"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya.
Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?" Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama." Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting! "Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja." Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes. "Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari mulut Revan seketika berhasil membungkam Ana. "Kamu pikir aku sopirmu!" Ucapan Revan terdengar ketus dan dingin, ditambah tatapan datar serta tatapan yang menusuk. Ana menelan ludah, tertunduk takut. "Bukan begitu," lirihnya, tak berani menatap Revan. Ia meremas-remas jemari tangannya, cemas. "Aku cuma nggak mau orang-orang kantor salah paham saat lihat kita satu mobil. Aku nggak mau citra kamu jadi buruk di kantor, apalagi kita sering dirumorkan nggak baik." "Apa kamu merasa terganggu dengan hal itu?" tanya Revan, masih dengan nada ketus dan auranya yang dingin mencekam. "Ngapain juga kamu pedulikan rumor nggak penting kayak gitu! Lagipula memangnya ada yang salah kalau kita satu mobil dan datang bersama? Kamu sekretaris aku, ke mana-mana kamu selalu bersamaku, lalu apa yang perlu kamu takutkan, Ana?" "Tapi—" Revan tak memberi kesempatan Ana untuk mendebat ucapannya. "Sudah! Aku nggak mau dengar alasan apa pun itu! Lebih baik kamu cek jadwalku hari ini!" perintah Revan, membuat Ana mau nggak mau menuruti kemauan atasannya itu. Ana membuka tabletnya, membacakan satu per satu agenda untuk Revan hari ini. Jadwal Revan hari ini begitu padat, bahkan ada dua meeting yang harus dihadiri olehnya dan juga janji temu dengan client penting. "Kamu sudah siapkan semua dokumen yang saya minta kemarin?" tanya Revan, ketika mobil yang dikendarainya tiba di lobi kantor. Ana mengangguk, menunjukkan beberapa proposal yang sudah ia kerjakan kemarin sebagai bahan materi yang perlu Revan kaji sebelum menghadiri meeting. "Taroh di meja saya nanti," ucap Revan, mendadak bersikap formal ketika keluar dari mobil disambut beberapa orang petugas keamanan yang kemudian mengambil alih kunci mobil yang Revan berikan. "Baik Pak." Ana pun dengan cepat mengimbangi langkah Revan sedikit berjarak di belakangnya. Mereka kembali pada realita di mana mereka adalah bos dan sekretaris, bukan suami istri sirih. Akting keduanya begitu epik, sampai tak ada yang mengendus hubungan terlarang itu. Meski beberapa rumor miring sering menerpa keduanya, tapi rumor-rumor itu dengan cepat lenyap tanpa bisa dibuktikan. Langkah Ana mendadak terhenti, saat Revan yang berjalan di depannya tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ana nyaris saja menabrak punggung Revan, beruntung refleksnya begitu sigap. Ana mengangkat pandangan, mulutnya sudah akan terbuka untuk menanyakan kenapa Revan berhenti mendadak. Namun, ketika mendengar suara Revan, ia langsung mengurungkan niatnya dan mengatupkan bibir. "Ana, bikinin saya kopi, bawa ke ruangan saya," ucap Revan, kemudian meninggalkannya yang masih berdiri mematung. Mata Ana berkedip cepat saat pandangannya bertemu dengan sorot mata yang mematikan tengah mengintainya dengan seribu belati yang akan siap merobeknya secara brutal. Tatapan penuh intimidasi yang dilayangkan oleh seorang wanita yang tengah duduk di kursinya. "Masuk!" suruh Revan pada wanita itu yang tak lain Anggita. Anggita memutar bola mata malas, mengabaikan perintah Revan. Alih-alih ikut masuk dengan suaminya, Anggita masih betah duduk di kursi kerja Ana. Memandangi sekretaris suaminya yang tengah mematung, tampak takut. Bahkan sekedar untuk memandangnya saja tak berani. "Pa-pagi Bu." Susah payah Ana memaksa mulutnya terbuka, menyapa istri atasannya. Anggita mengangguk cuek, tapi tak sedikitpun mengalihkan pandanganya dari Ana yang masih berdiri kaku di depan sana. "Kalian berangkat bareng?" "Ya?" Ana kaget mendapati pertanyaan semacam itu dari mulut Anggita. Ditatap dengan penuh selidik oleh wanita itu, Ana semakin gugup. "Eee ...." Ana bingung harus menjawab bagaimana dan hal itu terbaca jelas dari ekspresinya. Anggita langsung bisa menyimpulkan jawabannya, tanpa perlu menuntut jawaban dari Ana. "Jadi benar, suamiku menginap di apartemen kamu?" Anggita langsung to the point. Ana spontan menggeleng, panik. "Enggak, Bu." Ia memaksa otaknya berpikir keras mencari alasan sempurna untuk meyakinkan sanggahannya. "Eee kebetulan tadi nggak sengaja ketemu di jalan, Bu. Terus pak Revan kasih tumpangan ke saya." "Oh ya?" Senyum miring penuh ejekan yang Anggita lakukan jelas tanda bahwa ia menyangsikan jawaban Ana. "Wah, baik sekali suami saya sama kamu, sampai kasih tumpangan segala." Ana menunduk takut, kian keras meremas jemari tangannya melampiaskan rasa takut bercampur marah yang sengaja ia tahan. Ana sadar diri, sebenci apa pun ia sama wanita di depannya, ia tetap kalah dari segala aspek dengan wanita itu. Pantas saja Revan memilihnya sebagai istri sah dan hanya menjadikan dirinya sebagai istri sirih. Ana benci kenyataan itu! "Kamu pikir saya akan percaya dengan alasan klasik kamu itu, Ana?" Anggita beranjak dari kursi dan menghampiri Ana. Ana diam, kian menunduk menyembunyikan wajahnya serta menghindar dari tatapan menusuk Anggita yang seolah mengejarnya dan siap mencabik-cabiknya dengan brutal. "Saya tahu kok, kalau Revan semalam menginap di apartemen kamu, 'kan?" ucap Anggita, berdiri di depan Ana. Ana menatap ujung heels yang warna merah milik Anggita. Ia berusaha menyangkal tuduhan wanita di depannya. "Enggak Bu, pak Revan nggak nginap di apartemen saya." "Kamu pikir saya bodoh, Ana?" Anggita mencengkram kuat bahu Ana, membuat sang empunya meringis kesakitan. "Saya tahu apa yang terjadi antara kalian!" ucap Anggita di dekat telinga Ana, berhasil membuat Ana mengangkat pandanganya dengan tatapan terkejut. Anggita tersenyum mencemooh. "Kenapa? Kamu kaget? Kamu pikir saya nggak tahu kalau selama ini kalian sering ketemu di luar kantor?" Jantung Ana rasanya mau mati. Akhirnya, rahasia yang ia tutupi selama setahun ini terendus langsung oleh istri sah Revan. Ana tak bisa menyangkal, meski mulutnya berusaha mengelak dari tuduhan Anggita. Namun, wanita itu tak mempercayainya. "Enggak Bu, saya sama pak Revan nggak pernah bertemu di luar kantor, kecuali untuk urusan pekerjaan. Ibu jangan percaya sama rumor—" "Rumor?" Anggita menaikkan satu alisnya, menatap Ana dengan sorot mata penuh penghakiman. "Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, kalau suami saya mendatangi apartemen kamu. Lalu kamu bilang itu cuma rumor?" Anggita tertawa sarkas. "Sepertinya memang benar ya, kamu ada main sama suami saya, Ana?" Ana hendak menyangkal, tapi langsung ia urungkan saat pintu ruang kerja Revan kembali terbuka dan atasannya itu muncul menginterupsi keduanya. "Apa yang kamu lakukan, Anggita?" Suara Revan menarik atensi Anggita berpindah cepat padanya. Anggita tersenyum sinis, lalu merubah ekspresinya ketika menghadap Revan. "Apa?" sahutnya, lalu mengibaskan tangannya di bahu Ana. "Aku cuma sedang berbincang-bincang dengan sekretaris kamu. Kenapa? Nggak boleh?" Revan mendengus pelan, paham situasi yang terjadi. Diperjelas dengan ekspresi tegang yang begitu ketara di wajah Ana. Ia yakin kalau istrinya baru saja mengintimidasi Ana. "Masuk," suruhnya pada Anggita, "dan kamu Ana, cepat bawakan saya kopi." "Baik Pak." Ana mengambil kesempatan untuk kabur dari cengkraman Anggita. Sementara Anggita menatap kesal pada Revan yang sudah membuat mangsanya kabur. "Kenapa? Kamu takut aku akan menyakiti selingkuhan kamu?" ucap Anggita terang-terangan, mengekori Revan masuk ke ruangannya. "Apa maksudmu, Anggita?" Revan tak menyangka Anggita tahu soal hubungannya dengan Ana. Namun, ia bersikeras mengelak. "Jaga ucapan kamu, jangan asal menuduh! Kamu nggak punya bukti—" "Bukti?" Anggita langsung melempar beberapa foto ke meja kerja Revan. Di mana foto-foto itu adalah foto dirinya dan Ana di beberapa tempat ketika mereka diam-diam bertemu, termasuk foto kemarin dan tadi pagi saat Revan dan Ana keluar dari gedung apartemen Ana. "Itu bukti yang kamu mau! Bukti perselingkuhan kamu dan sekretaris kamu!!!"Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh Anna. Gairah yang bergejolak membuat tubuhnya serasa panas ketika hentakan demi hentakan keras melambungkannya ke angan, membawanya terbang menikmati setiap sentuhan pada tubuhnya. Anna memejamkan mata, menengadah ke langit-langit kamar saat hentakan kian keras menghujam dirinya. Cengkraman tangannya kian erat, kuku-kukunya menancap di bahu kokoh yang menjadi kesukaannya. Napasnya tak lagi terkendali, ia terus terengah, dengan tubuh yang bergetar saat mencapai pelepasan. Lega, ya Anna merasakan kelegaan saat sesuatu yang hangat mengalirinya. Anna membuka mata, ketika tubuhnya jatuh di atas dada bidang yang selalu ia kagumi. Tatapannya yang sendu, memandangi wajah tampan di bawahnya yang tampak begitu kelelahan. Hanya lewat binar matanya yang bercahaya, siapa pun bisa menebak betapa besar Anna mencintai sosok itu. Anna benar-benar mengagumi setiap pahatan sempurna dari wajah tampan itu. Mata beriris hitam pekat, alis tebal, hidung mancung,
Anna tahu caranya menjerat sang bos. Lihat saja bagaimana laki-laki itu begitu tak berdaya di bawah kendalinya. Dengan gerakan pinggul yang begitu lincah, Anna berhasil membuat Revan mengerang berkali-kali, kedua tangan lelaki itu meremas pinggang Anna sangat kuat dan Anna suka itu. Senyum Anna menggoda, binar matanya tak bisa berdusta jika ia sangat menikmati setiap detik yang telah dilalui bersama Revan. Pergulatan panas yang menguras tenaga dan membuatnya mandi keringat di malam hari begini. Meski tenaganya benar-benar terkuras, nyatanya Anna tak ingin berhenti, ia terus menunjukkan kelihaiannya, membiarkan pinggulnya terus menari mencengkram kuat milik bosnya. Revan semakin terlihat tak berdaya, menikmati setiap hentakan pinggul Anna yang begitu mematikan saraf kewarasannya. Ia terus memejamkan mata, setiap kali miliknya dicengkram kuat milik Anna yang sempit. Siapa kira jika wanita itu ternyata pandai memuaskannya, liar dan penuh gairah. Selama ini Revan yang selalu mendominasi
Seperti hari-hari biasanya, Anna bekerja dengan profesional. Meskipun ia memiliki hubungan istimewa dengan sang atasan, nyatanya saat di lingkungan kantor keduanya bersikap sewajarnya selayaknya atasan dan sekretaris. Anna mengurusi semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan atasannya, meng-handle semua jadwal dan pertemuan Revan dengan klien maupun relasi bisnisnya yang lain. Tak hanya itu, Anna bahkan menyiapkan segala sesuatunya dari hal-hal sepele seperti memastikan sepatu Revan mengkilap, pakaian yang dikenakan rapi, sampai membuatkan kopi dan mengingatkan jam makan siang. Secara Revan selalu mengabaikan jam makan siangnya saking sibuk dengan pekerjaan yang padat. "Anna, proposal yang saya minta sudah kamu siapkan?" Revan tengah fokus pada ipad-nya, mengecek beberapa pekerjaan lewat email, ketika Anna datang menghampiri meja kerjanya. Anna mengangguk, sekalipun tahu Revan tak melihat ke arahnya. "Sudah Pak, sudah saya taruh di meja tadi pagi. Ini." Anna menunjukkan propo
Jantung Anna berpacu cepat, tak peduli keringat dingin mengucur sepanjang dahi dan panas membara seakan membakarnya di ruang gerak yang begitu sempit. Anna memeluk erat lututnya, membungkam mulut dengan satu tangan dan berusaha menahan napas ketika mendengar suara ketukan high heels mendekat ke arahnya. Lebih tepatnya ke depan meja Revan, di mana saat ini ia bersembunyi di bawahnya. Nyaris saja. Seandainya Revan tidak cepat menyudahi pergulatan panasnya, bisa saja mereka berdua kepergok oleh istri sahnya. Anggita. Ya, suara ketukan high heels itu memang milik Anggita, wanita itu kini berdiri di depan meja Revan sambil melipat tangannya di depan dada. "Kamu sibuk?" Anggita lebih dulu berbicara, ketika kedatangannya diabaikan oleh Revan yang malah sibuk membolak-balik isi berkas yang sempat dibawakan oleh Anna tadi. "Hm." Revan menjawabnya dengan gumaman datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan. Anggita menghela napas, malas sebenarnya harus berbasa-basi dengan su
Makasih buat makanannya. Kamu juga jangan lupa makan, dari siang kamu belum sempat makan. Kalau butuh sesuatu, kabarin aja. Revan hanya membaca sekilas pesan masuk dari Ana. Ia tak berniat membalasnya, terlebih ketika Anggita yang mulai menunjukkan keingintahuannya akan pesan barusan. "Dari siapa?" tanya Anggita, yang duduk di sebelahnya. Keduanya tengah makan malam bersama kedua orangtua Anggita. "Ana," jawab Revan, berkata jujur. Ia tampak santai, tak peduli jika istrinya bisa saja curiga akan hubungannya dengan Ana. Anggita mengernyit. "Ana? Sekretaris kamu?""Memangnya ada Ana yang lain," jawab Revan, tetap terlihat tenang. Padahal raut wajah Anggita tampak tidak bersahabat. "Ngapain?" Anggita terus mencecar Revan. "Ini kan udah di luar jam kerja."Revan menghela napas. "Papa lihat," Revan menarik atensi pria paruh baya di hadapannya yang tak lain papa Anggita, yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya, "Anggita terlalu cemburuan, sampai-sampai sama sekretaris Revan
Ana menghela napas panjang, lega setelah memastikan suhu badan Revan sudah berangsur turun. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Revan masih berstamina melakukan olahraga panas, ketika badannya sedang demam. Sebenarnya Ana sudah menolak permintaan Revan, meskipun ia sama menginginkan pergulatan panas itu. Namun, Ana tidak mau egois, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Revan ketimbang hasratnya yang menggebu-gebu. Tapi justru Revan yang tidak bisa menahan diri dan memaksakan diri, sampai akhirnya laki-laki itu benar-benar tumbang setelahnya. "Jangan pergi." Suara lirih, serak, menginterupsi Ana yang sudah akan beranjak dari tempat tidur. Ana menoleh, mendapati tangan Revan memegangi pergelangan tangannya. "Aku mau bikinin kamu bubur," ucap Ana, sebelah tangannya membelai lembut kepala Revan. Revan membuka mata, menatap Ana cukup lama sampai membuat sang empunya salah tingkah. Ana tidak terbiasa ditatap seperti itu oleh Revan, kecuali ketika mereka bercinta. Tentu saja Ana gugup, saat s