Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya.
Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan.Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu.Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung, bibir seksi dan rahang tegasnya membuat ketampanannya begitu benar-benar sempurna. Anna tak bosan memandanginya, ia seperti tak ingin melewatkan setiap detiknya untuk memuaskan matanya menatap laki-laki itu."Kapan kamu akan menyingkir dari sana?" Suara serak nan dingin menusuk, sukses membuat lamunan Anna buyar seketika."Ya?" Mata Anna bertemu dengan sorot mata tegas yang selalu membuatnya tak berdaya."Bisa menyingkir dari tubuhku sekarang, kamu semakin berat," tutur laki-laki itu yang tak lain Revan Bagas Raharjo, bosnya di kantor sekaligus suami siri Anna."Oh, iya." Anna buru-buru menyingkir dari atas tubuh Revan, meski terlihat enggan. Ia menempatkan tubuhnya berbaring miring di samping Revan yang tampak kelelahan. "Kamu haus? Mau aku ambilkan minum?" tawar Anna, seperti biasa menawarkan minum selepas perduelan panas yang menguras tenaga."Hm." Revan menyahut datar, memilih memejamkan mata dengan lengan yang menimpa dahinya."Tunggu sebentar, aku akan ambilkan air dingin." Anna bergegas bangun, menyambar cepat kemeja putih kebesaran milik Revan. Ia selalu suka mengenakan pakaian suaminya itu, meski hanya sesaat.Walaupun berstatus suami istri, tapi hubungan Anna dan Revan tampak canggung dan kaku. Ditambah sikap Revan yang tampak dingin terhadap Anna, bahkan selepas mereka bercinta.Bukan tanpa alasan Revan bersikap seperti itu pada Anna dan Anna sendiri tahu alasannya kenapa. Ya, karena Revan tak pernah mencintainya, bahkan mungkin tak pernah menganggap Anna ada selain di kantor ataupun di atas ranjang. Di mata Revan, Anna hanyalah sekretarisnya di kantor dan juga pemuas hasratnya di atas kasur.Anna tahu itu, ia sadar betul bahwa sampai kapan pun posisinya hanya dibutuhkan di saat Revan inginkan dan ketika Revan tak menginginkannya lagi, bisa saja ia dibuang begitu saja. Seperti ampas permen karet.Anna tahu, dirinya tampak begitu bodoh karena menempatkan diri di posisi seperti ini. Tapi seperti yang pepatah bilang, bukankah cinta itu memang buta? Ya, benar, cinta itu buta dan Anna dibutakan cintanya sampai ia rela jadi pelampiasan hasrat bosnya sendiri."Kamu sudah mau pergi?" tanya Anna ketika memasuki kamar dan mendapati Revan tengah mengenakan celana panjang berbahan yang ia kenakan untuk tadi pagi.Revan mengangguk datar, mengabaikan Anna yang mendekat ke arahnya. "Anggita minta aku pulang sekarang."Mendengar nama wanita yang Revan sebut, hati Anna berdenyut sakit. Padahal ia tahu, tak sepantasnya ia sakit hati mengingat wanita itu adalah istri sahnya Revan. Tapi melihat bagaimana Revan selalu terburu-buru pulang setiap kali Anggita menyuruhnya pulang, rasanya ego Anna seperti ingin menjerit dan melarang Revan pulang kepada istrinya."Ini." Anna menyodorkan segelas air dingin yang ia ambil dari dapur.Tanpa berkata apa-apa Revan menerimanya, menenggak sampai tersisa setengah lalu menyerahkan kembali pada Anna. Ia memperhatikan sejenak Anna, wajah istri simpanannya itu begitu murung. Revan tahu alasannya kenapa, tapi ia malah bersikap tak mau tahu dan tak peduli pada apa pun yang tengah Anna rasakan."Lepas," suruh Revan, menyuruh Anna melepaskan kemeja yang dikenakannya.Alih-alih menurut, Anna justru memberanikan diri menatap Revan, tatapan sendunya berusaha menerobos mata tegas yang menatap balik dirinya. Perlahan, Anna mendekat, memangkas jarak di antara keduanya setelah ia meletakkan gelas di atas nakas. Lalu fokusnya berpusat pada Revan yang terdiam dan matanya tak sedetik pun beranjak dari wajah Anna.Anna menghela napas sejenak, mati-matian melepas sesak di dada ketika matanya menatap bibir Revan yang tampak menggoda. Dalam pikirannya, muncul berbagai macam pertanyaan menyakitkan. Salah satunya, apakah bibir itu juga pernah menjamah wanita lain?"Ada apa?" Suara Revan merusak imajinasi Anna, menarik kembali atensinya."Bisakah untuk malam ini saja kita menginap?" pinta Anna, penuh harap. Meski ia tahu mustahil Revan akan mengiyakan. Laki-laki itu lebih mementingkan permintaan istri sahnya, ketimbang Anna."Enggak." Seperti yang Anna duga, Revan akan menjawab seperti itu.Namun, bukan berarti Anna akan menyerah. Ia akan selalu melakukan segala upaya untuk menahan Revan lebih lama bersamanya. "Kalau begitu, bisakah kita main satu kali lagi?""Enggak." Dan jawaban yang sama kembali terlontar dari mulut Revan.Penolakan, Anna sudah terbiasa dengan penolakan yang Revan berikan. Jika biasanya ia akan menerimanya begitu saja, entah mengapa kali ini ia ingin bersikap egois."Why?" Anna mendongak, menatap Revan lebih lekat.Revan menelan kasar ludahnya. Meski ia tak tertarik secara emosional terhadap Anna, tapi mata penuh kilat menggoda itu selalu sukses membuatnya kelimpungan. Ditambah saat Anna dengan berani melepas satu per satu kancing kemejanya dan menanggalkannya, mana bisa Revan mengabaikan lekukan tubuh Anna yang begitu membuatnya panas dingin ingin menjamahnya lagi."Aku nggak pernah menuntut apa-apa dari kamu, tapi untuk malam ini saja, bisakah kamu tetap tinggal di sini?" Anna memainkan jemari tangannya di atas dada bidang Revan. "Hari ini, hari anniversary pernikahan kita. Meski tak bisa merayakannya, paling enggak aku boleh kan minta hadiah dari kamu dan hadiah yang aku minta cuma pengen bersama kamu semalaman."Revan tak tahan dengan godaan tangan Anna yang merayapi dada turun ke bawah. Bahkan tangan itu nyaris melepas kaitan celananya, beruntung tangan Revan lebih sigap menghentikannya. "Anna," tegur Revan, menurutnya Anna kali ini terlalu berani dan lancang. "Apa kamu lupa dengan perjanjian kita?"Anna menelan ludah, memalingkan muka. Ia tak pernah lupa dengan perjanjian yang Revan usulkan dulu saat mereka memutuskan untuk memulai hubungan terlarang ini. Ya, Anna tak boleh menuntut apa pun, Anna hanya berhak menerima apa pun yang Revan berikan, ia tak boleh meminta apa pun, termasuk waktu Revan."Aku ingat," lirih Anna, putus asa, "tapi apa tak bisakah kamu buat pengecualian buat hari ini?" Anna menatap Revan kembali, kali ini matanya berair menahan tangis. "Jika kamu tak bisa menemaniku semalaman tak apa. Tapi bisakah kamu memberiku kesempatan untuk menjadi dominan dalam satu kali permainan saja? Anggap saja ini hadiah yang kuminta, setelah itu kamu boleh pulang."Revan terdiam sejenak, menimang-nimang permintaan yang Anna ajukan. Ia memang tak keberatan jika Anna ingin mendominasi permainan panas mereka, tapi jika ia mengiyakan lalu bagaimana dengan Anggita yang menyuruhnya cepat pulang."Sekali ini saja," ucap Anna, menarik dagu Revan yang sempat melirik ke arah ponselnya di atas nakas. "Aku janji nggak akan lama dan aku yakin istrimu bisa menunggu."Benar, permainan ini tak akan lama pikir Revan. Lantas ia pun akhirnya mengiyakan permintaan Anna, membiarkan wanita itu mendorongnya ke atas kasur dan mulai melakukan aksi yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Kali ini Anna tak menahannya lagi, ia merealisasikan semua imajinasinya selama ini terhadap Revan.Sementara di sisi lain, Anggita tengah berdiri di depan rumah orangtuanya. Mondar-mandir dengan gelisah dan sesekali mengomel ketika melihat layar ponselnya yang menyala. Chat terakhir yang ia kirim lima belas menit lalu pada suaminya belum juga dibalas."Revan mana sih? Kenapa nggak bales -bales!" Anggita merutuk. "Apa dia lupa kalau malam ini ada makan malam keluarga?" Anggita berdecak, kembali mengirim pesan singkat kepada suaminya.Kamu sudah di mana?Kamu sudah jalan kan?Hei!Setidaknya balas pesanku, jangan membuatku gusar! Mama papa sudah menanyaimu dari tadi!Tak tahan karena tak kunjung mendapat balasan atas pesan singkatnya, lantas Anggita memilih menelepon suaminya. Cukup lama ia menunggu telepon diangkat, membuatnya semakin gusar. Bahkan panggilan pertama tak terjawab, Anggita tak menyerah dan kembali mencoba kedua kalinya. Namun, ternyata langsung diangkat, ia sudah bersiap akan membuka mulut guna melampiaskan kekesalannya pada sang suami, tapi suara rintihan dari seberang telepon membuatnya mendadak gagu.Anggita bukan wanita bodoh, ia juga tak sepolos anak kecil yang tak bisa mengenali suara macam apa rintihan barusan. Bahkan suara rintihan itu semakin menyeramkan, membuat tubuh Anggita mendadak menggigil kedinginan. Ia tak tahan lagi mendengar suara rintihan wanita sialan yang entah siapa, ia pun memilih mematikan sambungan telepon.Emosi Anggita membuncah, tangannya menggenggam erat ponsel yang seakan ingin ia remuk sebagai pelampiasan kekesalannya pada sang suami. "Revan berengsek! Kamu benar-benar berengsek Revan!""Sialan!""Arrrrgh!!!"Dan tanpa bisa dikontrol, Anggita benar-benar menghancurkan ponselnya, membantingnya dengan keras sampai benar-benar rusak. Seperti hubungan pernikahannya yang sudah rusak atas pengkhianatan suaminya.Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu. Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya. Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi
Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su
Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja. Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?""Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja."Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan
Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu. Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat s
"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya. Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari