"Tidak! Daddy tidak adil!" Claire berteriak frustrasi begitu mendengar ucapan Daddy-nya yang terdengar tidak masuk akal. “Sejak kapan menikah menjadi syarat wajib untuk menjadi Presdir di perusahaan kita?”"Sejak saat ini.” Daddynya memberikan sepucuk surat ke arah Claire. Cepat, ia membaca sebaris kalimat bercetak tebal. Dengusan kemudian keluar tak tertahankan dari bibir Claire. “Jadi, Daddy lebih percaya dia daripada aku?” katanya sedikit sinis mengingat nama yang dipilih daddy untuk menggantikannya.“Karena kamu bersikeras tidak menikah, maka Lunar dibantu suaminya yang akan menggantikanmu di perusahaan."Claire meremas kertas yang barusan dibacanya. Ini jelas-jelas tidak adil! Bagaimanapun, seharusnya warisan jatuh ke anak kandung.Ia tidak rela pimpinan tertinggi perusahaan jatuh ke tangan Lunar, adik tirinya. Apalagi, Claire merasa ia jauh lebih unggul dari adiknya tersebut dalam hal apa pun.Bagai berlomba dengan denting jam, pikiran Claire berpacu berusaha mencari jalan ke
"Menikahlah denganku. Bantu aku mendapatkan posisi sebagai Presdir. Setelahnya, aku akan menerima proposal kerja samamu yang sempat kutolak.”Claire mengingat pertama kali mereka bertemu. Rainer datang padanya dengan membawa proposal kerja sama.Proposal itu cukup menjanjikan sebenarnya, hanya saja Claire memafaatkan lelaki itu lebih dulu dengan mengikatnya menjadi asistennya. Ia berjanji akan mempertimbangkan, tetapi hingga satu tahun mereka berstatus sebagai bos dan asisten … wanita itu abai dari janjinya.Untuk itulah, Claire merasa saat ini adalah waktu yang tepat kembali menggunakan proposal itu sebagai senjatanya melunakkan kekeraskepalaan Rainer."Kenapa harus aku?" tanya lelaki itu lagi.Claire tersenyum mendengar nada bicara asistennya melembut. "Karena kamu satu-satunya lelaki yang kukenal dengan cukup baik."Rainer meledakkan tawanya. Semua orang tahu seperti apa watak Claire.Wanita itu cantik, tetapi perilaku tegas dan ketusnya menjadi semacam tembok penghalang untuk beri
Tepuk tangan terdengar riuh rendah. Wajah Claire kini bersemu merah usai Rainer melepas tautan bibir mereka. Lututnya terasa lemas sebab inilah ciuman pertamanya.‘Dia benar-benar menciumku?’ batinnya masih belum menyangka.Tidak lama, mereka sudah membaur dengan para tamu. Rainer benar-benar menunjukkan bakat aktingnya sebagai suami yang begitu mencintai Claire.Berbagai komentar dan cibiran tamu diacuhkan Claire dan Rainer. Keduanya tetap bersandiwara seolah-olah mereka adalah pasangan yang berbahagia.“Lepaskan. Tanganku mulai lembab karena keringat,” bisik Claire di telinga lelaki itu.“Tidak. Kita harus totalitas memainkan sandiwara ini,” tolak Rainer.Keduanya duduk di kursi bersama para undangan VIP. Berbincang santai sambil makan. Claire dengan tenang, makan dan minum tanpa memperhatikan Rainer.Jika ada yang memperhatikan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus yang mencoba akur di tengah keramaian.Claire yang mencoba menjadi figure istri perhatian, kendati ia buta p
Rainer tersenyum lembut. Jari-jarinya sangat terampil membuka kancing piyama Claire. Wanita itu hanya diam dan berusaha mengatur napasnya yang kian tak beraturan.“Sesuai bayanganku. Kamu cantik sekali,” gumam Rainer menatap tubuh polos Claire.Kemudian, pria itu kembali mendaratkan bibirnya dan memagut bibir Claire dengan lembut dan dalam.Dengan posisi mereka yang seperti ini, Claire bisa merasakan pergolakan gairah Rainer yang semakin nyata. Salah satu bagian tubuh pria itu terasa memberontak, dan terus menekan bagian pahanya.“Aku menginginkanmu, Claire.” Mata pria itu berkabut kala berkata demikian.Sementara, Claire kehilangan kata-kata untuk menyahut. Kendati begitu, wanita itu pun tahu jika gairahnya juga sudah sama-sama tak tertahankan.Setelahnya, pagutan Rainer pada bibir Claire semakin dalam.Claire yang awalnya tidak menyambut, perlahan mulai bereaksi. Bibirnya mulai mengeluarkan lenguhan, tubuhnya meliuk, mengikuti permainan jari Rainer yang tak henti menggoda kulitnya.
“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.” “Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar. Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin