Helicopter? Apa benar Rainer menunjuk pada kendaraan itu? Claire menatap sekeliling dan memang hanya ada helicopter di sana.
“Ayo. Kita sudah ditunggu keluargaku.” Rainer berjalan mendahului.
Dengan langkah ragu, Claire mengekori Rainer. Lapangan berumput tempat helicopter terparkir menyulitkan Claire. Sepatu heels yang digunakannya tertancap di tanah saat berjalan.
“Rainer, aku sulit berjalan.” Claire berdecak kesal saat ia harus mengangkat kakinya dari tanah.
Rainer berhenti dan menoleh menatap Claire. Wanita itu meminta bantuan dengan mengulurkan tangan. Sambil berpegangan pada Rainer, Claire mencapai tangga helicopter.
“Aku sudah tanya sebelum berangkat tadi, kamu yakin pergi dengan pakaian seperti ini?”
“Tetapi, kamu tidak memberitahuku bahwa kita harus naik helicopter yang terparkir di lapangan berumput,” balas Claire dengan nada ketus.
Kekehan menyebalkan terdengar dari bibir Rainer.
Dibantu Rainer, Claire naik ke helicopter. Wanita itu benar-benar masih terkejut karena harus naik kendaraan ini. Apalagi saat Rainer dengan santai duduk di depan kemudi.
“Ka-kamu yang membawa helicopter ini?” Terbata Claire bertanya.
“Iya.”
Spontan, tangan Claire mencengkram pinggiran kursi. Rainer membantunya menggunakan headset untuk peredam sekaligus alat komunikasi saat mereka terbang. Mata Claire terpejam saat helicopter mulai mengudara.
“Berapa lama perjalanan ini?” Claire berteriak kencang.
“Tidak perlu berteriak. Ada mike kecil di headset yang memungkinkan kita bisa bicara santai,” tegur Rainer sambil tetap fokus pada pengendali helicopter. “Perjalanan ini hanya lima belas menit. Buka matamu dan nikmati pemandangan di bawah.”
Merasa helicopter terbang stabil, perlahan Claire membuka matanya. Rainer benar. Pemandangan di bawah sangat cantik.
Laut luas terbentang sepanjang mata Claire memandang. Ia menoleh menatap Rainer yang memberikan senyum manisnya. Wanita itu tidak habis pikir bagaimana lelaki sederhana seperti Rainer dapat mengemudikan helicopter.
“Itu rumah sederhana keluargaku.” Rainer menunjuk tujuan mereka di depan.
Claire memicing. Sebuah rumah besar berlantai satu yang terlihat dikelililingi oleh pekarangan hijau yang asri. Claire melihat beberapa orang di bawah melambai ke arah mereka.
Tangan Claire kembali mencengkram kursi saat helicopter terbang rendah. Hingga akhirnya mengembuskan napas lega saat mereka telah mendarat. Rainer membantu istrinya turun dari helicopter.
Sial bagi Claire. Sepatu heels-nya kembali tertancap saat melangkah di tanah berumput. Tertatih, wanita itu berpegangan pada lengan Rainer dan menghampiri orang-orang yang menyambut mereka.
“Papa, Mama.” Rainer berdiri di depan lelaki dan wanita setengah baya serta menundukkan kepala sebelum memeluk keduanya.
“Rainer. Kamu benar-benar pulang, Nak,” sambut Maya, Mama Rainer.
Sementara lelaki setengah baya itu hanya terlihat menepuk-nepuk lengan atas Rainer dengan senyum bahagia.
Lalu, ketiganya terlihat saling bertukar sapa. Melalui perbincangan itu, Claire jadi tau bahwa Rainer sudah lama sekali tidak pulang ke kampung halamannya ini.
Merasa diacuhkan, Claire melirik Rainer yang masih berbincang dengan orang tuanya tanpa memerdulikan dirinya.
“Ehm.” Claire berdehem pelan meminta perhatian.
Ketiga orang itu berhenti berbincang. Rainer segera sadar bahwa ia membawa Claire saat melihat wanita itu tersenyum ke arahnya.
Mencoba bersikap senatural mungkin, Rainer meraih tangan Claire hingga wanita itu kini berdiri di hadapan kedua orang tuanya.
“Mama, Papa, Ini Claire, istriku.”
Tangan Claire langsung terjulur penuh percaya diri pada lelaki dan wanita di hadapannya. Tak lupa ia menampilkan senyum terbaik.
Mereka berjabatan. Tangan Claire yang berkuku panjang dan berhias kuteks mendapat tatapan takjub dari Maya. Belum lagi penampilannya yang spektakuler. Wanita itu terlihat melirik putranya yang membalas tatapan dengan senyuman manis.
“Salam kenal, Mama, Papa. Aku, Claire.”
Lagi-lagi, Claire menampakkan kepercayaan dirinya yang tinggi dengan langsung memanggil orang tua Rainer dengan sebutan mama – papa.
“Adam.”
“Maya.”
Orang tua Rainer menjawab sapaan Claire dengan singkat.
Beberapa orang yang ikut berkumpul menunduk pada Rainer. Claire melihat suaminya itu tersenyum dan balas menunduk singkat pada orang-orang yang menghormatinya.
“Ayo, kita masuk,” ajak Maya. “Granny pasti senang melihatmu pulang, King.”
Dahi Claire berkerut sedikit mendengar nama panggilan Rainer. Mereka beriringan berjalan menuju rumah besar.
Netra Claire berotasi. Rumah ini berada di dataran tinggi. Mereka harus menaiki banyak anak tangga sebelum mencapai pintu utama.
Sampai di ujung anak tangga, Claire mengambil napas panjang penuh kelegaan. Kaki-kakinya sakit karena harus berjalan di tanah berumput. Kini, ia harus naik tangga yang tidak sedikit.
Mereka melewati taman yang lagi-lagi berumput lebat. Untungnya, ada jalan setapak dengan batu-batu hingga Claire tidak perlu lagi menginjak rumput. Namun, sayang, tetap saja heels Claire tersangkut di sela batu.
“Akh,” pekik Claire pelan yang langsung memegangi kakinya.
Dengan cepat Rainer menghampiri. Ia menyediakan bahunya agar Claire dapat berpegangan sementara lelaki itu menarik heels sang istri keluar dari sela-sela batu.
“Terima kasih,” ucap Claire tulus pada Rainer.
“Hati-hati, My Lady.”
Maya dan Adam terlihat menggeleng samar. Kedua orang tua Rainer mendahului mereka masuk ke dalam rumah. Claire dan Rainer berjalan pelan menuju pintu masuk.
“Kamu berhutang penjelasan,” bisik Claire pada Rainer.
“Penjelasan bagaimana?”
“Tentang siapa dirimu.”
Rainer mengembuskan napas berat. “Itu sebabnya kamu ada di sini, Claire.”
Lelaki itu membuka pintu. Hampir seluruh rumah bernuansa kayu. Juga perabotannya. Klasik. Begitu kesan pertama Claire.
Mereka masuk di ruang keluarga. Seorang wanita yang duduk di depan televisi memperhatikan Rainer.
“Granny.”
Sosok yang dipanggil Rainer adalah seorang wanita tua yang duduk di kursi goyang. Tatapannya terlihat kosong saat Rainer berbicara dengannya. Walaupun sesekali, wanita itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
Namun begitu, Rainer terlihat sangat santun dan menyayangi wanita tua itu. Rainer memanggil Claire untuk mendekat. Wanita itu datang menghampiri.
“Granny, ini Claire. Istriku.”
Sungguh, Claire takut pada tatapan yang diberikan Granny. Walaupun terlihat kosong, tetapi seakan dapat menusuk sanubarinya.
Claire menjabat tangan keriput tersebut. Tiba-tiba, Granny menatap cincin emerald di jari manisnya. Setelahnya, ia menatap Claire dalam-dalam.
“Granny terserang penyakit Alzheimer sejak tiga tahun yang lalu,” lirih Maya, yang menghampiri dan kini berdiri di samping Granny.
Senyum penuh pengertian diberikan Claire. “Aku turut prihatin.”
Mereka lalu berkumpul di meja makan. Claire takjub melihat isi meja makan. Pie apel, buah-buahan, puding, salad, daging asap, ayam panggang utuh, sup daging dan entah apa lagi nama makanan lainnya.
Maya menyiapkan makan untuk Adam, suaminya. Berbanding terbalik dengan Claire yang hanya diam sementara Rainer melayaninya.
“Mmm … Rainer, kamu tau aku tidak makan daging di malam hari.” Claire memprotes isi piringnya.
Sontak, kedua orang tua Rainer menatap Claire. Mereka juga melirik isi piring wanita itu. Baru tersadar bahwa putra mereka yang menyiapkan makanan untuk istrinya.
“Makanlah apa pun yang sudah dihidangkan di meja, My Lady.” Rainer membalas dengan senyum penuh sayang pada Claire.
Tentu saja senyum itu adalah senyum penuh kepura-puraan. Claire sadar Rainer tak suka mendengar kalimat yang meluncur dari bibirnya barusan. Namun, lelaki itu berusaha santun di depan Maya dan Adam.
“Tidak sopan menolak makanan yang disiapkan Mamaku. Makan semuanya.”
Setelah berbisik pelan di telinga Claire, Rainer memberikan kecupan di pipi istrinya. Wanita itu memaksakan sebuah senyum. Ia kembali menatap piringnya yang penuh oleh makanan yang selama ini ia hindari demi menjaga bentuk tubuh. “Selamat makan.” Suara Maya mengisi kehampaan di ruang makan. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan piring. Sesekali, Maya terlihat memberikan perhatian khusus pada Granny. Wanita tua itu masih dapat makan dan minum sendiri. Walaupun porsinya memang sedikit. “Jadi, kalian telah menikah?” Claire mengangkat wajahnya yang sedang menekuni piring. Pertanyaan Adam sedikit menyentaknya. Ia mengelap pinggir bibirnya dengan serbet, lalu menatap Rainer. “Iya, Pa.” Rainer menjawab setelah mengosongkan mulut dan meminum seteguk air. “Kapan?” “Dua hari yang lalu.” “Kenapa tidak memberi kabar?” Deheman kecil terdengar dari tenggorokan Rainer. Lelaki itu berusaha menjelaskan pertanyaan Papanya. Tutur kata Rainer sangat lembu
Claire sampai dapat mendengar debaran jantung Rainer. Percuma bersusah payah melepaskan diri. Tenaga Rainer jauh lebih kuat. "Jadi, karena ini tidak ada AC di kamar?" Claire mencoba mengobrol daripada melamun di pelukan Rainer. "Iya." Suara Rainer terdengar mendesah. Sementara tangannya memainkan rambut Claire. "Kenapa tidak kamu beritahu saja bahwa udara malam di sini sangat dingin? Kalau kamu bilang sejak tadi, aku akan pakai baju tidur panjang," protes Claire. Rainer menyeringai di atas kepala Claire. "Tak apa, aku suka kamu memakai pakaian ini." Dengan jahil, tangan Rainer menelusuri pakaian tidur Claire yang berbahan halus. Hingga tangannya kini sampai pada bokong sang istri. "Jauhkan tanganmu dari bokongku!" Claire mengangkat wajahnya dan mendelik pada Rainer. "Kasihan. Bokongmu kedinginan," canda Rainer. "Makanya, tutup jendela itu!" Claire menunjuk jendela yang tirainya bergerak-gerak ditiup angin malam. Telapak kaki Claire sudah terasa dingin. Wanita itu mulai merin
Tidak seperti malam sebelumnya. Claire dan Rainer kali ini tidur saling memunggungi. Sejak pernikahannya, baru kali ini pula Claire menitikkan air mata.Entah kenapa. Ia hanya tiba-tiba merasa sedih. Perasaannya pilu saat mendengar Rainer berkata jujur bahwa mereka sebenarnya sama-sama sedang terjerumus pada sandiwara yang entah kapan berakhirnya.Hingga akhirnya Claire tertidur dini hari.Suara kokok ayam jantan membangunkan Claire. Berisik sekali. Wanita itu menenggelamkan wajah di dalam selimut."Kenapa kamu senang sekali menyembunyikan diri di dalam selimut?" Rainer menegur Claire."Berisik! Bisakah kamu minta ayam itu berhenti berkokok?"Rainer menggeleng samar. Lelaki itu lalu menarik ujung selimut hingga sebagian tubuh Claire terlihat."Ayam itu berkokok memang untuk membangunkanmu.""Memangnya sekarang jam berapa? Di luar masih gelap.""Jam lima."Dengusan berat terdengar dari hidung Claire. Ia bertambah kesal karena harus terjaga di jam lima pagi."Aku tidak mau bangun sekara
Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
“Rainer!”Saking bersemangatnya bertemu, Claire duduk tegak hingga dadanya terlihat di permukaan air. Lalu, dengan segera menyilangkan kedua tangan di dada saat melihat Rainer memperhatikan bagian tersebut.Claire memberengut mendengar Rainer terkekeh pelan.“Ayo keluar. Aku rasa airnya sudah dingin.” Rainer mengulurkan tangan untuk membantu Claire berdiri.Claire menurut. Ternyata sudah hampir satu jam ia berendam. Rainer bersikeras membantu mengeringkan tubuh Claire membuat wanita itu menahan malu.“Aku sudah membeli beberapa stel piyama flannel untukmu,” ucap Rainer sambil menunjukkan beberapa piyama di ranjang.“Ya, aku pikir aku memang membutuhkan piyama tebal untuk tidur.” Claire mengambil satu stel dan mengenakannya.Rainer melipat tangannya di perut dan membalas, “Paling tidak kamu bisa mengucapkan terima kasih pada pemberian orang.”Wanita itu melirik sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Setelahnya, Claire mulai kedinginan. Ia naik ke ranjang dan menyelimutinya tubuhnya.
Claire melemparkan pandangan malas mendengar pernyataan Rainer. Sementara lelaki itu tergelak melihat ekspresi sang istri.“Jujur saja, kamu bukan tipe idamanku. Bagaimana aku bisa jatuh cinta?” Claire mencebik pada Rainer.Lelaki itu menghentikan tawanya dan bertanya,” Lalu seperti apa idamanmu? Seperti Alexander Morgan?”“Alexander adalah pengusaha sukses dan tampan. Kenapa tidak?” Claire menyahut saat Rainer menyebut nama salah satu partner bisnisnya.“Asal kamu tau saja, aku jauh lebih kaya daripada Morgan.” Kali ini bibir Rainer yang mencebik kesal.Bibir Claire tertutup rapat. Memang benar. Setelah berada di kampung halaman Rainer, ia juga baru tau suaminya kaya raya. Walaupun tidak banyak orang tau tentang kenyataan ini.Hujan lebat mulai berganti dengan gerimis. Rainer terlihat kembali menatap jendela, mengamati tetesan air di jendela. Atau entah apa yang ia perhatikan di luar sana.Tiba-tiba, Rainer bercerita dengan tetap menerawang jauh.“Aku lahir saat hujan deras. Mama tid
Pagi harinya, seperti biasanya, Rainer bangun lebih dulu. Lelaki itu memandang wajah cantik wanita di sampingnya. Kemudian, mengutuk dirinya yang mulai menggunakan hati pada Claire.Dilihat dari sudut mana pun mereka berbeda. Karakter, kebiasaan, bahkan kegemaran sangat jauh bertolak belakang. Salah satunya, ia sangat menyukai hujan, di mana Claire sangat takut.Tetapi, Rainer tidak dapat mengelak dari rasa sukanya pada Claire. Jika tidak, ia mungkin tidak akan bertahan bekerja sebagai asisten pribadi selama satu tahun. Apalagi, ia pernah mereguk manisnya penyatuan mereka. Sesaat Rainer membayangkan bagaimana ia dan istrinya melewati malam pertama. Bagian tubuh Rainer menegang, membutuhkan pelepasan.Claire membuka sedikit demi sedikit matanya. Wanita itu merasakan tangan Rainer sedang meraba seluruh tubuh. Saat ia benar-benar terbangun, Rainer sudah menghujaninya dengan ciuman.“Kamu sangat cantik saat bangun tidur begini,” bisik Rainer.Wajah keduanya memerah setelah berhasil menca