***
“Kamu sudah sadar?” tanya Anastasia.
Maximilian mematung melihat wanita asing di depannya. Senyum yang baru ia lihat di dunia, seperti senyuman yang menenangkan.
“Bisa mendengarku kan?” sebuah suara lembut terdengar dari sampingnya.
Maximilian mengalihkan pandangannya dan melihat seorang wanita berdiri di dekatnya, tampak lega melihatnya sadar. Wanita itu mendekat, dan sebelum Maximilian bisa berkata apa-apa, ia merasakan tangan halus menyentuh dahinya, memeriksa suhu tubuhnya. Sentuhan itu membuat Maximilian kaget. Tubuhnya menegang, namun bukan karena sakit.
Sebelum ia sempat menyadari apa yang sedang terjadi, wanita itu menarik tangannya kembali dan meletakkan punggung tangannya di pipinya. “Kamu kelihatan sedikit pucat, apa ada yang sakit?” tanyanya, suaranya lembut namun terdengar penuh kekhawatiran.
Maximilian tertegun. Tangannya seharusnya menepis atau menarik diri dari sentuhan wanita itu, tapi tidak ada reaksi alergi atau rasa tidak nyaman yang biasa ia alami saat disentuh wanita lain. Kulitnya tidak terasa panas atau gatal, seolah sentuhan itu tidak berbahaya sama sekali. Ia bahkan tidak merasa risih, meski wanita itu telah menyentuh wajahnya tanpa permisi.
"Apa yang...?" Maximilian bergumam pelan, mencoba memahami situasi. Kenapa ia tidak bereaksi? Ia menatap wanita itu dengan sorot mata penuh kebingungan.
Wanita itu mengerutkan kening, lalu menggerakkan tangannya ke arah kening Maximilian lagi, seolah berniat memeriksa suhu tubuhnya sekali lagi. Kali ini, sebelum tangannya sampai ke kening pria itu, Maximilian refleks meraih pergelangan tangannya, menghentikan gerakan tersebut. Sentuhan itu menghentikan napasnya sejenak.
"Aku baik-baik saja," ucap Maximilian cepat, suaranya lebih tegas daripada yang ia niatkan. "Kamu yang menolongku? Siapa kamu?"
Wanita itu mengangguk pelan, tatapannya tetap lembut meski matanya menyiratkan sedikit keterkejutan. "Namaku Anastasia Noire. Aku menemukanmu terluka parah dan membawamu ke apartemenku. Kamu butuh istirahat."
Maximilian melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, membiarkan wanita itu menarik tangannya kembali. Ada sesuatu yang aneh di sini, pikirnya. Selama ini, ia selalu memiliki masalah dengan sentuhan fisik dari wanita. Alergi yang aneh dan tak dapat dijelaskan oleh medis membuatnya hampir tidak pernah bersentuhan langsung dengan seorang wanita. Tapi dengan Anastasia, semuanya terasa berbeda. Sentuhan itu seolah-olah tidak membawa efek apa pun pada tubuhnya, selain rasa hangat yang samar.
"Apa yang terjadi padaku?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Anastasia. Matanya tetap terpaku pada wanita itu, berusaha mencari jawaban dalam ekspresi wajahnya.
Anastasia tampak ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu pasti. Kamu sudah tergeletak di dekat mobilku, bagaimana tubuhmu? Apa masih sakit? Kamu lebam dan para preman itu mengejar mobilku sampai merusaknya.”
Maximilian mengerutkan kening, masih bingung dengan apa yang terjadi. "Dan kamu bisa meloloskan dari kejaran para preman itu?”
Anastasia tertawa kecil, “Iya. Mereka kalah dariku. Aku hebat, bukan?” tanyanya dengan percaya diri.
Maximilian menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran dalam mata wanita itu. Tidak ada tanda-tanda kebohongan, hanya kepedulian tulus. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Mungkin ini hanya kebetulan. Mungkin tubuhnya sudah cukup terbiasa dengan rasa sakit sehingga tidak bereaksi seperti biasanya.
Namun, di dalam hatinya, Maximilian tahu ini lebih dari sekadar kebetulan. Ada sesuatu tentang Anastasia yang berbeda. Wanita ini, dengan caranya yang sederhana dan sikapnya yang perhatian, entah bagaimana telah menembus pertahanan yang selama ini ia jaga rapat-rapat. Dan itu membuatnya takut, sekaligus penasaran.
"Aku tidak ingat banyak tentang kejadian tadi malam," kata Maximilian, pura-pura mencoba mengalihkan perhatiannya dari pikiran yang mengganggu.
“Tapi tubuhmu sangat kuat karena kamu masih bisa bertahan dengan luka yang seperti ini,” balas Anastasia. “Apa perlu aku memanggil dokter? Atau kamu mau aku hubungi keluargamu?”
Maximilian menggelengkan kepalanya, “Aku boleh pinjam ponselmu?”
“Ah, tentu!” balas Anastasia, ia beranjak dari duduknya untuk mengambil ponselnya di kamar, tak lama wanita itu langsung memberikan ponselnya. “Ini pakai saja, ini ponsel yang tidak aku pakai. Tapi nomornya masih aktif dan sebentar lagi aku mau pergi ke luar karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu tunggu di tempatku saja, ya! Aku hanya pergi sebentar.”
Maximillian hanya mengangguk datar dan tanpa ekspresi. Ia beranjak dari kursinya dan mencoba mencari tempat aman untuk menghubungi Bryan, asistennya.
***
Anastasia duduk di ruang tunggu studio rekaman, mengayunkan kakinya dengan gelisah. Tangannya yang biasanya tenang kini menggenggam tas kecil di pangkuannya dengan erat. Perasaannya bercampur aduk antara khawatir dan marah. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu untuk bertemu dengan Rafael Draven, produser rekaman yang dulu dengan antusias mengambilnya di bawah sayapnya, membawa karier musiknya ke puncak popularitas. Namun, kali ini, Rafael memintanya datang dengan nada yang jauh dari antusiasme biasanya.
Pintu studio akhirnya terbuka, dan seorang asisten masuk. "Tuan Draven sudah siap menemui Anda, Nona Noire."
Anastasia mengangguk singkat dan bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan yang familiar itu, namun suasananya terasa sangat berbeda dari yang biasanya.
Rafael berdiri di dekat meja besar yang penuh dengan peralatan rekaman, tangan bersedekap di dada. Wajahnya yang biasanya ramah kini tampak serius, bahkan sedikit dingin.
"Anastasia, duduklah," katanya tanpa senyum, menunjuk kursi di depan meja.
Anastasia mengikuti arahannya, duduk dengan punggung tegak dan menatap Rafael dengan penuh tanya. "Ada apa, Rafael? Kenapa kamu memanggilku? Bukannya kita sedang dalam proses rekaman untuk full album kedua? Aku sangat antusias karena album ini semua lagunya adalah hasil ciptaanku."
Rafael menarik napas dalam, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Itulah yang ingin aku bicarakan denganmu, Anastasia."
Anastasia merasakan jantungnya semakin cepat. "Apa maksudmu?"
Rafael menatapnya dengan mata yang tajam, tatapannya seperti pedang yang menusuk langsung ke hatinya. "Aku sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek album kedua ini. Dan lebih dari itu, aku juga akan memutuskan kontrakmu dengan label."
Kata-kata Rafael menghantam Anastasia seperti palu godam. Tubuhnya membeku di tempat. "Apa?" ucapnya dengan suara bergetar. "Kamu... kamu tidak mau memproduseri albumnya? Dan memutus kontrak? Tapi kenapa? Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Kamu bilang kontraku seumur hidup, kan?"
Rafael tidak segera menjawab. Ia berjalan ke arah jendela besar di ruangan itu, menatap ke luar dengan wajah yang tegang. "Bukan soal kamu melakukan kesalahan, Anastasia," jawabnya dengan suara yang lebih rendah. "Ini soal masa depan. Industri ini berubah dengan cepat, dan aku harus membuat keputusan yang terbaik untuk label dan karierku."
Anastasia mengerutkan kening, merasa semakin bingung dan marah. "Apa maksudmu? Aku adalah artis dengan penjualan album terbaik di label ini! Bahkan albumku terjual jutaan copy. Kamu yang selalu bilang kalau aku memiliki potensi besar, bahwa aku adalah masa depan industri ini!"
Rafael menoleh, matanya bertemu dengan mata Anastasia, kali ini tanpa emosi. "Benar, tapi itu dulu. Sekarang aku punya penyanyi baru, yang aku yakin akan jauh lebih bersinar daripada kamu."
Kemarahan mendidih di dalam dada Anastasia. Ia bangkit dari kursinya, tatapannya penuh dengan kemarahan dan rasa sakit. "Penyanyi baru? Siapa penyanyi itu yang menurutmu bisa menggantikan aku?"
Tepat pada saat itu, pintu ruangan terbuka lagi. Anastasia menoleh dengan cepat, dan apa yang dilihatnya membuat darahnya berhenti mengalir.
Elora Viviana masuk ke dalam ruangan, menggandeng tangan Leon Hale dengan senyum penuh kemenangan di bibirnya. Rambutnya yang panjang dan bergelombang tergerai indah, seolah-olah ia baru saja keluar dari pemotretan. Matanya yang bersinar penuh dengan keangkuhan saat ia melihat langsung ke arah Anastasia.
"Aku adalah penyanyi itu," kata Elora dengan suara manis yang penuh kepalsuan. "Aku yang akan menggantikanmu, Anastasia."
Anastasia merasakan duniannya runtuh seketika. "Elora...?" Ia hampir tidak bisa berkata-kata. "Leon? Apa yang kalian lakukan di sini?"
Leon tersenyum miring, matanya menyiratkan kepuasan yang mengerikan. "Ini adalah dunia nyata, sayang. Dan di dunia ini, yang kuatlah yang bertahan. Elora memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi bintang, dan aku ada di sini untuk memastikan dia mendapatkan apa yang dia inginkan."
Kemarahan dan kekecewaan menyatu menjadi satu di dalam diri Anastasia. "Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Aku percaya padamu, Leon!"
Elora tertawa kecil, suaranya terdengar seperti lonceng yang memekakkan telinga. "Oh, Anastasia, kamu terlalu naif. Dunia ini tidak berputar di sekelilingmu. Kamu hanyalah wanita yang Leon manfaatkan untuk menaikkan namanya di industri hiburan ini.”
Rafael berdiri di tempatnya, memperhatikan pertengkaran itu dengan ekspresi tak terbaca. Anastasia menoleh padanya, berharap ada sedikit simpati dari pria yang dulu begitu memujanya. Namun, yang ia lihat hanyalah wajah yang dingin, seolah-olah ia sudah lama memutuskan dan tak ada lagi yang bisa dikatakan.
"Kamu tahu, Rafael, aku tidak pernah menyangka kamu bisa sekejam ini," kata Anastasia, suaranya bergetar dengan amarah yang ditahan. "Aku pikir kita adalah tim."
Rafael hanya mengangkat bahu. "Ini bukan soal kekejaman, Anastasia. Ini soal bisnis."
Anastasia menatapnya tajam, sebelum akhirnya berbalik dan menatap Elora serta Leon. "Kalian tidak akan bertahan lama dengan cara seperti ini," katanya dengan suara penuh kepastian. "Karma akan datang, dan ketika itu terjadi, aku akan ada di sana untuk melihat kalian jatuh."
Elora hanya tersenyum angkuh, tidak terpengaruh oleh ancaman itu. "Kami tidak perlu takut pada karma, Anastasia. Kami memiliki semua yang kami butuhkan untuk menang. Dan kamu? Kamu hanyalah sampah yang akan dibuang dan aku adalah bintang yang sesungguhnya.”
Dengan hati yang hancur, Anastasia mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menolak untuk menangis di depan mereka. "Kalian boleh mengambil apa yang kalian inginkan sekarang, tapi ingat ini: aku akan kembali, dan saat itu terjadi, kalian akan menyesal pernah meremehkanku."
Anastasia pergi dengan langkah yang anggun, hatinya patah. Semua yang ia raih hancur dalam sekejap.
“Aku akan membuat kalian hancur!”
***
***“Apa? Semua jadwal iklan batal dan aku harus mengganti rugi? Alasannya apa?” tanya Anastasia terkejut.Lyra menghela napas berat, “Aku juga tidak tahu alasan pastinya. Mereka bilang kamu melanggar aturan dan terlibat skandal besar.”“Skandal? Apa? Selama aku berkarir di industri hiburan, kamu juga tahu kalau aku tak pernah bermasalah, kan?”Lyra terdiam, ia mengigit bibirnya. Berat baginya untuk memberitahukan skandal apa yang membuat semua tawaran kerja sama pada Anastasia batal.Padahal tawaran kerja sama yang seharusnya menjadi proyek besar bagi Anastasia mendadak dibatalkan. Klien-klien yang sebelumnya begitu antusias tiba-tiba menghilang tanpa jejak, dan lebih dari itu, ada tuntutan ganti rugi yang entah dari mana datangnya. Semuanya terasa aneh dan mencurigakan,"Lyra, aku sedang bicara denganmu, lihat aku!" Anastasia langsung berkata tanpa basa-basi.Lyra mendongak, dan ada sejenak kilatan panik di matanya sebelum ia cepat-cepat mengendalikan diri. "Ada apa?""Ada yang tid
***“Ya Tuhan! Kamu... apakah kamu sudah makan?” tanya Anastasia. Ia menatap pria asing itu sejenak, lalu tanpa menunggu jawaban dari pria itu, wanita itu langsung bergegas ke dapur.Maximilian tertegun melihat wanita itu yang tampak panik, apakah wajahnya terlihat pucat sampai wanita itu panik? Padahal ia sudah makan dan pergi ke luar bersama Bryan sebentar.Tak lama Anastasia muncul dan ia meletekkan omelette dan juga juice jeruk di atas meja.“Kamu, makanlah! Aku minta maaf karena seharian ini ada hal yang harus aku selesaikan,” ucap Anastasia, ia tersenyum, namun senyum itu menyiratkan kelelahan luar biasa.Maximilian sebenarnya sudah kenyang, namun ia tidak mau wanita itu curiga, ia langsung duduk dan mulai menyantap makanan yang sudah disediakan di atas meja.“Kamu sudah menghubungi keluargamu?” tanya Anastasia.Maximilian menggelengkan kepalanya.“Kenapa? Apa keluargamu tidak mau menjemputmu?” tanya Anastasia terkejut.“Aku tidak punya keluarga,” balas Maximilian terdengar ding
Anastasia gelisah luar biasa, hari sudah menjelang malam. Tapi tidak ada teman-temannya yang membantunya, bahkan semua panggilan darinya pun selalu ditolak mereka. Anastasia frustasi karena ia berjanji akan memberikan surat kalau ia dan Max sudah menikah.“Kenapa kamu tak tidur menjelang sore? Bahkan kamu tak makan sama sekali,” ucap Maximilan. Sebenarnya ia sudah tahu apa yang diinginkan perempuan itu dan ia juga sudah mengetahui masalah Anastasia yang saat ini tengah jadi topik hangat di negara ini, namun ia diam-diam tidak tahu karena ingin tahu apa yang akan dilakukan Anastasia.Anastasia menghela napas panjang, ia merasa frustasi dan ia menatap pria itu.“Max, kita harus menikah!”“Menikah? Kamu ingin menikah denganku?”Anastasia mengangguk, “Iya. Aku sudah terlanjur mengatakan pada mereka kalau kita ini sudah menikah. Bagaimana kalau kita menikah untuk beberapa waktu? Minimal dua tahun misalnya dan nanti kita bisa berpisah baik-baik?”Maximilian merasa apa yang dikatakan Anasta
***“Dia membantuku karena aku menyelamatkan hidupnya, dia hanya ingin membalas budi,” kata Maximilian.“Aku lupa kalau kamu seorang preman,” ucap Anastasia. Ia melihat wajah pria itu yang masih memar, “Aku akan memangil dokter ke sini, sekaligus memperkenalkanmu padanya. Dia sahabat baikku, tapi aku hanya ingin kontrak pernikahan kita ini tidak ada yang mengetahuinya. Kamu mengerti?”“Iya. Lakukan saja apa yang kamu mau,” balas Maximilian.“Dan juga meski kita sudah sah menjadi suami-istri, tapi semuanya ada batasannya, Max. Kita menikah karena perjanjian dan aku harap selama pernikahan kita tidak ada kontak fisik. Kamu pasti mengerti apa yang aku maksud, bukan?”“Kamu tidak mau kita terlibat kontak fisik karena aku hanya seorang pria miskin?” tanya Maximilian dengan sengaja.Anastasia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak sembarangan disentuh pria manapuh, Max. Termasuk mantan kekasihku, aku tak pernah tidur dengannya meski dia selalu mencoba membujukku untuk menyerahkannya. Aku juga
***Anastasia berdiri di balik tirai tebal, mengamati deretan kursi yang dipenuhi oleh para wartawan di hadapannya. Cahaya lampu kilat dari kamera berkedip-kedip, seolah menyoroti setiap detik yang berlalu sebelum ia melangkah ke depan. Hari ini, ia akan mengungkapkan sesuatu yang telah lama jadi isu panas, tentangnya yang satu atap dengan pria asing dan beberapa terakhir ini selalu banyak berita buruk tentangnya.Lyra menepuk bahunya dengan lembut. "Sudah waktunya, Anastasia."Anastasia mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya perlahan. "Baiklah, mari kita lakukan ini."Langkahnya mantap saat ia melangkah ke depan, menuju podium yang telah disiapkan di tengah panggung. Sorotan kamera langsung menyorotnya, dan suara gemuruh bisikan para wartawan bergema di ruangan itu. Dengan kepala tegak, Anastasia berdiri di hadapan mereka, sorot matanya tajam dan penuh keyakinan.Setelah memastikan semua orang memperhatikannya
***“Sayang, kamu sudah melihat konferensi pers Anastasia?” tanya Elora.Leon menggelengkan kepalanya, “Aku belum sempat karena kemarin seharian ada syuting, tapi semua kru maupun staff membicarakannya dan mengatakan kalau Anastasia melakukannya seorang diri, tanpa suaminya”Elora tertawa pelan, dan hatinya merasa puas. “Dan kamu tahu, Sayang. Kalau para wartawan tidak ada yang percaya padanya dan menganggap konferensi pers yang dilakukannya hanya upaya dia menarik simpati publik, tapi nyatanya semua orang menganggapnya sebagai wanita yang suka playing victim dan karier-nya tidak bisa diselamatkan.”“Dia memang pantas mendapatkannya, karma buruk sudah berlaku untuknya,” balas Leon.Elora tertawa dan ia memeluk Leon, “Akhirnya rencana lima tahun lalu bisa terwujud. Kita bisa mencapai puncak karier kita. Semua orang mendukung kita!”“Iya, aku juga tidak menyangka kalau saat ini popularitasku sangat naik dan bayarannya pun naik berkali-kali lipat. Kalau dulu aku tidak mengikuti saranmu,
***“Lepaskan!”Leon hanya tersenyum penuh kemenangan, menatap Anatasia dari bawah ke atas.“Leon,” ucap Anastasia dengan dingin, menatap pria itu tanpa menunjukkan sedikit pun emosi. “Lepaskan tanganku.”Namun, Leon tidak segera menuruti perintahnya. Sebaliknya, ia justru mempererat genggamannya, seolah menikmati perasaan menguasai Anastasia, meski hanya sebentar. Tatapannya meluncur lagi dari wajah Anastasia ke seluruh tubuhnya, dan ia menelan ludah, seolah sedang menahan diri.“Anastasia,” katanya pelan, tapi suaranya sarat dengan nada mengejek. “Aku tidak bisa tidak memperhatikan betapa cantiknya kau hari ini. Kau memang selalu mempesona.”Anastasia hanya menatapnya dengan tatapan dingin yang menusuk, tanpa sedikit pun tersenyum. “Lepaskan tanganku, Leon,” ulangnya dengan nada lebih tegas.Leon terdiam sejenak, lalu tertawa kecil sebelum mendekatkan wajahnya ke telinga Anastasia, membuat wanita itu merasakan napas hangatnya di kulitnya. “Aku bisa menyelamatkan kariermu, Anastasia.
***“Max, kamu sudah makan?” tanya Anastasia, ia tersenyum hambar. Masalah yang ia hadapi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi, apalagi semua lagu yang ia ciptakan dari hati mendadak hilang. Hati siapa yang tidak patah?“Aku sudah makan tadi saat bersama kenalanku,” balas Maximilan. “Apakah kamu sudah makan?”“Hmm... bahkan aku melewati sarapan pagiku. Hari ini banyak hal yang aku selesaikan,” balas Anastasia. Ia langsung berbaring di atas sofa dan tak lama ia pun memejamkan matanya.Maximilian tertegun, ia melihat Anastasia dan tersenyum menatap wanita itu sembarangan tidur saja.“Apakah kamu selalu begini? Bahkan kamu terlalu percaya pada orang sampai semuanya begitu mudah mengkhianatimu, Anastasia,” gumam Maximilian.Maximilian duduk di kursi yang berada di sudut ruangan, memandang Anastasia yang tertidur lelap di sofa. Wajahnya yang biasanya penuh dengan semangat dan energi kini