"Menikahlah denganku. Bantu aku mendapatkan posisi sebagai Presdir. Setelahnya, aku akan menerima proposal kerja samamu yang sempat kutolak.”
Claire mengingat pertama kali mereka bertemu. Rainer datang padanya dengan membawa proposal kerja sama.
Proposal itu cukup menjanjikan sebenarnya, hanya saja Claire memafaatkan lelaki itu lebih dulu dengan mengikatnya menjadi asistennya. Ia berjanji akan mempertimbangkan, tetapi hingga satu tahun mereka berstatus sebagai bos dan asisten … wanita itu abai dari janjinya.
Untuk itulah, Claire merasa saat ini adalah waktu yang tepat kembali menggunakan proposal itu sebagai senjatanya melunakkan kekeraskepalaan Rainer.
"Kenapa harus aku?" tanya lelaki itu lagi.
Claire tersenyum mendengar nada bicara asistennya melembut. "Karena kamu satu-satunya lelaki yang kukenal dengan cukup baik."
Rainer meledakkan tawanya. Semua orang tahu seperti apa watak Claire.
Wanita itu cantik, tetapi perilaku tegas dan ketusnya menjadi semacam tembok penghalang untuk berinteraksi akrab dengannya.
"Kamu tidak mengenal apa pun tentangku. Sandiwara ini akan lebih cepat ketahuan."
"Kita bisa saling mengenal.”
"Aku sudah tau semua tentangmu," dengus Rainer.
Kesal, kemudian, Claire mengajukan beberapa pertanyaan remeh, tetapi sarat akan hal detail yang menyangkut dirinya.
Semua jawaban Rainer tepat. Dan hal itu membuat bibir Claire membuka, takjub akan kemampuan sang asisten mengenal ia dan kebiasaannya meski baru bekerja selama setahun.
"See? Aku tau semua tentangmu, tetapi kamu tidak tau apa pun tentangku."
"Aku akan belajar mengenalmu!” ulang Claire, tetapi Rainer mengabaikan pernyataannya. “Aku juga akan menuruti syarat-syaratmu!”
Terlihat, bibir Rainer membentuk senyum tipis. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap Claire sepenuhnya.
“Baiklah. Aku mau, dengan beberapa syarat.”
Claire mengangguk. Wajahnya pucat pasi, menunggu syarat Rainer. “Katakan!”
“Setelah menikah, aku ingin kita tinggal di apartemen-ku.” Mulut Claire membuka, tetapi tangan Rainer lebih dulu terangkat dan menghentikan niat protesnya. “Selain itu, proposal itu harus segera kamu setujui begitu kamu disahkan jadi Presdir. Deal?”
Claire meneguk ludah kasar. Permintaan pertama Rainer begitu memberatkannya. Namun, ia sadar … ia tidak sedang dalam kapasitas menolak.
Untuk itu, akhirnya Claire mengulurkan tangannya ke arah Rainer. "Deal!" katanya dengan lugas.
Namun, di luar dugaan … lelaki itu kini menggeleng. Senyum dan tatapan penuh kepuasan jelas terlihat di sana, membuat Claire menyatukan alis karena bingung.
"Memohonlah padaku agar aku mau menikahimu."
"Oke. Rainer, maukah kau menikah denganku?" tanya Claire dengan nada datar.
"Kau pikir ada orang yang mau diajak menikah dengan permintaan seperti itu?"
"Memangnya aku harus bagaimana?"
Jari Rainer menunjuk ke bawah. "Berlutut."
"Apa? Kamu gila? Aku harus berlutut dan melamarmu? Lebih baik kamu kupecat."
"Baiklah kalau begitu. Cari saja pria lain yang mau menikahi wanita sepertimu!" Rainer melangkah ke pintu kembali.
"Tunggu, tunggu," pinta Claire.
Wanita itu mengembuskan napas berat. Demi jabatan tertinggi di perusahaan, ia akan menuruti kemauan Rainer. Cuma ini jalan satu-satunya.
Rainer menghentikan langkah. Ia mengamati Claire. Wanita itu sedang berusaha berlutut.
Selain memakai stiletto, Claire juga menggunakan rok span di atas lutut.
Rok itu tertarik ke atas hingga setengah paha saat Claire berlutut menghadap Rainer, membuat lelaki itu menahan gelak tawanya.
“Oke … siapa nama lengkapmu?” tanya Claire mendongakkan kepala.
“Katanya mengenalku dengan cukup baik,” sindir Rainer.
“Cepat! Lututku sakit!”
"King Rainer Conrad."
"King?" Dahi Claire berkerut dalam.
Rainer mengangguk.
Claire mengatur napasnya, menahan diri untuk tidak melemparkan umpatan ke hadapan Rainer yang terlihat angkuh.
"King Rainer Conrad, maukah kamu menikah denganku?" ucap Claire dengan nada lembut.
Rainer diam sesaat. Lalu menjawab,"Cukup bagus. Anggap ini latihan. Aku akan mencari cincin pertunangan kita lebih dulu."
Setelahnya, lelaki itu melangkah keluar ruangan tanpa perlu repot-repot membantu Claire berdiri.
Wanita yang masih berlutut itu menggeram dalam hati. Matanya menatap pintu yang telah ditutup sang asisten. Susah payah, Claire kembali berdiri sambil mengerutkan kening.
"King Rainer Conrad? Kenapa rasanya aku mengenal nama itu?"
Namun, hingga jam kerja hari itu usai, Claire tak menemukan satu pun jawaban di mana ia pernah mengenal atau mendengar nama itu.
Rainer sudah muncul lagi di hadapannya. Claire bangkit sembari meraih clutch mewahnya, berjalan mendekati sang asisten yang langsung berjalan di hadapannya.
“Kita harus ke butik,” ucap Claire seraya berusaha mengikuti langkah-langkah panjang Rainer.
“Buat apa?”
“Kamu harus membeli pakaian baru.”
“Kenapa dengan pakaianku?”
“Tidak serasi dengan pakaianku. Dan … Aw!”
Claire menabrak Rainer yang tiba-tiba berhenti berjalan. Lelaki itu membalik tubuh dan menatap Claire. Mata Rainer mengamati penampilan wanita di depannya.
“Maksudmu? Aku harus membeli pakaian dan aksesoris bermerk sepertimu?”
“Iya.”
“Tidak. Buang-buang uang!” tegas Rainer lalu melanjutkan berjalan menuju tempat parkir mobil.
Wanita itu berdecak kesal. Terlebih saat Rainer kembali meninggalkannya dengan langkah yang lebar-lebar.
“Rainer!” seru Claire. “Bisakah kamu jalan pelan-pelan?! Kakiku sakit mengikuti langkah cepatmu.”
Rainer menulikan telinganya. Mereka sampai pada sebuah mobil mewah yang dipakai Rainer setiap hari untuk menjemput dan mengantar atasannya itu.
Dalam perjalanan, mereka saling diam. Claire melepas heels dan memijat betisnya. Rainer tampak hanya fokus pada lalu lintas di depannya.
“Kita ke mana? Ini bukan arah ke penthouse,” tanya Claire saat mengamati jalanan.
“Memang bukan.”
“Lalu? Ke mana?”
“Aku harus mengambil cincin untuk pernikahan kita besok.”
“Oh.”
Hening kemudian. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Membayangkan besok mereka akan menikah dan menjadi suami-istri.
Rainer meminta Claire menunggu di mobil. Wanita itu menatap asistennya yang masuk ke salah satu toko perhiasan kecil.
Claire mengembuskan napas kasar menyadari bahwa itu bukan salah satu toko perhiasan ternama dunia.
“Kamu membeli perhiasan di toko tersebut?” Claire bertanya, cenderung berkata sinis pada Rainer yang telah kembali memasuki mobil. “Aku harus mengingatkan bahwa aku alergi memakai perhiasan yang bukan emas asli.”
“Kemarikan jari manismu,” titah Rainer, mengabaikan pernyataan Claire.
Claire memajukan tangannya ke arah Rainer. Tanpa kata-kata, lelaki itu dengan cepat menyisipkan sebuah cincin permata ke jari manis Claire.
Wanita itu kemudian menatap jarinya.
Cincin berbatu emerald dua belas karat, dikelilingi oleh empat belas berlian solitaire yang dilapisi emas putih. Tampak cantik di jari Claire. Bahkan ukurannya pun pas.
“Ternyata kamu pintar memilih cincin pertunangan,” puji Claire.
“Itu cincin leluhurku,” balas Rainer. “Toko perhiasan itu hanya menyesuaikannya dengan ukuran jarimu.”
*****
Hari berlalu begitu cepat, hingga tidak terasa hari ini mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri.
Rainer lagi-lagi membuktikan ucapannya jika ia mengenal Claire dengan baik. Gaun pengantin ini, contohnya.
Kapan asistennya itu menyiapkan ini semua?
Gaun itu terlihat begitu sempurna di tubuh moleknya.
Bergaun pengantin putih keluaran butik ternama dengan bagian atas berbahan brokat halus, bawahannya berbahan organza satin mewah berlapis lima.
“Selamat!”
Claire dan Rainer kini resmi menjadi sepasang suami-istri. Rainer mengenakan cincin emas polos di jari Claire dan sebaliknya. Mereka berfoto dengan menunjukkan jari masing-masing.
“Cium pengantin wanitanya.”
Tubuh Claire menegang saat mendengar seruan dari para tamu.
Namun, Rainer tampak tenang dan tersenyum ramah pada para tamu. Ia melirik wanita di sampingnya dan memberikan kode untuk melakukan apa yang diminta para tamu.
Rainer mencondongkan tubuh ke depan Claire. Tangan kokoh Rainer memegangi lekuk pinggang istrinya.
“Ikuti aku, atau sandiwara ini akan berakhir karena akting burukmu.”
Tepuk tangan terdengar riuh rendah. Wajah Claire kini bersemu merah usai Rainer melepas tautan bibir mereka. Lututnya terasa lemas sebab inilah ciuman pertamanya.‘Dia benar-benar menciumku?’ batinnya masih belum menyangka.Tidak lama, mereka sudah membaur dengan para tamu. Rainer benar-benar menunjukkan bakat aktingnya sebagai suami yang begitu mencintai Claire.Berbagai komentar dan cibiran tamu diacuhkan Claire dan Rainer. Keduanya tetap bersandiwara seolah-olah mereka adalah pasangan yang berbahagia.“Lepaskan. Tanganku mulai lembab karena keringat,” bisik Claire di telinga lelaki itu.“Tidak. Kita harus totalitas memainkan sandiwara ini,” tolak Rainer.Keduanya duduk di kursi bersama para undangan VIP. Berbincang santai sambil makan. Claire dengan tenang, makan dan minum tanpa memperhatikan Rainer.Jika ada yang memperhatikan, mereka lebih terlihat seperti kucing dan tikus yang mencoba akur di tengah keramaian.Claire yang mencoba menjadi figure istri perhatian, kendati ia buta p
Rainer tersenyum lembut. Jari-jarinya sangat terampil membuka kancing piyama Claire. Wanita itu hanya diam dan berusaha mengatur napasnya yang kian tak beraturan.“Sesuai bayanganku. Kamu cantik sekali,” gumam Rainer menatap tubuh polos Claire.Kemudian, pria itu kembali mendaratkan bibirnya dan memagut bibir Claire dengan lembut dan dalam.Dengan posisi mereka yang seperti ini, Claire bisa merasakan pergolakan gairah Rainer yang semakin nyata. Salah satu bagian tubuh pria itu terasa memberontak, dan terus menekan bagian pahanya.“Aku menginginkanmu, Claire.” Mata pria itu berkabut kala berkata demikian.Sementara, Claire kehilangan kata-kata untuk menyahut. Kendati begitu, wanita itu pun tahu jika gairahnya juga sudah sama-sama tak tertahankan.Setelahnya, pagutan Rainer pada bibir Claire semakin dalam.Claire yang awalnya tidak menyambut, perlahan mulai bereaksi. Bibirnya mulai mengeluarkan lenguhan, tubuhnya meliuk, mengikuti permainan jari Rainer yang tak henti menggoda kulitnya.
“Jadi, Daddy pikir kami hanya menikah pura-pura?” sungut Claire berpura-pura kesal.“Antara percaya dan tidak.” Brandon mengedikkan bahunya santai. “Kamu memiliki motif untuk segera menikah, Claire.” Lalu, ia bergantian menatap Rainer. “Entah motif apa yang mendasari Rainer.” “Karena cinta, Tuan,” balas Rainer sambil merangkul bahu Claire.Brandon memperhatikan kedua pasangan di depannya. Mereka terlihat segar. Brandon memperkirakan Rainer dan Claire baru saja mandi karena rambut Claire masih basah.“Bagaimana Daddy bisa percaya?” Brandon mendengus. “Bahkan keluarga Rainer sama sekali tidak ada yang datang pada pernikahan kalian.”“Itu karena Daddy menginginkan kami secepatnya menikah!” Claire berusaha membela suaminya. Sementara Rainer bersikap santai dan hanya memberikan sedikit senyum pada sang mertua. “Kami hanya diberi waktu satu hari untuk persiapan. Bagaimana keluarga Rainer bisa datang secepat itu? Mereka bukan keturunan flash.”“Betul, Tuan. Terus-terang saya memang belum
Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana. “Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului. Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan. “Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah. Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter. “Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?” “Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus. Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer. Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.