Share

Bab 8. Pertemuan Keluarga

Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama.

Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung.

Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar.

Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil.

“Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan duduk.

Raka tidak menjawab dan hanya memberikan selembar tissue untuk Citra. Gadis itu mengambilnya dan mengelap keringat di wajahnya.

Kemudian Raka melajukan mobilnya, menuju rumah Bramantyo.

Sesampainya di sana, Citra dan Raka langsung memasuki ruang tengah dan mendapati keluarga Arga telah hadir dan berkumpul.

Citra menyadari raut wajah tidak senang dari semua orang yang ada di sana, terkecuali Kakek Bramantyo ketika melihat kehadirannya dan Raka.

“Sungguh tidak sopan sekali, membuat orang yang lebih tua menunggu lama di pertemuan keluarga,” ibu Arga mendelik tidak senang.

Sedangkan Nadya duduk dengan senyum penuh sinis di samping Arga, yang terlihat acuh tak acuh seperti biasanya.

Bramantyo duduk di kursi utama dengan ekspresi serius, "Baiklah, karena semuanya sudah berkumpul. Ada hal penting yang ingin Kakek bahas," suaranya terdengar tenang namun penuh wibawa.

Kakek Bramantyo lanjut bicara, "Pernikahan Nadya dan Arga akan segera dilangsungkan. Namun, Kakek ingin ini dilakukan secara diam-diam. Tanpa pesta mewah, tanpa publikasi."

Tatapan Nadya langsung berubah masam, meskipun dia berusaha menutupinya. Dia selalu membayangkan pernikahan megah, yang lebih besar dan lebih mewah dari pernikahan Citra. Yang akan membuatnya dielukan banyak orang. Yang akan diliput oleh semua media di negara ini. Namun, rencana Kakek jelas merusak impiannya.

"Tapi, Kek ..." Nadya membuka mulut, tapi Kakek langsung mengangkat tangannya, menandakan tidak ada diskusi lebih lanjut.

"Keputusan Kakek sudah bulat. Ini demi kebaikan keluarga. Kita tidak perlu menjadi sorotan media atau membuat spekulasi orang luar. Terutama karena kamu sudah hamil lebih dulu!"

Seakan sudah bisa membaca apa yang ada di otak Citra, Kakek Bramantyo pun berkata dengan tegas.

Meskipun bagi Arga pernikahan ini hanyalah formalitas, karena sejak awal dirinya tidak pernah cinta pada Nadya, dan hanya tergoda pada tubuhnya saja. Bahkan kini Arga merasa kesal karena menganggap Nadya merusak rencananya untuk mengambil hati Kakek lewat Citra.

Namun, jelas Arga juga merasa tidak puas mendengar keputusan Kakeknya. Dirinya adalah pewaris, bagaimana mungkin pernikahannya malah jauh lebih buruk dibandingkan pernikahan cucu terbuang.

Arga mengepalkan kedua tangannya. Semakin merasa cemas, bahwa Raka akan semakin mengambil posisinya.

Andi juga nampak tak puas, “Pa, bagaimanapun ini adalah pernikahan Arga. Tidak mungkin tidak dirayakan dengan megah.”

Bramantyo menatap tajam Andi, “Apa kamu mau membiarkan Arga mempermalukan keluarga kita lagi?”

Mendengar hal itu, tentu tak ada yang kembali berani membantah lagi keputusan yang telah dibuat oleh sang kepala keluarga. Karena semua keputusan itu berlaku mutlak.

"Raka, ikut denganku."

Setelah perbincangan singkat itu, Kakek memanggil Raka untuk berbicara di ruang kerjanya secara pribadi.

Langkah Raka diikuti oleh tatapan penuh curiga dari orangtua Arga, terutama ayahnya yang tampak tidak senang dengan perlakuan istimewa yang diberikan kepada Raka.

Dan, hal itu juga sontak semakin membuat Arga menjadi cemas dan bertanya-tanya apa yang ingin Kakeknya sampaikan pada Raka, sehingga mereka hanya berbicara berdua saja.

"Ada apa ini? Kenapa Papa ingin berbicara berdua dengan Raka?" bisik ibu Arga kepada suaminya.

"Aku juga tidak tahu, tapi jelas kita harus berhati-hati," jawab Andi yang kini mengalihkan perhatiannya pada Arga, “Jangan sampai melakukan kesalahan lagi, kalau kamu tidak mau digantikan oleh Raka, dengar?”

Arga mengangguk mendengar ucapan tegas Ayahnya.

‘Akan aku buktikan bahwa Bang Raka selamanya hanya akan jadi cucu terbuang!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status