***“Cukup, Ma. Aku baru datang dan Mama memintaku untuk berkenalan dengan seorang wanita? Mama tidak merindukanku?” tanya Maximilian.“Mama sangat rindu kamu, sayang. Mama hanya kesepian di sini. Mama hana bicara sama papamu dan tanaman Mama saja. Kamu anak nakal! Sepuluh tahun pergi, tidak pernah mau kembali. Sekalinya datang ke negara ini, kamu pun tidak memberitahukan Mama. Jadi, ya... Mama berpikir pasti karena seorang wanita. Pria kalau sedang jatuh cinta pasti bisa hilang kendali,” balas Selene.“Aku kembali karena masalah perusahaan, itu saja. Bukankah Papa yang memintaku datang karena Papa ingin pensiun dan menikmati masa tuanya bersama Mama?”Selene mengangguk, “Dan masa tua kami akan ditemani dengan cucu-cucu luar biasa menggemaskan dari anak-anakmu nanti. Apakah kamu tidak ingin kamu memberi Mama hadiah itu?”“Aku baru pulang, Ma. Bisakah Mama tidak membicarakan masalah apapun? Aku sangat lapar,” kata Maximilian.Selene menganguk, dan ia tersenyum menatap anak laki-laki sa
***“Kamu pikir aku sudi memberi nama belakang keluarga yang terhormat pada seseorang yang membuat malu citra keluarga?” tanya Rhett.Anastasia tersenyum, “Baik, Tuan Rhett. Mulai detik ini, namaku bukan lagi Anastasia Noire!”Rhett terdiam, ia menatap datar putrinya dan ia pergi tanpa banyak bicara.Anastasia menatap kepergian ayahnya dengan perasaan campu aduk. Rhett lebih menyayangi Aria dan juga Elora, bahkan semua prioritas utama Rhett hanya mereka berdua. Sedangkan dirinya hanya dianggap sebagai pajangan saja di rumah itu.“Ana, kamu... “Anastasia tersenyum, “Aku tidak apa-apa, Lyra. Malah aku lega karena jika ada masalah, aku tak perlu memikirkan nama besar itu. Aku bebas saat ini dan aku akan memulai namaku dengan nama Anastasia saja.”“Aku tahu kalau kamu tidak akan pernah lemah, Ana. Untuk itu aku akan selalu mendukungmu, kamu juga tahu kalau aku ini menganggumi suara dan bakatmu itu,” kata Lyra memberi semangat.“Aku sudah tahu dan aku akan membuktikan kalau aku ini layak
***"Jangan pergi..." suara Anastasia terdengar serak, seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang. "Aku... sendirian."Maximilian menghela napas pelan, menekan rasa berdesir yang muncul di dadanya. "Aku nggak akan pergi jauh," jawabnya lembut, meski hatinya berdebar hebat. "Aku hanya akan keluar sebentar. Kamu butuh istirahat."Anastasia, yang masih setengah sadar, tidak memperhatikan kata-kata Maximilian. Ia malah menarik tangannya lebih erat, memaksanya untuk kembali duduk di pinggir tempat tidur. Dengan mata yang hampir tertutup, ia berbisik, "Kenapa kamu harus begitu tampan?"Kalimat itu membuat Maximilian tersentak. Dadanya bergemuruh hebat. Ia menelan ludah, merasakan panas yang tiba-tiba menyergap wajahnya. "A-Apa?" Maximilian merasa aneh mendengar pujian seperti itu, terutama dari Anastasia, dan apalagi dalam situasi seperti ini.Anastasia tidak merespons pertanyaan Maximilian. Matanya kembali menutup, tetapi senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu," gumamny
***Anastasia keluar dari kamar mandi, ia menatap cermin di depannya. Bayangan wajahnya yang pucat dan tampak lelah, seolah mencerminkan perasaan kacau di dalam dirinya. Ia memejamkan mata, mencoba menghilangkan rasa gugup yang menyelimuti tubuhnya sejak pagi.Ia melirik ke arah pintu kamarnya. Setelah memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, ia perlahan membuka pintu dengan waspada. Rasanya seperti melakukan operasi rahasia; setiap gerakan dihitung dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan suara. Ia tidak ingin bertemu dengan Maximilian pagi ini, tidak setelah apa yang terjadi semalam.Saat pintu terbuka sedikit lebih lebar, Anastasia menahan napas dan mengintip keluar. Koridor apartemen tampak sepi. Ia mendengar suara langkah kaki dari luar yang makin menjauh—Maximilian sudah pergi. Perasaan lega langsung membanjiri dirinya, dan tanpa sadar ia menarik napas dalam-dalam."Syukurlah..." gumamnya pelan, lalu menutup pintu dengan hati-hati.Anastasia berjalan menuju da
***Anya... “Anya terkejut dengan kedatangan Anastasia, ia berdiri menatap Anastasia dengan kikuk. “Anastasia, k-kamu kenapa datang ke sini?”Anastasia tersenyum datar, “Aku sudah mengirim pesan padamu dan kamu tidak membalasnya. Aku berpikir kamu sedang sakit, aku khawatir dan mampir ke sini untuk melihat keadaanmu.”Dan mendadak pandangannya langsung tertuju pada Elora yang duduk dengan angkuh di seberang meja, menatapnya dengan senyum kemenangan yang selalu membuat darah Anastasia mendidih. Di sebelah Elora, Anya, sahabat yang telah ia anggap seperti saudara sendiri, duduk dengan ekspresi datar, menghindari tatapan Anastasia.“Elora, kamu ternyata ada di sini,” Anastasia menyapa dengan nada tegas. “Anya, apakah aku mengganggu waktu kalian.?”Elora langsung menjawab, tanpa memberi kesempatan pada Anya untuk bicara. “Oh, Anastasia, kau datang di waktu yang tepat. Aku dan Anya sedang berdiskusi tentang duet kami yang minggu depan akan segera dirilis. Dia akan berpartisipasi dalam al
***“Kamu sudah siap?” tanya MaximilianAnastasia mengangguk pelan, seakan terhipnotis oleh pesona Maximilian. Mata pria itu begitu tenang, namun mengandung sesuatu yang membuat Anastasia sulit untuk menolak.Maximilian mengambil helm di tangannya, lalu dengan lembut memakaikannya di kepala Anastasia. Sentuhannya hati-hati, memperlakukan Anastasia seolah-olah dia adalah sesuatu yang berharga dan rapuh. Anastasia merasa canggung, namun dia tidak berkata apa-apa. Hanya anggukan kecil sebagai balasan atas perlakuan manis dari Maximilian."Kau siap?" Maximilian bertanya sambil memastikan tali helm terikat dengan baik di bawah dagunya.Anastasia mengangguk lagi, mencoba menutupi kegugupannya. "Ya," jawabnya singkat.Mereka berjalan menuju motor besar milik Maximilian, motor sport hitam yang berkilau di bawah lampu jalan. Maximilian naik lebih dulu, lalu memberi isyarat pada Anastasia untuk duduk di belakangnya. Anastasia sempat ragu sejenak, tetapi akhirnya ia menaiki motor dengan hati-ha
***“Maksudnya?” tanya Anastasia dengan bingung.“Kita bisa saling mengenal satu sama lainnya karena kita kemungkinan akan bertemu setiap waktu,” balas Maximilian.“Kamu benar. Kita ini sudah menikah, rasanya aneh kalau kita tidak saling mengenal dengan baik,” kata Anastasia.“Kamu tidak masalah mempunyai suami sepertiku?”“Kamu manusia, kan?”Maximilian mengangguk. “Berapa usiamu?” tanyanya.“Dua puluh tahun,” balas Anastasia dengan polosnya.“Kamu masih sangat muda, tapi kamu sangat populer. Bagaimana rasanya di usia dua puluh kamu bisa sangat populer?”Anastasia terdiam sejenak, mencoba meresapi pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sangat sederhana, tetapi membawa banyak kenangan dan emosi yang terpendam. Ia menghela napas, mengalihkan pandangannya ke arah Maximilian."Rasanya... sepi," jawabnya dengan suara pelan namun tegas. "Semua orang mencintaimu, tapi bukan karena dirimu. Mereka mencintaimu karena kamu seorang penyanyi top, seorang bintang di puncak karier. Setia
***“Anastasia…” suara Maximilian terdengar serak, nyaris berbisik, sebelum bibirnya akhirnya menyentuh bibir Anastasia.Ciuman itu lembut, namun penuh kehangatan. Seperti waktu berhenti sesaat, hanya ada mereka berdua dalam malam yang sunyi. Anastasia tidak bisa berpikir. Tangannya terangkat, menyentuh dada Maximilian yang kini begitu dekat. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu, sama cepatnya seperti miliknya.Maximilian memperdalam ciumannya, memegang wajah Anastasia dengan kedua tangannya, memastikan bahwa dia tidak akan pergi ke mana pun. Ciuman itu lambat namun intens, seakan-akan dia ingin menyampaikan semua perasaan yang selama ini tersembunyi.Anastasia akhirnya menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu. Ia tidak mengerti kenapa akal sehatnya tidak bekerja dengan baik kali ini. Pria itu mampu menghipnotisnya.Maximilian menatap Anastasia yang masih terpaku setelah ciuman panjang mereka. Wajahnya terlihat memerah, dan bibirnya sedikit terbuka, seolah-ol