***
“Sayang, kamu sudah melihat konferensi pers Anastasia?” tanya Elora.
Leon menggelengkan kepalanya, “Aku belum sempat karena kemarin seharian ada syuting, tapi semua kru maupun staff membicarakannya dan mengatakan kalau Anastasia melakukannya seorang diri, tanpa suaminya”
Elora tertawa pelan, dan hatinya merasa puas. “Dan kamu tahu, Sayang. Kalau para wartawan tidak ada yang percaya padanya dan menganggap konferensi pers yang dilakukannya hanya upaya dia menarik simpati publik, tapi nyatanya semua orang menganggapnya sebagai wanita yang suka playing victim dan karier-nya tidak bisa diselamatkan.”
“Dia memang pantas mendapatkannya, karma buruk sudah berlaku untuknya,” balas Leon.
Elora tertawa dan ia memeluk Leon, “Akhirnya rencana lima tahun lalu bisa terwujud. Kita bisa mencapai puncak karier kita. Semua orang mendukung kita!”
“Iya, aku juga tidak menyangka kalau saat ini popularitasku sangat naik dan bayarannya pun naik berkali-kali lipat. Kalau dulu aku tidak mengikuti saranmu, mungkin aku hanya seorang aktor figuran . Kamu memang cerdas, Elora sayang,” ucap Leon dengan bangga.
“Karena Anastasia tak pantas mendapatkan semuanya itu, mimpinya itu adalah milikku dan saat ini dia sudah jatuh dan hancur, tempatnya di industri hiburan sudah tidak ada, dia akan terlupakan dan dianggap sampah,” kata Elora dengan senyum yang penuh kepuasan.
“Tapi, suaminya itu. Apakah kamu sudah menyelidiki identitasnya?” tanya Leon.
“Iya, kamu tenang saja. Aku sudah menyelidikinya. Namanya Max Stone, dan pria itu hanya pria miskin yang sering bermasalah dengan para preman. Kita tidak perlu risau,” balas Elora.
“Apakah kamu yakin?”
Elora menganggukkan kepalanya, “aku yakin, sayang. Pria itu memang pantas dengan Anastasia. Keduanya sama-sama manusia sampah.”
“Lalu, bagaimana rencanamu selanjutnya?”
“Aku akan meliris album pertamaku dan aku menulis semua lagu ini. Aku tidak sabar membuat gebrakan baru, aku yakin lagu-lagu dan albumku akan laris manis,” balas Elora dengan antusias.
“Aku percaya padamu, sayang. Aku pasti akan mendukungmu,” ucap Leon, ia mengecup bibir Elora dengan senyum.
Elora tersenyum penuh arti dan ada pesan masuk di ponselnya dan itu dari Anya Calisto, sahabat baik Anastasia yang diam-diam menusuk di belakang Anastasia.
***
Anastasia berjalan dengan cepat menyusuri lorong-lorong gedung rekaman tempat ia dulu menghabiskan begitu banyak waktu. Jantungnya berdetak kencang, dipenuhi kecemasan yang membuncah. Ponselnya terjepit erat di tangannya, menunjukkan layar kosong di mana file-file albumnya yang berharga seharusnya ada. Semua file yang telah ia ciptakan, yang berisi lagu-lagu dari hatinya yang terdalam, hilang begitu saja. Rasa takut dan marah bergelora dalam dirinya, memicu langkah kakinya yang semakin cepat menuju kantor Rafael, mantan produsernya.
Sesampainya di depan pintu, ia mengetuknya dengan keras, tak mampu menahan kekalutan yang sudah mendidih dalam dadanya. Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan masuk, mendapati Rafael duduk di belakang meja kerjanya, wajahnya tenang seolah tidak ada yang terjadi.
"Rafael!" seru Anastasia, suaranya pecah antara marah dan putus asa. "Semua file albumku hilang! Apa yang terjadi? Kau pasti tahu sesuatu tentang ini!"
Rafael mengangkat wajahnya dengan ekspresi dingin. Matanya menatap Anastasia tanpa emosi, seolah ia hanya gangguan kecil di tengah rutinitasnya. "Oh, Anastasia," jawabnya datar, "File-file itu sudah tidak ada lagi. Aku memastikan bahwa semuanya sudah dihapus."
Mata Anastasia melebar, ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Kau menghapusnya? Rafael, itu lagu-laguku! Karyaku! Kau tidak punya hak untuk melakukannya!"
Rafael hanya mengangkat bahu, seolah masalah yang dihadapi Anastasia adalah hal sepele. "Lagu-lagu itu mungkin kau ciptakan, tapi mereka ada di bawah labelku. Dan sejak kau keluar dari label ini, file-file itu tidak lagi menjadi milikmu. Itu adalah bagian dari kesepakatan."
Anastasia terdiam sejenak, merasakan gelombang rasa sakit yang luar biasa menghantam dirinya. Lagu-lagu itu bukan sekadar karya bagi Anastasia, tapi bagian dari jiwanya. Mereka adalah refleksi dari setiap emosi yang pernah ia alami, setiap kenangan dan pengalaman yang pernah ia lalui. Dan sekarang, semua itu hilang begitu saja.
"Rafael," Anastasia mencoba mengendalikan suaranya, meski nadanya bergetar. "Kita pernah bekerja bersama. Kau tahu betapa pentingnya lagu-lagu itu bagiku. Tidak bisakah kau menunjukkan sedikit empati?"
Namun, sebelum Rafael sempat menjawab, pintu kantornya terbuka, dan Elora masuk dengan langkah anggun. Wajahnya dihiasi senyum sinis yang membuat hati Anastasia semakin terjepit. Elora, kakak tiri yang selalu berada di bayang-bayang kariernya, kini berdiri di hadapannya dengan rasa kemenangan yang tidak bisa disembunyikan.
"Oh, lihat siapa yang ada di sini," kata Elora dengan nada mengejek. "Anastasia Noire, mantan bintang yang terpuruk. Apa yang kau lakukan di sini? Mengemis belas kasihan?"
Anastasia merasakan darahnya mendidih, tapi ia berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku tidak mengemis belas kasihan. Aku hanya ingin apa yang menjadi hakku."
Elora terkekeh, melirik Rafael sebelum kembali menatap Anastasia. "Sayang sekali, tapi sepertinya kau sudah kehilangan semua itu. Kau tidak tahu malu datang ke sini, mencoba mendapatkan kembali sesuatu yang bukan lagi milikmu."
Rafael yang sebelumnya tampak dingin, tiba-tiba bersikap lebih hangat kepada Elora. Senyum kecil terukir di wajahnya saat ia berkata, "Elora, kau benar. Anastasia seharusnya tahu kapan harus mundur. Lagu-lagu itu, seperti yang sudah kubilang, adalah bagian dari masa lalu."
Anastasia tidak bisa percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Rafael, orang yang dulu ia anggap sebagai teman dan rekan kerja, sekarang berpihak pada Elora, tanpa sedikit pun memperhatikan bagaimana perasaannya. Luka di hatinya semakin dalam ketika melihat bagaimana Rafael dan Elora saling memandang dengan penuh kesepakatan, sementara ia berdiri sendirian, merasa terasing.
"Rafael," suara Anastasia semakin rendah, hampir seperti bisikan. "Ini tidak adil. Kau tahu betapa kerasnya aku bekerja untuk menciptakan lagu-lagu itu."
Tapi Rafael menggelengkan kepala, tanpa menunjukkan belas kasihan sedikit pun. "Adil atau tidak, Anastasia, itu bukan urusanku lagi. Kau sudah keluar dari sini, dan kau sebaiknya tidak kembali. Ini bukan tempatmu lagi."
Elora melangkah mendekat, ekspresi di wajahnya menunjukkan betapa puasnya ia dengan situasi ini. "Dengar, Anastasia," ucapnya dengan nada merendahkan. "Kau bukan siapa-siapa lagi. Kau hanya seorang wanita yang mencoba mempertahankan kejayaan yang sudah memudar. Jangan buang waktumu lagi di sini."
Anastasia menatap Elora dengan rasa sakit yang dalam. Setiap kata yang keluar dari mulut Elora adalah seperti pisau yang menusuk hatinya. Namun, ia menolak untuk menunjukkan kelemahan di depan wanita yang selama ini ingin menjatuhkannya.
"Aku tidak akan membiarkan kalian menghancurkanku," ujar Anastasia, suaranya tegas meski hatinya bergetar. "Aku akan mendapatkan kembali apa yang menjadi milikku, dengan atau tanpa bantuan siapapun."
Rafael mendengus, lalu menatap Anastasia dengan pandangan dingin. "Kau sudah cukup bicara, Anastasia. Sekarang, pergi. Aku tidak ingin melihatmu lagi di sini."
Anastasia merasakan tatapan tajam Rafael yang penuh kebencian. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain meninggalkan tempat itu. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari kantor Rafael. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia meninggalkan bagian dari dirinya di sana.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya mengalir deras di pipinya. Rasa sakit, marah, dan kekecewaan bercampur menjadi satu, membanjiri hatinya. Namun, di balik semua itu, ada sebuah api kecil yang mulai menyala—api tekad yang tidak akan padam. Anastasia tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi ia bertekad untuk membangun masa depan yang lebih baik, meskipun ia harus melakukannya sendiri. Anastasia tahu kalau ia tidak akan pernah hancur!
Anastasia terkejut saat melihat Leon, keduanya saling menatap satu sama lainnya sejenak. Ia menghela napas pendek, ia tak peduli dengan pria bajingan itu. Saat Anastasia ingin melewatinya, lengannya ditahan oleh Leon.
“Lepaskan!”
***
***“Lepaskan!”Leon hanya tersenyum penuh kemenangan, menatap Anatasia dari bawah ke atas.“Leon,” ucap Anastasia dengan dingin, menatap pria itu tanpa menunjukkan sedikit pun emosi. “Lepaskan tanganku.”Namun, Leon tidak segera menuruti perintahnya. Sebaliknya, ia justru mempererat genggamannya, seolah menikmati perasaan menguasai Anastasia, meski hanya sebentar. Tatapannya meluncur lagi dari wajah Anastasia ke seluruh tubuhnya, dan ia menelan ludah, seolah sedang menahan diri.“Anastasia,” katanya pelan, tapi suaranya sarat dengan nada mengejek. “Aku tidak bisa tidak memperhatikan betapa cantiknya kau hari ini. Kau memang selalu mempesona.”Anastasia hanya menatapnya dengan tatapan dingin yang menusuk, tanpa sedikit pun tersenyum. “Lepaskan tanganku, Leon,” ulangnya dengan nada lebih tegas.Leon terdiam sejenak, lalu tertawa kecil sebelum mendekatkan wajahnya ke telinga Anastasia, membuat wanita itu merasakan napas hangatnya di kulitnya. “Aku bisa menyelamatkan kariermu, Anastasia.
***“Max, kamu sudah makan?” tanya Anastasia, ia tersenyum hambar. Masalah yang ia hadapi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi, apalagi semua lagu yang ia ciptakan dari hati mendadak hilang. Hati siapa yang tidak patah?“Aku sudah makan tadi saat bersama kenalanku,” balas Maximilan. “Apakah kamu sudah makan?”“Hmm... bahkan aku melewati sarapan pagiku. Hari ini banyak hal yang aku selesaikan,” balas Anastasia. Ia langsung berbaring di atas sofa dan tak lama ia pun memejamkan matanya.Maximilian tertegun, ia melihat Anastasia dan tersenyum menatap wanita itu sembarangan tidur saja.“Apakah kamu selalu begini? Bahkan kamu terlalu percaya pada orang sampai semuanya begitu mudah mengkhianatimu, Anastasia,” gumam Maximilian.Maximilian duduk di kursi yang berada di sudut ruangan, memandang Anastasia yang tertidur lelap di sofa. Wajahnya yang biasanya penuh dengan semangat dan energi kini
“Anastasia...,” Maximilian berbisik.Anastasia terdiam, ia langsung tersenyum dengan kikuk, “A-aku mau tidur ke kamarku. Aku masih ngantuk, semalam malam,” ucapnya sambil berlari menuju ke kamarnya.Maximilian tersenyum, “Jika sedang malu, wajahnya seperti tomat,” gumamnya.Dan Anastasia melangkah ke dalam kamar dengan langkah yang terasa ringan, tetapi pikirannya justru dipenuhi oleh bayangan pria itu. Kejadian tadi berputar di kepalanya, terutama tatapan tajam Max yang begitu mendalam dan bagaimana sentuhan lembutnya ketika mencium jarinya yang terluka. Pikirannya terus berkecamuk, tidak bisa mengabaikan perasaan yang tiba-tiba muncul entah dari mana.Setelah menutup pintu kamar, Anastasia bersandar pada pintu dengan mata terpejam. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang tersebar. Namun, bayangan Max terus menghantuinya, menolak untuk pergi. “Dia sangat tampan,” gumamnya pelan, seolah-olah kata-kata itu terlepas begitu saja tanpa bisa ia kendalikan.Anastasia
***“Kenapa mama sampai tahu kalau aku sudah kembali?” tanya Maximilian.“Saya juga terkejut saat Nyonya Selene meminta saya untuk jujur dan Nyonya Selene menunjukkan bukti yang akurat, sebuah foto Anda dan juga rekan Anda, Tuan,” balas Bryan.Maximilian menghela napas pendek, ia tidak mau kalau mamanya sampai tahu rencananya, apalagi jika mamanya tahu ia adalah suami dari Anastasia Noire. Jika Selene tahu pasti tambah runyam.“Kamu tidak mengatakan apapun tentang aku dan Anastasia, kan?” tanya Maximilian.“Tidak, Tuan. Saya hanya mengatakan kalau Anda sengaja memberi kejutan,” balas Bryan.“Jangan sampai mama dan papa tahu masalah penyamaranku ini,” ucap Maximilan. “Esok pagi aku akan pulang ke rumah, jika aku tidak di sana pasti mama akan melakukan hal yang aneh lagi, jiwa detektifnya di luar nalar dan aku tidak ingin rencanaku ini gagal. Kamu atur waktuku, Bryan. Aku ingin saat matahari terbenam sudah ada di apartemen Anastasia.”“Baik, Tuan. Saya akan mengatur semuanya,” balas Bry
***“Cukup, Ma. Aku baru datang dan Mama memintaku untuk berkenalan dengan seorang wanita? Mama tidak merindukanku?” tanya Maximilian.“Mama sangat rindu kamu, sayang. Mama hanya kesepian di sini. Mama hana bicara sama papamu dan tanaman Mama saja. Kamu anak nakal! Sepuluh tahun pergi, tidak pernah mau kembali. Sekalinya datang ke negara ini, kamu pun tidak memberitahukan Mama. Jadi, ya... Mama berpikir pasti karena seorang wanita. Pria kalau sedang jatuh cinta pasti bisa hilang kendali,” balas Selene.“Aku kembali karena masalah perusahaan, itu saja. Bukankah Papa yang memintaku datang karena Papa ingin pensiun dan menikmati masa tuanya bersama Mama?”Selene mengangguk, “Dan masa tua kami akan ditemani dengan cucu-cucu luar biasa menggemaskan dari anak-anakmu nanti. Apakah kamu tidak ingin kamu memberi Mama hadiah itu?”“Aku baru pulang, Ma. Bisakah Mama tidak membicarakan masalah apapun? Aku sangat lapar,” kata Maximilian.Selene menganguk, dan ia tersenyum menatap anak laki-laki sa
***“Kamu pikir aku sudi memberi nama belakang keluarga yang terhormat pada seseorang yang membuat malu citra keluarga?” tanya Rhett.Anastasia tersenyum, “Baik, Tuan Rhett. Mulai detik ini, namaku bukan lagi Anastasia Noire!”Rhett terdiam, ia menatap datar putrinya dan ia pergi tanpa banyak bicara.Anastasia menatap kepergian ayahnya dengan perasaan campu aduk. Rhett lebih menyayangi Aria dan juga Elora, bahkan semua prioritas utama Rhett hanya mereka berdua. Sedangkan dirinya hanya dianggap sebagai pajangan saja di rumah itu.“Ana, kamu... “Anastasia tersenyum, “Aku tidak apa-apa, Lyra. Malah aku lega karena jika ada masalah, aku tak perlu memikirkan nama besar itu. Aku bebas saat ini dan aku akan memulai namaku dengan nama Anastasia saja.”“Aku tahu kalau kamu tidak akan pernah lemah, Ana. Untuk itu aku akan selalu mendukungmu, kamu juga tahu kalau aku ini menganggumi suara dan bakatmu itu,” kata Lyra memberi semangat.“Aku sudah tahu dan aku akan membuktikan kalau aku ini layak
***"Jangan pergi..." suara Anastasia terdengar serak, seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang. "Aku... sendirian."Maximilian menghela napas pelan, menekan rasa berdesir yang muncul di dadanya. "Aku nggak akan pergi jauh," jawabnya lembut, meski hatinya berdebar hebat. "Aku hanya akan keluar sebentar. Kamu butuh istirahat."Anastasia, yang masih setengah sadar, tidak memperhatikan kata-kata Maximilian. Ia malah menarik tangannya lebih erat, memaksanya untuk kembali duduk di pinggir tempat tidur. Dengan mata yang hampir tertutup, ia berbisik, "Kenapa kamu harus begitu tampan?"Kalimat itu membuat Maximilian tersentak. Dadanya bergemuruh hebat. Ia menelan ludah, merasakan panas yang tiba-tiba menyergap wajahnya. "A-Apa?" Maximilian merasa aneh mendengar pujian seperti itu, terutama dari Anastasia, dan apalagi dalam situasi seperti ini.Anastasia tidak merespons pertanyaan Maximilian. Matanya kembali menutup, tetapi senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu," gumamny
***Anastasia keluar dari kamar mandi, ia menatap cermin di depannya. Bayangan wajahnya yang pucat dan tampak lelah, seolah mencerminkan perasaan kacau di dalam dirinya. Ia memejamkan mata, mencoba menghilangkan rasa gugup yang menyelimuti tubuhnya sejak pagi.Ia melirik ke arah pintu kamarnya. Setelah memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, ia perlahan membuka pintu dengan waspada. Rasanya seperti melakukan operasi rahasia; setiap gerakan dihitung dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan suara. Ia tidak ingin bertemu dengan Maximilian pagi ini, tidak setelah apa yang terjadi semalam.Saat pintu terbuka sedikit lebih lebar, Anastasia menahan napas dan mengintip keluar. Koridor apartemen tampak sepi. Ia mendengar suara langkah kaki dari luar yang makin menjauh—Maximilian sudah pergi. Perasaan lega langsung membanjiri dirinya, dan tanpa sadar ia menarik napas dalam-dalam."Syukurlah..." gumamnya pelan, lalu menutup pintu dengan hati-hati.Anastasia berjalan menuju da