Share

3. Malam Pertama

Tepuk tangan terdengar riuh rendah. Wajah Claire kini bersemu merah usai Rainer melepas tautan bibir mereka. Lututnya terasa lemas sebab inilah ciuman pertamanya.

‘Dia benar-benar menciumku?’ batinnya masih belum menyangka.

Tidak lama, mereka sudah membaur dengan para tamu. Rainer benar-benar menunjukkan bakat aktingnya sebagai suami yang begitu mencintai Claire.

Berbagai komentar dan cibiran tamu diacuhkan Claire dan Rainer. Keduanya tetap bersandiwara seolah-olah mereka adalah pasangan yang berbahagia.

“Lepaskan. Tanganku mulai lembab karena keringat,” bisik Claire di telinga lelaki itu.

“Tidak. Kita harus totalitas memainkan sandiwara ini,” tolak Rainer.

Keduanya duduk di kursi bersama para undangan VIP. Berbincang santai sambil makan. Claire dengan tenang, makan dan minum tanpa memperhatikan Rainer.

Jika ada yang memperhatikan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus yang mencoba akur di tengah keramaian.

Claire yang mencoba menjadi figure istri perhatian, kendati ia buta pada hal yang disukai sang suami. Sementara Rainer yang berlagak suami pengertian yang menerima segala curahan perhatian sang istri, mesti harus mengorbankan dirinya sendiri—memakan sayuran misalnya.

Melihat Rainer menyuap sayuran hijau dan langsung minum air banyak-banyak setelahnya membuat Claire tersenyum puas.

Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab ‘penyiksaan’ sesungguhnya baru akan dimulai. Terlebih saat Rainer kukuh pada pendiriannya untuk langsung memboyong sang istri ke apartemennya.

“Aku belum berkemas.” Wanita itu mencoba mengulur waktu.

Sayang, Rainer selangkah lebih terdepan dalam hal persiapan ini. “Tidak perlu. Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku.”

Claire mengernyitkan dahi. “Kapan kamu menyiapkannya?”

“Semalam.”

Tentu saja Claire tidak meragukan kemampuan Rainer. Masalahnya, ia benar-benar tidak siap tinggal di apartemen sederhana. Ia takut kesulitan tidur, atau kulitnya gatal-gatal karena membayangkan betapa jorok dan kotornya apartemen Rainer, karena ia seorang lelaki bujang.

“Itu pengacara perusahaan.”

Lamunan Claire terputus saat mendengar suara Rainer di telinganya. Ia menoleh ke arah mata di mana Rainer pun tengah menuju ke arah yang sama.

“Jika kamu terlihat tidak serius dalam pernikahan ini, ia pasti tidak akan melegalkan posisimu sebagai presiden direktur saat ini juga,” tukas Rainer sambil mengamati seorang lelaki berkepala setengah botak.

Spontan, Claire bergelayut di lengan Rainer. Mereka memberikan kesan pada setiap tamu bahwa mereka adalah pasangan yang romantis. Sesekali keduanya saling memberikan tatapan mesra, walau hanya sekilas.

Pesta usai. Para tamu kembali menyalami pasangan pengantin baru dan mendoakan keutuhan rumah tangga mereka. Ucapan yang paling sering mereka dengar tentu saja kalimat penyemangat di malam pertama.

“Selamat menikmati malam pengantin!”

**

“Ini memang berbeda dengan penthousemu yang berlantai dua dan memiliki tiga kamar besar.”

Tepat seperti dugaan Claire. Apartemen Rainer sangat sederhana. Hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang yang berfungsi sebagai ruang santai dengan sofa yang menyatu dengan ruang makan dan dapur.

Namun untungnya, kondisi apartemen ini jauh dari perkiraannya yang ternyata rapi dan bersih. Tidak nampak sampah berserakkan. Aroma maskulin tercium ke penjuru ruangan.

“Makanya, aku tadi menawarkan kita tinggal di penthouseku saja,” balas Claire.

“Kita tidak butuh tempat luas. Bukankah kita hanya berdua?”

Rainer meninggalkan Claire yang masih terpaku di tengah ruangan. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.

Claire menghembuskan napas panjang dan mengamati sekeliling.

Pemandangan dari jendela berupa lampu-lampu dari gedung-gedung pencakar langit pun terlihat cukup indah.

“Aku sudah membilas tubuh. Giliranmu,” ucap Rainer yang keluar dari kamar mandi sambal menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk kecil.

Claire mengangguk. Wanita itu masuk ke kamar mandi. Bau sabun dan shampoo Rainer masih tertinggal di sana.

“Akh, sial!” umpat Claire saat ia kesulitan membuka gaun pengantinnya. Ia pun bergegas memanggil lelaki itu. “Rainer, aku butuh bantuanmu.”

“Ada apa?” Rainer melongokkan kepalanya ke dalam kamar mandi.

“Gaun ini sulit kubuka.”

“Minta tolong yang baik.” Lelaki itu menolak dengan angkuhnya.

“Tolong buka gaunku,” ulang Claire, sembari menahan dengusan.

Rainer menurunkan resleting gaun di bagian punggung Claire dengan hati-hati.

Gaun itu meluncur mulus ke kaki Claire. Kulit tubuh wanita yang hampir tanpa busana itu terlihat jelas.

“Sudah. Kamu boleh keluar,” titah Claire.

“Kamu belum mengucapkan terima kasih karena aku membantumu.”

“Terima kasih.” Claire tersenyum beberapa detik, sebelum matanya kembali menatap garang. “Sekarang, keluar!”

Setelahnya, wanita itu langsung mengunci pintu. Ia khawatir, Rainer melakukan hal yang tidak-tidak, seperti menerobos masuk di saat ia tengah mandi.

Sekitar lima belas menit setelahnya, Claire keluar dengan piyama panjang berbahan sutra. Ia menatap Rainer yang sedang membaca buku dengan bersandar santai pada punggung ranjang.

“Apa kamu akan tidur di sini?”

“Iya.”

“Kenapa tidak di sofa?” tanya Claire, sedikit keberatan jika berbagi ranjang yang sama.

“Sofa itu terlalu kecil untuk tubuhku. Kalau kamu mau, kamu saja yang tidur di sana.”

Claire menggeleng kuat. “Tidak. Aku tidak pernah tidur di sofa.”

“Ya sudah. Sini.” Rainer menyibak selimut dan menepuk sisi ranjang yang kosong.

Dengan terpaksa, Claire naik ke ranjang. Wanita itu membaringkan tubuh di sebelah Rainer.

Tidak ingin berhadapan, ia lalu membalik tubuh membelakangi Rainer.

“Selamat malam, Rainer.”

“Selamat tidur, My Lady.”

Claire tersenyum mendengar panggilan manis itu.

Beberapa menit berlalu, Claire yang sedari tadi mencoba memejamkan mata ternyata kesulitan terlelap.

Claire yakin, Rainer pun demikian. Sebab, ia merasakan gerakan-gerakan kecil di sampingnya beberapa kali.

“Apa kamu biasa tidur larut malam?” Claire kembali membuka perbincangan.

“Pekerjaanku banyak. Bosku galak. Jadi, aku biasa membawa pekerjaan ke apartemen dan menyelesaikannya, baru kemudian bisa tidur dengan tenang,” jawab Rainer santai.

“Pekerjaanmu banyak karena gajimu sangat besar!” Tidak terima, Claire menyahut dengan sewot. “Seharusnya kamu dapat menyewa apartemen yang lebih baik dari ini.”

Rainer tidak menjawab. Claire tidak tahu, jika ia kesulitan tidur karena menahan sesuatu yang tiba-tiba bergejolak karena kehadiran wanita itu di sisinya.

Claire membalik tubuhnya untuk menatap Rainer.

Tepat saat itu kilat menyambar, membuat wanita itu tersentak kaget dan langsung menutup wajah dengan selimut.

“Argh!”

Tak lama kemudian, hujan lebat turun disertai guntur yang bersahutan.

Rainer turun dari ranjang. Biasanya jika sendiri, ia akan menatap hujan deras sebagai tontonan. Namun, karena Claire terlihat takut, lelaki tampan itu menutup tirai jendela.

Mata Claire mengintip dari balik selimut. Rainer menggeleng melihat kelakuan sang istri. Wanita itu masih tampak cemas.

“Apartemen ini terasa bergetar,” ungkap Claire gelisah.

“Memang begitu jika hujan deras disertai petir.”

“Tapi, penthouseku yang ada di lantai empat puluh tidak bergetar seperti ini saat hujan.”

Rainer berdecak sebelum menyahut, “Karena penthousemu berada di gedung mahal.”

Kepala Claire kembali masuk ke dalam selimut saat petir menyambar kencang.

Rainer akhirnya meraih tubuh sang istri dan memeluknya. Claire kini merasa lebih tenang dan nyaman.

“Tubuhmu enak dipeluk,” ucap Rainer.

‘Aku juga nyaman berada di pelukanmu.’

Claire hanya berani menjawab dalam hati, sebab ia sendiri sedang sibuk menetralkan debaran jantungnya yang menguat.

Hingga tangan Rainer mengangkat dagunya. Wajah mereka sangat dekat. Jari jempol Rainer mengusap bibir Claire.

“Aku masih memikirkan ciuman kita tadi. Bibirmu manis.”

Wajahnya sontak merona, merasa malu dan tabu membahas hal itu bersama.

“A-aku…” Gugup, Claire kehilangan kata-katanya.

Tatapan sendu berkabut dari mata Rainer membuat keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya.

Perlahan, Claire mulai paham. Rainer mungkin kesulitan tidur karena tengah menahan godaan hasratnya yang meningkat. Namun, di sisi lain … ia sendiri tidak siap untuk menyerahkan mahkota berharganya pada Rainer.

Terlebih status mereka yang hanya menikah pura-pura untuk tujuan tertentu.

Tangan Rainer mengangkat dagu Claire.

Wajah Claire memucat. Ia berusaha menahan kepalanya untuk tidak lebih dekat dengan Rainer. Hembusan napas Rainer terasa hangat di pipi.

“Kita suami-istri,” gumam Rainer seraya menyatukan bibirnya dengan bibir Claire. “Bukankah wajar pengantin baru menghabiskan malam panjang di malam pengantinnya?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
uvuvwevwevwe osas
sepertinya ini akan jd pasangan kocak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status