Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
"Tidak! Daddy tidak adil!" Claire berteriak frustrasi begitu mendengar ucapan Daddy-nya yang terdengar tidak masuk akal. “Sejak kapan menikah menjadi syarat wajib untuk menjadi Presdir di perusahaan kita?”"Sejak saat ini.” Daddynya memberikan sepucuk surat ke arah Claire. Cepat, ia membaca sebaris kalimat bercetak tebal. Dengusan kemudian keluar tak tertahankan dari bibir Claire. “Jadi, Daddy lebih percaya dia daripada aku?” katanya sedikit sinis mengingat nama yang dipilih daddy untuk menggantikannya.“Karena kamu bersikeras tidak menikah, maka Lunar dibantu suaminya yang akan menggantikanmu di perusahaan."Claire meremas kertas yang barusan dibacanya. Ini jelas-jelas tidak adil! Bagaimanapun, seharusnya warisan jatuh ke anak kandung.Ia tidak rela pimpinan tertinggi perusahaan jatuh ke tangan Lunar, adik tirinya. Apalagi, Claire merasa ia jauh lebih unggul dari adiknya tersebut dalam hal apa pun.Bagai berlomba dengan denting jam, pikiran Claire berpacu berusaha mencari jalan ke
"Menikahlah denganku. Bantu aku mendapatkan posisi sebagai Presdir. Setelahnya, aku akan menerima proposal kerja samamu yang sempat kutolak.”Claire mengingat pertama kali mereka bertemu. Rainer datang padanya dengan membawa proposal kerja sama.Proposal itu cukup menjanjikan sebenarnya, hanya saja Claire memafaatkan lelaki itu lebih dulu dengan mengikatnya menjadi asistennya. Ia berjanji akan mempertimbangkan, tetapi hingga satu tahun mereka berstatus sebagai bos dan asisten … wanita itu abai dari janjinya.Untuk itulah, Claire merasa saat ini adalah waktu yang tepat kembali menggunakan proposal itu sebagai senjatanya melunakkan kekeraskepalaan Rainer."Kenapa harus aku?" tanya lelaki itu lagi.Claire tersenyum mendengar nada bicara asistennya melembut. "Karena kamu satu-satunya lelaki yang kukenal dengan cukup baik."Rainer meledakkan tawanya. Semua orang tahu seperti apa watak Claire.Wanita itu cantik, tetapi perilaku tegas dan ketusnya menjadi semacam tembok penghalang untuk beri
Tepuk tangan terdengar riuh rendah. Wajah Claire kini bersemu merah usai Rainer melepas tautan bibir mereka. Lututnya terasa lemas sebab inilah ciuman pertamanya.‘Dia benar-benar menciumku?’ batinnya masih belum menyangka.Tidak lama, mereka sudah membaur dengan para tamu. Rainer benar-benar menunjukkan bakat aktingnya sebagai suami yang begitu mencintai Claire.Berbagai komentar dan cibiran tamu diacuhkan Claire dan Rainer. Keduanya tetap bersandiwara seolah-olah mereka adalah pasangan yang berbahagia.“Lepaskan. Tanganku mulai lembab karena keringat,” bisik Claire di telinga lelaki itu.“Tidak. Kita harus totalitas memainkan sandiwara ini,” tolak Rainer.Keduanya duduk di kursi bersama para undangan VIP. Berbincang santai sambil makan. Claire dengan tenang, makan dan minum tanpa memperhatikan Rainer.Jika ada yang memperhatikan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus yang mencoba akur di tengah keramaian.Claire yang mencoba menjadi figure istri perhatian, kendati ia buta p
Rainer tersenyum lembut. Jari-jarinya sangat terampil membuka kancing piyama Claire. Wanita itu hanya diam dan berusaha mengatur napasnya yang kian tak beraturan.“Sesuai bayanganku. Kamu cantik sekali,” gumam Rainer menatap tubuh polos Claire.Kemudian, pria itu kembali mendaratkan bibirnya dan memagut bibir Claire dengan lembut dan dalam.Dengan posisi mereka yang seperti ini, Claire bisa merasakan pergolakan gairah Rainer yang semakin nyata. Salah satu bagian tubuh pria itu terasa memberontak, dan terus menekan bagian pahanya.“Aku menginginkanmu, Claire.” Mata pria itu berkabut kala berkata demikian.Sementara, Claire kehilangan kata-kata untuk menyahut. Kendati begitu, wanita itu pun tahu jika gairahnya juga sudah sama-sama tak tertahankan.Setelahnya, pagutan Rainer pada bibir Claire semakin dalam.Claire yang awalnya tidak menyambut, perlahan mulai bereaksi. Bibirnya mulai mengeluarkan lenguhan, tubuhnya meliuk, mengikuti permainan jari Rainer yang tak henti menggoda kulitnya.
“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.” “Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar. Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena