Tanpa banyak kata, Claire mengikuti Rainer. Lelaki itu membukakan pintu mobil untuknya. Seperti biasa meletakkan telapak tangan di atap pintu agar kepala Claire tidak membentur atap tersebut.Paling tidak hanya ia yang mendapat perlakuan istimewa itu. Bukan Stella. Begitu batin Claire berkata.Claire memandang jalanan. Mereka keluar dari perkebunan. Mobil melewati lahan-lahan yang kosong. Hanya rumput dan beberapa tanaman yang sepertinya habis dipanen.Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bertingkat. Lebih modern dari rumah yang pertama. Claire turun setelah Rainer membukakan pintu untuknya.“Di mana kita?” tanya Claire memperhatikan sekelilingnya.“Ini rumah pribadiku. Oranng-orang di sini menyebutnya manor atau rumah besar.” Rainer menuntun Claire menaiki tangga menuju pintu utama.“Kenapa sejak awal kita tidak ke sini?”“Karena orang tuaku tidak berada di sini.”Kepala Claire mengangguk mengerti. Mereka disambut tiga orang pelayan. Mungkin. Karena ketiganya tidak menggunakan
Rainer mengajak Claire duduk di pinggir makam. Ada beberapa batu yang dibuat sebagai kursi. Mereka duduk menghadap makam.“Iya. Ini kembaranku, Nita.”“Dia meninggal pada usia dua puluh dua tahun? Artinya baru tiga tahun yang lalu?” Claire dengan cepat menghitung dari tanggal kematian yang tertera pada nisan.Kepala Rainer mengangguk.“Sakit?” Claire bertanya seraya menatap wajah Rainer.Lelaki itu menghela napas panjang. Matanya menatap nisan pualam itu dengan wajah sedih. Hingga akhirnya, Claire meraih tangan Rainer dan menggenggamnya. Kepala Rainer lalu menggeleng pelan.“Meskipun kembar, aku dan Nita sangat berbeda. Aku jauh lebih tinggi. Orang hanya akan mengira bahwa kami adalah kakak beradik dengan perbedaan usia yang cukup jauh.”Rainer menjeda sejenak ceritanya. Matanya menatap genggaman tangan Claire.“Karakter kami apalagi. Aku memiliki sifat jahil dan keras kepala, sementara Nita sangat baik hati dan penurut.”Saat dewasa, Rainer menceritakan bahwa mereka telah berbagi tug
“Hai, Stella. Istriku hari ini ikut kita ke kantor.” Rainer balas menyapa dengan ramah.Selanjutnya, Claire malas mendengar percakapan suaminya dengan Stella. Mendengar Rainer menyapa wanita itu saja membuat ia risih. Bisa-bisanya Stella mendatangi Rainer langsung di manor.Padahal, wanita itu tau Rainer sedang bersama istrinya.Wajah Clare kembali mengeras tak kala Stella dengan santai duduk di samping pengemudi. Rainer terkesiap sejenak, lalu melirik Claire yang memasang wajah datar.Claire masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang setelah Rainer membukakan pintu untuknya. Sementara Rainer masih berada di luar dan berbicara dengan pelayan-pelayan.Tak berapa lama, seorang lelaki masuk dan duduk di kursi pengemudi. Rasanya Claire mau tertawa melihat Stella sedikit terkejut karena bukan Rainer yang akan menyetir mobilnya.“Kamu langsung ke kantor, ya, Stell,” ucap Rainer pada Stella saat mereka dalam perjalanan.Wanita itu menoleh ke belakang dan menjawab, “Kamu?”“Aku akan mengajak
Sambil mendatarkan wajah dan mengeluarkan black card, Claire berkata, “Aku bayar semuanya. Berapa?”Sang wanita menatap kartu di tangan Claire, lalu menggeleng.“Kami tidak menggunakan kartu kredit di sini,” ucapnya tak kalah datar. “Semua pembayaran menggunakan uang tunai.”Sambil berdecak kesal, Claire mengerutkan dahi. Seumur-umur, ia baru tau ada daerah yang tidak mengenal pembayaran dengan kartu kredit. Benar-benar menyusahkan.Alhasil, Claire harus mengecek isi dompetnya. Ia jarang sekali menyimpan uang cash. Biasanya black card selalu dapat menyelesaikan pembayaran di mana pun ia berbelanja.Saat Claire kebingungan mencari uang cash, Rainer masuk ke dalam toko. Tangannya menggenggam rangkaian bunga cantik yang berukuran sedang. Lelaki itu mengelus lembut punggung Claire.“Sudah beli obatnya?” tanyanya pada sang istri.Kepala Claire menggeleng. “Aku tidak punya cash untuk membayar.”Rainer terkekeh. Ia mengeluarkan dompetnya dan membayar seluruh tagihan sang istri.“Mana obatnya
Ini waktu yang tepat. Bagi Claire, mereka bisa sekalian mengundang keluarga Rainer ke luar negeri untuk peresmiannya sebagai presiden direktur. Setelah itu merancang perusahaan baru Rainer.“Sebentar lagi, Pa. Sebenarnya aku pulang sekalian membicarakan perusahaan itu dengan Papa.” Rainer menjawab tanpa menjelaskan detail.“Bagus. Kita bicarakan nanti di rumah. Kalian malam ini tidur di rumah ‘kan?” tanya Adam seraya melirik Claire.Claire yang sebenarnya lebih nyaman berada di manor hanya diam. Namun kemudian, ia mendengar Rainer berkata iya pada sang papa. Wanita itu hanya mengembuskan napas panjang perlahan.Beberapa saat kemudian, Rainer dan Papanya terlibat pembicaraan serius tentang perkebunan. Claire terlihat santai sambil membaca majalah. Padahal telinganya mendengar setiap kata dari diskusi tersebut.Dari pembahasan itu, Claire jadi tau. Tanaman perkebunan harus dipanen sesegera mungkin karena musim dingin akan tiba. Adam sudah merancang berbagai strategi untuk menanam bibit
Lagi-lagi Stella. Claire tak bisa menahan dengusan kesalnya. Teman Rainer ini pantas disebut sebagai perusak mood.“Kamu di sini, Stell?” tanya Rainer bingung.“Iya. Aku mengantar sayur untuk Mama.” Stella mengangkat keranjang sayuran yang dipegangnya. “Sekalian menjemputmu. Kita sama-sama ke pasar, ya.”Stella berlalu menuju dapur. Claire membalik tubuh dan melangkah ke kamar. Rainer mengikutinya.“Kamu butuh sesuatu?” Rianer memperhatikan Claire yang sedang berganti pakaian.“Tidak. Kamu pergi saja.” Claire mengusir Rainer.Lelaki itu menghampiri Claire dan berdiri berhadapan sangat dekat. Kedua tangan Rainer mengunci sang istri hingga tubuh mereka rapat tanpa celah. Spontan, Claire menjauhkan wajahnya.“Kenapa lagi?” tanya Rainer. “Kesal karena Stella menjemputku?”“Tentu tidak. Silahkan pergi dengannya.”Detik berikutnya Claire menyesal. Setelah mengecup bibir sang istri, Rainer langsung keluar kamar. Claire mengintip melalui korden jendela dan memperhatikan mobil suaminya.Tak la
"Kalian tentu tidak menunda kehamilan, 'kan?" desak Adam lagi.Baik Claire maupun Rainer menggeleng berbarengan. Adam lalu bersandar dan minum air mineralnya. Ia terlihat berpikir sambil melirik Claire."Bagus." Akhirnya lelaki setengah baya itu berkata pelan.Selesai makan malam, Claire membantu meletakkan piring-piring kotor ke wastafel. Hanya itu saja yang ia bisa. Sementara Maya dan Stella terlihat akrab mencuci piring bersama.Tak mau mengganggu, Claire pamit ke kamar. Rainer mengantar istrinya. Lelaki itu bingung melihat rangkaian bunga yang sedikit berantakan."Aku menggunakan kelopak bunga untuk berendam tadi sore." Claire berkata seolah memahami apa yang dipikirkan suaminya.Rainer tersenyum dan mengangguk mengerti. Ia lalu berjalan ke kamar mandi. Bathtub masih penuh dengan air berbunga."Dan aku lupa membersihkannya." Claire berucap di depan pintu kamar mandi.Kelopak-kelopak bunga itu diambil Rainer. Dibuang ke tempat sampah. Lalu, lelaki itu membuka saluran pembuangan ai
"Selamat pagi."Sungguh, Claire malas menoleh mendengar suara yang telah ia kenal itu. Tetapi demi sopan santun, ia membalik tubuhnya dan memaksakan sebuah senyum."Pagi, Stella." Tegas, layaknya seorang penghuni rumah, Claire menyahut."Oh. Hai, Claire." Agaknya, Stella juga terkejut hanya Claire yang ia temui."Tumben, pagi-pagi sekali kamu sudah di dapur."Sindiran. Claire yakin wanita yang baru saja datang ini mengejeknya, karena biasanya ia bangun agak siang."Iya. Agaknya jetlag sudah berlalu." Claire memberikan alasan masuk akal."Semoga kamu sehat-sehat selalu. Aku tidak pernah melihat King jetlag. Jadi, rasanya bingung juga saat dijelaskan tentang gangguan itu." Stella tersenyum pada Claire."Cuaca di sini ekstrim. Kurasa itu salah satu faktor yang memperburuk jetlagku. Bukan hanya soal penerbangan.” Saat Stella masuk, Claire sedang menata meja makan. Melihat Claire sibuk, Stella pun membantu. Keduanya bekerja tanpa berbicara lagi satu sama lain.Rak piring satu per-satu dib