Tepuk tangan terdengar riuh rendah. Wajah Claire kini bersemu merah usai Rainer melepas tautan bibir mereka. Lututnya terasa lemas sebab inilah ciuman pertamanya.
‘Dia benar-benar menciumku?’ batinnya masih belum menyangka.
Tidak lama, mereka sudah membaur dengan para tamu. Rainer benar-benar menunjukkan bakat aktingnya sebagai suami yang begitu mencintai Claire.
Berbagai komentar dan cibiran tamu diacuhkan Claire dan Rainer. Keduanya tetap bersandiwara seolah-olah mereka adalah pasangan yang berbahagia.
“Lepaskan. Tanganku mulai lembab karena keringat,” bisik Claire di telinga lelaki itu.
“Tidak. Kita harus totalitas memainkan sandiwara ini,” tolak Rainer.
Keduanya duduk di kursi bersama para undangan VIP. Berbincang santai sambil makan. Claire dengan tenang, makan dan minum tanpa memperhatikan Rainer.
Jika ada yang memperhatikan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus yang mencoba akur di tengah keramaian.
Claire yang mencoba menjadi figure istri perhatian, kendati ia buta pada hal yang disukai sang suami. Sementara Rainer yang berlagak suami pengertian yang menerima segala curahan perhatian sang istri, mesti harus mengorbankan dirinya sendiri—memakan sayuran misalnya.
Melihat Rainer menyuap sayuran hijau dan langsung minum air banyak-banyak setelahnya membuat Claire tersenyum puas.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab ‘penyiksaan’ sesungguhnya baru akan dimulai. Terlebih saat Rainer kukuh pada pendiriannya untuk langsung memboyong sang istri ke apartemennya.
“Aku belum berkemas.” Wanita itu mencoba mengulur waktu.
Sayang, Rainer selangkah lebih terdepan dalam hal persiapan ini. “Tidak perlu. Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku.”
Claire mengernyitkan dahi. “Kapan kamu menyiapkannya?”
“Semalam.”
Tentu saja Claire tidak meragukan kemampuan Rainer. Masalahnya, ia benar-benar tidak siap tinggal di apartemen sederhana. Ia takut kesulitan tidur, atau kulitnya gatal-gatal karena membayangkan betapa jorok dan kotornya apartemen Rainer, karena ia seorang lelaki bujang.
“Itu pengacara perusahaan.”
Lamunan Claire terputus saat mendengar suara Rainer di telinganya. Ia menoleh ke arah mata di mana Rainer pun tengah menuju ke arah yang sama.
“Jika kamu terlihat tidak serius dalam pernikahan ini, ia pasti tidak akan melegalkan posisimu sebagai presiden direktur saat ini juga,” tukas Rainer sambil mengamati seorang lelaki berkepala setengah botak.
Spontan, Claire bergelayut di lengan Rainer. Mereka memberikan kesan pada setiap tamu bahwa mereka adalah pasangan yang romantis. Sesekali keduanya saling memberikan tatapan mesra, walau hanya sekilas.
Pesta usai. Para tamu kembali menyalami pasangan pengantin baru dan mendoakan keutuhan rumah tangga mereka. Ucapan yang paling sering mereka dengar tentu saja kalimat penyemangat di malam pertama.
“Selamat menikmati malam pengantin!”
**
“Ini memang berbeda dengan penthousemu yang berlantai dua dan memiliki tiga kamar besar.”
Tepat seperti dugaan Claire. Apartemen Rainer sangat sederhana. Hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang yang berfungsi sebagai ruang santai dengan sofa yang menyatu dengan ruang makan dan dapur.
Namun untungnya, kondisi apartemen ini jauh dari perkiraannya yang ternyata rapi dan bersih. Tidak nampak sampah berserakkan. Aroma maskulin tercium ke penjuru ruangan.
“Makanya, aku tadi menawarkan kita tinggal di penthouseku saja,” balas Claire.
“Kita tidak butuh tempat luas. Bukankah kita hanya berdua?”
Rainer meninggalkan Claire yang masih terpaku di tengah ruangan. Lelaki itu masuk ke dalam kamar mandi.
Claire menghembuskan napas panjang dan mengamati sekeliling.
Pemandangan dari jendela berupa lampu-lampu dari gedung-gedung pencakar langit pun terlihat cukup indah.
“Aku sudah membilas tubuh. Giliranmu,” ucap Rainer yang keluar dari kamar mandi sambal menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk kecil.
Claire mengangguk. Wanita itu masuk ke kamar mandi. Bau sabun dan shampoo Rainer masih tertinggal di sana.
“Akh, sial!” umpat Claire saat ia kesulitan membuka gaun pengantinnya. Ia pun bergegas memanggil lelaki itu. “Rainer, aku butuh bantuanmu.”
“Ada apa?” Rainer melongokkan kepalanya ke dalam kamar mandi.
“Gaun ini sulit kubuka.”
“Minta tolong yang baik.” Lelaki itu menolak dengan angkuhnya.
“Tolong buka gaunku,” ulang Claire, sembari menahan dengusan.
Rainer menurunkan resleting gaun di bagian punggung Claire dengan hati-hati.
Gaun itu meluncur mulus ke kaki Claire. Kulit tubuh wanita yang hampir tanpa busana itu terlihat jelas.
“Sudah. Kamu boleh keluar,” titah Claire.
“Kamu belum mengucapkan terima kasih karena aku membantumu.”
“Terima kasih.” Claire tersenyum beberapa detik, sebelum matanya kembali menatap garang. “Sekarang, keluar!”
Setelahnya, wanita itu langsung mengunci pintu. Ia khawatir, Rainer melakukan hal yang tidak-tidak, seperti menerobos masuk di saat ia tengah mandi.
Sekitar lima belas menit setelahnya, Claire keluar dengan piyama panjang berbahan sutra. Ia menatap Rainer yang sedang membaca buku dengan bersandar santai pada punggung ranjang.
“Apa kamu akan tidur di sini?”
“Iya.”
“Kenapa tidak di sofa?” tanya Claire, sedikit keberatan jika berbagi ranjang yang sama.
“Sofa itu terlalu kecil untuk tubuhku. Kalau kamu mau, kamu saja yang tidur di sana.”
Claire menggeleng kuat. “Tidak. Aku tidak pernah tidur di sofa.”
“Ya sudah. Sini.” Rainer menyibak selimut dan menepuk sisi ranjang yang kosong.
Dengan terpaksa, Claire naik ke ranjang. Wanita itu membaringkan tubuh di sebelah Rainer.
Tidak ingin berhadapan, ia lalu membalik tubuh membelakangi Rainer.
“Selamat malam, Rainer.”
“Selamat tidur, My Lady.”
Claire tersenyum mendengar panggilan manis itu.
Beberapa menit berlalu, Claire yang sedari tadi mencoba memejamkan mata ternyata kesulitan terlelap.
Claire yakin, Rainer pun demikian. Sebab, ia merasakan gerakan-gerakan kecil di sampingnya beberapa kali.
“Apa kamu biasa tidur larut malam?” Claire kembali membuka perbincangan.
“Pekerjaanku banyak. Bosku galak. Jadi, aku biasa membawa pekerjaan ke apartemen dan menyelesaikannya, baru kemudian bisa tidur dengan tenang,” jawab Rainer santai.
“Pekerjaanmu banyak karena gajimu sangat besar!” Tidak terima, Claire menyahut dengan sewot. “Seharusnya kamu dapat menyewa apartemen yang lebih baik dari ini.”
Rainer tidak menjawab. Claire tidak tahu, jika ia kesulitan tidur karena menahan sesuatu yang tiba-tiba bergejolak karena kehadiran wanita itu di sisinya.
Claire membalik tubuhnya untuk menatap Rainer.
Tepat saat itu kilat menyambar, membuat wanita itu tersentak kaget dan langsung menutup wajah dengan selimut.
“Argh!”
Tak lama kemudian, hujan lebat turun disertai guntur yang bersahutan.
Rainer turun dari ranjang. Biasanya jika sendiri, ia akan menatap hujan deras sebagai tontonan. Namun, karena Claire terlihat takut, lelaki tampan itu menutup tirai jendela.
Mata Claire mengintip dari balik selimut. Rainer menggeleng melihat kelakuan sang istri. Wanita itu masih tampak cemas.
“Apartemen ini terasa bergetar,” ungkap Claire gelisah.
“Memang begitu jika hujan deras disertai petir.”
“Tapi, penthouseku yang ada di lantai empat puluh tidak bergetar seperti ini saat hujan.”
Rainer berdecak sebelum menyahut, “Karena penthousemu berada di gedung mahal.”
Kepala Claire kembali masuk ke dalam selimut saat petir menyambar kencang.
Rainer akhirnya meraih tubuh sang istri dan memeluknya. Claire kini merasa lebih tenang dan nyaman.
“Tubuhmu enak dipeluk,” ucap Rainer.
‘Aku juga nyaman berada di pelukanmu.’
Claire hanya berani menjawab dalam hati, sebab ia sendiri sedang sibuk menetralkan debaran jantungnya yang menguat.
Hingga tangan Rainer mengangkat dagunya. Wajah mereka sangat dekat. Jari jempol Rainer mengusap bibir Claire.
“Aku masih memikirkan ciuman kita tadi. Bibirmu manis.”
Wajahnya sontak merona, merasa malu dan tabu membahas hal itu bersama.
“A-aku…” Gugup, Claire kehilangan kata-katanya.
Tatapan sendu berkabut dari mata Rainer membuat keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya.
Perlahan, Claire mulai paham. Rainer mungkin kesulitan tidur karena tengah menahan godaan hasratnya yang meningkat. Namun, di sisi lain … ia sendiri tidak siap untuk menyerahkan mahkota berharganya pada Rainer.
Terlebih status mereka yang hanya menikah pura-pura untuk tujuan tertentu.
Tangan Rainer mengangkat dagu Claire.
Wajah Claire memucat. Ia berusaha menahan kepalanya untuk tidak lebih dekat dengan Rainer. Hembusan napas Rainer terasa hangat di pipi.
“Kita suami-istri,” gumam Rainer seraya menyatukan bibirnya dengan bibir Claire. “Bukankah wajar pengantin baru menghabiskan malam panjang di malam pengantinnya?”
Rainer tersenyum lembut. Jari-jarinya sangat terampil membuka kancing piyama Claire. Wanita itu hanya diam dan berusaha mengatur napasnya yang kian tak beraturan.“Sesuai bayanganku. Kamu cantik sekali,” gumam Rainer menatap tubuh polos Claire.Kemudian, pria itu kembali mendaratkan bibirnya dan memagut bibir Claire dengan lembut dan dalam.Dengan posisi mereka yang seperti ini, Claire bisa merasakan pergolakan gairah Rainer yang semakin nyata. Salah satu bagian tubuh pria itu terasa memberontak, dan terus menekan bagian pahanya.“Aku menginginkanmu, Claire.” Mata pria itu berkabut kala berkata demikian.Sementara, Claire kehilangan kata-kata untuk menyahut. Kendati begitu, wanita itu pun tahu jika gairahnya juga sudah sama-sama tak tertahankan.Setelahnya, pagutan Rainer pada bibir Claire semakin dalam.Claire yang awalnya tidak menyambut, perlahan mulai bereaksi. Bibirnya mulai mengeluarkan lenguhan, tubuhnya meliuk, mengikuti permainan jari Rainer yang tak henti menggoda kulitnya.
“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.” “Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar. Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma