Share

2. Pria Asing

***

Di dalam mobilnya, Anastasia Noire menggenggam erat setir, mencoba fokus pada jalan di depan, tetapi pikirannya terus-menerus kembali ke kejadian sebelumnya. Malam ini banyak hal yang tak terduga, semuanya adalah kemalangan baginya.

Pria terluka yang ia temukan tadi kini tergeletak di jok belakang mobilnya, tak sadarkan diri. Anastasia tidak tahu siapa pria itu atau mengapa dia diserang, tetapi ia tahu bahwa dirinya sekarang ikut terseret dalam sesuatu yang besar. Ia merasa matanya harus selalu waspada—dan ternyata, kekhawatirannya terbukti benar.

Saat melihat ke kaca spion, jantung Anastasia berdegup kencang. Di belakangnya, sebuah mobil hitam besar muncul, melaju dengan kecepatan tinggi. Wajahnya memucat saat menyadari bahwa mobil itu tak lain adalah mobil yang tadi dipakai oleh para pria berbadan besar yang dilihatnya.

"Sial," gumam Anastasia sambil mengetuk-ngetuk setir dengan cemas. "Mereka mengejarku."

Mobil hitam itu semakin mendekat, nyaris bersanding dengan mobilnya. Tanpa pikir panjang, Anastasia menekan pedal gas lebih dalam, berharap bisa memperlebar jarak antara dirinya dengan pengejarnya. Namun, mobil besar itu tidak menyerah, malah semakin agresif. Mereka memepet mobil Anastasia, membuatnya kehilangan kendali sejenak.

"Kalian tidak serius, kan?" gumam Anastasia, merasa panik namun mencoba tetap tenang. Tapi, tidak ada waktu untuk panik. Mobil hitam itu menabrak bagian samping mobilnya dengan keras. Anastasia menggertakkan giginya, merasakan getaran kuat yang menjalar dari benturan itu. Mobilnya sedikit oleng, tetapi ia berhasil menguasai setir lagi.

"Sial!" umpat Anastasia, kali ini suaranya lebih keras. "Kalian merusak mobil hasil kerja kerasku! Jangan main-main denganku!"

Amarah mulai menyala di dalam dirinya, menggantikan ketakutan yang tadi sempat menghantuinya. Anastasia bukan tipe wanita yang mudah ditundukkan, dan mereka sudah menekan tombol yang salah. Dengan kecepatan tinggi, ia memutar kemudi, mengambil jalur lain untuk mencoba mengacaukan mobil pengejarnya.

Mobil hitam itu tampaknya tidak menyangka Anastasia akan melakukan manuver secepat itu. Mereka sedikit terlambat untuk bereaksi, memberi Anastasia cukup waktu untuk menambah kecepatan. Mobilnya melesat di antara kendaraan lain yang lebih lambat, seperti peluru yang meluncur tanpa ragu.

"Ayo, kita lihat seberapa bagus kalian mengemudi!" teriak Anastasia dengan penuh determinasi. Ia membuat belokan tajam di persimpangan, nyaris membuat mobilnya berputar. Tapi ia dengan cekatan mengendalikan mobilnya, memanfaatkan jalanan sempit yang penuh belokan untuk memperlambat pengejarnya.

Mobil hitam itu terus mengejarnya, tapi mereka kesulitan menyesuaikan dengan kecepatan Anastasia. Sesekali, mobil mereka mendekat, tapi Anastasia selalu berhasil menarik diri dengan gerakan yang tak terduga. Keahlian mengemudinya tampak tak tertandingi, seperti ia telah menjadi satu dengan mesin yang dikendarainya.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, Anastasia akhirnya melihat gedung apartemennya muncul di kejauhan. Ia menarik napas lega, namun tetap waspada. Mobil pengejarnya masih berada di belakang, meski kini jaraknya sedikit lebih jauh.

"Sedikit lagi," bisik Anastasia pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk meloloskan diri.

Dengan satu tarikan napas panjang, ia menambah kecepatan sekali lagi, kali ini melebihi batas yang biasanya ia anggap aman. Mobil hitam itu berusaha mengejar, tapi Anastasia membuat satu gerakan terakhir—belokan tajam ke kanan, hampir tanpa mengurangi kecepatan.

Pengejarnya tak sempat bereaksi. Mobil hitam itu terlalu cepat, mereka tidak bisa mengikuti tikungan tajam Anastasia dan kehilangan kendali, menabrak pembatas jalan dengan keras. Suara benturan dan suara kaca pecah terdengar di belakangnya, tapi Anastasia tidak berhenti. Ia terus melaju, tidak memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk mendekat.

Beberapa saat kemudian, ia akhirnya sampai di gedung apartemennya. Napasnya masih tersengal saat ia menghentikan mobilnya di tempat parkir. Dengan cepat, ia mematikan mesin dan langsung menoleh ke jok belakang. Pria asing yang terluka itu masih tak sadarkan diri, tetapi napasnya masih terdengar, meski lemah.

Anastasia menghela napas lega. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Ia harus membawa pria ini ke tempat yang aman.

"Demi Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya sambil membuka pintu mobil dengan cepat. Tanpa banyak berpikir lagi, ia bergerak ke bagian belakang, membuka pintu dan dengan cekatan mengangkat tubuh pria itu. Meski berat, Anastasia tidak ragu sedikit pun. Ia menggunakan seluruh tenaganya untuk menggendong pria itu, memastikan kepalanya tidak terantuk sesuatu.

Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju pintu apartemennya. Setiap detik terasa berharga, dan Anastasia tahu bahwa ia tidak bisa membuang waktu lebih lama.

Ketika akhirnya berhasil membuka pintu, ia segera masuk dan meletakkan pria itu di atas sofa yang ada di ruang tamu. Anastasia menghela napas panjang, merasakan lelah yang luar biasa setelah semua yang terjadi. Namun, ia tidak membiarkan rasa lelah itu menguasai dirinya. Ada hal yang lebih penting sekarang—pria ini.

"Aku tidak tahu siapa kamu, atau apa yang kamu lakukan hingga membuatmu terluka seperti ini," kata Anastasia sambil menatap pria itu. "Tapi satu hal yang pasti, kita berdua terlibat dalam sesuatu yang besar. Aku membantumu karena aku juga sedang terluka dan sakit hati malam ini dan aku tidak mau kamu mendapatkan kemalangan, jika kamu kubiarkan tergeletak di jalanan tadi.”

Ia menatap pria itu sekali lagi, memastikan dia masih bernapas. Setelah itu, Anastasia beranjak ke kamar mandi, mencari kotak P3K untuk mengobati luka-lukanya. Meskipun ia bukan seorang dokter, Anastasia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pria ini.

Ketika akhirnya menemukan apa yang dibutuhkannya, Anastasia kembali ke ruang tamu. Ia duduk di samping pria itu dan mulai membersihkan luka-lukanya dengan hati-hati. Meskipun rasa takut dan cemas masih menghantuinya, Anastasia bertekad untuk melindungi pria ini—siapa pun dia—dan mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Semoga kamu cepat sadar, aku pergi tidur,” ucap Anastasia sambil beranjak pergi.

***

Maximilian membuka matanya perlahan. Rasa nyeri yang tajam menghantam kepalanya, membuat pandangannya sedikit kabur. Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan memancar, memberi sedikit kehangatan di sekelilingnya. Butuh beberapa saat bagi matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya, dan ketika akhirnya bisa melihat lebih jelas, ia merasakan jantungnya berdetak kencang.

Ruangan itu asing baginya. Dindingnya berwarna pastel, dengan dekorasi layaknya seorang wanita  elegan. Sejauh yang bisa ia lihat, ruangan itu adalah sebuah apartemen mewah. Ia berbaring di atas sofa yang empuk, dengan selimut tipis menutupi tubuhnya.

Maximilian berusaha mengumpulkan pikirannya. Ada sesuatu yang tidak beres. Kepalanya berdenyut, membuat setiap usaha untuk mengingat kembali apa yang terjadi menjadi perjuangan tersendiri. Ia menggerakkan tubuhnya sedikit, mencoba duduk, namun langsung menahan napas saat rasa sakit menghantam tulang rusuknya.

“Ugh,” erangnya pelan. Rasa sakit itu bukan hanya dari tulang rusuk, tapi hampir di seluruh tubuhnya. Pukulan, tendangan, dan entah apa lagi yang menimpanya sebelum ini. Memori tentang kekerasan itu datang perlahan, seperti potongan-potongan gambar yang samar. Ia mengingat wajah-wajah para penculik itu, suaranya yang mengancam, dan bagaimana mereka membawanya ke suatu tempat yang gelap dan bau.

Maximilian menutup matanya sejenak, mencoba mengingat lebih jelas. Mereka menangkapnya—itu jelas. Tapi bagaimana ia bisa sampai di tempat ini? Ia ingat saat para penculik itu lengah, dan ia memutuskan untuk mengambil kesempatan yang ada. Ia kabur, meski tubuhnya penuh luka, meski kesadaran hampir hilang. Langkahnya terseok-seok, tetapi adrenalin yang menderu dalam tubuhnya memberinya kekuatan untuk terus bergerak.

Lalu, ada seorang wanita. Samar-samar, ia bisa mengingatnya. Wanita itu datang entah dari mana, menolongnya saat ia hampir jatuh. Wajahnya sulit diingat dalam keadaan setengah sadar seperti itu, tapi ia ingat nada suaranya—lembut, penuh kekhawatiran. Mungkin, wanita itulah yang membawanya ke tempat ini.

Maximilian membuka matanya lagi, kali ini dengan lebih tenang. Ia memandang ke sekeliling ruangan, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Ada meja kecil di samping sofa, dengan segelas air di atasnya. Sebuah mantel tergantung di balik pintu. Di atas meja lain di sudut ruangan, ada beberapa buku dan sebuah ponsel.

"Di mana aku?" gumamnya pelan, suara serak akibat rasa sakit yang masih terasa di tenggorokannya. “Aku harus segera menghubungi Bryan,” gumamnya.

Prang!

Segelas air jatuh saat tak sengaja dan beberapa detik kemudian, ia mendengar langkah kaki yang ringan mendekat. Pintu terbuka sedikit lebih lebar, dan seorang wanita muncul dari baliknya. Wajahnya tampak terkejut, namun dengan cepat berubah menjadi ekspresi khawatir. “Kamu sudah sadar?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status