***“Anastasia…” suara Maximilian terdengar serak, nyaris berbisik, sebelum bibirnya akhirnya menyentuh bibir Anastasia.Ciuman itu lembut, namun penuh kehangatan. Seperti waktu berhenti sesaat, hanya ada mereka berdua dalam malam yang sunyi. Anastasia tidak bisa berpikir. Tangannya terangkat, menyentuh dada Maximilian yang kini begitu dekat. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu, sama cepatnya seperti miliknya.Maximilian memperdalam ciumannya, memegang wajah Anastasia dengan kedua tangannya, memastikan bahwa dia tidak akan pergi ke mana pun. Ciuman itu lambat namun intens, seakan-akan dia ingin menyampaikan semua perasaan yang selama ini tersembunyi.Anastasia akhirnya menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu. Ia tidak mengerti kenapa akal sehatnya tidak bekerja dengan baik kali ini. Pria itu mampu menghipnotisnya.Maximilian menatap Anastasia yang masih terpaku setelah ciuman panjang mereka. Wajahnya terlihat memerah, dan bibirnya sedikit terbuka, seolah-ol
***Maximilian melaju di atas motornya dengan kecepatan sedang, menikmati dinginnya angin malam yang menghembus wajahnya. Anastasia sudah diturunkannya di apartemennya beberapa menit yang lalu. Kini, ia sendirian di jalan, tetapi perasaan waspada mulai merayapi pikirannya.“Sepertinya ada yang mengikutiku…” batinnya, sambil melirik kaca spion. Di belakang, sebuah motor lain tampak membuntutinya dengan jarak yang cukup jauh. Helm hitam pengendara itu menyembunyikan identitasnya, tapi Maximilian sudah bisa menebak siapa dia."Wartawan, ya?" Maximilian menyeringai di balik helmnya. “Rasanya menarik mempermainkan dia.”Dengan gerakan cepat, Maximilian menambah kecepatan. Jalanan yang semula sepi kini menjadi arena permainan bagi pria itu. Wartawan yang membuntutinya mulai berusaha mengejar, tapi Maximilian sudah memperhitungkan semua kemungkinan. Ia tahu jalan-jalan ini dengan baik—setiap tikungan, setiap belokan, semuanya sudah dihafalnya di luar kepala.Wartawan di belakangnya mulai tam
***“Kamu sudah mendengar berita panas hari ini?” tanya Anya.Elora mengangguk, “Iya. Tapi, aku tidak suka dengan berita itu. Aku ingin nama baik Anastasia hancur dan tidak ada lagi tempat untuknya.”“Kita harus membayar media lebih banyak lagi,” usul Anya.“Yeah, aku akan memintanya pada Roger. Dia pasti bisa membantu kita. Aku juga tidak sabar menanti hari esok saat album pertamaku liris,” balas Elora dengan senang.“Tapi, jika nanti ada masalah bagaimana?” tanya Anya dengan hati-hati.“Masalah apa?”“Tentang semua lagu di album barumu. Anastasia pasti langsung tahu jika lagu di albummu nanti adalah miliknya, lagu yang dia ciptakan sendiri,” balas Anya agak khawatir.“Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kamu sudah menghapus semuanya, kan?”Anya mengangguk. “Aku sudah menghapusnya, bahkan Anastasia tidak memiliki file-nya, tapi jika publik tahu kebenarannya, bagaimana? Kita akan tamat.”Elora tertawa, ia tidak pernah takut karena saat ini nama baik Anastasia sudah buruk di mata publ
***Malam itu, langit di luar apartemen Anastasia begitu gelap. Hanya beberapa lampu jalan yang menerangi trotoar yang sepi. Maximilian melangkah masuk ke gedung apartemen, lelah setelah seharian bekerja karena banyak proyek yang akan ia kerjakan di luar negeri. Ia menarik napas panjang, berusaha melepaskan penat yang menumpuk sejak pagi. Saat ia sampai di lantai apartemen Anastasia, suara lembut sebuah piano terdengar samar dari balik pintu yang tertutup.Maximilian berhenti sejenak. Dia mengenali suara itu—piano yang dimainkan dengan penuh perasaan, dan diiringi suara merdu yang ia tahu betul. Itu suara Anastasia. Tanpa ragu, ia membuka pintu dan melangkah masuk.Matanya langsung tertuju pada sosok Anastasia yang duduk di depan piano di ruang tengah. Jari-jarinya bergerak lembut di atas tuts, dan suara nyanyiannya mengalun, menyatu dengan alunan piano yang dimainkan dengan indah. Anastasia tampak begitu tenang, seakan tenggelam dalam dunianya sendiri. Rambutnya yang panjang tergerai
***Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika ponsel Anastasia berdering keras. Suara ponsel itu begitu nyaring di keheningan kamar yang masih gelap. Dengan mata yang setengah terpejam, Anastasia mengulurkan tangan dari balik selimut tebalnya, meraih ponsel di atas meja samping tempat tidur.Nama Lyra muncul di layar, dan tanpa berpikir panjang, Anastasia menjawab panggilan itu dengan suara yang masih serak. "Lyra... pagi-pagi begini, kenapa?" tanyanya sambil mencoba membuka matanya sepenuhnya."Anastasia, kau harus dengar ini. Sekarang," suara Lyra terdengar mendesak, penuh kegelisahan. "Album baru Elora... kau harus dengar semua lagunya. Ada sesuatu yang tidak beres."Anastasia mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata Lyra. Ia mendudukkan diri di atas tempat tidur, matanya masih buram oleh kantuk. "Apa maksudmu? Apa hubungannya dengan aku?"Lyra menarik napas dalam-dalam di ujung sana, seolah mencoba menenangkan diri. "Dengar, aku baru saja mendengar album
***“Iri padamu?” tanya Anastasia tersenyum dengan ejekan, “bukankah kamu yang selalu cemburu dan iri padaku? Aku ini sempurna, kan? Aku cantik, aku berbakat dan juga bisa menggaet aktor besar seperti Leon Hale. Kamu meng-klaim aku iri hanya karena semua yang kamu dapatkan ini hasil curian?”Tanpa basa-basi, Elora mendekat, mengamati Anastasia dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan. “Jaga bicaramu, Anastasia!” kesalnya, lalu ia melanjutkan. “ah, akhirnya anak haram ini mengatakan hal yang lucu,” ucapnya dingin.Anastasia mengerutkan kening, merasa marah namun berusaha menahan diri. "Apa maksudmu, Elora?" tanyanya dengan nada tegas.Elora tertawa sinis, lalu tiba-tiba menampar pipi Anastasia dengan keras. Suara tamparan itu menggema di seluruh ruangan, membuat semua orang terkejut dan menghentikan aktivitas mereka.“Jangan berpura-pura tidak tahu!” seru Elora dengan suara tajam. “Kau hanyalah anak haram. Kau dilahirkan dari seorang wanita murahan. Ibumu tak lebih dari pelacur ya
***Maximilian duduk di tepi ranjang, menatap Anastasia yang tertidur pulas. Wajahnya tampak pucat, bahkan dalam tidur yang seharusnya memberinya ketenangan, alis wanita itu tetap berkerut, seolah menanggung beban yang terlalu berat untuk dipikulnya seorang diri.Tanpa sadar, tangan Maximilian bergerak membelai pipi Anastasia. Kulitnya terasa dingin, dan di bawah matanya terdapat lingkaran hitam yang jelas menunjukkan betapa lelahnya wanita itu. Ia tahu Anastasia menyimpan banyak luka—bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka batin yang lebih dalam."Kenapa kita baru bertemu saat ini? Jika di masa lalu kita bertemu, aku pastikan menjagamu dengan baik." gumam Maximilian lirih, jari-jarinya masih dengan lembut menyusuri pipi Anastasia. Ada rasa sakit yang menusuk di hatinya saat melihat wanita itu tidak baik-baik saja. Ia tidak tahan melihat Anastasia terluka seperti ini, terluka karena orang-orang yang seharusnya tidak menyentuh hidupnya.Dengan hati-hati, Maximilian mendekatkan wajahny
***Anastasia terbangun dengan perasaan nyaman yang jarang ia rasakan. Tidurnya semalam sangat nyenyak, seolah semua mimpi buruk yang biasa menghantuinya hilang begitu saja. Ia menggeliat pelan di atas tempat tidurnya, menarik selimut hingga sebatas bahu.Saat ia hendak bangkit, pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sosok di sebelahnya. Ia tertegun sejenak, menahan napas. Maximilian. Pria itu sedang berbaring di sampingnya, tertidur dengan tenang, seolah-olah ia adalah bagian dari mimpinya yang paling lembut. Seketika, kenangan tentang malam sebelumnya mengalir kembali ke dalam benaknya. Anastasia mengingat dirinya yang ketakutan, menangis dalam pelukan Maximilian. Dan, lebih dari itu, ia ingat bagaimana ia memohon padanya untuk tidak pergi, untuk tetap berada di sampingnya."Anastasia bodoh," gumamnya, menepuk pelan dahinya sendiri. Ia menggeleng, merasa sedikit malu mengingat bagaimana dirinya begitu lemah di hadapan Maximilian.Namun, meski malu, ada rasa hangat yang menjalar di da