Maya berdiri di samping Claire. Menatap arah pandangan Claire pada mobil yang baru saja pergi. Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis.“Ayo, kita masuk dan membereskan meja makan,” ajak Maya mendahului berjalan kembali ke ruang makan.Glek. Claire meneguk ludahnya. Beres-beres? Langkahnya sangat berat untuk mengikuti Maya.Terpaksa, Claire melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan pelayan di penthouse-nya. Piring-piring kotor diletakkan di wastafel. Lalu, mengelap meja dengan wajah mengernyit risih.Berkali-kali, Claire mencuci tangannya.“Apa kamu tidak bisa mencuci piring?” tanya Maya saat melihat Claire hanya berdiri di sampingnya tanpa membantu sama sekali.“Tidak, Mama. Claire memiliki pelayan di penthouse.” Tanpa bermaksud sombong, Claire menjawab.Maya menatap sekilas pada Claire, lalu mengangguk mengerti. Claire memandang jendela lebar di depan wastafel. Pagi ini sungguh cerah.Selesai mencuci piring, Maya mengelap seluruh perabotan makan hingga mengkilat.
Memasak? Claire mengerjap-ngerjap. Bukankah mereka baru saja membersihkan dapur?Sampai di rumah, Claire benar-benar lemas melihat seluruh perabotan masak yang telah mengkilat kembali digunakan.Yang paling mendebarkan adalah saat Maya meminta Claire membantunya memasak. Kikuk, Claire mencoba mengikuti instruksi sang mertua."Terus terang, Mah, Claire tidak bisa memasak," aku Claire.Maya mengangguk penuh pengertian. "Dari kukumu, Mama tau kamu tidak melakukan pekerjaan rumah terutama memasak."Spontan, Claire menatap kukunya yang panjang dengan kuteks cantik bermotif. Sindiran Maya tidak membuatnya tersinggung."Aku selalu pulang malam hari, tidak akan sempat memasak," kilah Claire."Jadi, makanannya selalu beli?""Ada chef yang menyiapkan makan atau aku makan di restoran."Maya menggeleng sambil berdecak." Biaya hidupmu pasti besar sekali, ya."Sambil mencuci sayuran, Claire mengaku tidak tau menahu pengeluarannya. Semua biaya rumah tangga ia serahkan pada kepala pelayan. Walaupun i
“Rainer!”Saking bersemangatnya bertemu, Claire duduk tegak hingga dadanya terlihat di permukaan air. Lalu, dengan segera menyilangkan kedua tangan di dada saat melihat Rainer memperhatikan bagian tersebut.Claire memberengut mendengar Rainer terkekeh pelan.“Ayo keluar. Aku rasa airnya sudah dingin.” Rainer mengulurkan tangan untuk membantu Claire berdiri.Claire menurut. Ternyata sudah hampir satu jam ia berendam. Rainer bersikeras membantu mengeringkan tubuh Claire membuat wanita itu menahan malu.“Aku sudah membeli beberapa stel piyama flannel untukmu,” ucap Rainer sambil menunjukkan beberapa piyama di ranjang.“Ya, aku pikir aku memang membutuhkan piyama tebal untuk tidur.” Claire mengambil satu stel dan mengenakannya.Rainer melipat tangannya di perut dan membalas, “Paling tidak kamu bisa mengucapkan terima kasih pada pemberian orang.”Wanita itu melirik sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Setelahnya, Claire mulai kedinginan. Ia naik ke ranjang dan menyelimutinya tubuhnya.
Claire melemparkan pandangan malas mendengar pernyataan Rainer. Sementara lelaki itu tergelak melihat ekspresi sang istri.“Jujur saja, kamu bukan tipe idamanku. Bagaimana aku bisa jatuh cinta?” Claire mencebik pada Rainer.Lelaki itu menghentikan tawanya dan bertanya,” Lalu seperti apa idamanmu? Seperti Alexander Morgan?”“Alexander adalah pengusaha sukses dan tampan. Kenapa tidak?” Claire menyahut saat Rainer menyebut nama salah satu partner bisnisnya.“Asal kamu tau saja, aku jauh lebih kaya daripada Morgan.” Kali ini bibir Rainer yang mencebik kesal.Bibir Claire tertutup rapat. Memang benar. Setelah berada di kampung halaman Rainer, ia juga baru tau suaminya kaya raya. Walaupun tidak banyak orang tau tentang kenyataan ini.Hujan lebat mulai berganti dengan gerimis. Rainer terlihat kembali menatap jendela, mengamati tetesan air di jendela. Atau entah apa yang ia perhatikan di luar sana.Tiba-tiba, Rainer bercerita dengan tetap menerawang jauh.“Aku lahir saat hujan deras. Mama tid
Pagi harinya, seperti biasanya, Rainer bangun lebih dulu. Lelaki itu memandang wajah cantik wanita di sampingnya. Kemudian, mengutuk dirinya yang mulai menggunakan hati pada Claire.Dilihat dari sudut mana pun mereka berbeda. Karakter, kebiasaan, bahkan kegemaran sangat jauh bertolak belakang. Salah satunya, ia sangat menyukai hujan, di mana Claire sangat takut.Tetapi, Rainer tidak dapat mengelak dari rasa sukanya pada Claire. Jika tidak, ia mungkin tidak akan bertahan bekerja sebagai asisten pribadi selama satu tahun. Apalagi, ia pernah mereguk manisnya penyatuan mereka. Sesaat Rainer membayangkan bagaimana ia dan istrinya melewati malam pertama. Bagian tubuh Rainer menegang, membutuhkan pelepasan.Claire membuka sedikit demi sedikit matanya. Wanita itu merasakan tangan Rainer sedang meraba seluruh tubuh. Saat ia benar-benar terbangun, Rainer sudah menghujaninya dengan ciuman.“Kamu sangat cantik saat bangun tidur begini,” bisik Rainer.Wajah keduanya memerah setelah berhasil menca
“Dia asistenku. Ingat?” Entah kenapa Rainer pun memberikan penjelasan.Claire terdiam menyadari bahwa ia seperti seorang wanita yang sedang dibakar rasa cemburu. Ia mengamati sang suami yang masuk ke dalam mobil. Lalu melambai dengan senyum tulus yang dipaksakan.Granny sedang menonton drama korea lagi ketika Claire lewat untuk kembali ke kamar. Kepalanya menggeleng lemah. Siapa sebenarnya yang mengenalkan wanita tua itu menonton drama itu?Sampai di kamar, Claire kembali naik ke ranjang dan mencoba untuk tidur. Setelah setengah jam, ia mendesah kesal karena tidak juga dapat tidur.Wanita cantik itu menyeret langkah ke kamar mandi. Membilas diri dan berpakaian. Walau hanya di dalam kamar saja, ia tetap menggunakan pakaian rapi dan berhias tipis.Saat Claire sedang tekun menatap layar laptop, pintu kamar diketuk.“Tok, tok, tok. Claire, ini Mama.” Suara dari balik pintu membuat Claire berdiri dan membukakan pintu.“Ma?” sapa Claire.“Boleh masuk? Mama bawakan jus untukmu.” Maya memperl
Tanpa banyak kata, Claire mengikuti Rainer. Lelaki itu membukakan pintu mobil untuknya. Seperti biasa meletakkan telapak tangan di atap pintu agar kepala Claire tidak membentur atap tersebut.Paling tidak hanya ia yang mendapat perlakuan istimewa itu. Bukan Stella. Begitu batin Claire berkata.Claire memandang jalanan. Mereka keluar dari perkebunan. Mobil melewati lahan-lahan yang kosong. Hanya rumput dan beberapa tanaman yang sepertinya habis dipanen.Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bertingkat. Lebih modern dari rumah yang pertama. Claire turun setelah Rainer membukakan pintu untuknya.“Di mana kita?” tanya Claire memperhatikan sekelilingnya.“Ini rumah pribadiku. Oranng-orang di sini menyebutnya manor atau rumah besar.” Rainer menuntun Claire menaiki tangga menuju pintu utama.“Kenapa sejak awal kita tidak ke sini?”“Karena orang tuaku tidak berada di sini.”Kepala Claire mengangguk mengerti. Mereka disambut tiga orang pelayan. Mungkin. Karena ketiganya tidak menggunakan
Rainer mengajak Claire duduk di pinggir makam. Ada beberapa batu yang dibuat sebagai kursi. Mereka duduk menghadap makam.“Iya. Ini kembaranku, Nita.”“Dia meninggal pada usia dua puluh dua tahun? Artinya baru tiga tahun yang lalu?” Claire dengan cepat menghitung dari tanggal kematian yang tertera pada nisan.Kepala Rainer mengangguk.“Sakit?” Claire bertanya seraya menatap wajah Rainer.Lelaki itu menghela napas panjang. Matanya menatap nisan pualam itu dengan wajah sedih. Hingga akhirnya, Claire meraih tangan Rainer dan menggenggamnya. Kepala Rainer lalu menggeleng pelan.“Meskipun kembar, aku dan Nita sangat berbeda. Aku jauh lebih tinggi. Orang hanya akan mengira bahwa kami adalah kakak beradik dengan perbedaan usia yang cukup jauh.”Rainer menjeda sejenak ceritanya. Matanya menatap genggaman tangan Claire.“Karakter kami apalagi. Aku memiliki sifat jahil dan keras kepala, sementara Nita sangat baik hati dan penurut.”Saat dewasa, Rainer menceritakan bahwa mereka telah berbagi tug