Bisa mati Ana jika benar-benar Anggita mengunjunginya di saat suaminya ada di sini, Ana pasti akan habis dicincang oleh wanita itu. "Siapa?" gumam Ana, memperhatikan laki-laki yang berdiri di depan pintu apartemennya. Ana tidak mengenal laki-laki itu. Ia berniat mengabaikan, tapi laki-laki itu kembali menekan bel. Mau tidak mau Ana pun membukakan pintu, lalu berucap padanya. "Cari siapa, Mas?" "Hai." Laki-laki itu menyapa Ana dengan ramah, tersenyum lebar. Senyum yang begitu menawan, siapa pun akan kagum melihatnya. Tapi tidak dengan Ana, karena baginya senyum paling menawan hanyalah senyuman Revan. "Buat kamu." Laki-laki itu menyodorkan sebuah paper bag bertuliskan sebuah merk roti ternama. "Aku tinggal di sebelah, hari ini baru mulai pindahan. Salam kenal ya." Ana mengangguk pelan, menerima dengan ragu pemberian laki-laki itu seraya berkata, "Terima kasih." Laki-laki tampak senang melihat Ana menerima pemberiannya, ia pun mengulurkan tangannya. "Namaku, Arfan. Senang bisa jadi tetangga kamu." Apaan sih! Jujur, Ana sedikit risih. Namun, ia tidak memperlihatkannya. Ana tersenyum canggung, demi kesopanan ia pun menjabat tangan lelaki itu. "Ana." "Nama yang cantik, secantik orangnya," komentar Arfan, masih menyunggingkan senyum lebarnya. Ana makin risih, rasanya ia ingin cepat kabur dari hadapan laki-laki ini. "Kalau begitu, aku permisi masuk. Soalnya buru-buru musti kerja." Ana kembali tersenyum canggung, lalu segera undur diri. "Have nice day," ucap Arfan, sebelum Ana menutup pintu rapat-rapat. Ana bergidik, tidak habis pikir akan didatangi tetangga baru setelah sekian lama ia tinggal di apartemen ini tanpa mengenal siapa pun, termasuk penghuni sebelumnya. Lalu sekarang, tiba-tiba saja ia punya tetangga baru yang terlihat sangat ramah, tapi malah membuat Ana sedikit ngeri. Entahlah, Ana malah membayangkan kalau laki-laki itu semacam laki-laki freak. "Dari siapa?" tanya Revan yang baru keluar dari kamar mandi, ketika mendapati sebuah paper bag bertuliskan merk roti ternama. Ana yang sedang sibuk berkutat di depan kompor menyahut, "Tetangga baru." Revan mengeluarkan isinya. "Cowok?" tanyanya lagi. Ana mengangguk. "Iya, namanya Arfan." Revan menatap punggung Ana yang tengah fokus dengan masakannya. "Jangan terlalu welcome dengan orang baru." Ana mengernyit, heran. Tidak biasanya Revan akan menasehatinya seperti itu. "Kenapa?" Ia pun menoleh sebentar pada Revan, setelahnya kembali fokus dengan nasi goreng di wajan. "Kayanya dia orang baik kok." "Jaman sekarang baik saja nggak cukup. Banyak orang baik yang cuma topeng doang. Jadi sebaiknya kamu jaga jarak." Dari nada bicaranya, Revan seperti tidak suka jika Ana dekat dengan tetangga baru itu. Mengingat tetangga baru Ana laki-laki. Ana tersenyum malu-malu, ia tahu kalau Revan sedang mengkhawatirkannya dan sepertinya juga sedikit jealous. Benar-benar di luar dugaan, Ana masih tak percaya dengan perubahan sikap Revan. Rasanya sebelum-sebelum ini Revan tampak tidak peduli akan dirinya, bahkan hal secuil pun tentangnya Revan enggan peduli. Namun kali ini, Revan seperti sedang mencemaskannya. "Nggak perlu khawatir, aku bakal jaga jarak kok," ucap Ana, sembari berbalik membawa sepiring nasi goreng yang sudah matang ke hadapan Revan. "Baju kamu sudah aku siapkan di kamar, semoga pas." Karena aku beli bajunya setahun yang lalu, batin Ana. Revan hanya mengangguk, setelah itu pergi ke kamar. Ana mengekorinya, berhenti di ambang pintu kamar. "Butuh bantuan?" tanyanya. Revan mengangguk. "Pakaikan dasinya," ucapnya, bergegas memakai pakaian yang sudah Ana siapkan. Seperti yang Ana perkirakan, baju yang dulu ia beli akan sangat pas dikenakan oleh Revan. Kemeja biru muda itu begitu cocok di badan Revan yang atletis, mengingat Revan hobi ngegym. Celana biru dongker yang Ana pilihkan juga pas buat Revan. Ana benar-benar tahu mana yang terbaik untuk laki-laki itu. "Kenapa?" tanya Revan, memperhatikan Ana yang senyum-senyum sendiri saat memakaikan dasi. "Enggak apa-apa," jawabnya. Andai saja Revan tahu, bagaimana berbunga-bunganya hati Ana saat ini. Ia merasa seperti istri sungguhan karena bisa membuatkan sarapan buat Revan, juga memakaikan dasi untuknya. "Eh!" Ana terkejut ketika tiba-tiba Revan menciumnya. "Revan—" "Jangan senyum-senyum begini di depan orang lain," tuturnya, sembari menarik pinggang Ana mendekat. Ana mendongak, menatap Revan yang memandanginya dengan intens. "Kenapa?" tanyanya dengan polos. "Karena aku nggak mau orang lain terpikat sama senyum kamu, karena kamu cuma punya aku, Ana." Hah? Gimana? Aku nggak salah dengar 'kan?"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya. Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari
Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya. Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan. Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu. Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung,
Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu. Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya. Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi
Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su
Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja. Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?""Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja."Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan