Rainer tersenyum lembut. Jari-jarinya sangat terampil membuka kancing piyama Claire. Wanita itu hanya diam dan berusaha mengatur napasnya yang kian tak beraturan.
“Sesuai bayanganku. Kamu cantik sekali,” gumam Rainer menatap tubuh polos Claire.
Kemudian, pria itu kembali mendaratkan bibirnya dan memagut bibir Claire dengan lembut dan dalam.
Dengan posisi mereka yang seperti ini, Claire bisa merasakan pergolakan gairah Rainer yang semakin nyata. Salah satu bagian tubuh pria itu terasa memberontak, dan terus menekan bagian pahanya.
“Aku menginginkanmu, Claire.” Mata pria itu berkabut kala berkata demikian.
Sementara, Claire kehilangan kata-kata untuk menyahut. Kendati begitu, wanita itu pun tahu jika gairahnya juga sudah sama-sama tak tertahankan.
Setelahnya, pagutan Rainer pada bibir Claire semakin dalam.
Claire yang awalnya tidak menyambut, perlahan mulai bereaksi. Bibirnya mulai mengeluarkan lenguhan, tubuhnya meliuk, mengikuti permainan jari Rainer yang tak henti menggoda kulitnya.
Rainer begitu pintar menggodanya, membuat Claire seolah lupa jika baru saja ia ketakutan akibat suara petir yang bersahutan.
Kini, wanita itu tidak legi memedulikan petir yang kian menggelegar. Satu-satunya yang ia kejar adalah gairahnya yang menuntut untuk segera dipuaskan.
Pagi harinya, Rainer terbangun lebih dulu dengan Claire yang masih berada dalam pelukannya.
Claire menggeliat kala pria itu mengeratkan pelukannya.
Rainer tersenyum, kemudian menyapa dengan senyum cerah. “Selamat pagi, My Lady.”
Mata Claire memicing menatap Rainer yang begitu dekat dengannya. Dengan gerakan tiba-tiba, wanita itu terbangun.
Ia menatap tubuhnya dan tubuh Rainer yang tanpa busana. Wajahnya seketika merona, mengingat malam tadi mereka baru saja melalui malam pertama.
Untuk menahan malu, Claire berniat menuju kamar mandi, tetapi kemudian ia meringis memegangi perut bagian bawahnya.
“Kenapa? Apa terasa sakit?” tanya Rainer yang seolah peka.
Wajah Claire semakin memerah. Ia menunduk, sembari merapatkan kedua kakinya. “Aku perlu ke kamar mandi.”
“Aku bantu.”
Dengan sigap Rainer bangkit dari ranjang. Lelaki itu membopong istrinya ke kamar mandi. Lalu, mendudukkannya di toilet.
Kemudian dengan telaten Rainer mengatur suhu air hangat, dan mengguyur tubuh mereka berdua tanpa banyak bicara.
Namun begitu, Claire merasa Rainer terus mengamati dirinya sembari pria itu membantunya membersihkan tubuh.
Segala perawatan mahal setiap minggu yang ia lakukan memang sangat berhasil. Tubuhnya mulus tanpa cacat, halus dan harum.
“Maaf. Aku tidak tau kalau kamu belum pernah melakukannya,” cetus Rainer saat mereka berpakaian. “Apa aku menyakitimu semalam?”
Sesaat, Claire terpaku. Mengapa Rainer menganggapnya demikian? Apa di mata pria itu Claire adalah gadis dengan kehidupan yang bebas tanpa aturan?
Namun, ia memilih tidak membahas lebih lanjut. Rasa canggung membuat rasa tersinggungnya kalah.
Claire menggeleng. Tentu saja, pria itu tidak menyakitinya semalam.
Kelihaian Rainer di ranjang membuat rasa sakit hanya sebentar saja Claire merasakan. Karena selanjutnya ia cukup menikmati malam pertama mereka.
“Aku lapar,” cetus Claire yang ingin mengalihkan perbincangan.
Rainer terkekeh. “Ayo ke dapur. Aku masakkan sesuatu untukmu.”
Claire terpekik sesaat, kala Rainer kembali mengangkatnya. Pria itu juga tidak lupa mengeringkan tubuhnya, memakaikannya bathrobe yang senada … sebelum akhirnya mengekori Rainer ke dapur.
“Kamu bisa masak?”
“Aku hidup merantau seorang diri. Harus bisa melakukan segalanya sendiri. Ya. Aku cukup pintar memasak.”
Claire duduk di kursi tinggi. Ia memandang Rainer yang sibuk meracik bahan makanan. Lelaki itu sangat cekatan menggunakan pisau dan perlengkapan masak lainnya.
“Aku tidak bisa memasak,” ucap Claire dengan bibir mencebik.
Sebagai wanita, harus diakui kemampuannya di dapur kalah jauh dengan Rainer.
Pria itu terkekeh. “Aku tau. Jangankan memasak. Masuk dapur saja tidak pernah.”
Mendengar pernyataan Rainer, Claire menyeringai. Kenapa ia harus memasak jika ada chef di penthousenya? Lagi pula ia lebih sering makan di restoran.
Tak banyak yang bisa Claire lakukan. Ia lebih sering mengamati Rainer dibanding membantu suaminya itu. Pengetahuannya tentang dapur memang sangat minim.
“Sarapan sudah siap. Silakan,” ucap Rainer.
Meja yang tidak besar itu kini terlihat penuh. Satu piring berisi omelet, daging asap, keju lapis dan sayuran segar. Satu teko air mineral, satu botol susu murni dan dua gelas.
“Maaf jika sarapannya hanya sederhana saja. Sekali-kali kamu perlu juga makan makanan orang biasa,” ucap Rainer sambil membagi omelet ke piring-piring.
“Tetapi, ini kelihatannya lezat,” balas Claire menatap piringnya.
“Silakan dicoba. Selamat makan.”
Claire mengangguk. Ia memotong omelet dengan garpu lalu memakannya. Wanita itu mengunyah perlahan, merasakan tekstur dan rasa makanan di mulut, lalu mengangguk-angguk.
“Enak sekali omeletnya,” puji Claire.
“Terima kasih. Omelet paling mudah dibuat. Siapa saja pasti bisa memasaknya."
'Tidak,' gumam Claire dalam hati.
Siapa saja itu, tidak termasuk Claire. Sebab, ia tidak tahu bagaimana cara membuat omelet. Apalagi yang rasanya seenak masakan Rainer ini.
Mereka lalu makan dalam diam. Kecanggungan kembali terjadi. Hingga hidangan di meja habis dan Rainer membereskan perlengkapan makan yang baru saja mereka pakai.
“Apa kamu tidak memiliki pelayan untuk membersihkan apartemen ini?” tanya Claire saat melihat Rainer membilas perlengkapan masak dan makan sebelum dimasukkan ke dalam mesin pencuci piring.
“Pelayan? Untuk apartemen sekecil ini? Yang benar saja, Claire,” tukas Rainer.
“Lalu yang menyapu, mengepel, mencuci baju, membersihkan kamar dan kamar mandi siapa?” tanya Claire bingung.
“Aku, aku, dan aku,” jawab Rainer.
Claire tercengang. Tidak menyangka ada lelaki yang dapat melakukan pekerjaan rumah. Apalagi apartemen ini sangat rapi dan bersih.
Lalu, bel apartemen terdengar berbunyi. Rainer mencuci dan mengelap tangan. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
Wajah Rainer penuh tanda tanya saat melihat sosok pria yang begitu dihormatinya berdiri di depan pintu.
“Tu-Tuan Brandon?” Dengan gugup Rainer menyapa.
Tanpa menjawab, Brandon masuk bersama seorang lelaki kepercayaannya. Claire segera bangkit dan menghampiri sang Daddy dengan langkah tertatih.
Alisnya terangkat tinggi menyaksikan lelaki yang merupakan ajudan daddynya, masuk ke kamar bersama Brandon. Kedua pria itu seperti ingin menggeledah apartemen ini.
“Daddy mau apa?” tanya Claire.
Brandon menghentikan langkahnya, kemudian menjawab, “Memastikan kalian memang berstatus suami-istri sungguhan.” Lalu ia kembali melangkah memasuki kamar.
Di belakang dua pria itu, Claire dan Rainer membuntuti. Keduanya melihat bagaimana dua pria itu benar-benar menggeledah ranjang kusut mereka.
Orang kepercayaan Brandon menyingkap selimut. Noda darah di ranjang menjadi pusat perhatian lelaki tua itu.
Claire menutup mulutnya yang terbuka. Wajahnya pun memerah malu karena sang Daddy melihat sprei bernoda itu.
Senyum di wajah Brandon mengembang. Ia lalu mendekati Rainer. Lelaki paruh baya itu menepuk-nepuk bahu sang menantu.
“Selamat! Kamu berhasil menaklukkan putriku!”
“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.” “Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar. Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
“Rainer!”Saking bersemangatnya bertemu, Claire duduk tegak hingga dadanya terlihat di permukaan air. Lalu, dengan segera menyilangkan kedua tangan di dada saat melihat Rainer memperhatikan bagian tersebut.Claire memberengut mendengar Rainer terkekeh pelan.“Ayo keluar. Aku rasa airnya sudah dingin.” Rainer mengulurkan tangan untuk membantu Claire berdiri.Claire menurut. Ternyata sudah hampir satu jam ia berendam. Rainer bersikeras membantu mengeringkan tubuh Claire membuat wanita itu menahan malu.“Aku sudah membeli beberapa stel piyama flannel untukmu,” ucap Rainer sambil menunjukkan beberapa piyama di ranjang.“Ya, aku pikir aku memang membutuhkan piyama tebal untuk tidur.” Claire mengambil satu stel dan mengenakannya.Rainer melipat tangannya di perut dan membalas, “Paling tidak kamu bisa mengucapkan terima kasih pada pemberian orang.”Wanita itu melirik sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Setelahnya, Claire mulai kedinginan. Ia naik ke ranjang dan menyelimutinya tubuhnya.
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma