“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.
“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.”
“Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.
Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar.
Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.
“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”
“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”
“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum sempat memberitahukan keluarga,” aku Rainer.
Brandon menatap nyalang ke arah menantunya. “Kenapa?”
“Sama seperti Tuan, keluarga saya pasti akan sangat terkejut. Untuk itu, lebih baik saya memberitahu mereka secara langsung daripada melalui telepon.”
Claire meminta Daddy-nya duduk sementara Rainer membuatkan teh. Brandon mengamati Rainer. Lalu, netranya berotasi pada sekeliling apartemen. Tatapannya berakhir pada sang putri.
“Ternyata kamu bisa juga tidur di tempat sederhana begini,” cetus Brandon.
Claire tersenyum, bangga. Ia kemudian menyahut riang, “Karena ada Rainer di sini.”
Lelaki yang hampir seluruh rambutnya memutih itu mencondongkan tubuh ke arah sang putri. Matanya melirik Rainer yang membelakangi mereka. Lalu, dengan wajah serius Brandon berbicara pada Claire.
“Daddy lihat Rainer adalah lelaki yang baik. Jangan kamu permainkan dia agar kamu mendapatkan keinginanmu.”
Claire menahan napasnya, tetapi kemudian ia mengangguk.
“Jika Daddy tau kalian ternyata berpura-pura, kamu akan kehilangan apa yang sudah kamu raih.”
Susah payah Claire menelan ludahnya sendiri. Apa Daddynya masih curiga?
Ia cukup bersyukur semalam tidur dengan Rainer, walaupun ternyata posisinya tetap belum aman saat ini.
“Daddy akan mengesahkan jabatanmu jika kamu sudah bertemu dan memperkenalkan diri sebagai istri pada keluarga Rainer,” tuntut Brandon. “Hal ini dilakukan agar Daddy yakin kalian benar-benar serius menjalani pernikahan.”
Rainer kembali dengan nampan berisi teko dan tiga cangkir. Claire membantu meletakkan cangkir di depan Brandon lalu menuang isi teko. Aroma teh herbal memanjakan penciuman mereka.
“Silakan diminum, Tuan.”
“Terima kasih.”
Brandon mengangguk. Lalu, ia menatap Rainer dan Claire bergantian.
“Oh ya, bagaimana dengan bulan madu kalian?”
“Saya berencana mengajak My Lady ke kampung halaman sekalian memperkenalkannya dengan keluarga saya, Tuan,” balas Rainer yakin.
“Bagus, aku setuju.” Brandon tampak bersemangat.
Wajah Claire menampakkan ketidaksetujuan. Di bawah meja, ia menendang kaki Rainer, memintanya meralat pernyataan tersebut. Tetapi, Rainer malah menjauhkan kakinya dari kaki Claire.
“Setelah kalian kembali, kita akan meresmikan jabatan baru untuk Claire sebagai pemimpin tertinggi perusahaan. Ajak keluargamu untuk datang, Rainer,” imbuh Brandon lagi.
Mendengar pernyataan sang Daddy, Claire akhirnya mengangguk setuju. “Aku akan mengundang keluarga Rainer, Dad.”
“Harus! Mereka harus menjadi saksi pengangkatan jabatanmu,” tegas Brandon.
Setelah berbincang beberapa saat, Brandon berpamitan. Rainer dan Claire mengantar hingga ke pintu. Dengan santun, Rainer menunduk hormat pada sang mertua.
“Terima kasih atas kedatangannya, Tuan.”
Brandon menepuk bahu Rainer sambil mengangguk. “Tuan? Kamu adalah menantuku. Panggil aku, Daddy.”
Salah tingkah, Rainer mengangguk dan menjawab santun. “Baik, Daddy.”
*****
Keesokan harinya, Claire berdandan feminim dan elegan. Dress berwarna navy pas di tubuh, sepatu berhak tinggi, perhiasan anting, cincin dan jam tangan mewah serta tas tangan keluaran terbaru brand internasional.
“Kamu yakin mau menggunakan pakaian itu?” tanya Rainer mengamati istrinya.
“Iya. Terus-terang saja ini sudah cukup simple menurutku.”
Rainer tidak membantah. Keduanya lalu menuju bandara. Perjalanan mereka cukup tersendat padatnya lalu lintas.
“Apa kita akan ketinggalan pesawat?” Ia mulai sedikit panik.
“Tidak.”
Claire mengangguk, percaya pada sahutan sang suami. “Berapa lama perjalanan kita?”
“Sembilan jam.”
Claire melirik jam tangan mewahnya. Saat ini sudah pukul delapan pagi dan mereka masih terjebak kemacetan.
Tapi, kenapa Rainer sangat santai dan mengatakan mereka tidak akan terlambat?
“Kamu memesan kursi executive ‘kan? Aku tidak mau duduk di kursi ekonomi.” Claire menoleh ke arah Rainer, nada suaranya sedikit merengek. “Bisa kaku tubuhku sembilan jam duduk di kursi ekonomi.”
“Hem.”
“Pakai pesawat apa?”
“Yang biasa aku gunakan.”
Claire mengamati sekitar. Mobilnya masuk ke area parkir VIP bandara. Dahinya berkerut saat mereka berhenti di samping sebuah pesawat pribadi.
Wanita itu keluar dari mobil. Rainer langsung berkoordinasi dengan petugas bandara yang membawakan koper mereka.
Claire mengamati orang-orang tersebut yang menunduk santun pada suaminya.
“Kita naik pesawat jet pribadi itu?” bisik Claire.
“Iya.”
Claire tergelak. “Ternyata kamu bisa juga buang-buang uang.”
Rainer tidak menanggapi. Claire sudah melenggang lebih dulu ke tangga pesawat. Mata wanita itu memicing saat membaca tulisan besar pada badan pesawat.
KING JET.
Belum sempat bertanya, mereka disambut ramah oleh kru pesawat. Claire diarahkan ke kursi yang mirip sofa mewah. Dengan senang hati, wanita itu menjatuhkan bokongnya pada dudukan empuk itu.
Interior pesawat ini minimalis, namun rapi dan fungsional. Claire melihat Rainer berbincang dengan kru pesawat lalu menghampirinya.
“Kita akan take off sebentar lagi,” ucap Rainer sambil mengenakan sabuk pengaman dan membantu Claire dengan teliti.
“Kamu butuh sesuatu, My Lady? Makanan, minuman atau buku bacaan?” tanya Rainer saat mereka telah mengudara dan sabuk tanda pengaman boleh dilepaskan.
“Tidak. aku mau menonton saja. Nanti jika perlu apa pun, aku akan bilang sendiri pada pramugari,” jawab Claire.
“Oke. Aku pamit ke belakang sebentar. Mau menelepon keluargaku.”
Claire mengangguk. Kini ia sibuk memilih berbagai tontonan. Belum ada satu jam, Claire diserang rasa bosan.
Rainer kembali dengan seorang pramugari yang membawa makanan. Claire terpana dengan sajian di piring yang baru saja diletakkan pramugari di mejanya. Sedangkan Rainer tampak biasa saja melihat hidangan tersebut.
Steak ayam, salad dan telor rebus.
“Selamat makan, My Lady,” ucap Rainer.
Claire menatap heran pada Rainer yang memakan saladnya.
Bukankah suaminya ini tidak suka sayuran? Malas bertanya, Claire menyuap makanan ke mulutnya.
Selesai makan, Rainer mengajak Claire untuk beristirahat di kabin. Wanita itu mengikuti suaminya. Kabin yang dimaksud ternyata sebuah kamar dengan ranjang menghadap televisi layar datar. Di pojok ruangan ada kamar mandi yang tidak terlalu besar.
“Tabunganmu akan habis untuk perjalanan ini, Rainer,” cetus Claire sambil menggeleng.
“Tak masalah. Uang bisa dicari. Lagipula, aku menggunakannya untuk bepergian dengan istriku.”
Wajah Claire memerah hingga ke telinga.
Ucapan yang sangat manis. Seandainya ia adalah istri sungguhan, pasti sudah meleleh dengan ucapan Rainer.
Mereka berbincang akrab tentang berbagai film yang ditonton. Hingga akhirnya Claire tertidur dengan kepala bersandar pada lengan atas Rainer.
Rainer membuka lengannya hingga Claire kini tidur di dadanya. Lelaki itu tersenyum. Akhirnya ia bisa memeluk Claire lagi.
Pesawat mendarat. Claire dan Rainer bersiap turun. Ia mengamati kru pesawat yang menunduk hormat pada suaminya.
“Kita naik mobil itu?” tanya Claire menatap van di depan mereka yang sedang diisi oleh koper-koper.
“Tidak. Hanya koper-koper saja yang menggunakan mobil.”
“Lalu kita?”
Mata Claire mengikuti arah jari telunjuk Rainer.
“Kita naik itu.”
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
“Rainer!”Saking bersemangatnya bertemu, Claire duduk tegak hingga dadanya terlihat di permukaan air. Lalu, dengan segera menyilangkan kedua tangan di dada saat melihat Rainer memperhatikan bagian tersebut.Claire memberengut mendengar Rainer terkekeh pelan.“Ayo keluar. Aku rasa airnya sudah dingin.” Rainer mengulurkan tangan untuk membantu Claire berdiri.Claire menurut. Ternyata sudah hampir satu jam ia berendam. Rainer bersikeras membantu mengeringkan tubuh Claire membuat wanita itu menahan malu.“Aku sudah membeli beberapa stel piyama flannel untukmu,” ucap Rainer sambil menunjukkan beberapa piyama di ranjang.“Ya, aku pikir aku memang membutuhkan piyama tebal untuk tidur.” Claire mengambil satu stel dan mengenakannya.Rainer melipat tangannya di perut dan membalas, “Paling tidak kamu bisa mengucapkan terima kasih pada pemberian orang.”Wanita itu melirik sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Setelahnya, Claire mulai kedinginan. Ia naik ke ranjang dan menyelimutinya tubuhnya.
Claire melemparkan pandangan malas mendengar pernyataan Rainer. Sementara lelaki itu tergelak melihat ekspresi sang istri.“Jujur saja, kamu bukan tipe idamanku. Bagaimana aku bisa jatuh cinta?” Claire mencebik pada Rainer.Lelaki itu menghentikan tawanya dan bertanya,” Lalu seperti apa idamanmu? Seperti Alexander Morgan?”“Alexander adalah pengusaha sukses dan tampan. Kenapa tidak?” Claire menyahut saat Rainer menyebut nama salah satu partner bisnisnya.“Asal kamu tau saja, aku jauh lebih kaya daripada Morgan.” Kali ini bibir Rainer yang mencebik kesal.Bibir Claire tertutup rapat. Memang benar. Setelah berada di kampung halaman Rainer, ia juga baru tau suaminya kaya raya. Walaupun tidak banyak orang tau tentang kenyataan ini.Hujan lebat mulai berganti dengan gerimis. Rainer terlihat kembali menatap jendela, mengamati tetesan air di jendela. Atau entah apa yang ia perhatikan di luar sana.Tiba-tiba, Rainer bercerita dengan tetap menerawang jauh.“Aku lahir saat hujan deras. Mama tid