Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya. Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan. Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu. Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung,
Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu. Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya. Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi
Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su
Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja. Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?""Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja."Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan
Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu. Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat s
"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya. Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari
Revan sama sekali tidak terkejut saat mendapati foto-foto yang dilemparkan Anggita barusan adalah foto-fotonya bersama Ana. Revan mengambil salah satu foto, mengenali tempat di mana foto-foto itu diambil. Salah satunya foto yang diambil pagi ini di lobi apartemen Ana. Revan langsung menarik kesimpulan kalau istrinya sudah membayar orang untuk memata-matainya. "Kenapa? Kamu terkejut? Karena aku sudah tahu semua kelakuan busuk kalian berdua!" Anggita tersenyum sinis, mencemooh. Revan terlihat santai, kembali ke kursinya dan meletakkan foto yang diambilnya ke meja. Ia kembali membuka salah satu berkas yang bertumpuk di mejanya, mengecek isi laporan yang harus ia tanda tangani. Revan terlihat acuh tak acuh, seolah apa yang baru saja ia lihat bukan menjadi masalah besar baginya. Padahal dengan adanya bukti-bukti itu memperkuat tuduhan Anggita bahwa ia berselingkuh dengannya. Melihat Revan diam saja dan seolah mengabaikannya, tentu saja mengundang kemarahan Anggita makin menjadi-jadi. "K
"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya. Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari
Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu. Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat s
Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja. Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?""Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja."Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su
Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu. Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya. Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi
Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya. Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan. Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu. Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung,