Ucapan Nadya membuat seisi ruangan menegang.
Bukan hanya Bramantyo yang tampak terkejut dengan pernyataan Nadya, tapi ayah Citra sendiri juga. Karena satu pernyataan putri tirinya itu, terbukti bahwa pernyataannya mengenai Arga tidak akan berselingkuh lagi setelah menikah dengan Citra sama saja dengan omong kosong belaka! Buktinya, mereka sudah melakukannya berulang kali!
Bramantyo menatap cucunya dengan tatapan dingin, penuh kekecewaan. “Memalukan! Kamu telah mempermalukan keluarga kita dan mengkhianati Citra yang tulus!”
“Ini salah kalian karena terlalu memanjakannya,” seru Bramantyo yang kini menatap kedua orang tua Arga yang juga hanya dapat menundukan kepala mereka. “Kamu benar-benar adalah aib bagi keluarga Bramantyo!” Bramantyo menunjuk-nunjuk wajah Arga dengan penuh emosi, sehingga membuat nafasnya menjadi tersengal-sengal. “Kakek,” Citra kemudian memegang lengan Bramantyo dan menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Bramantyo memejamkan matanya berusaha menahan rasa amarah di dalam hatinya. Ia kemudian meminta pelayan untuk mengantarkannya ke kamarnya untuk menenangkan diri sesaat. Raut wajah semua orang di ruangan masih tegang dan begitu hening. Tak hanya Kakek Bramantyo yang perlu menenangkan diri, Citra juga merasa demikian. Ia kemudian meninggalkan ruang tengah sejenak dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Baru saja dirinya ingin minum, tangan Nadya menarik kasar gelas di tangan Citra. “Dasar wanita menyedihkan. Asal tahu saja, Arga tidak pernah tertarik padamu, buktinya Arga langsung tergoda padaku dan kami sudah sering melakukannya sejak kalian dijodohkan pertama kali. Jadi seharusnya kamu sadar diri! Cepat beritahu Kakek, bahwa kamu tidak akan menikah dengan Arga,” Nadya berharap Citra akan menangis begitu mendengar perkataannya, namun dirinya terkejut ketika mendapati Citra justru tersenyum sinis. “Ya, kalian memang pasangan serasi.”Nadya mengernyitkan keningnya merasa heran.Citra kemudian melanjutkan ucapannya, “Kalian sama-sama murahan. Jadi, tidak perlu cemas, aku dengan senang hati akan membuang Arga untukmu. Silahkan menikmati barang bekas yang telah kubuang itu.”Hati Nadya menjadi panas begitu mendengarnya, “Kamu–”Sayangnya, belum sempat membalas ucapan Citra, mereka mendengar suara pelayan Bramantyo yang kembali meminta semua orang untuk berkumpul di ruang tengah kembali. Di ruang tengah, Kakek Bramantyo sudah duduk, begitu melihat semua orang telah berkumpul, ia berkata dengan tegas, “Pernikahan akan tetap berjalan, namun Citra tidak akan menikah denganmu, Arga.” Citra yang berdiri di sudut ruangan menahan napas, merasa ada sesuatu yang besar sedang diputuskan.“Hanya ada satu solusi. Citra akan menikah dengan orang lain yang lebih layak, seseorang yang masih memiliki darah keluarga kita, seseorang yang bisa menjaga nama baik kita.”Semua orang di ruangan itu terdiam. Bramantyo menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya melanjutkan, “Citra akan menikah dengan Raka.”
Suara Bramantyo yang tegas membuat semua orang di ruangan itu tersentak. Citra menoleh dengan mata terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Raka? Cucu yang nyaris tak pernah disebut-sebut dalam pertemuan keluarga. Meskipun Citra tak pernah bertemu dengannya, namun pria itu dikenal sebagai pria kasar dan tak terurus, yang bekerja serabutan. Belum lagi setahu Citra, Raka berbeda 10 tahun lebih tua darinya. Citra dapat melihat raut wajah Nadya dan ibu tirinya yang tersenyum penuh kemenangan.“Raka? Dia hanya cucu terbuang, untuk apa Papa memanggilnya lagi ke sini?” ada rasa tidak senang dalam suara Andi. Ia mencoba melayangkan protes pada Bramantyo.
“Aku sudah membuat keputusan,” kata Bramantyo dengan nada yang tidak bisa dibantah. Dia kemudian memperlihatkan foto dari ponselnya dan memberikannya kepada Citra. “Ini Raka, kamu akan menikah dengannya beberapa hari ke depan.”Saat melihat wajah Raka di foto itu, hati Citra seakan tenggelam dalam ketakutan. Wajah Raka terlihat keras, dengan janggut yang tidak rapi, rambut panjang yang diikat asal-asalan, dan mata yang tajam seperti elang.
Penampilan pria itu lebih mirip preman jalanan daripada seorang pria yang akan menjadi suaminya.“Hmmph..” Nadya berusaha menahan tawa melihat foto itu. Tentu saja Raka tidak bisa dibandingkan dengan Arga.
“Citra,” kata Bramantyo dengan nada yang lebih lembut. “Ini demi menjaga kehormatan dan perjanjian antar keluarga kita. Raka pasti bisa menjadi suami yang baik untukmu.”Citra merasa terjebak, dia tahu bahwa situasinya sudah terlalu rumit, dan menolak perintah Bramantyo hanya akan memperburuk keadaan. Dengan terpaksa Citra mengangguk lemah menyetujui keputusan Kakek Bramantyo.Melihat Citra sudah setuju, Bramantyo menepuk lembut punggung Citra.
“Kalau begitu, pernikahan akan tetap berlangsung. Mengenai Arga dan Nadya, akan kita bahas lagi nanti setelah pernikahan Raka dan Citra,” Bramantyo kemudian pergi meninggalkan ruang keluarga dengan dibantu oleh pelayannya. Sepeninggalan Bramantyo, Nadya kembali tersenyum sinis sambil berbisik di telinga Citra. “Jadi, akhirnya kamu hanya bisa menikahi Raka, cucu terbuang yang bahkan tidak dianggap oleh keluarganya sendiri.”Citra merasakan darahnya mendidih mendengar ejekan Nadya, tetapi dia tidak bisa membalasnya.
Sedangkan, Arga yang sejak tadi hanya diam, kini mulai merasa terancam. Orangtuanya memberitahunya bahwa jika Raka kembali ke sini dan menikahi Citra, maka kakak sepupunya itu bisa memiliki potensi besar untuk merebut hati sang kakek dan posisi Arga akan semakin tersisih.Saat keluarga mulai bubar, Arga melihat kesempatan untuk berbicara dengan Citra secara pribadi. Dia menunggu sampai Citra keluar dari ruang tamu, berjalan menuju taman belakang rumah. Di sana, Arga menarik tangan Citra.
Citra terkejut dan menoleh ke arah Arga, tatapan mata dingin. “Aku rasa kita sudah tidak memiliki urusan satu sama lain lagi,” Citra menghempaskan tangan Arga.
“Tidak, belum. Citra, aku tahu aku salah, aku tahu aku sudah mengkhianatimu. Tapi tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku tidak bisa kehilanganmu,” Arga berbicara dengan nada penuh penyesalan, mencoba menunjukkan ketulusan yang entah benar atau tidak.
Citra memandang Arga dengan penuh skeptis. “Setelah semua yang terjadi, Arga? Kamu ingin aku tetap menikah denganmu setelah apa yang kamu lakukan dengan Nadya? Kamu pikir itu mungkin?”
Arga mendekatkan diri, berusaha meraih tangan Citra kembali. “Citra, aku tahu aku sudah menghancurkan kepercayaanmu, tapi aku akan melakukan apa saja untuk menebusnya. Tolong, bicara dengan Kakek lagi. Katakan padanya bahwa kamu ingin tetap menikah denganku. Kita bisa memulai lagi dari awal.”
Citra menelan ludah seraya menatap wajah Arga. Dirinya tidak mau menikah dengan Raka, tapi dia lebih tidak mau menikah dengan pria brengsek di depannya ini, “Keputusanku tak akan pernah berubah sampai kapan pun, Arga.”Arga menggigit bibir bawahnya, tahu jika wanita di hadapannya tak gampang berpindah haluan. Sesaat kemudian dia pun tersenyum licik.“Citra, kamu benar-benar tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi,” Arga berkata dengan nada mengejek, matanya menyala dengan amarah yang bercampur frustasi. “Kamu pikir Bang Raka adalah solusi? Dia punya penyakit aseksual! Kamu akan terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, tanpa kebahagiaan. Hidupmu hanya akan menjadi neraka, Citra.”Citra menatap Arga dengan tatapan tajam, “Arga, aku tidak akan kembali padamu. Bahkan jika aku harus menikahi Mas Raka, setidaknya aku tidak akan menjadi istri dari pria yang mengkhianati kepercayaannya sendiri.”Arga terdiam, tidak menyangka Citra akan memberikan jawaban tegas. “Citra, aku serius. Kamu harus tah
Citra tertegun. Pria itu adalah Raka. Bukan Raka yang dilihatnya di foto beberapa hari yang lalu—kusut, tidak terurus, dan kasar. Ini adalah Raka yang sangat berbeda, Raka yang tampan, matang dan gagah, dengan aura yang membuat setiap orang di ruangan itu terpana. Nadya dan Anita tidak bisa berkata-kata. Mereka hanya saling pandang, bingung dan terkejut, sementara Raka berjalan mendekati Nadya dengan langkah mantap. “Apa yang kalian katakan tadi?” tanya Raka lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang, tetapi masih dipenuhi dengan otoritas. Anita berusaha mencari kata-kata, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Nadya pun hanya bisa menggeleng, tidak mampu menghadapi tatapan tajam Raka. Kemudian keduanya pergi meninggalkan ruangan. Raka kemudian memalingkan wajahnya ke arah Citra dan tersenyum tipis. “Maaf, Citra. Aku sedikit terlambat,” bisiknya dengan lembut, berbeda sekali dari kesan keras yang terpancar dari penampilannya. “Terima kasih telah menolongku,” ucap Citra deng
Raka menerima amplop dari tangan Citra dengan alis terangkat. Dia membuka amplop dan membaca isinya. Citra mencoba memperhatikan raut wajah Raka ketika membaca surat kontrak tersebut. “Kalau Mas mau menambahkan poin lainnya atau ada keberatan, kita bisa diskusikan kembali,” suara Citra terdengar lemah. Dalam benaknya, ia merasa khawatir apabila Raka menolak perjanjian itu. “Apa ada alasan kenapa kamu mengajukan ini?” Citra ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya. Setelah menimbang beberapa saat, Citra akhirnya berkata, “Uhmm, aku hanya merasa ini akan menguntungkan kita berdua. Kita sama-sama terpaksa menerima pernikahan ini. Dan, aku juga tahu bahwa Mas Raka memiliki aseksual, jadi…” Ucapan Citra terhenti begitu melihat wajah Raka yang kelihatan tidak senang setelah mendengar aib-nya dibuka begitu saja. Citra menggigit bibirnya, merasa telah salah berbicara dan takut menyinggung Raka. “Aseksual?” Raka mendengus geli. Ia kemudian kembali menatap Citra, “Baiklah kal
Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan. Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya. Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.” Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi. Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?" Citra mengangguk sambil tersenyu
Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan. Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena du
Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama. Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan
Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay
"Ibu!" suara Citra menggema di ruang tamu yang sudah tegang sejak mereka tiba. "Aku nggak bisa diam begitu saja setelah apa yang Ibu katakan tadi. Jelaskan sekarang! Apa maksud Ibu dengan semua tuduhan itu tentang ibu kandungku?"Anita, yang sedang menuang teh ke cangkir, berhenti sejenak. Ia menatap Citra dengan tatapan dingin, lalu meletakkan teko perlahan. "Kamu benar-benar ingin tahu, Citra? Aku rasa kamu nggak akan suka jawabannya.""Aku nggak peduli! Aku berhak tahu!" Citra membalas dengan nada penuh emosi.Ahmad, yang duduk di kursi seberang, mencoba meredakan suasana. "Sudahlah, Anita. Ini bukan waktunya membahas hal-hal seperti ini."Namun Anita hanya mendengus kesal. "Diam, Mas. Ini saatnya kebenaran keluar. Selama ini kamu selalu berlindung di balik kesopananmu, tapi semua ini terjadi karena keputusan bodohmu sendiri."Ahmad menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Sementara itu, Citra menatap mereka bergantian, hatinya terasa berat."Dulu, aku nggak puny
"Mas, aku nggak tenang," suara Citra terdengar lirih saat ia duduk di sofa, tangannya memegang perutnya yang semakin membesar. "Nadya nggak kasih kabar sama sekali. Aku nggak tahu dia di mana atau gimana keadaannya."Raka meletakkan koran yang sejak tadi ia baca, menatap istrinya dengan penuh perhatian. "Citra, kamu harus fokus sama kesehatanmu dan bayi kita. Jangan terlalu stres.""Aku nggak bisa," Citra membalas cepat. "Dia saudara aku, Mas. Kalau aku diam saja, aku nggak tahu apa yang mungkin terjadi padanya. Aku harus cari dia."Raka menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Kamu ini keras kepala, ya. Kamu tahu nggak kalau sekarang prioritas kamu itu diri kamu sendiri dan bayi ini? Nadya itu sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya, Mas!" Citra menaikkan nada suaranya sedikit. "Nadya bukan tipe orang yang diam saja kalau ada masalah. Dia pasti sedang dalam kondisi buruk kalau sampai menghilang seperti ini. Aku mohon, temani aku cari dia."Raka terdiam, melih
"Bu, apa saya boleh ngutang dulu beli nasi? Uangnya lagi nggak cukup," suara Nadya terdengar pelan di depan warung kecil.Pemilik warung, seorang ibu tua, memandang Nadya dengan iba. "Ya ampun, Nadya, jangan sungkan. Ambil aja dulu. Bayar kapan-kapan nggak apa-apa."Nadya tersenyum tipis. "Makasih ya, Bu. Saya beneran nggak tahu kapan bisa bayar, tapi saya janji nggak akan lupa."Setelah mengambil sekotak nasi kecil, Nadya melangkah lemah menuju jalan setapak yang menuju kontrakannya. Tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya mulai terasa ringan. Langit sore yang mulai memerah semakin membuat matanya sulit fokus.Dia mencoba mengatur napas. "Sedikit lagi, Nadya. Kamu pasti bisa sampai," bisiknya pada dirinya sendiri.Namun, langkahnya semakin berat. Tiba-tiba, pandangannya menjadi gelap, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan.*"Nadya! Hey Nadya!"Fajar berjongkok di samping tubuh Nadya yang tergeletak di pinggir jalan. Wajahnya panik, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Ia segera memerik
"Kamu masih mau membelanya, Mas? Setelah semua ini?" suara Anita memecah keheningan di ruang makan kecil itu. Nada suaranya tajam, penuh dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Ahmad meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, mencoba menjaga ketenangan meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Anita, aku hanya mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lebih adil. Nadya sudah cukup menderita. Apa salahnya kita beri dia sedikit ruang untuk memperbaiki semuanya?"Anita tertawa pendek, hampir sinis. "Adil? Kamu benar-benar berpikir dia pantas mendapatkan keadilan setelah apa yang dia lakukan? Dia bahkan menghancurkan hubungan dengan keluarga Bramantyo."Ahmad menggeleng, mencoba tetap tenang. "Dia butuh bantuan, Anita. Apa salahnya kalau kita mencoba membantu? Bagaimanapun juga, dia anak kita."Anita memutar matanya dengan kesal. "Bagian keluarga? Jangan mulai, Mas. Dia sudah kehilangan hak itu sejak dia nggak mau menuruti perintahku. Dan jujur saja, aku muak melihat kamu terus-terus
“Kenapa kamu terus-terusan bersikap seperti itu, Mas? Bukankah Nadya sudah minta maaf?” Citra duduk di sofa ruang tamu, tatapannya lurus ke arah suaminya yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi berlapis kain cokelat.Raka mendesah pelan, tetapi sorot matanya tajam. “Minta maaf? Citra, kamu benar-benar percaya permintaan maaf itu tulus? Kamu lupa apa saja yang dia lakukan selama ini?”Citra menggeleng lemah. “Aku tahu apa yang dia lakukan dulu, tapi kali ini... Aku benar-benar merasa dia tulus. Orang bisa berubah, Mas.”Raka terkekeh sarkastik, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. “Berubah? Orang seperti Nadya nggak akan pernah berubah. Dia cuma pintar memainkan perasaan orang. Sekarang dia datang dengan wajah sedih, bilang ‘maaf’, dan kamu langsung percaya?”Citra berdiri, mencoba mendekati Raka. “Bukan masalah percaya atau tidak, tapi aku yakin dia benar-benar menyesal. Kamu lihat sendiri, kan, dia nggak seperti Nadya yang dulu. Bahkan dia sampai kehilangan seg