Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya.
Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh.
“Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan.
Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring.
Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit.
“Jadi, kalian telah menikah?”
Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer.
“Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air.
“Kapan?”
“Dua hari yang lalu.”
“Kenapa tidak memberi kabar?”
Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya.
Tutur kata Rainer sangat lembut pada orang tuanya. Claire menyimpulkan suaminya adalah anak yang berbakti. Tidak terdengar nada tinggi walaupun Adam membalas sinis setiap pernyataan tentang pernikahan dadakan ini.
“Begitu keadaannya, Pa. Tolong mengerti kondisi kami berdua. Sekali lagi kami mohon maaf karena tidak memberitahukan pernikahan ini,” sesal Rainer.
Adam mengembuskan napas panjang. Lelaki setengah baya itu lalu menatap Claire.
Claire adalah wanita yang cantik. Penampilannya sangat modern, berbeda dengan keluarga Rainer yang selalu tampil bersahaja.
Adam kembali menggeleng samar melihat putra dan istrinya berdua. Ia masih tidak mempercayai penglihatannya sendiri bahwa Rainer telah menikah. Apalagi menikahi wanita macam Claire.
“Kamu bekerja di mana, Claire?” Brandon menurunkan nada suaranya saat berbicara dengan Claire.
Wanita cantik itu tersenyum sebelum menjawab dengan nada bangga. “Aku wakil presiden direktur perusahaan Rischmond, Pa.”
Dengan alis menyatu, Adam berpaling menatap Rainer.
“Bukankah kamu juga bekerja di perusahaan Rischmond?”
Rainer mengerang dalam hati kemudian mengangguk. “Iya, Pa.”
Adam menghela napas, lalu bersandar pada kursi.
“Rainer bekerja sebagai asisten wakil presiden direktur. Artinya, ia bekerja padamu, bukan?” Suara sedih meluncur dari tenggorokan Adam. Matanya menatap Claire memohon penjelasan.
“Betul. Rainer adalah asisten pribadiku,” ucap Claire dengan nada ceria. Ia tak sadar bahwa Adam dan Maya begitu shock mendengar pernyataan Claire barusan.
“Jadi kalian adalah atasan dan bawahan di perusahaan?” Maya ikut membuka suara.
Kepala Claire mengangguk. Rainer menunduk lalu minum untuk melegakan tenggorokannya yang tercekat. Lelaki itu lalu angkat bicara.
“Aku menjadi asisten Claire hanya sementara, Ma, Pa. Sekalian belajar di perusahaan Rischmond itu.”
Setelah itu, hening sejenak. Adam tidak melanjutkan pertanyaan mengenai pekerjaan. Mereka kini berbincang tentang keseharian masing-masing.
Saat makan malam selesai, Claire melihat keluarga Rainer saling membantu merapikan meja makan. Mau tak mau, ia juga ikut membantu. Walaupun hanya sekedar meletakkan piring kotor di wastafel dapur.
“Kamar kalian sudah siap. Silahkan beristirahat. Sampai bertemu besok pagi.” Maya tersenyum tipis lalu membantu Granny berdiri.
“Sampai besok, Ma, Pa, Granny.” Rainer menyahut dan menundukkan sedikit kepalanya pada ketiga orang yang dituakan di keluarga.
Claire segera menarik tangan Rainer menjauhi ruang makan. “Di mana kamarnya. Aku mau mandi.”
“Aku juga mau mandi. Untuk menghemat waktu, kita bisa mandi bersama,” cetus Rainer sambil berjalan menuju kamarnya.
“Tidak mau.” Claire menolak mentah-mentah tawaran Rainer.
Di dalam kamar, Claire memutar matanya. Kamar itu tidak terlalu luas. Meski begitu, terlihat sangat nyaman.
Sambil mengamati sekeliling, Claire membuka-buka laci.
“Cari apa?” tanya Rainer heran.
“Remote AC di mana?”
Rainer meledakkan tawanya.
Claire memandang penuh tanya pada Rainer. “Apa yang lucu?”
Lelaki itu menggeleng dan berkata,” Tidak ada AC di sini.”
Dengan dahi berkerut, Claire kembali mengamati sekeliling kamar. Kepalanya mendongak dan ia memang tidak menemukan satu unit AC pun di kamar ini.
Kini Claire menatap ngeri pada Rainer, seolah-olah ia menemukan sesuatu yang menakutkan.
“Tidak ada AC? Ya Tuhan, aku tidak pernah tidur tanpa AC, Rainer.” Claire merajuk kesal.
“Kamu akan terbiasa.”
Mulut Claire tetap memberengut. Dengan kasar, ia menghentakkan kakinya dan masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Rainer yang hanya bisa menggeleng.
Lima belas menit kemudian, Claire keluar dengan pakaian tipis dan rambut digelung handuk. Wanita itu langsung naik ke ranjang dan menutupi dirinya dengan selimut tipis.
Rainer masuk ke kamar mandi dan membilas diri. Kemudian setelah selesai berpakaian, lelaki itu bergabung dengan Claire yang sedang membaca majalah.
“Majalahmu mesum semua,” ketus Claire sambil membalik-balik kasar lembaran majalah di tangannya.
Majalah yang dimaksud Claire merupakan majalah koleksi Rainer sejak ia kuliah. Majalah-majalah dengan cover wanita-wanita cantik dengan pakaian minim.
“Aku lelaki normal.” Rainer membalas santai.
Claire melempar majalah ke meja nakas. Lalu, melipat tangan di perut. Wanita itu menatap dinding di depan mereka yang kosong.
“Kenapa tidak ada televisi di kamar ini?”
“Kami tidak terlalu suka menonton. Lagipula, jika pun ada, siarannya juga tidak ada yang bagus.”
“Membosankan.”
Malam ini memang belum terlalu larut. Claire dan Rainer belum dapat tidur karena biasanya mereka terlelap larut malam. Apalagi, mereka telah banyak tidur di pesawat. Keduanya menatap langit-langit dalam diam.
“Apa kamu tidak memperhatikan bahwa Papa shock mendengar aku bekerja sebagai asisten pribadimu?” Rainer membuka perbincangan.
“Tidak. Kenapa harus shock?”
Rainer mendengus pelan. “Aku pamit pergi ke luar negeri untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan besar, namun pulang dengan status asisten pribadi yang menikah dengan atasan wanitanya.”
Claire membalik tubuhnya menyamping menghadap Rainer.
“Tenang saja. Begitu aku sah menjadi presdir, kamu pun akan mendapatkan kerja sama itu.”
“Aku rasa jalan menuju ke sana masih panjang.”
“Kenapa begitu?”
“Aku lihat orang tua-ku pun tidak percaya bahwa kita sungguh-sungguh telah menikah.”
Pernyataan Rainer membuat Claire berusaha mengingat bagaimana ekspresi orang tua Rainer saat mendengar mereka telah menikah.
“Artinya, di sini pun kita harus bersandiwara,” gumam Claire.
Mereka kemudian terdiam. Rainer mengembuskan napas panjang dan memejamkan mata. Hembusan angin dingin menerpa tubuh mereka.
Claire bergidik. Ia menoleh ke belakang menatap jendela yang ternyata belum tertutup.
“Rainer, tutup jendelanya, dong.”
Rainer membuka mata, lalu melirik sekilas ke jendela.
“Minta yang baik.” Rainer berkata sambil kembali menutup matanya.
Sambil mengguncang pelan tubuh Rainer, Claire berkata,” Ayo, tolong. Tutup jendelanya. Anginnya dingin.”
Bukannya turun dari ranjang, Rainer malah membalik tubuh dan memeluk Claire. Kaki-kaki panjang Rainer mengunci tubuh istrinya. Wanita itu terperangkap di dekapan sang suami.
“Kalau seperti ini tidak dingin, ‘kan?”
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
“Rainer!”Saking bersemangatnya bertemu, Claire duduk tegak hingga dadanya terlihat di permukaan air. Lalu, dengan segera menyilangkan kedua tangan di dada saat melihat Rainer memperhatikan bagian tersebut.Claire memberengut mendengar Rainer terkekeh pelan.“Ayo keluar. Aku rasa airnya sudah dingin.” Rainer mengulurkan tangan untuk membantu Claire berdiri.Claire menurut. Ternyata sudah hampir satu jam ia berendam. Rainer bersikeras membantu mengeringkan tubuh Claire membuat wanita itu menahan malu.“Aku sudah membeli beberapa stel piyama flannel untukmu,” ucap Rainer sambil menunjukkan beberapa piyama di ranjang.“Ya, aku pikir aku memang membutuhkan piyama tebal untuk tidur.” Claire mengambil satu stel dan mengenakannya.Rainer melipat tangannya di perut dan membalas, “Paling tidak kamu bisa mengucapkan terima kasih pada pemberian orang.”Wanita itu melirik sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Setelahnya, Claire mulai kedinginan. Ia naik ke ranjang dan menyelimutinya tubuhnya.
Claire melemparkan pandangan malas mendengar pernyataan Rainer. Sementara lelaki itu tergelak melihat ekspresi sang istri.“Jujur saja, kamu bukan tipe idamanku. Bagaimana aku bisa jatuh cinta?” Claire mencebik pada Rainer.Lelaki itu menghentikan tawanya dan bertanya,” Lalu seperti apa idamanmu? Seperti Alexander Morgan?”“Alexander adalah pengusaha sukses dan tampan. Kenapa tidak?” Claire menyahut saat Rainer menyebut nama salah satu partner bisnisnya.“Asal kamu tau saja, aku jauh lebih kaya daripada Morgan.” Kali ini bibir Rainer yang mencebik kesal.Bibir Claire tertutup rapat. Memang benar. Setelah berada di kampung halaman Rainer, ia juga baru tau suaminya kaya raya. Walaupun tidak banyak orang tau tentang kenyataan ini.Hujan lebat mulai berganti dengan gerimis. Rainer terlihat kembali menatap jendela, mengamati tetesan air di jendela. Atau entah apa yang ia perhatikan di luar sana.Tiba-tiba, Rainer bercerita dengan tetap menerawang jauh.“Aku lahir saat hujan deras. Mama tid
Pagi harinya, seperti biasanya, Rainer bangun lebih dulu. Lelaki itu memandang wajah cantik wanita di sampingnya. Kemudian, mengutuk dirinya yang mulai menggunakan hati pada Claire.Dilihat dari sudut mana pun mereka berbeda. Karakter, kebiasaan, bahkan kegemaran sangat jauh bertolak belakang. Salah satunya, ia sangat menyukai hujan, di mana Claire sangat takut.Tetapi, Rainer tidak dapat mengelak dari rasa sukanya pada Claire. Jika tidak, ia mungkin tidak akan bertahan bekerja sebagai asisten pribadi selama satu tahun. Apalagi, ia pernah mereguk manisnya penyatuan mereka. Sesaat Rainer membayangkan bagaimana ia dan istrinya melewati malam pertama. Bagian tubuh Rainer menegang, membutuhkan pelepasan.Claire membuka sedikit demi sedikit matanya. Wanita itu merasakan tangan Rainer sedang meraba seluruh tubuh. Saat ia benar-benar terbangun, Rainer sudah menghujaninya dengan ciuman.“Kamu sangat cantik saat bangun tidur begini,” bisik Rainer.Wajah keduanya memerah setelah berhasil menca
“Dia asistenku. Ingat?” Entah kenapa Rainer pun memberikan penjelasan.Claire terdiam menyadari bahwa ia seperti seorang wanita yang sedang dibakar rasa cemburu. Ia mengamati sang suami yang masuk ke dalam mobil. Lalu melambai dengan senyum tulus yang dipaksakan.Granny sedang menonton drama korea lagi ketika Claire lewat untuk kembali ke kamar. Kepalanya menggeleng lemah. Siapa sebenarnya yang mengenalkan wanita tua itu menonton drama itu?Sampai di kamar, Claire kembali naik ke ranjang dan mencoba untuk tidur. Setelah setengah jam, ia mendesah kesal karena tidak juga dapat tidur.Wanita cantik itu menyeret langkah ke kamar mandi. Membilas diri dan berpakaian. Walau hanya di dalam kamar saja, ia tetap menggunakan pakaian rapi dan berhias tipis.Saat Claire sedang tekun menatap layar laptop, pintu kamar diketuk.“Tok, tok, tok. Claire, ini Mama.” Suara dari balik pintu membuat Claire berdiri dan membukakan pintu.“Ma?” sapa Claire.“Boleh masuk? Mama bawakan jus untukmu.” Maya memperl