Gafar kemudian menceritakan kepada Fahri seluruh permasalahan yang menimpa Qizha. Tentang status Qizha yang seharusnya menjadi sekretaris dan mendadak jadi OB. Ya itu karena ulah CEO sableng.Fahri menganggukkan kepala sambil menatap wajah Qizha. Cantik.“Baiklah. Aku akan bicarakan hal ini pada Pak Qasam.” Fahri menyahuti dengan tenang.Dan Qizha merasa bulu kuduknya meremang setiap kali mendengar nama Qasam disebut. Itu adalah nama suaminya. Yang tak satu pun orang lain mengetahui hal itu. Ada rasa tak nyaman menyeruak dalam benaknya. Pokoknya aneh gitu. Tatapan Fahri menelisik ke penampilan Qizha yang dibalut seragam OB. Jilbab warna cokelat membungkus kepala hingga membuat wajahnya yang cantik seperti dihias sesuatu yang mengagumkan.“Coba berdiri!” titah Fahri.Lah, kok perintah itu sama seperti yang diminta Qasam? Bos dan asistennya sepertinya sama saja.Qizha mematuhi perintah Fahri. Ia berdiri menghadap lelaki berbadan tegap bak tentara itu.Kemudian Fahri mengan
“Kenapa malah bingung saat diberi ucapan selamat?” tanya Fahri.Menghilangkan ketegangan, Qizha pun mengulum senyum yang membuat Fahri terpaku menatap senyuman di wajah cantiknya.“Kenapa tertawa?” tanya Fahri.“Sebatas Pak CEO memanggil saya aja, bapak sampai kasih ucapan selamat.” Qizha geleng kepala.“Ha haa…. Siapa tahu beliau akan memberikan ijin kepadamu untuk menduduki jabatan yang sebenarnya, yaitu sekretaris.”“Siapa tahu? Belum pasti kan? Bagaimana kalau beliau memanggil saya hanya karena mau memecat saya?”“Loh, kenapa? Kok pesimis? Kamu itu pintar, cerdas dan bertalenta. Bagaimana mungkin pesimis begini? Kau perlu tahu satu hal, dengan kau berhasil menyingkirkan pesaing lain hingga kau menduduki jabatan sekretaris adalah hal yang luar biasa. Artinya kau memiliki potensi, jangan lupakan itu!”“Oh. Baik, saya mengerti. Terima kasih, Pak.”Sepertinya Fahri belum mengetahui perihal tinta yang membanjir di meja Qasam. Sebab semuanya sudah dibereskan oleh Qizha detik
"Hanya aku yang mengerti kasus ini. Cukup aku saja yang menangani. Kau punya tugas dan tanggung jawab lain!" tegas Qasam dengan sorot mata yang tajam.Dari interaksi keduanya, jelas terlihat bahwa mereka tidak akur. Pembicaraan pun terlihat panas dan tak bersahabat."Ya ampun, orang yang terlihat mulia di mata orang tuanya, ternyata bisa zalim juga pada karyawannya. Hmm... Tujuanku menemuimu ke ruangan ini sebenarnya untuk membahas hal tidak penting, tapi aku malah mendapati hal penting. " Hasan kemudian mendekati Qizha, merangkul pundak wanita itu dengan entangnya, membuat tubuh Qizha menegang seketika waktu. Jujur saja Qizha ingin melepaskan pegangan lengan Hasan, namun sikapnya yang menolak pasti akan diartikan sesuatu yang berbeda oleh lelaki selengekan ini. "Hei, gadis manis! Kalau ada apa- apa, bicaralah padaku. Kau boleh mengadu apa saja jika pimpinan tertinggi di sini berani macam- macam padamu. Di atas langit masih ada langit. Meski Qasam di sini adalah pimpinan tertinggi,
Haruskah Qizha kembali menjadi OB? Rasanya sia- sia sekolah tinggi jika pada akhirnya harus menjadi OB. Ya Allah... Taklukkanlah hati keras Qasam. Dengan Kuasa dan Kebesaranmu, atas Kunfayakun yang Kau kehendaki, jadikanlah aku sebagai sekretaris untuk mempermudah jalanku mendekati hati Qasam. Tuhan... Ini memang sulit bagiku, tapi aku yakin ini mudah bagimu. Tidak ada yang tidak mungkin bagimu.Qizha membuka mulut untuk menjawab, "Aku..."Belum selesai Qizha bicara, suara deringan telepon memutus perkataannya. Sumber suara berasal dari ponsel Qasam di balik jasnya.Qasam segera menjawab telepon. "Halo, Pa?" Dahi Qasam mengernyit mendengar suara di seberang. "Aku dengar kau bertingkah semena- mena pada stafmu di kantor. Lulusan sarjana kau jadikan OB. Jika memang ini benar, maka aku tidak menbenarkannya. Katakan, apakah berita itu benar?" tanya Husein, papanya Qasam di seberang telepon. "Hasan bicara apa ke papa?" Qasam memutar mata. "Papa mempercayainya?""Sejak dulu aku tidak
Hari ini adalah hari pertama Qizha menjabat sebagai sekretaris. Percayalah, menjadi sekretaris Qasam tidaklah mudah. Selain pria itu galak dan menyusahkan hidup Qizha, pria itu juga tak pernah berhenti menyuruh- nyuruh Qizha bolak balik seperti setrikaan sampai betis Qizha terasa gempor. Sikap kasar dan perkataan menyakitkan Qasam hanya berlaku untuk Qizha, sedangkan sikap pria itu sangat bijak terhadap orang lain. Meski selalu tegas dan garang saat berhadapan dengan semua staf, namun Qasam tetaplah sosok yang bijaksana, dermawan, memberikan perlindungan pada karyawan. Terutama ia juga seorang yang kharismatik di mata semua orang dengan ketampanan dan kegagahannya. Qasam juga tak ragu memberikan bonus kepada staf saat budget tercapai sesuai keinginan. "Ikut denganku sekarang. Cepat!" tegas Qasam yang diangguki oleh Qizha saat pria itu melintas di depan meja Qizha. Segera Qizha menyambar tas dan mengikuti pria itu. Padahal, Qizha baru saja berniat hendak pulang mengingat jam kerja
"Qasam, kau membawa wanita ini lagi kemari?" Habiba tersenyum namun juga tampak bingung. Baru kemarin Qasam memperingatkan Habiba supaya berhati- hati pada wanita itu, tapi ini malah Qasam sendiri yang membawa masuk wanita itu ke rumah ini.Qasam melirik ke arah Qizha seolah memberikan akses waktu untuk Qizha menjelaskan.Memahami sikap Qasam, akhirnya Qizha pun berkata, "Saya sekretaris sekaligus merangkap sebagai asisten pribadi Pak Qasam." "Oh?" Habiba mengedikkan pundak menunjukkan raut bingung. "Loh loh.... Jadi kalian sebenarnya sudah saling kenal?""Ya. Dia sekretarisku," jawab Qasam dengan suara yang hangat dan menenangkan. "Dia butuh uang sehingga harus cari kerjaan serap supaya kebutuhannya terpenuhi.""Kenapa kemarin kamu nggak bilang kalau Qizha ini skeretarismu? Kemarin kamu tidak bahas apa pun mengenai hal ini loh." "Aku belum seberapa mengenali sekretaris baru ini. Jadi kupikir tidak ada yang bisa kusampaikan tentangnya. Dia orang baru.""Dunia rasanya sempit sekali
Qizha bingung, apakah ia harus melihat kegaduhan itu, ataukah pura- pura tak mendengarnya saja? Ia adalah orang baru di rumah itu. Tak mungkin bertindak seolah sok akrab dengan keluyuran ke sembarangan ruangan.Tapi mendengar suara yang mengerikan seperti pecahan kaca itu membuatnya tak mau tinggal diam. Ia lalu menghambur menuju ke sumber suara, tak lain ruangan lain yang masih berada di dalam kamar.Di belakang Qizha, menyusul derap langkah beberapa pasang sepatu. Ada Husein, Habiba, dan Hasan. Serta Amira yang langkahnya ketinggalan jauh.Qizha berada di depan seperti seorang komandan diikuti oleh banyak ajudan. Ia menuju balkon, yang membutuhkan askes berbelok untuk sampai ke tempat itu. Kamar itu menyediakan ruangan santai yang menghubungkan langsung dengan balkon. Di sanalah sumber suara gaduh tadi. Alangkah ia terkejut melihat kaca pembatas antara ruang santai dan balkon pecah, pagar di balkon pun runtuh. Di bawah sana, tampak tubuh Qasam menggelantung di sebuah kabe
Qasam mengingat kejadian sebelumnya. “Aku terpeleset yang membuat tubuhku menghantam kaca balkon dengan kuat. Selanjutnya tubuhku menghantam pagar balkon yang ternyata malah langsung roboh begitu tubuhku bersentuhan dengan benda itu. Ada yang salah dengan semua ini.”“Maksudmu?” tanya Habiba.“Lantai yang licin kemudian pagar balkon yang roboh, itu pasti ada yang sudah sengaja merencanakan. Ada yang ingin aku mati.” Sorot mata Qasam menatap Hasan yang berdiri paling belakang.Sejurus pandangan kemudian mengikuti arah pandang Qasam.Hasan salah tingkah ditatap seperti itu. Ia merasa seperti sedang dihakimi.“Kau menuduhku?” Hasan memutar mata.“Lalu siapa lagi selain kau? Memangnya lantai rumahku ini bisa licin sendiri jika tanpa pelaku?” Qasam tetap terlihat tenang meski posisinya sedang menuduh lawan bicaranya.“Tidak masuk akal.” Hasan melangkah keluar dengan kesal.“Jangan asal tuduh!” pinta Habiba.“Siapa lagi orang yang ingin menyingkirkanku jika bukan dia? Tidak ada nama
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p