Bily terus melangkahkan kaki, ia berhenti di sebuah warung kecil. Lalu memesan makan, sepiring batagor saja ditemani segelas air mineral. Murah meriah. Dia hanya mengeluarkan uang sepuluh ribu saja untuk sepiring batagor dan segelas air mineral.Sesekali ia celingukan keluar area warung, memastikan tidak diikuti oleh Qasam. Tangannya gemetar saat menyuapkan nasi ke mulut. Dia tidak menggunakan sendok, melainkan makan menggunakan jari tangan. Air matanya berjatuhan, bahkan menetes ke nasi. Namun dia tetap terus makan meski dengan tangan gemetaran.Lagi, ia menoleh ke belakang, melihat ke area luar warung. Tidak ada tanda- tanda Qasam mengikutinya. Kalau pun mengikuti, pastilah Qasam akan jengah menunggunya di sana. Bily tak mau diikuti oleh Qasam hingga menantunya itu mengetahui tempat tinggalnya. Bily mengusap air mata dengan lengan bajunya, lalu membayar dan berlalu pergi dari warung. Dengan menarik topi di kepala untuk menutupi sebagian wajah, Bily melangkahkan kaki menyusuri gan
Bily terlalu lemah, muncul rasa rendah diri saat ia sakit- sakitan dan tak memiliki pekerjaan, sehingga a hanya pasrah saat istrinya memaki.dan menghujat atas ketidakberdayaannya yang tak bisa memberikan banyak uang seperti yang diinginkan sang istri. Tak jarang wajahnya dilempari pakaian kotor, disuruh mencuci baju karena hanya menganggur di rumah. Dan Bily tak bisa berbuat apa- apa, sudah terlanjur merasa rendah diri.Kini, Bily telah memiliki keberanian yang entah munculnya dari mana. "Aku memang bodoh sudah menuruti semua kemauanmu, tapi sekarang tidak lagi. Aku tidak akan mendukung semua kemauanmu!" seru Bily marah. "Kau memaksaku membawa pulang uang banyak. Dan segini saja yang mampu aku lakukan. Lalu aku harus apa?""Kau ini bagaimana? Jelas- jelas kau ini mengajakku hidup susah, menyia- nyiakan hidupku, membuatku sengsara dan terlantar begini, lalu kenapa kau malah nyolot begitu? Tidak sadarkah kau sudah mengajak istrimu ini hidup susah?""Iya, aku sadar. Sepenuhnya aku sada
Penampilan Qasam yang sama seperti dulu saat dia pertama kali memasuki rumah Bily sebagai preman, membuat Agatha langsung mengenali pria itu, menantu yang dulu sempat dihina dan dimaki.Qasam mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari kursi, namun tak menemukannya. Kakinya pegal sejak tadi berdiri. Pada akhirnya ia menyandarkan punggung ke dinding tang terbuat dari papan reot itu. Tangannya menyilang di dada."Kenapa kalian kelihatan tegang begitu? Ada apa?" Qasam mengambil satu bungkus kuaci yang terselip di celah dinding. Mungkin diselipkan di situ sebagai stok untuk makanan penghuni rumah ini saat ingin ngemil. Qasam dengan santainya membuka kuaci dan menyantapnya, ia mengernyit menatap wajah Agatha dan Bily silih berganti, wajah- wajah itu masih mengawasinya dengan tegang. "Hei, ayolah, rileks saja, ibu mertua! Tidak perlu memperlihatkan ketegangan begitulah, ayo kita bersantai sejenak." Qasam tersenyum miring. Mulutnya sambil mengunyah kuaci. "Apa maksudmu kemari?" tanya Agath
Agatha panik. Beberapa kali ia mengusap wajah dengan telapak tangan. Keringat muncul ke permukaan wajahnya.Bily tertunduk pasrah. Dia sudah bosan dengan keadaan itu. Dia pun tak mau banyak bicara. Terserah Qasam saja mau berbuat apa. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentangku," ucap Bily. "Kalau kau mau menghukumku, maka hukum saja. Aku tidak masalah. Memang aku bersalah, sudah bersekongkol dengan istriku dalam kasus ini." "Bagus! Akhirnya kau mengaku juga! Kesalahanmu memang tidak bisa ditoleransi. Kau sudah berusaha turut serta membantu dalam kasus pembunuhan. Apa pun alasannya, itu salah besar dan aku tidak akan mungkin membiarkanmu terbebas dari hukumanku," tegas Qasam. Bily menghela napas panjang. Helaan napas itu terdengar berat sekali. Dia mengusap wajah dan menatap Qasam."Apa kau akan melaporkanku ke polisi?" tanya Bily pasrah. "Lakukanlah. Aku pantas mendapatkannya.""Bersabarlah! Jangan terburu- buru. Aku tidak suka menyerahkan hukuman ke pihak yang berwajib, aku l
Qizha berjalan memegangi payung, berlindung di bawah guyuran hujan deras. Ia baru saja turun dari taksi yang mengantarnya sampai di depan kantor. Tiba- tiba ia dikejutkan oleh air yang nyiprat hebat ke badannya sesaat setelah mobil melintasi air hujan yang menggenang di pinggir jalan. Separuh baju Qizha basah. Kotor oleh tanah. Mobil itu berhenti, kemudian mundur dan berhenti tepat di depannya. Kaca jendela mobil bergerak turun. Wajah Habiba menyembul. Wanita itu duduk di kursi belakang tanpa menoleh kepada Habiba. Ada Husein di sebelahnya. "Ambil itu!" titah Habiba sambil melempar dompet ke tanah. Tak dapat menghindar, Qizha pun memungut dompet itu. Namun, muka Qizha ditampar oleh air yang nyiprat setelah ban mobil yang dinaiki Habiba melintasinya. "Akh!" Qizha terkesiap, wajahnya sempurna tersiram air kotor. Mobil Habiba berhenti di depan. Sengaja menunggu.Qizha menatap mobil itu dengan tatapan tak menentu, sadar bahwa mertuanya sedang menunggu dompet yang dia pungut. langk
Qizha bangkit berdiri menatap sang mertua yang mendekat ke arahnya. Pria itu tampak sangat tenang sembari mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Kemudian tatapan matanya tertuju pada Qizha. Sorot mata itu sangat menusuk."Kau!" Pria gagah itu menunjuk wajah Qizha. Tak merasa gentar, Qizha tetap tenang. Dia sudah siap menerima konsekuensi apa pun. Dihukum dengan sangat menyedihkan oleh Qasam sudah pernah dia alami. Secara tidak langsung, Dia sudah diajarkan bagaimana hidup keras oleh Qasam, juga oleh kehidupannya di masa lalu."Tinggalkan tempat ini!" titah Husein. Qizha tertegun. "Kau dipecat! Kau dilarang menginjakkan kaki lagi di sini. Kau sudah diblacklist!" tegas Husein. Fahri dan Gafar menatap Qizha penuh tanya. Alis keduanya sampai bertaut, mereka penasaran apa yang terjadi pada Qizha hingga dipecat secara sepihak begitu. Kelihatannya jelas masalah pribadi, sebab Qizha tidak punya masalah dalam pekerjaannya. Semua pekerjaan Qizha selalu baik. Qizha bahkan memiliki kinerja,
"Qansha itu putriku. Putri yang ada dalam kandunganku selama sembilan bulan. Putri yang aku lahirkan dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati. Putri yang aku besarkan dengan tanganku, tapi begitu tumbuh besar, kamu malah menyingkirkannya," sambung Habiba dengan air mata yang meleleh deras. Apa yang bisa Qizha katakan lagi? Tak ada bukti yang bisa meringankannya. Jika kembali dibuka, cctv juga menjelaskan bahwa Qizha dengan jelas memberikan racun di minuman Qansha. Alasan mentah seperti yang pernah dia jelaskan kepada Qasam tentulah tak akan mengubah apa pun. Bahkan Qasam yang telah menjelaskan pun tak dipercayai oleh kedua orang tuanya. Apa lagi Qizha yang bukan siapa- siapa.Wajar Habiba marah. Dia kehilangan putrinya. Dia terluka. Dan sepengetahuannya, Qizha adalah pelakunya. Bukti akurat sudah menunjukkan bahwa Qizha adalah pelaku. Tak ada yang bisa dielakkan. Jika hanya sebatas kata- kata untuk membela diri, siapa yang akan percaya? Bahkan mungkin Qizha pun akan melakukan
Qizha langsung menggeser tombol hijau pada panggilan teleponnya. Dia tempelkan benda pipih itu ke telinga dengan penuh semangat."Qizha, dimana kau? Aku tadi ke kontrakan dan kau tidak ada." Suara Qasam terdengar bersemangat sekali."Hp mu nggak bisa dihubungi terus. Coba kalau bisa dihubungi, pasti kamu akan dengan mudah menemukanku, kamu bisa telepon aku sejak tadi," sahut Qizha."Hp sialan ini lowbat, sialnya terlalu lama saat di charger di mobil, aku harus menunggu lama sampai terisi dan bisa dihidupkan. Ah, sudahlah tidak perlu bahas itu. Kau dimana? Kita harus bertemu.""Di kontrakan," jawabku lesu. "Kamu ke sini ya sekarang. Temani aku. Aku mau curhat banyak.""Bukan saatnya curhat. Kau harus ke rumahku sekarang!" titah Qasam. "Ke rumah mama Habiba?" tanya Qizha."Ya.""No. Aku tidak mau ke sana. Baru saja mama mengusirku dari kantor, aku dipecat. Dipermalukan. Bukan salah mama, dia adalah korban. Dia kehilangan putrinya. Wajar mama sangat marah kepadaku yang dia kira adalah p
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p