Rainer mengajak Claire duduk di pinggir makam. Ada beberapa batu yang dibuat sebagai kursi. Mereka duduk menghadap makam.“Iya. Ini kembaranku, Nita.”“Dia meninggal pada usia dua puluh dua tahun? Artinya baru tiga tahun yang lalu?” Claire dengan cepat menghitung dari tanggal kematian yang tertera pada nisan.Kepala Rainer mengangguk.“Sakit?” Claire bertanya seraya menatap wajah Rainer.Lelaki itu menghela napas panjang. Matanya menatap nisan pualam itu dengan wajah sedih. Hingga akhirnya, Claire meraih tangan Rainer dan menggenggamnya. Kepala Rainer lalu menggeleng pelan.“Meskipun kembar, aku dan Nita sangat berbeda. Aku jauh lebih tinggi. Orang hanya akan mengira bahwa kami adalah kakak beradik dengan perbedaan usia yang cukup jauh.”Rainer menjeda sejenak ceritanya. Matanya menatap genggaman tangan Claire.“Karakter kami apalagi. Aku memiliki sifat jahil dan keras kepala, sementara Nita sangat baik hati dan penurut.”Saat dewasa, Rainer menceritakan bahwa mereka telah berbagi tug
“Hai, Stella. Istriku hari ini ikut kita ke kantor.” Rainer balas menyapa dengan ramah.Selanjutnya, Claire malas mendengar percakapan suaminya dengan Stella. Mendengar Rainer menyapa wanita itu saja membuat ia risih. Bisa-bisanya Stella mendatangi Rainer langsung di manor.Padahal, wanita itu tau Rainer sedang bersama istrinya.Wajah Clare kembali mengeras tak kala Stella dengan santai duduk di samping pengemudi. Rainer terkesiap sejenak, lalu melirik Claire yang memasang wajah datar.Claire masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang setelah Rainer membukakan pintu untuknya. Sementara Rainer masih berada di luar dan berbicara dengan pelayan-pelayan.Tak berapa lama, seorang lelaki masuk dan duduk di kursi pengemudi. Rasanya Claire mau tertawa melihat Stella sedikit terkejut karena bukan Rainer yang akan menyetir mobilnya.“Kamu langsung ke kantor, ya, Stell,” ucap Rainer pada Stella saat mereka dalam perjalanan.Wanita itu menoleh ke belakang dan menjawab, “Kamu?”“Aku akan mengajak
Sambil mendatarkan wajah dan mengeluarkan black card, Claire berkata, “Aku bayar semuanya. Berapa?”Sang wanita menatap kartu di tangan Claire, lalu menggeleng.“Kami tidak menggunakan kartu kredit di sini,” ucapnya tak kalah datar. “Semua pembayaran menggunakan uang tunai.”Sambil berdecak kesal, Claire mengerutkan dahi. Seumur-umur, ia baru tau ada daerah yang tidak mengenal pembayaran dengan kartu kredit. Benar-benar menyusahkan.Alhasil, Claire harus mengecek isi dompetnya. Ia jarang sekali menyimpan uang cash. Biasanya black card selalu dapat menyelesaikan pembayaran di mana pun ia berbelanja.Saat Claire kebingungan mencari uang cash, Rainer masuk ke dalam toko. Tangannya menggenggam rangkaian bunga cantik yang berukuran sedang. Lelaki itu mengelus lembut punggung Claire.“Sudah beli obatnya?” tanyanya pada sang istri.Kepala Claire menggeleng. “Aku tidak punya cash untuk membayar.”Rainer terkekeh. Ia mengeluarkan dompetnya dan membayar seluruh tagihan sang istri.“Mana obatnya
Ini waktu yang tepat. Bagi Claire, mereka bisa sekalian mengundang keluarga Rainer ke luar negeri untuk peresmiannya sebagai presiden direktur. Setelah itu merancang perusahaan baru Rainer.“Sebentar lagi, Pa. Sebenarnya aku pulang sekalian membicarakan perusahaan itu dengan Papa.” Rainer menjawab tanpa menjelaskan detail.“Bagus. Kita bicarakan nanti di rumah. Kalian malam ini tidur di rumah ‘kan?” tanya Adam seraya melirik Claire.Claire yang sebenarnya lebih nyaman berada di manor hanya diam. Namun kemudian, ia mendengar Rainer berkata iya pada sang papa. Wanita itu hanya mengembuskan napas panjang perlahan.Beberapa saat kemudian, Rainer dan Papanya terlibat pembicaraan serius tentang perkebunan. Claire terlihat santai sambil membaca majalah. Padahal telinganya mendengar setiap kata dari diskusi tersebut.Dari pembahasan itu, Claire jadi tau. Tanaman perkebunan harus dipanen sesegera mungkin karena musim dingin akan tiba. Adam sudah merancang berbagai strategi untuk menanam bibit
Lagi-lagi Stella. Claire tak bisa menahan dengusan kesalnya. Teman Rainer ini pantas disebut sebagai perusak mood.“Kamu di sini, Stell?” tanya Rainer bingung.“Iya. Aku mengantar sayur untuk Mama.” Stella mengangkat keranjang sayuran yang dipegangnya. “Sekalian menjemputmu. Kita sama-sama ke pasar, ya.”Stella berlalu menuju dapur. Claire membalik tubuh dan melangkah ke kamar. Rainer mengikutinya.“Kamu butuh sesuatu?” Rianer memperhatikan Claire yang sedang berganti pakaian.“Tidak. Kamu pergi saja.” Claire mengusir Rainer.Lelaki itu menghampiri Claire dan berdiri berhadapan sangat dekat. Kedua tangan Rainer mengunci sang istri hingga tubuh mereka rapat tanpa celah. Spontan, Claire menjauhkan wajahnya.“Kenapa lagi?” tanya Rainer. “Kesal karena Stella menjemputku?”“Tentu tidak. Silahkan pergi dengannya.”Detik berikutnya Claire menyesal. Setelah mengecup bibir sang istri, Rainer langsung keluar kamar. Claire mengintip melalui korden jendela dan memperhatikan mobil suaminya.Tak la
"Kalian tentu tidak menunda kehamilan, 'kan?" desak Adam lagi.Baik Claire maupun Rainer menggeleng berbarengan. Adam lalu bersandar dan minum air mineralnya. Ia terlihat berpikir sambil melirik Claire."Bagus." Akhirnya lelaki setengah baya itu berkata pelan.Selesai makan malam, Claire membantu meletakkan piring-piring kotor ke wastafel. Hanya itu saja yang ia bisa. Sementara Maya dan Stella terlihat akrab mencuci piring bersama.Tak mau mengganggu, Claire pamit ke kamar. Rainer mengantar istrinya. Lelaki itu bingung melihat rangkaian bunga yang sedikit berantakan."Aku menggunakan kelopak bunga untuk berendam tadi sore." Claire berkata seolah memahami apa yang dipikirkan suaminya.Rainer tersenyum dan mengangguk mengerti. Ia lalu berjalan ke kamar mandi. Bathtub masih penuh dengan air berbunga."Dan aku lupa membersihkannya." Claire berucap di depan pintu kamar mandi.Kelopak-kelopak bunga itu diambil Rainer. Dibuang ke tempat sampah. Lalu, lelaki itu membuka saluran pembuangan ai
"Selamat pagi."Sungguh, Claire malas menoleh mendengar suara yang telah ia kenal itu. Tetapi demi sopan santun, ia membalik tubuhnya dan memaksakan sebuah senyum."Pagi, Stella." Tegas, layaknya seorang penghuni rumah, Claire menyahut."Oh. Hai, Claire." Agaknya, Stella juga terkejut hanya Claire yang ia temui."Tumben, pagi-pagi sekali kamu sudah di dapur."Sindiran. Claire yakin wanita yang baru saja datang ini mengejeknya, karena biasanya ia bangun agak siang."Iya. Agaknya jetlag sudah berlalu." Claire memberikan alasan masuk akal."Semoga kamu sehat-sehat selalu. Aku tidak pernah melihat King jetlag. Jadi, rasanya bingung juga saat dijelaskan tentang gangguan itu." Stella tersenyum pada Claire."Cuaca di sini ekstrim. Kurasa itu salah satu faktor yang memperburuk jetlagku. Bukan hanya soal penerbangan.” Saat Stella masuk, Claire sedang menata meja makan. Melihat Claire sibuk, Stella pun membantu. Keduanya bekerja tanpa berbicara lagi satu sama lain.Rak piring satu per-satu dib
“Claire? Menjadi presiden direktur?” Maya menggumam dengan kagum.Sementara Adam dan Stella terlihat memandang Claire dengan tatapan yang sulit diartikan. Claire tersenyum santun lalu mengangguk pelan.“Iya, Ma, Pa. Claire ingin Mama, Papa dan Granny bisa ikut hadir. Atau kalau perlu beberapa kenalan dekat keluarga Conrad pun ikut datang ke acara tersebut.”“Selama ini siapa yang menjadi presiden direktur perusahaan Rischmont?” tanya Adam yang telah pulih dari rasa terkejut.“Daddyku, Pa. Brandon Rischmont.” Claire menjawab santun. “Beliau pun mengatakan ingin sekali bertemu dengan keluarga Conrad.”“Hem. Jadi, kamu tidak memiliki saudara lelaki hingga yang menjadi presiden direktur adalah seorang wanita?”Dari pernyataan tersebut, jelas sekali Adam menilai bahwa seharusnya jabatan tertinggi dipegang oleh seorang lelaki. Adam tidak tau saja bahwa di luar negeri, pemimpin wanita sudah banyak sekali.Claire lalu bercerita tentang keluarganya dan bagaimana ibunya telah tiada. Singkat saj
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma