Pisau mengenai Qizha sesaat setelah dilayangkan. Qizha berusaha menyingkirkan tubuh Habiba, namun dalam situasi sulit, justru dialah yang terkena benda tajam itu.Tubuh Qizha ambruk. Ia meringis merasakan sakit di bagian luka. Tangannya memegangi luka. Agatha menarik kembali pisau itu. tatapannya liar penuh ancaman.Habiba menjerit histeris. Dia berjongkok memeluk Qizha.“Ya Allah… Kenapa kamu lakukan ini?” Habiba merengkuh kepala Qizha dan ditaruh kepangkuannya. Qasam menatap Agatha tajam. Dia langsung menghambur dan menerjang Agatha.Gubrak! Tubuh Agatha terlempar ke lantai sesaat mendepat tendangan. Nekat, Qasam maju dan meraih tangan wanita itu, hendak merampas pisau. Tak peduli mungkin dia yang akan terkena ancaman pisau, namun kemarahannya telah membuatnya menjadi nekat dan tak peduli dengan ancaman.Tangan Agatha begitu lincah berkelit. Dia mengayunkan pisau ke arah Qasam dan ditangkis dengan tangan. Telapak tangan Qasam yang kini memegangi pisau pun terluka, dar
“Ss sungguh? Mama sayang padaku?” lirih Qizha hampir tak terdengar lagi suaranya.Habiba tak mau bicara lagi, dia hanya mengangguk- anggukkan kepala. Tangisnya pecah. Sepanjang jalan, Habiba menghadap ke belakang. pinggangnya berputar seratus delapan puluh derajat demi bisa menghadap ke belakang dan memegangi tangan Qizha. Inilah caranya menunjukkan kasih sayang kepada menantunya itu, berharap menantunya akan mendapatkan motivasi dari sikapnya itu.Habiba mneyesal sudah memperlakukan Qizha dengan buruk, ia bahkan mempermalukan Qizha di depan orang banyak. Mengatainya pembunuh. Sampai akhirnya Qizha dilempari sepatu dan sandal oleh para staf yang turut meras aprihatin pada Habiba.Tak hanya itu saja, Qizha juga dihujat habis- habisan.Para staf itu tidak salah. Mereka hanya meluapkan rasa kesal pada orang yang mereka anggap sebagai pembunuh. “Pak, lebih kencang lagi!” titah Qasam.“Iya, Tuan!” supir mengangguk, mempercepat laju kendaraan. Padahal kendaraan yang dia setir su
“Mama, lakukan sesuatu untuk Qizha!” teriak Qasam yang melihat Habiba menjauh dari bed.“Tidak! Biar mereka saja yang menangani!” Habiba menarik lengan Qasam supaya menjauh. “Bukankah mama jauh lebih berpengalaman dalam menangani ini?” Qasam pabik, seolah tak percaya pada dia dokter yang kini tengah bekerja. Dua dokter yang sudah ada di sana, dengan perlengkapan sempurna, tangan telah dibungkus handscoon, kepala teryutup, dan pakaian hijau khas dokter bedah, langsubg bergerak cepat mengeksekusi Qizha. “Sudah! Tinggalkan dulu Qizha, biarkan mereka yang profesional menangani!” Habiba membawanQasam keluar dari ruangan. Suster menutup pintu dari dalam.Qasam menghela napas. Ia pun tak tahu kenapa mendadak jadi seperti orang bodoh di saat begini.Bisa- bisanya dia mengira mamanya masih bisa menangani pasien sementara mamanya sudah lama berhenti dari profesi itu. Kepanikan membuatnya jadi hilang akal. Apa lagi ia melihat dan merasakan bagaimana tubuh Qizha menjadi lwmas sekali di tanga
"Berdiri!" Perintah tegas itu dipatuhi Qizha.Lima belas menit lalu, Qizha dipanggil HRD setelah lulus interview, lalu diminta menghadap pimpinan. Meski baru beberapa hari menjabat sebagai pimpinan tertinggi, namun ketegasannya tidak diragukan. "Berputar!" titah pria dengan nama lengkap Shaka El Qasam. Suaranya menggetarkan jantung, sangat berwibawa.Perintah semacam apa itu? Namun, Qizha tetap menuruti. Tubuh langsing berbalut kemeja putih itu berputar. "Melompat!""Hah?" Qizha kaget. Atasannya ini waras atau tidak? Sejak tadi memberikan perintah konyol. "Ke kenapa harus melompat?" "Kalau kau tidak mau, silakan keluar! Aku tidak membutuhkan bawahan pembangkang." Pria itu menunjuk pintu."Oh, baik. Saya akan melompat." Demi jabatan sekretaris, Qizha telah bersusah- payah menyingkirkan ratusan saingan, tak mungkin ia menolak perintah yang bisa saja membuatnya ditendang dari jabatan.Plak plak plak...Suara high heels milik Qizha menghantam keras lantai hingga menimbulkan suara beri
Perjalanan membutuhkan waktu dua belas jam untuk Qizha sampai ke kampung halamannya.Lima belas menit sebelum sampai ke rumah, tepatnya saat ia berjalan kaki sesaat turun dari angkot, ia mendapat telepon dari kepala OB.“Qizha, besok kamu harus masuk kerja ya! Kamu sedang training tapi sudah minta ijin. Untungnya aku menutupi kepergianmu dari yang lain supaya tidak terjadi masalah.” Suara kepala OB memperingatkan.“Baik, aku akan masuk kerja besok.”“Oh ya, kamu sudah tahu belum kabar berkabung?”“Apa, Bu?” Qizha menegang.“Staf cantik bernama Qansha meninggal dunia, keracunan.”Qizha membelalak kaget. Keracunan? Apakah serbuk yang dia berikan itu adalah racun? Ya Tuhan, apakah ini artinya dia menjadi pelaku pembunuhan itu?Belum selesai satu masalah, masalah lain menerpanya. Ia sampai mangap lebar akibat kaget, untungnya lalat sialan yang lewat itu tidak tertelan.Tangannya semakin gemetaran saat mencari pemberitaan di media sosial mengenai kematian staf di perusahaan raksasa itu. B
Tak lama kemudian, kepala Agata kembali nongol dari pintu yang setengah terbuka. “Hei, cepat keluar! Itu Sofian ada di depan. Buatkan teh!”Enteng sekali Agata mengatakannya. Namun seperempat permintaan Qizha seolah terkabul saat ia melihat daun pintu yang disentak oleh Agata terpantul dari dinding, lalu menghantam keningnya sendiri.Rasain!Bukan cuma kening, bibir Agata pun kena tabok pintu cukup keras. Wanita itu kesakitan dan memukul pintu dengan tangan lalu bergegas pergi.Qizha bangkit dan berjalan menuju dapur untuk membuatkan teh. Otaknya terus berpikir, bagaimana ia akan menghadapi masalah ini? Kaki Qizha agak gemetar saat melangkah menuju meja ruang tamu membawa nampan berisi minuman hangat. Keberadaan Sofian membuatnya gentar. Dia menyuguhkan teh ke meja."Nah, Tuan Sofian boleh kembali kemari seminggu lagi dengan membawa mahar lima ratus juta untuk menikahi Qizha. Lihatlah, dia muda, cantik dan sarjana. Cocok dengan harga segitu," tutur Agata dengan senyum simpul. Bibirn
Qizha membuka jendela. Celingukan ke sana sini. Untung saja samping rumah tidak begitu ramai. Orang- orang mengerumun ke depan semua karena ingin menyaksikan uang mahar yang mencapai angka terbesar di komplek itu.Qizha mengambil kesempatan itu untuk kabur. Kebaya bawahannya yang sempit membuatnya kesulitan saat memanjat jendela yang agak tinggi. Namun ia berhasil memanjatnya meski harus terjatuh dan mencium tanah.Berikutnya, Qizha berlari secepat kilat menjauh dari rumah. Hujan deras menghuyur tubuhnya. Dingin sekali rasanya.Setelah ini, entah bagaimana nasibnya nanti. Semoga saja tidak menjadi gelandangan yang saat tengah malam ketemu wewe gombel. Yang penting dia bisa lepas dari Sofian, itu saja sudah cukup. "Woi.. pengantinnya kabur!" "Iya itu pengantinnya kabur!" Orang- orang yang memergoki Qizha tengah berlari kencang menjauh dari rumah, berteriak histeris sambil menunjuk- nunjuk ke arah Qizha. Mereka adalah orang- orang yang rewang dan sedang duduk di depan rumah. "Hadu
"Aku tidak tahu," jawab Qasam."Bohong!" sergah Sofian. "Geledah cepat!" perintahnya kepada anak buahnya.Beberapa orang maju hendak menggeledah.Qasam langsung memberikan tinjuan. Salah seorang terbang dan langsung terkapar di tanah, terguyur hujan.Semua orang terperanjat. "Pergi kalian!" titah Qasam dingin. “Aku tidak suka ada yang kurang ajar kepadaku. Jika kena pukulanku, hanya ada dua alamat yang akan kau tempuh, rumah sakit, atau kuburan!" Sofian menatap anak buah lainnya yang sejak tadi menjadi penonton, tidak berani maju. "Kenapa kalian diam? Maju dan lawan lelaki ini!""Bos saja yang maju.""Kampret!" Sofian kesal."Kuburan, bos. Belum kawin aku.""Cabut!" Sofian akhirnya mengajak anak buahnya pergi. Qasam membanting pintu. Untung saja bingkai pintu cukup kuat menahan hentakan. Kedatangan mereka benar- benar telah menyita waktunya saja. Dan wanita ini membawa masalah saja. "Thank's.." lirih Qizha gemetaran."Keluar kau! Pulang sana!" Qasam melenggang. Namun sial, tubuhny