Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama.
Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan duduk. Raka tidak menjawab dan hanya memberikan selembar tissue untuk Citra. Gadis itu mengambilnya dan mengelap keringat di wajahnya. Kemudian Raka melajukan mobilnya, menuju rumah Bramantyo. Sesampainya di sana, Citra dan Raka langsung memasuki ruang tengah dan mendapati keluarga Arga telah hadir dan berkumpul. Citra menyadari raut wajah tidak senang dari semua orang yang ada di sana, terkecuali Kakek Bramantyo ketika melihat kehadirannya dan Raka. “Sungguh tidak sopan sekali, membuat orang yang lebih tua menunggu lama di pertemuan keluarga,” ibu Arga mendelik tidak senang. Sedangkan Nadya duduk dengan senyum penuh sinis di samping Arga, yang terlihat acuh tak acuh seperti biasanya. Bramantyo duduk di kursi utama dengan ekspresi serius, "Baiklah, karena semuanya sudah berkumpul. Ada hal penting yang ingin Kakek bahas," suaranya terdengar tenang namun penuh wibawa. Kakek Bramantyo lanjut bicara, "Pernikahan Nadya dan Arga akan segera dilangsungkan. Namun, Kakek ingin ini dilakukan secara diam-diam. Tanpa pesta mewah, tanpa publikasi." Tatapan Nadya langsung berubah masam, meskipun dia berusaha menutupinya. Dia selalu membayangkan pernikahan megah, yang lebih besar dan lebih mewah dari pernikahan Citra. Yang akan membuatnya dielukan banyak orang. Yang akan diliput oleh semua media di negara ini. Namun, rencana Kakek jelas merusak impiannya. "Tapi, Kek ..." Nadya membuka mulut, tapi Kakek langsung mengangkat tangannya, menandakan tidak ada diskusi lebih lanjut. "Keputusan Kakek sudah bulat. Ini demi kebaikan keluarga. Kita tidak perlu menjadi sorotan media atau membuat spekulasi orang luar. Terutama karena kamu sudah hamil lebih dulu!" Seakan sudah bisa membaca apa yang ada di otak Citra, Kakek Bramantyo pun berkata dengan tegas. Meskipun bagi Arga pernikahan ini hanyalah formalitas, karena sejak awal dirinya tidak pernah cinta pada Nadya, dan hanya tergoda pada tubuhnya saja. Bahkan kini Arga merasa kesal karena menganggap Nadya merusak rencananya untuk mengambil hati Kakek lewat Citra. Namun, jelas Arga juga merasa tidak puas mendengar keputusan Kakeknya. Dirinya adalah pewaris, bagaimana mungkin pernikahannya malah jauh lebih buruk dibandingkan pernikahan cucu terbuang. Arga mengepalkan kedua tangannya. Semakin merasa cemas, bahwa Raka akan semakin mengambil posisinya. Andi juga nampak tak puas, “Pa, bagaimanapun ini adalah pernikahan Arga. Tidak mungkin tidak dirayakan dengan megah.” Bramantyo menatap tajam Andi, “Apa kamu mau membiarkan Arga mempermalukan keluarga kita lagi?” Mendengar hal itu, tentu tak ada yang kembali berani membantah lagi keputusan yang telah dibuat oleh sang kepala keluarga. Karena semua keputusan itu berlaku mutlak. "Raka, ikut denganku." Setelah perbincangan singkat itu, Kakek memanggil Raka untuk berbicara di ruang kerjanya secara pribadi. Langkah Raka diikuti oleh tatapan penuh curiga dari orangtua Arga, terutama ayahnya yang tampak tidak senang dengan perlakuan istimewa yang diberikan kepada Raka. Dan, hal itu juga sontak semakin membuat Arga menjadi cemas dan bertanya-tanya apa yang ingin Kakeknya sampaikan pada Raka, sehingga mereka hanya berbicara berdua saja. "Ada apa ini? Kenapa Papa ingin berbicara berdua dengan Raka?" bisik ibu Arga kepada suaminya. "Aku juga tidak tahu, tapi jelas kita harus berhati-hati," jawab Andi yang kini mengalihkan perhatiannya pada Arga, “Jangan sampai melakukan kesalahan lagi, kalau kamu tidak mau digantikan oleh Raka, dengar?” Arga mengangguk mendengar ucapan tegas Ayahnya. ‘Akan aku buktikan bahwa Bang Raka selamanya hanya akan jadi cucu terbuang!’Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
Pagi - pagi, Citra sudah sibuk menyiapkan sarapan seadanya sambil memikirkan jadwal kuliahnya yang padat. Saat dia memindahkan piring ke meja makan, tiba-tiba sebuah tangan diulurkan ke hadapannya. Tangan itu memegang sebuah dus berukuran sedang. Citra mendongak dan melihat ke arah Raka dengan raut wajah bingung. Sedangkan yang ditatap, masih saja menampakan wajah datar. Merasa Citra tak juga mengambil dus itu dari tangannya, Raka akhirnya berkata dengan singkat, “Ambil, ini untukmu.”Citra membulatkan mulutnya, membentuk kata ‘Ohh’ dan mengambil dus itu dari tangan Raka. Namun, ketika akhirnya tersadar, Citra membulatkan matanya, “I-ini kan handphone keluaran terbaru? Kenapa Mas memberikannya padaku?” “Bukankah ponselmu rusak?”Sejujurnya Citra tak menyangka bahwa Raka akan membelikannya ponsel baru, karena mengingat sikap pria itu semalam yang terlihat cuek begitu saja. Siapa sangka, Raka masih menaruh perhatian padanya. Namun, rasa khawatir kembali terbesit di pikirannya. Baga
Sesampainya di rumah, Citra hanya bisa terduduk lesu di ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Raka masuk. Ia sempat terkejut begitu melihat Citra, "Citra? Kukira kamu akan pulang larut malam?" tanyanya dengan nada heran.Citra hanya menunduk, tidak mampu menjawab.Raka mendekat, merasakan ada sesuatu yang salah, "Kamu baik-baik saja?"Citra masih enggan berbicara. Dari sudut matanya, Raka dapat melihat bekas air mata di wajah Citra. Tapi, ia juga tak dapat memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Sehingga dengan nada lembut, Raka kembali berkata, “Malam ini tidak perlu memasak, aku akan membeli makanan dari luar.” Citra hanya merespon ucapan Raka dengan mengangguk kecil. Kemudian membiarkan Raka pergi meninggalkannya. Di kamar, Raka segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Bantu cari tahu apa yang terjadi di Kafe Scarlett siang tadi,” Raka segera memerintah setelah panggilan tersambung dan mematikan sambungan itu. Malam itu, Citra bahkan tak
Sepeninggalan Nadya dan Arga, Citra akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Ia melirik pada Raka yang masih terdiam di sampingnya, dan kemudian memutuskan untuk bertanya darimana Raka mengetahui kejadian ini, “Mas tahu dari mana jika ponselku diambil Nadya?” “Aku menghubungi ponselmu, tapi Nadya yang menjawab. Kemudian aku memintanya untuk bertemu.” Citra mengernyitkan keningnya, masih merasa heran, “Lalu?” Bukannya Raka yang kembali menjawab, melainkan manajer Citra, “Citra maaf karena kemarin langsung memecatmu tanpa melihat bukti lebih dulu. Ini sebuah kebodohan, maafkan saya Citra.” Melihat manajernya membungkukan badan pada Citra, tentu dia merasa tak tega. Karena sejak awal dia pun juga tak menyalahkan manajernya. Di saat terdesak seperti kemarin, mereka bahkan tak memikirkan mengenai soal rekaman. “Gapapa, Pak. Saya paham,” mendengar Citra berkata begitu, Pak manajer baru mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum lega. “Untungnya tadi malam, ada seseorang yang menghubu
Citra menutup telepon dengan raut wajah bahagia. Dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya atas kabar baik itu. Ketika kembali duduk di meja makan, Raka sudah menunggu dengan tatapan penuh tanya. "Siapa yang telepon?" tanya Raka sambil memotong potongan daging di piringnya. Citra tersenyum lebar. "Aku baru saja diundang untuk interview di kafe. Padahal aku nggak merasa pernah melamar di sana." Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Oh ya? Kafe yang mana?" "Kafe di daerah pusat kota. Kata mereka, mereka tertarik untuk menjadikanku asisten chef pastry. Bayangkan, bukan pelayan atau barista, tapi asisten chef!" Citra tertawa kecil, masih terheran-heran dengan kesempatan yang tiba-tiba ini. "Tapi ... aku heran, kok bisa ya mereka tahu nomorku?" Raka hanya mengangguk pelan. "Mungkin mereka dapat rekomendasi dari seseorang. Siapa tahu?" Citra menatapnya curiga, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang kecurigaan itu. Dia terlalu senang dengan kesempatan baru ini untuk memikir
Citra menyambut Kakek Bramantyo dengan senyum ramah ketika ia masuk ke dalam rumah. Meski dalam hatinya ada kegelisahan yang tak terungkap, karena khawatir Kakek akan mengetahui bahwa selama ini dirinya dan Raka tidur pisah kamar. Namun, Citra tetap berusaha menampakkan wajah tenang di hadapan sang kakek. Raka berjalan di belakangnya dengan langkah santai, sementara Kakek Bramantyo menatap mereka berdua dengan tatapan hangat penuh kebahagiaan. "Silakan duduk, Kek," kata Citra sambil mempersilahkannya menuju sofa di ruang tamu. "Mau minum apa, Kek? Teh, kopi, atau air putih?" "Teh hangat saja, Cit," jawab Kakek Bramantyo sambil duduk dengan tenang. "Aku hanya ingin berbincang dengan kalian." Citra tersenyum kecil dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh. Di sana, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dari kegugupannya. Setelah menyiapkan teh, Citra kembali ke ruang tamu dengan nampan di tangannya. Ia menaruh cangkir teh di hadapan Kakek Bramantyo yang lan
"Mengapa barang - barang Raka ada di kamar tamu?" Pertanyaan dari Kakek Bramantyo itu membuat Citra kaget. Seperti pencuri yang tertangkap basah."M-Mas Raka hanya ... Karena kamar kami terlalu sempit, akhirnya sebagian barang ditaruh disini, Kek." Dengan gugup Citra pun memberikan alasan.Kakek hanya tersenyum penuh pengertian dan tidak bertanya lebih lanjut.Citra menghela nafas lega setelah mereka selesai merapikan tempat tidur Kakek, dan kini Kakek telah tertidur pulas. Namun, kegelisahannya belum sepenuhnya hilang, karena kini, ia berada di kamar yang sama dengan Raka. Meskipun mereka sudah menikah, tidur bersama di tempat yang sama bukanlah hal biasa bagi Citra. Dari kamar mandi terdengar suara air mengalir. Raka sedang mandi, dan suara gemericik air itu membuat Citra semakin gugup. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata usil kakek tadi sore."Kakek kalau tidur nyenyak banget. Jadi kalian nggak usah khawatir, mau ngapain aja di kamar, Ka
“Mas, tadi Kakek sempat bilang sesuatu yang membuatku berpikir,” ujar Citra sambil duduk di sofa, menarik selimut ke tubuhnya. Malam itu udara terasa dingin, tetapi hangatnya percakapan mereka mencairkan suasana.“Apa yang Kakek bilang?” Raka bertanya, mendekat sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Citra sebelum duduk di sampingnya.Citra memegang cangkir itu dengan kedua tangan, meniup uap yang mengepul. “Dia bilang menjadi orang tua itu tidak mudah. Kita harus saling mendukung, dan aku setuju dengan itu. Aku tahu kita masih belajar, tapi aku berharap kita bisa menjadi tim yang baik.”Raka tersenyum, menatap istrinya penuh kasih. “Aku setuju, Cit. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku berjanji akan belajar. Aku akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu keluarga kecil kita.”Citra menatap Raka dengan mata lembut. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi aku juga berharap kita selalu saling mendukung, apa pun yang terjad
“Citra, mana aku taruh kue lapis legit tadi? Rasanya tadi aku letakkan di meja dapur!” Suara Raka terdengar sedikit panik dari arah dapur.Citra yang sedang mengatur hiasan bunga di ruang tamu, menoleh sambil tersenyum. “Itu sudah aku pindahkan ke meja buffet, Mas. Nanti kalau taruh di dapur, lupa dihidangkan.”Raka mengangguk cepat, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman. “Wah, bagus sekali susunan bunganya. Kamu memang selalu bisa membuat semuanya terlihat lebih indah.”“Memuji terus dari tadi. Apa kamu takut aku stress menghadapi acara ini?” goda Citra sambil tertawa kecil.Raka meletakkan nampan di meja, kemudian mendekat dan meraih tangan Citra. “Aku memujimu karena kamu pantas dipuji, Cit. Lagi pula, acara ini kan untuk kebahagiaan kita.”Citra tersenyum, sedikit terharu dengan ucapan suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu sudah berusaha keras untuk membantu.”Belum sempat Raka menjawab, bel pintu berbunyi. “Itu pasti tamu pertama kita,” kata Raka bersemanga
“Kamu memang tidak pandai menyimpan rahasia, ya,” ujar Citra dengan nada menggoda, sambil menatap Raka yang sedang sibuk menata lilin di atas meja taman kecil itu.Angin malam yang lembut meniup rambutnya, sementara wangi bunga lavender di sekeliling taman membuat suasana semakin hangat.Raka, yang sedang menyalakan lilin terakhir, menoleh sambil tersenyum. “Mungkin aku memang tidak pandai menyimpan rahasia,” balasnya santai, “tapi aku pandai membuatmu tersenyum, ‘kan?”Citra tertawa kecil, melipat tangannya di dada. “Yah, setidaknya itu benar. Tapi serius, Mas. Apa ini semua untukku?”Raka berjalan mendekat, menarik kursi untuk Citra agar duduk. “Menurutmu?” tanyanya balik sambil memasang senyum jahil.“Hmm, kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?” jawab Citra sambil duduk. Ia memandangi meja kecil itu, dihiasi taplak sederhana berwarna putih dengan beberapa tangkai bunga mawar merah. Di tengah meja, lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya hangat yang memantul di matanya.Raka du
“Mas, aku ingin mengadakan syukuran kecil,” ujar Citra tiba-tiba di ruang makan saat mereka sedang sarapan. Ia menatap suaminya yang tengah sibuk dengan layar ponselnya. “Kita bisa undang keluarga dan teman-teman dekat. Hanya acara sederhana untuk merayakan kehamilan ini.”Raka mendongak, alisnya terangkat. “Syukuran? Apa tidak terlalu merepotkan? Bukankah kita bisa merayakannya berdua saja?”Citra tertawa kecil. “Mas, ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan ini. Lagipula, sudah lama kita tidak berkumpul dengan orang-orang terdekat sejak kejadian itu.”“Tapi, Cit…” Raka mencoba membantah, namun pandangan penuh harap dari istrinya membuatnya menahan diri. “Apa tidak lebih baik kalau kita fokus saja pada persiapan nanti setelah bayi lahir?”Citra menggeleng. “Bayi ini belum lahir, tapi aku ingin semua orang tahu betapa bersyukurnya kita. Acara ini tidak harus besar, hanya sekadar makan bersama dan doa sederhana.”Raka menghela napas, mencoba mencari ala
“Citra, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kamu,” suara Raka terdengar pelan, namun ada kejujuran mendalam di dalamnya. Ia menatap Citra yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memandanginya dengan penuh perhatian. “Kamu begitu sabar menghadapi semua kekacauan ini.”Citra menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir teh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ada sedikit keheranan di wajahnya. “Kenapa tiba-tiba bicara begitu, Mas? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”“Tidak, ini lebih dari itu,” jawab Raka, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Aku seringkali lupa bahwa kamu juga ikut menanggung semua beban ini, bahkan ketika itu bukan kesalahanmu.”Citra tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu membuatku terdengar seperti pahlawan, padahal aku cuma ingin kita melewati semuanya bersama. Bagaimanapun juga, keluarga ini adalah bagian dari hidupku.”Rak
“Baik, semua sudah berkumpul?” Raka membuka suara dengan tenang tetapi tegas, berdiri di tengah ruang keluarga besar Bramantyo.Anggota keluarga yang hadir saling pandang, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Kakek Bramantyo duduk di samping Arga, terlihat waspada. Nadya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi datar, meskipun jari-jarinya saling menggenggam erat.“Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada keluarga ini,” lanjut Raka. “Ini menyangkut kejujuran, kehormatan, dan kepercayaan dalam keluarga besar kita.”Citra yang duduk di dekatnya menatap Raka dengan dukungan penuh. Ia tahu betapa pentingnya momen ini untuk membongkar semua kebohongan yang telah merusak kedamaian keluarga mereka.“Raka, langsung saja ke intinya,” suara dingin Kakek Bramantyo terdengar. “Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?”Raka menarik napas panjang. “Saya memiliki bukti bahwa Nadya selama ini telah membohongi kita semua.”“Raka!” Nadya langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Jangan bi
“Arga, aku perlu bicara sekarang. Ini penting,” kata Raka dengan nada serius saat memasuki ruang kerja Arga.Arga yang sedang membaca dokumen mendongak, memasang ekspresi sedikit terganggu. “Apa lagi kali ini, Bang? Aku lelah dengan masalah keluarga yang sepertinya terus dibesar-besarkan.”Raka mendekat, meletakkan amplop cokelat di meja. “Bukan aku yang membesar-besarkan. Ini soal Nadya. Aku rasa kamu perlu melihat ini.”Arga mengernyit, tetapi tetap membuka amplop itu. Di dalamnya ada laporan DNA, beberapa foto, dan transkrip percakapan yang telah disusun oleh Budi.“Apa ini?” tanya Arga dengan suara rendah, tetapi jelas menunjukkan ketegangan.“Laporan DNA,” jawab Raka singkat. “Lengkapnya kamu bisa membaca dokumen itu.” Raka memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.Arga menatap laporan itu dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu pasti bercanda. Untuk apa sampai test DNA segala?"“Arga,” Raka menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi semua bu
“Mas, aku harus bicara sama Nadya. Ini sudah keterlaluan,” kata Citra dengan nada tegas, menatap Raka yang sedang duduk di meja kerjanya.Raka menghela napas panjang. “Sayang, aku tahu kamu marah. Tapi ini bukan cara yang tepat. Nadya bisa memutarbalikkan semua perkataanmu.”“Justru karena itu aku harus bicara langsung. Kalau aku diam terus, dia akan merasa menang dan terus menyebarkan fitnahnya. Aku nggak mau keluarga kita hancur karena dia,” jawab Citra dengan sorot mata yang tajam.Raka bangkit dari kursinya dan mendekati Citra. “Aku ngerti perasaanmu, tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kamu terpancing emosinya. Nadya itu licik.”“Aku nggak akan marah, Mas. Aku cuma mau dia tahu kalau aku nggak akan tinggal diam,” kata Citra sambil menggenggam tangan Raka.Raka menatap istrinya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi aku tetap ada di dekatmu. Kalau dia mulai melampaui batas, aku akan turun tangan.”*Citra berjalan di ruang tamu, di mana Nadya sedang duduk santai sambil
“Tante Dewi, saya benar-benar nggak tahu lagi harus bagaimana…” Nadya berkata pelan, suaranya dibuat terdengar lemah. Ia duduk di ruang tamu sambil menundukkan kepala, sesekali mengusap matanya seolah mencoba menahan tangis.Bu Dewi, salah satu anggota keluarga Bramantyo, yang duduk di depannya menghela napas. “Nadya, kamu kenapa? Kok kelihatan sedih sekali?”“Saya hanya merasa semua orang di rumah ini sudah nggak peduli sama saya, Tante. Mereka hanya pura-pura baik demi menjaga nama baik keluarga besar. Apalagi Raka dan Citra…” Nadya terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan.Mata Bu Dewi menyipit, penasaran. “Kenapa dengan Raka dan Citra?”Nadya memainkan ujung kerudungnya, berpura-pura ragu. “Saya nggak mau menuduh, Tante, tapi saya lihat mereka itu seperti hanya berpura-pura bahagia. Semuanya terasa… palsu. Mungkin demi menyenangkan Kakek Bramantyo saja.”Bu Dewi terdiam, memikirkan kata-kata Nadya. “Maksudmu, mereka tidak benar-benar bahagia?”“Entahlah, Tante. Tapi setiap kali say