Beranda / CEO / Suami Rahasia / Bukti Perselingkuhan

Share

Bukti Perselingkuhan

"Revan, aku sebaiknya turun di sini," ucap Ana ketika mobil yang dikendarai Revan sedikit lagi sampai di kantornya.

Revan menaikkan satu alisnya tanpa mengalihkan fokusnya. "Kenapa?"

Ana tampak mengamati sekeliling, memastikan tidak ada orang kantor di sekitaran situ. "Aku nggak mau orang-orang kantor curiga kalau lihat kita datang bersama."

Sebenarnya alasan Ana cukup logis, mengingat selama ini mereka sering diterpa gosip miring di kantor. Meskipun Revan sendiri tampak acuh tak acuh akan gosip yang berhembus antara ia dan Ana, selagi tidak menggangu pekerjaannya Revan akan mengabaikan hal-hal seperti itu. Menganggapnya tidak penting!

"Di situ," tunjuk Ana, menunjuk halte busway yang tak jauh dari kantornya. "Turunin aku di situ aja."

Revan tak merespon, juga tidak melakukan seperti yang Ana minta. Ia terus melajukan mobilnya melewati halte bus tersebut, membuat Ana sontak menoleh dan melayangkan tatapan penuh protes.

"Revan ...." Namun, satu kalimat yang terlontar dari mulut Revan seketika berhasil membungkam Ana.

"Kamu pikir aku sopirmu!" Ucapan Revan terdengar ketus dan dingin, ditambah tatapan datar serta tatapan yang menusuk.

Ana menelan ludah, tertunduk takut. "Bukan begitu," lirihnya, tak berani menatap Revan. Ia meremas-remas jemari tangannya, cemas. "Aku cuma nggak mau orang-orang kantor salah paham saat lihat kita satu mobil. Aku nggak mau citra kamu jadi buruk di kantor, apalagi kita sering dirumorkan nggak baik."

"Apa kamu merasa terganggu dengan hal itu?" tanya Revan, masih dengan nada ketus dan auranya yang dingin mencekam. "Ngapain juga kamu pedulikan rumor nggak penting kayak gitu! Lagipula memangnya ada yang salah kalau kita satu mobil dan datang bersama? Kamu sekretaris aku, ke mana-mana kamu selalu bersamaku, lalu apa yang perlu kamu takutkan, Ana?"

"Tapi—" Revan tak memberi kesempatan Ana untuk mendebat ucapannya.

"Sudah! Aku nggak mau dengar alasan apa pun itu! Lebih baik kamu cek jadwalku hari ini!" perintah Revan, membuat Ana mau nggak mau menuruti kemauan atasannya itu.

Ana membuka tabletnya, membacakan satu per satu agenda untuk Revan hari ini. Jadwal Revan hari ini begitu padat, bahkan ada dua meeting yang harus dihadiri olehnya dan juga janji temu dengan client penting.

"Kamu sudah siapkan semua dokumen yang saya minta kemarin?" tanya Revan, ketika mobil yang dikendarainya tiba di lobi kantor.

Ana mengangguk, menunjukkan beberapa proposal yang sudah ia kerjakan kemarin sebagai bahan materi yang perlu Revan kaji sebelum menghadiri meeting.

"Taroh di meja saya nanti," ucap Revan, mendadak bersikap formal ketika keluar dari mobil disambut beberapa orang petugas keamanan yang kemudian mengambil alih kunci mobil yang Revan berikan.

"Baik Pak." Ana pun dengan cepat mengimbangi langkah Revan sedikit berjarak di belakangnya.

Mereka kembali pada realita di mana mereka adalah bos dan sekretaris, bukan suami istri sirih. Akting keduanya begitu epik, sampai tak ada yang mengendus hubungan terlarang itu. Meski beberapa rumor miring sering menerpa keduanya, tapi rumor-rumor itu dengan cepat lenyap tanpa bisa dibuktikan.

Langkah Ana mendadak terhenti, saat Revan yang berjalan di depannya tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ana nyaris saja menabrak punggung Revan, beruntung refleksnya begitu sigap. Ana mengangkat pandangan, mulutnya sudah akan terbuka untuk menanyakan kenapa Revan berhenti mendadak. Namun, ketika mendengar suara Revan, ia langsung mengurungkan niatnya dan mengatupkan bibir.

"Ana, bikinin saya kopi, bawa ke ruangan saya," ucap Revan, kemudian meninggalkannya yang masih berdiri mematung.

Mata Ana berkedip cepat saat pandangannya bertemu dengan sorot mata yang mematikan tengah mengintainya dengan seribu belati yang akan siap merobeknya secara brutal. Tatapan penuh intimidasi yang dilayangkan oleh seorang wanita yang tengah duduk di kursinya.

"Masuk!" suruh Revan pada wanita itu yang tak lain Anggita.

Anggita memutar bola mata malas, mengabaikan perintah Revan. Alih-alih ikut masuk dengan suaminya, Anggita masih betah duduk di kursi kerja Ana. Memandangi sekretaris suaminya yang tengah mematung, tampak takut. Bahkan sekedar untuk memandangnya saja tak berani.

"Pa-pagi Bu." Susah payah Ana memaksa mulutnya terbuka, menyapa istri atasannya.

Anggita mengangguk cuek, tapi tak sedikitpun mengalihkan pandanganya dari Ana yang masih berdiri kaku di depan sana. "Kalian berangkat bareng?"

"Ya?" Ana kaget mendapati pertanyaan semacam itu dari mulut Anggita. Ditatap dengan penuh selidik oleh wanita itu, Ana semakin gugup. "Eee ...."

Ana bingung harus menjawab bagaimana dan hal itu terbaca jelas dari ekspresinya. Anggita langsung bisa menyimpulkan jawabannya, tanpa perlu menuntut jawaban dari Ana.

"Jadi benar, suamiku menginap di apartemen kamu?" Anggita langsung to the point.

Ana spontan menggeleng, panik. "Enggak, Bu." Ia memaksa otaknya berpikir keras mencari alasan sempurna untuk meyakinkan sanggahannya. "Eee kebetulan tadi nggak sengaja ketemu di jalan, Bu. Terus pak Revan kasih tumpangan ke saya."

"Oh ya?" Senyum miring penuh ejekan yang Anggita lakukan jelas tanda bahwa ia menyangsikan jawaban Ana. "Wah, baik sekali suami saya sama kamu, sampai kasih tumpangan segala."

Ana menunduk takut, kian keras meremas jemari tangannya melampiaskan rasa takut bercampur marah yang sengaja ia tahan. Ana sadar diri, sebenci apa pun ia sama wanita di depannya, ia tetap kalah dari segala aspek dengan wanita itu. Pantas saja Revan memilihnya sebagai istri sah dan hanya menjadikan dirinya sebagai istri sirih. Ana benci kenyataan itu!

"Kamu pikir saya akan percaya dengan alasan klasik kamu itu, Ana?" Anggita beranjak dari kursi dan menghampiri Ana.

Ana diam, kian menunduk menyembunyikan wajahnya serta menghindar dari tatapan menusuk Anggita yang seolah mengejarnya dan siap mencabik-cabiknya dengan brutal.

"Saya tahu kok, kalau Revan semalam menginap di apartemen kamu, 'kan?" ucap Anggita, berdiri di depan Ana.

Ana menatap ujung heels yang warna merah milik Anggita. Ia berusaha menyangkal tuduhan wanita di depannya. "Enggak Bu, pak Revan nggak nginap di apartemen saya."

"Kamu pikir saya bodoh, Ana?" Anggita mencengkram kuat bahu Ana, membuat sang empunya meringis kesakitan. "Saya tahu apa yang terjadi antara kalian!" ucap Anggita di dekat telinga Ana, berhasil membuat Ana mengangkat pandanganya dengan tatapan terkejut. Anggita tersenyum mencemooh. "Kenapa? Kamu kaget? Kamu pikir saya nggak tahu kalau selama ini kalian sering ketemu di luar kantor?"

Jantung Ana rasanya mau mati. Akhirnya, rahasia yang ia tutupi selama setahun ini terendus langsung oleh istri sah Revan. Ana tak bisa menyangkal, meski mulutnya berusaha mengelak dari tuduhan Anggita. Namun, wanita itu tak mempercayainya. "Enggak Bu, saya sama pak Revan nggak pernah bertemu di luar kantor, kecuali untuk urusan pekerjaan. Ibu jangan percaya sama rumor—"

"Rumor?" Anggita menaikkan satu alisnya, menatap Ana dengan sorot mata penuh penghakiman. "Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, kalau suami saya mendatangi apartemen kamu. Lalu kamu bilang itu cuma rumor?" Anggita tertawa sarkas. "Sepertinya memang benar ya, kamu ada main sama suami saya, Ana?"

Ana hendak menyangkal, tapi langsung ia urungkan saat pintu ruang kerja Revan kembali terbuka dan atasannya itu muncul menginterupsi keduanya.

"Apa yang kamu lakukan, Anggita?" Suara Revan menarik atensi Anggita berpindah cepat padanya.

Anggita tersenyum sinis, lalu merubah ekspresinya ketika menghadap Revan. "Apa?" sahutnya, lalu mengibaskan tangannya di bahu Ana. "Aku cuma sedang berbincang-bincang dengan sekretaris kamu. Kenapa? Nggak boleh?"

Revan mendengus pelan, paham situasi yang terjadi. Diperjelas dengan ekspresi tegang yang begitu ketara di wajah Ana. Ia yakin kalau istrinya baru saja mengintimidasi Ana. "Masuk," suruhnya pada Anggita, "dan kamu Ana, cepat bawakan saya kopi."

"Baik Pak." Ana mengambil kesempatan untuk kabur dari cengkraman Anggita.

Sementara Anggita menatap kesal pada Revan yang sudah membuat mangsanya kabur.

"Kenapa? Kamu takut aku akan menyakiti selingkuhan kamu?" ucap Anggita terang-terangan, mengekori Revan masuk ke ruangannya.

"Apa maksudmu, Anggita?" Revan tak menyangka Anggita tahu soal hubungannya dengan Ana. Namun, ia bersikeras mengelak. "Jaga ucapan kamu, jangan asal menuduh! Kamu nggak punya bukti—"

"Bukti?" Anggita langsung melempar beberapa foto ke meja kerja Revan. Di mana foto-foto itu adalah foto dirinya dan Ana di beberapa tempat ketika mereka diam-diam bertemu, termasuk foto kemarin dan tadi pagi saat Revan dan Ana keluar dari gedung apartemen Ana. "Itu bukti yang kamu mau! Bukti perselingkuhan kamu dan sekretaris kamu!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status