Mama? CEO itu memanggil Habiba dengan panggilan mama? Qizha merasa tubuhnya jadi lemas. Sendok di tangannya pun sampai terjatuh hingga menimbulkan dentingan cukup keras. Matanya menatap bengong pada wajah Qasam. Kenapa dunia ini seperti sempit sekali? Jauh- jauh melalang buana, ketemunya juga sama manusia ini. Baru saja Qizha merasa bahagia karena mendapatkan sosok yang dia kira akan menjadi teman dekat, tapi ternyata semuanya tidak seperti yang dia inginkan. Qasam tentu akan enjadi penghalang hubungan mereka.Rupanya CEO ini adalah keturunan orang kaya raya, pantas saja dia songong dan seenaknya. Dan… tunggu dulu, apakah ini artinya Qasam adalah kakaknya Qansha?Oh Tuhan… Berarti Qizha telah menjadi penyebab kematian adik dari CEO ini. Qizha benar- benar merasa sangat lemas hingga kini hanya bisa terdiam dan mematung. “Hei, anak sulung mama yang tampan sudah pulang rupanya.” Habiba merengkuh caruk leher Qasam yang menunduk saat putranya itu mencium pucuk kerudungnya. “T
Qizha pulang malam hari. Tak ada siapa pun di rumah. Suaminya belum pulang. Entah kemana dia. Sejak saat Qizha pertama kali menginjakkan kaki ke rumah, tidak ada tanda- tanda suaminya itu ada di rumah.Qizha membaringkan tubuh ke kasur. Ia mengingat kondisi rumah Habiba yang megah dan elit, yang saat keluar dadi rumah itu pun mesti melewati banyaj ruangan, sempat tersesat dan ditunjukkan pintu keluar oleh Fara. Qizha juga harus melewati security yang berjaga ketat di gerbang tinggi saat keluar. Dan ternyata rumah Habiba juga merupakan rumahnya CEO itu.Berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Qizha sekarang. Manik mata Qizha menatap setiap sisi rumah yang bersih dan rapi. Beginilah kondisi rumah saat selalu tersentuh oleh tangan Qizha, semuanya rapi. Rumah itu merupakan rumah asing baginya, namun ia mencoba untuk merasa intim pada setiap sudut ruangan meski sebenarnya merasa tak nyaman karena rumah itu adalah rumah yang memberikan kesan buruk di hidupnya. Terutama karena per
Qasam mengernyit saat menyadari kunci tidak berfungsi karena posisi pintu sudah dalam keadaan tidak terkunci.Bukankah setiap hari Qasam selalu mengunci pintu kamar sebelum bepergian?Meski Qasam ragu kenapa kuncinya mentok saat diputar, namun Qasam tak mau berpikir panjang mengingat tubuhnya yang sangat lelah dan ia ingin segera beristirahat. Manik matanya menatap ke sekitar, kondisi kamar seperti biasa. Kosong. Qasam menutup pintu, ia melepas celana ala preman yang ia kenakan dan menggantinya dengan celana pendek selutut. Ia kemudian menghempaskan tubuh ke kasur. Qizha yang bersembunyi di dalam keranjang baju kotor, meringkuk dengan kepala di tutupi pakaian kotor. Oh Tuhan... Semoga saja ia tidak ketahuan bersembunyi di sana. Kalau sampai ketahuan, maka tamatlah riwayatnya. Tapi sampai kapan ia berada di sana? Jika saja Qasam tidak beranjak dari sana, tentu saja Qizha akan terjebak di keranjang sialan itu dalam waktu lama. Untungnya aroma pakaian kotor Qasam cukup harum, sehing
Dengan wajah polos dan muka sok tidak berdosa, Qizha menjawab, “Aku kan udah bilang, aku sama sekali nggak memasuki kamarmu. Tadi pas aku pulang juga pintu depan nggak dikunci kok. Kupikir malah kamu udah di dalam. Jadi aku langsung masuk aja. Dan aku memanggilmu tapi nggak ada jawaban.”“Pintu depan tidak dikunci?” tanya Qasam.“He’em. Nggak dikunci. Lagian apa sih yang dikhawatirkan dengan rumah ini? Nggak ada barang berharga yang bakalan digondol sama pencuri kan? Rumah ini juga nggak punya sesuatu yang istimewa. Sehari semalam pintu dalam keadaan terbuka juga nggak apa- apa.” Qizha berkilah. Qasam mulai ragu, apakah mungkin ia lupa mengunci pintu? Ah, wanita ini memang luar biasa pintar dalam urusan meyakinkan, mirip marketing handal. Sampai- sampai Qasam pun terpengaruh atas perkataan wanita itu.“Buatkan aku tah panas. Sekarang!” titah Qasam.“Baik! Tapi menyingkirlah dariku dulu, supaya aku bisa bergerak.” Qizha menatap posisi tubuh Qasam yang berdiri di depanny
“Kau bisa gunakan uang itu untuk keperluanmu. Mau beli baju, ta sandal, skincare, bedak, terutama makanmu. Aku sudah memberikan nafkahku untukmu, sekarang aku juga butuh nafkah batin,” bisik Qasam sambil mencium bibir Qizha lembut.Deg! Jantung Qizha berlarian. Tak tahu mengapa, Qizha mendapat gelagat buruk dari niat Qasam yang hendak menyentuhnya itu. Entah pikiran apa yang ada di otak Qasam hingga pria itu ingin menyentuh Qizha. Pasti niat buruklah yang ada di otak Qasam saat ini.“Qasam, hentikan!” Qizha menahan dada Qasam, membuat kepala pria itu menjauh dari wajah Qizha. “Kenapa? Ini hakku sebagai suami.” Qasam menyentuh pinggang Qizha, membuat wanita itu tersentak kaget.Entah kenapa Qizha kaget saat area itu disentuh Qasam. Ia ingat saat CEO itu menggagahinya, pinggangnya menjadi area paling banyak dipegang.“Kenapa tiba- tiba kamu punya uang sebanyak ini?” tanya Qizha berusaha mengalihkan fokus situasi.“Aku sudah bekerja.”“Tapi kerja apa? Nggak mungkin kamu bisa dapat uang s
"Hutang apa?" Qasam masuk. "Coba lihat!"Qizha menampik tangan Qasam yang menjulur ke arah bawah kasur. "Kamu kan udah kasih aku uang. Jadi hutangku mau kubayar semua. Nggak ada masalah kok sama hutang piutang. Yang jelas itu bukan catatan "Qasam menatap Qizha intens. "Oh, bagus. Sekarang kita bisa bercinta kan?"Waduh, permintaan Qasam mulai ekstrim begini. Qizha yakin ini adalah ujung tonggak dari dendam Qasam. Lelaki ini memiliki tujuan tersembunyi dibalik permintaan mesumnya ini."Mm.. aku sedang datang bulan. Maaf ya!" ucap Qizha dengan wajah menyesal. Lagi- lagi dia berbohong."Aku mau bukti. Lihat dulu!" Qasam menjulurkan tangan ke arah bawah. "Hei, jangan gila!" Qizha menampik tangan Qasam. "Ini tuh kotoran, gimana kamu mau lihat?""Aku butuh bukti.""Nggak harus dilihat juga.""Kalau tidak boleh dilihat, minimal dipegang. Pasti kau pakai pembalut kan? Itu akan terasa tebal saat dipegang." Qasam menarik pundak Qizha ke pelukannya dan menempelkan telapak tangan ke bokong wa
“Ayah memintaku melepaskan Qasam?” tanya Qizha dengan perasaan berkecamuk. Sejak saat Bily takluk pada Agata, Qizha kehilangan respek pada ayahnya ini. kalaupun ia datang ke rumah, itu hanya sebatas rasa kemanusiaan.“Kebahagiaan itu kau sendiri yang memilih. Lepaskan dia jika memang dia bukan yang terbaik.” Bily menatap Qizha dengan tatapan sedih.Qizha terdiam. Rasanya banyak sekali yang ingin ia jelaskan kepada ayahnya, bahwa suaminya itu adalah kakak dari orang yang telah dibunuh olehnya. Bahwa Qasam itu adalah seorang CEO di perusahaan besar. Dan banyak hal lain tentang Qasam. Tapi tak mungkin Qizha mengatakan itu, Bily belum tentu bisa dipercaya untuk memegang rahasia. lebih baik Qizha menutupi rahasia itu dulu.“Sama seperti ayah, bara itu panas, Yah. Maka lepaskan bara itu, jangan digenggam, Yah. Tangan ayah yang akan melepuh jika terus menggenggamnya hanya demi menerangi sekeliling. Lepaskan ibu!” ucap Qizha dengan suara rendah.“Ayah ini sudah tua. Siapa yang a
"Mbak Vina! udah lima bulan statusku di sini menjadi OB. Bisakah Mbak Vina konsultasikan ke Pak Gafar tentang posisiku ini? Pak CEO menjanjikan akan mengubah statusku ini stelah masa training selesai," pinta Qizha pada Vina pagi itu. "Tapi masa itu udah lewat lama dan sampai sekarang belum ada perubahan apa- apa."Perjalanan Qizha menjadi seorang OB cukup melelahkan dengan segudang drama. Berbulan- bulan sudah berlalu sejak saat ia dinyatakan berstatus sebagai OB. Dua bulan awal memang ia menghilang dari kantor karena kabur, tapi tiga bulan belakangan ia sudah kembali bekerja normal. "Aku berharap Mbak Vina bisa konsultasikan tentang posisiku ini," pinta Qizha dengan wajah penuh harap."Ya, nanti akan aku bicarakan ke pak Gafar soal ini," jawab Vina."Sebenarnya calon istrinya Pak CEO juga udah bicarakan hal ini, bahwa aku diminta jangan dipekerjakan di bagian ini. Dan pak CEO juga menyetujui. Tapi setelah berjalan sekian lama, semua belum terealisasi.""Kalau begitu, pasti nanti ak
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p