Rainer tersenyum lembut. Jari-jarinya sangat terampil membuka kancing piyama Claire. Wanita itu hanya diam dan berusaha mengatur napasnya yang kian tak beraturan.
“Sesuai bayanganku. Kamu cantik sekali,” gumam Rainer menatap tubuh polos Claire.
Kemudian, pria itu kembali mendaratkan bibirnya dan memagut bibir Claire dengan lembut dan dalam.
Dengan posisi mereka yang seperti ini, Claire bisa merasakan pergolakan gairah Rainer yang semakin nyata. Salah satu bagian tubuh pria itu terasa memberontak, dan terus menekan bagian pahanya.
“Aku menginginkanmu, Claire.” Mata pria itu berkabut kala berkata demikian.
Sementara, Claire kehilangan kata-kata untuk menyahut. Kendati begitu, wanita itu pun tahu jika gairahnya juga sudah sama-sama tak tertahankan.
Setelahnya, pagutan Rainer pada bibir Claire semakin dalam.
Claire yang awalnya tidak menyambut, perlahan mulai bereaksi. Bibirnya mulai mengeluarkan lenguhan, tubuhnya meliuk, mengikuti permainan jari Rainer yang tak henti menggoda kulitnya.
Rainer begitu pintar menggodanya, membuat Claire seolah lupa jika baru saja ia ketakutan akibat suara petir yang bersahutan.
Kini, wanita itu tidak legi memedulikan petir yang kian menggelegar. Satu-satunya yang ia kejar adalah gairahnya yang menuntut untuk segera dipuaskan.
Pagi harinya, Rainer terbangun lebih dulu dengan Claire yang masih berada dalam pelukannya.
Claire menggeliat kala pria itu mengeratkan pelukannya.
Rainer tersenyum, kemudian menyapa dengan senyum cerah. “Selamat pagi, My Lady.”
Mata Claire memicing menatap Rainer yang begitu dekat dengannya. Dengan gerakan tiba-tiba, wanita itu terbangun.
Ia menatap tubuhnya dan tubuh Rainer yang tanpa busana. Wajahnya seketika merona, mengingat malam tadi mereka baru saja melalui malam pertama.
Untuk menahan malu, Claire berniat menuju kamar mandi, tetapi kemudian ia meringis memegangi perut bagian bawahnya.
“Kenapa? Apa terasa sakit?” tanya Rainer yang seolah peka.
Wajah Claire semakin memerah. Ia menunduk, sembari merapatkan kedua kakinya. “Aku perlu ke kamar mandi.”
“Aku bantu.”
Dengan sigap Rainer bangkit dari ranjang. Lelaki itu membopong istrinya ke kamar mandi. Lalu, mendudukkannya di toilet.
Kemudian dengan telaten Rainer mengatur suhu air hangat, dan mengguyur tubuh mereka berdua tanpa banyak bicara.
Namun begitu, Claire merasa Rainer terus mengamati dirinya sembari pria itu membantunya membersihkan tubuh.
Segala perawatan mahal setiap minggu yang ia lakukan memang sangat berhasil. Tubuhnya mulus tanpa cacat, halus dan harum.
“Maaf. Aku tidak tau kalau kamu belum pernah melakukannya,” cetus Rainer saat mereka berpakaian. “Apa aku menyakitimu semalam?”
Sesaat, Claire terpaku. Mengapa Rainer menganggapnya demikian? Apa di mata pria itu Claire adalah gadis dengan kehidupan yang bebas tanpa aturan?
Namun, ia memilih tidak membahas lebih lanjut. Rasa canggung membuat rasa tersinggungnya kalah.
Claire menggeleng. Tentu saja, pria itu tidak menyakitinya semalam.
Kelihaian Rainer di ranjang membuat rasa sakit hanya sebentar saja Claire merasakan. Karena selanjutnya ia cukup menikmati malam pertama mereka.
“Aku lapar,” cetus Claire yang ingin mengalihkan perbincangan.
Rainer terkekeh. “Ayo ke dapur. Aku masakkan sesuatu untukmu.”
Claire terpekik sesaat, kala Rainer kembali mengangkatnya. Pria itu juga tidak lupa mengeringkan tubuhnya, memakaikannya bathrobe yang senada … sebelum akhirnya mengekori Rainer ke dapur.
“Kamu bisa masak?”
“Aku hidup merantau seorang diri. Harus bisa melakukan segalanya sendiri. Ya. Aku cukup pintar memasak.”
Claire duduk di kursi tinggi. Ia memandang Rainer yang sibuk meracik bahan makanan. Lelaki itu sangat cekatan menggunakan pisau dan perlengkapan masak lainnya.
“Aku tidak bisa memasak,” ucap Claire dengan bibir mencebik.
Sebagai wanita, harus diakui kemampuannya di dapur kalah jauh dengan Rainer.
Pria itu terkekeh. “Aku tau. Jangankan memasak. Masuk dapur saja tidak pernah.”
Mendengar pernyataan Rainer, Claire menyeringai. Kenapa ia harus memasak jika ada chef di penthousenya? Lagi pula ia lebih sering makan di restoran.
Tak banyak yang bisa Claire lakukan. Ia lebih sering mengamati Rainer dibanding membantu suaminya itu. Pengetahuannya tentang dapur memang sangat minim.
“Sarapan sudah siap. Silakan,” ucap Rainer.
Meja yang tidak besar itu kini terlihat penuh. Satu piring berisi omelet, daging asap, keju lapis dan sayuran segar. Satu teko air mineral, satu botol susu murni dan dua gelas.
“Maaf jika sarapannya hanya sederhana saja. Sekali-kali kamu perlu juga makan makanan orang biasa,” ucap Rainer sambil membagi omelet ke piring-piring.
“Tetapi, ini kelihatannya lezat,” balas Claire menatap piringnya.
“Silakan dicoba. Selamat makan.”
Claire mengangguk. Ia memotong omelet dengan garpu lalu memakannya. Wanita itu mengunyah perlahan, merasakan tekstur dan rasa makanan di mulut, lalu mengangguk-angguk.
“Enak sekali omeletnya,” puji Claire.
“Terima kasih. Omelet paling mudah dibuat. Siapa saja pasti bisa memasaknya."
'Tidak,' gumam Claire dalam hati.
Siapa saja itu, tidak termasuk Claire. Sebab, ia tidak tahu bagaimana cara membuat omelet. Apalagi yang rasanya seenak masakan Rainer ini.
Mereka lalu makan dalam diam. Kecanggungan kembali terjadi. Hingga hidangan di meja habis dan Rainer membereskan perlengkapan makan yang baru saja mereka pakai.
“Apa kamu tidak memiliki pelayan untuk membersihkan apartemen ini?” tanya Claire saat melihat Rainer membilas perlengkapan masak dan makan sebelum dimasukkan ke dalam mesin pencuci piring.
“Pelayan? Untuk apartemen sekecil ini? Yang benar saja, Claire,” tukas Rainer.
“Lalu yang menyapu, mengepel, mencuci baju, membersihkan kamar dan kamar mandi siapa?” tanya Claire bingung.
“Aku, aku, dan aku,” jawab Rainer.
Claire tercengang. Tidak menyangka ada lelaki yang dapat melakukan pekerjaan rumah. Apalagi apartemen ini sangat rapi dan bersih.
Lalu, bel apartemen terdengar berbunyi. Rainer mencuci dan mengelap tangan. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
Wajah Rainer penuh tanda tanya saat melihat sosok pria yang begitu dihormatinya berdiri di depan pintu.
“Tu-Tuan Brandon?” Dengan gugup Rainer menyapa.
Tanpa menjawab, Brandon masuk bersama seorang lelaki kepercayaannya. Claire segera bangkit dan menghampiri sang Daddy dengan langkah tertatih.
Alisnya terangkat tinggi menyaksikan lelaki yang merupakan ajudan daddynya, masuk ke kamar bersama Brandon. Kedua pria itu seperti ingin menggeledah apartemen ini.
“Daddy mau apa?” tanya Claire.
Brandon menghentikan langkahnya, kemudian menjawab, “Memastikan kalian memang berstatus suami-istri sungguhan.” Lalu ia kembali melangkah memasuki kamar.
Di belakang dua pria itu, Claire dan Rainer membuntuti. Keduanya melihat bagaimana dua pria itu benar-benar menggeledah ranjang kusut mereka.
Orang kepercayaan Brandon menyingkap selimut. Noda darah di ranjang menjadi pusat perhatian lelaki tua itu.
Claire menutup mulutnya yang terbuka. Wajahnya pun memerah malu karena sang Daddy melihat sprei bernoda itu.
Senyum di wajah Brandon mengembang. Ia lalu mendekati Rainer. Lelaki paruh baya itu menepuk-nepuk bahu sang menantu.
“Selamat! Kamu berhasil menaklukkan putriku!”
“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.” “Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar. Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
“Rainer!”Saking bersemangatnya bertemu, Claire duduk tegak hingga dadanya terlihat di permukaan air. Lalu, dengan segera menyilangkan kedua tangan di dada saat melihat Rainer memperhatikan bagian tersebut.Claire memberengut mendengar Rainer terkekeh pelan.“Ayo keluar. Aku rasa airnya sudah dingin.” Rainer mengulurkan tangan untuk membantu Claire berdiri.Claire menurut. Ternyata sudah hampir satu jam ia berendam. Rainer bersikeras membantu mengeringkan tubuh Claire membuat wanita itu menahan malu.“Aku sudah membeli beberapa stel piyama flannel untukmu,” ucap Rainer sambil menunjukkan beberapa piyama di ranjang.“Ya, aku pikir aku memang membutuhkan piyama tebal untuk tidur.” Claire mengambil satu stel dan mengenakannya.Rainer melipat tangannya di perut dan membalas, “Paling tidak kamu bisa mengucapkan terima kasih pada pemberian orang.”Wanita itu melirik sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Setelahnya, Claire mulai kedinginan. Ia naik ke ranjang dan menyelimutinya tubuhnya.