Share

7. Semuanya Pergi

***

“Dia membantuku karena aku menyelamatkan hidupnya, dia hanya ingin membalas budi,” kata Maximilian.

“Aku lupa kalau kamu seorang preman,” ucap Anastasia. Ia melihat wajah pria itu yang masih memar, “Aku akan memangil dokter ke sini, sekaligus memperkenalkanmu padanya. Dia sahabat baikku, tapi aku hanya ingin kontrak pernikahan kita ini tidak ada yang mengetahuinya. Kamu mengerti?”

“Iya. Lakukan saja apa yang kamu mau,” balas Maximilian.

“Dan juga meski kita sudah sah menjadi suami-istri, tapi semuanya ada batasannya, Max. Kita menikah karena perjanjian dan aku harap selama pernikahan kita tidak ada kontak fisik. Kamu pasti mengerti apa yang aku maksud, bukan?”

“Kamu tidak mau kita terlibat kontak fisik karena aku hanya seorang pria miskin?” tanya Maximilian dengan sengaja.

Anastasia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak sembarangan disentuh pria manapuh, Max. Termasuk mantan kekasihku, aku tak pernah tidur dengannya meski dia selalu mencoba membujukku untuk menyerahkannya. Aku juga melepaskan semua tawaran film ataupun drama romantis karena aku memang tidak nyaman jika harus bermesraan dengan seseorang yang tidak ada di hatiku.”

Maximilian tertegun, kenapa bisa ia dan perempuan itu tidak suka sembarangan disentuh?

Anastasia menghela napas panjang, “Besok aku akan menunjukkan buku nikah ini dan mematahkan rumor kalau aku adalah perempuan murahan.”  Lalu, ia menatap Maximilian, “Kamu bisakah besok ikut untuk menghadiri konferensi pers?”

“Kenapa aku harus ikut?”

“Karena kamu adalah suamiku,” balas Anastasia.

Maximilian tertegun sejenak, ia memang sudah meninggalkan New York sepuluh tahun yang lalu, tapi ibunya... adalah seorang sosialita dan juga dari catatan yang ia baca tentang Anastasia, Anastasia Noire adalah penyanyi papan atas dan juga sangat populer, ia juga tahu kalau ibunya, Selene Kingsley adalah penggemarnya. Jika ia ikut diperkenalkan di depan publik sebagai suami Anastasia itu bisa membuat ibunya membongkar identitas aslinya. Ia tidak mau kalau rencananya yang baru dimulai gagal.

“Aku tidak mau,” ucap Maximilian.

Anastasia mengangguk, ia mengerti. “Aku tahu pasti kamu tidak mau publik tahu siapa identitasku. Baiklah, aku juga tidak akan memaksamu untuk bisa memahami duniaku. Bagiku yang terpenting adalah buku nikah ini,” katanya tersenyum.

Anastasia menatap jam dinding, malam semakin larut. “Sebelum konferensi pers esok pagi, temanku akan datang untuk memeriksa kondisimu.”

“Tidak perlu.”

“Kenapa?” tanya Anastasia.

“Besok aku harus menemui temanku, aku akan mengobati wajah bengkak ini, mungkin dua hari aku akan di sana karena aku membayar jasanya dengan tenagaku,” balas Maximilian.

Anastasia mengernyitkan keningnya, ia penasaran, tapi ia tidak mau ikut campur dengan kehidupan pribadi pria itu. “Aku merasa lelah dan ingin istirahat. Di ponsel itu ada kontakku, jika kamu perlu sesuatu bisa hubungi aku. Kamu tidurlah, selamat malam, suami rahasiaku.”

Setelah Anastasia pergi dari hadapannya, Maximilan tertegun dan ia pun tersenyum. “Suami rahasia? Kau akan terkejut jika tahu suami rahasiamu ini akan menjagamu dari dunia yang kejam.”

***

Keesokan paginya, Anastasia duduk di ruang tamu apartemennya, tangannya gemetar saat ia menelusuri kontak-kontak di ponselnya. Nama-nama yang dulu selalu mengelilinginya, yang pernah bersaing untuk mendapatkan perhatiannya, kini terasa seperti bayangan masa lalu yang memudar. Satu per satu, ia mencoba menghubungi mereka—teman-teman yang dulu selalu mengaku ada di sisinya, namun kini seolah menghilang tanpa jejak.

Telepon pertamanya ke Vivienne, mantan sahabat yang dulu sering menemaninya di studio rekaman, berakhir tanpa hasil. Pesan suaranya tidak pernah dijawab, dan telepon berikutnya bahkan tidak diangkat sama sekali. Anastasia merasakan gelombang kekecewaan menghantam dirinya, tapi ia tidak menyerah. Dengan nafas berat, ia melanjutkan menghubungi orang-orang yang dulu ia pikir akan selalu ada untuknya.

Ketika akhirnya ia berhasil menghubungi Daryl, mantan produser yang pernah memujinya setinggi langit, percakapan mereka hanya berlangsung singkat.

"Anastasia?" Suara Daryl terdengar dingin dan jauh, berbeda dari nada hangat yang dulu ia kenal.

"Ya, ini aku. Daryl, aku butuh bantuanmu. Aku baru saja menyelesaikan beberapa lagu baru dan—"

"Maaf, Ana," potong Daryl cepat. "Aku dengar kabar tentang situasimu sekarang, dan aku harus jujur, kita tidak bisa bekerja sama lagi. Reputasimu... sudah terlalu rusak. Tidak ada label yang mau mengambil risiko."

Kata-katanya terasa seperti tamparan keras. Anastasia terdiam, menelan kepahitan yang mulai memenuhi tenggorokannya. "Aku mengerti," jawabnya pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Terima kasih."

Daryl tidak mengatakan apa-apa lagi sebelum menutup telepon, meninggalkan Anastasia sendirian dengan keputusasaan yang semakin dalam. Telepon berikutnya ke kontak lain pun tidak memberikan hasil yang berbeda. Satu per satu, orang-orang yang pernah mengelilinginya, menarik diri, meninggalkan Anastasia dalam kehampaan yang semakin menjeratnya.

Setelah beberapa jam yang melelahkan, Anastasia duduk terdiam di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Di luar, langit New York yang kelabu tampak seakan mencerminkan suasana hatinya. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca menahan tangisnya, menandai betapa hancurnya perasaannya. Dulu, ia adalah bintang yang bersinar terang, dikelilingi oleh teman-teman yang tampak peduli. Namun kini, ia merasa seperti sisa-sisa bintang yang jatuh dan terbakar habis, meninggalkan kehampaan di tempat yang pernah penuh cahaya.

Seketika, pintu apartemennya terbuka dan Lyra, manajer sekaligus teman terdekatnya, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya serius, seolah membawa kabar yang penting.

"Ana, kamu sakit? Aku mencoba menghubungi tadi, tapi kamu tak meresponnya” ucap Lyra.

"Aku mencoba menghubungi semua orang," jawab Anastasia lirih. "Teman-teman, produser, semua orang yang dulu ada di sekitarku. Tidak ada satu pun yang mau membantuku. Mereka semua menolakku, Lyra. Mereka bilang reputasiku sudah hancur."

Lyra terdiam sesaat, menimbang-nimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. Ia tahu situasi ini sulit, namun ia juga tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan.

"Ana, dengar," ujar Lyra dengan suara tegas. "Kau tidak bisa terus seperti ini. Kau masih punya bakat, dan kau masih punya kesempatan untuk bangkit. Tapi kau harus mengambil langkah yang berani."

"Apa maksudmu, Lyra?" tanya Anastasia.

"Kita perlu membuat pernyataan resmi," jawab Lyra dengan tegas. "Kita harus menghadapi publik. Lakukan konferensi pers dan jelaskan semuanya. Mereka pasti penasaran dengan pria yang tinggal bersamamu. Gunakan itu sebagai keuntunganmu. Setidaknya kau bisa mengendalikan narasi sebelum semuanya menjadi lebih buruk."

“Aku memang ingin melakukan konferensi pers, meski aku tidak yakin apakah sentimen publik padaku akan berubah,” balas Anastasia.

Lyra menatap Anastasia dengan penuh kesungguhan. "Kau tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan, Ana. Tapi kau bisa mengendalikan bagaimana kau menyikapinya. Kau bisa menunjukkan kepada mereka siapa dirimu sebenarnya, bukan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran."

Anastasia menatap Lyra, merasakan secercah harapan muncul di dalam hatinya. "Aku akan melakukannya, Lyra," akhirnya ia berkata, dengan suara yang lebih tegas. "Aku akan menghadapi mereka. Aku akan buktikan bahwa aku lebih dari apa yang mereka pikirkan."

Lyra mengangguk setuju, senyum tipis muncul di wajahnya. "Itu yang ingin kudengar. Kita akan merencanakan konferensi pers ini dengan baik. Ini adalah kesempatanmu untuk mengubah keadaan."

“Iya. Aku tidak boleh lemah! Terlebih pada dua manusia itu, aku akan membuat mereka melihat bagaimana seorang Anastasia Noire itu tak tumbang!” kata Anastasia penuh keyakinan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status