Sepeninggalan Nadya dan Arga, Citra akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Ia melirik pada Raka yang masih terdiam di sampingnya, dan kemudian memutuskan untuk bertanya darimana Raka mengetahui kejadian ini, “Mas tahu dari mana jika ponselku diambil Nadya?” “Aku menghubungi ponselmu, tapi Nadya yang menjawab. Kemudian aku memintanya untuk bertemu.” Citra mengernyitkan keningnya, masih merasa heran, “Lalu?” Bukannya Raka yang kembali menjawab, melainkan manajer Citra, “Citra maaf karena kemarin langsung memecatmu tanpa melihat bukti lebih dulu. Ini sebuah kebodohan, maafkan saya Citra.” Melihat manajernya membungkukan badan pada Citra, tentu dia merasa tak tega. Karena sejak awal dia pun juga tak menyalahkan manajernya. Di saat terdesak seperti kemarin, mereka bahkan tak memikirkan mengenai soal rekaman. “Gapapa, Pak. Saya paham,” mendengar Citra berkata begitu, Pak manajer baru mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum lega. “Untungnya tadi malam, ada seseorang yang menghubu
Citra menutup telepon dengan raut wajah bahagia. Dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya atas kabar baik itu. Ketika kembali duduk di meja makan, Raka sudah menunggu dengan tatapan penuh tanya. "Siapa yang telepon?" tanya Raka sambil memotong potongan daging di piringnya. Citra tersenyum lebar. "Aku baru saja diundang untuk interview di kafe. Padahal aku nggak merasa pernah melamar di sana." Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Oh ya? Kafe yang mana?" "Kafe di daerah pusat kota. Kata mereka, mereka tertarik untuk menjadikanku asisten chef pastry. Bayangkan, bukan pelayan atau barista, tapi asisten chef!" Citra tertawa kecil, masih terheran-heran dengan kesempatan yang tiba-tiba ini. "Tapi ... aku heran, kok bisa ya mereka tahu nomorku?" Raka hanya mengangguk pelan. "Mungkin mereka dapat rekomendasi dari seseorang. Siapa tahu?" Citra menatapnya curiga, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang kecurigaan itu. Dia terlalu senang dengan kesempatan baru ini untuk memikir
Citra menyambut Kakek Bramantyo dengan senyum ramah ketika ia masuk ke dalam rumah. Meski dalam hatinya ada kegelisahan yang tak terungkap, karena khawatir Kakek akan mengetahui bahwa selama ini dirinya dan Raka tidur pisah kamar. Namun, Citra tetap berusaha menampakkan wajah tenang di hadapan sang kakek. Raka berjalan di belakangnya dengan langkah santai, sementara Kakek Bramantyo menatap mereka berdua dengan tatapan hangat penuh kebahagiaan. "Silakan duduk, Kek," kata Citra sambil mempersilahkannya menuju sofa di ruang tamu. "Mau minum apa, Kek? Teh, kopi, atau air putih?" "Teh hangat saja, Cit," jawab Kakek Bramantyo sambil duduk dengan tenang. "Aku hanya ingin berbincang dengan kalian." Citra tersenyum kecil dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh. Di sana, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dari kegugupannya. Setelah menyiapkan teh, Citra kembali ke ruang tamu dengan nampan di tangannya. Ia menaruh cangkir teh di hadapan Kakek Bramantyo yang lan
"Mengapa barang - barang Raka ada di kamar tamu?" Pertanyaan dari Kakek Bramantyo itu membuat Citra kaget. Seperti pencuri yang tertangkap basah."M-Mas Raka hanya ... Karena kamar kami terlalu sempit, akhirnya sebagian barang ditaruh disini, Kek." Dengan gugup Citra pun memberikan alasan.Kakek hanya tersenyum penuh pengertian dan tidak bertanya lebih lanjut.Citra menghela nafas lega setelah mereka selesai merapikan tempat tidur Kakek, dan kini Kakek telah tertidur pulas. Namun, kegelisahannya belum sepenuhnya hilang, karena kini, ia berada di kamar yang sama dengan Raka. Meskipun mereka sudah menikah, tidur bersama di tempat yang sama bukanlah hal biasa bagi Citra. Dari kamar mandi terdengar suara air mengalir. Raka sedang mandi, dan suara gemericik air itu membuat Citra semakin gugup. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata usil kakek tadi sore."Kakek kalau tidur nyenyak banget. Jadi kalian nggak usah khawatir, mau ngapain aja di kamar, Ka
"M-Mas, kamu ngapain sih!" Citra mendorong tubuh Raka, ketika merasa bahwa jarak bibir mereka hanya tersisa beberapa centimeter saja. Matanya membelalak, tak percaya apa yang baru saja terjadi. Raka hanya tersenyum kecil, tetap berdiri di tempatnya, seolah menikmati reaksinya."Apa yang kamu lakuin barusan, itu...," Citra kehilangan kata-kata. Pikirannya campur aduk antara kesal, bingung, dan—meski tak ingin mengakuinya—sedikit panik."Om mesum!" tambahnya dengan suara setengah berteriak, mencoba melampiaskan rasa frustrasinya.Raka mengangkat alis, tampak sedikit tersinggung. "Om?""Iya, Mas itu om mesum," Citra menatapnya dengan kesal. "Umur kita berbeda 10 tahun, ingat?"Raka mendekatkan wajahnya lagi, membuat Citra dengan sigap membalikkan tubuhnya dan segera membuat garis imajiner di tengah kasur. "Ini batasnya!" serunya, menunjuk garis khayal itu. "Jangan berani-berani lewati batas ini. Mas tidur di sana, aku di sini. Paham?"Raka kembali terkekeh pelan, mengangkat kedua tangann
"Jadi... kamu mau datang ke pernikahan Arga dan Nadya?" tanya Raka sambil memandang Citra dari ujung meja makan. Mereka berdua baru saja mengantar Kakek Bramantyo yang baru saja dijemput supir.Citra mendongak, pandangannya bertemu dengan Raka. "Aku... belum tahu," jawabnya pelan. Jujur saja, dia tidak terlalu ingin hadir, tapi juga tahu bahwa posisinya sebagai istri Raka menuntut kehadirannya di acara itu. Lagi pula Nadya adalah kakak tirinya. Raka menatap Citra dengan raut wajah serius, seolah sedang mencerna kata-katanya. "Apa karena kamu masih berat melihat Arga menikah dengan orang lain?" tanyanya tiba-tiba.Citra menatap Raka dengan tatapan terkejut. "Apa maksudmu? Bukan begitu!" jawab Citra tegas, suaranya naik sedikit. Dia merasa kesal bahwa Raka berpikir demikian."Lalu kenapa?" desak Raka, alisnya berkerut.Citra menggeleng, masih kesal dengan dugaan Raka. "Aku cuma... merasa aneh saja."Raka memperhatikan ekspresi wajah Citra, lalu menghela napas. "Baiklah," katanya sambi
Pagi itu, Citra merasa ada yang aneh. Rasanya seperti ada benda berat yang menekan perutnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia mulai membuka matanya perlahan. Perlahan kesadarannya kembali, dan ia menyadari ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya—sebuah tangan. Citra menoleh dan matanya terbelalak begitu menyadari bahwa tangan itu milik Raka.Dia tersentak kaget. "Ya ampun..." gumamnya dalam hati, setengah tidak percaya. Semalam, ia ingat betul kalau dirinya tidur sendirian. Tapi sekarang, dia terbangun dalam pelukan Raka. Citra menahan napas, hatinya berdebar tak karuan.Dengan hati-hati, Citra mencoba menyisihkan lengan Raka dari pinggangnya. Dia tidak ingin membuat pria itu terbangun, terutama karena keadaan ini cukup canggung untuknya. Namun, saat ia hendak bangun dari tempat tidur dan duduk di tepi ranjang, tiba-tiba tubuhnya ditarik kembali oleh Raka."Mau ke mana?" Raka bergumam pelan dengan mata setengah terbuka. Tangannya yang tadi melingkar di pinggang Citra k
“Apa sudah siap?” tanya Raka sambil menarik dasi yang baru saja ia pasang. Ia menatap Citra yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan gaun yang ia kenakan. Gaun itu sederhana, tidak terlalu mencolok, tetapi cukup elegan dan terlihat cocok di tubuh Citra. Tanpa sadar senyum Raka muncul begitu melihat Citra yang nampak menawan. Mengingatkan dirinya akan sosok Citra saat menggunakan gaun pengantin di hari pernikahan mereka. “Masih ada kesempatan jika tidak jadi ingin pergi kesana,” ada sedikit nada canda di dalam suara Raka, karena melihat raut wajah Citra yang masih nampak enggan untuk pergi. Citra menghela napas. “Tidak ada pilihan. Ayahku meminta aku datang, jadi aku harus datang.” jawabnya sambil memutar tubuhnya sedikit untuk memastikan penampilannya terlihat rapi.Raka tertawa pelan.Citra memutar bola matanya, “Kita berangkat sekarang saja, daripada terlambat Mas."Raka hanya mengangguk, mengambil kunci mobil dan melangkah keluar rumah bersama Citra. Setibanya di kediama
Awal dari Kebahagiaan"Mama, kapan adik bayinya lahir?" suara Aidan terdengar riang di ruang keluarga.Citra tersenyum, mengelus perutnya yang sudah besar. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin beberapa minggu lagi."Aidan mengangguk, lalu menoleh ke Raka yang sedang menyiapkan makanan ringan di dapur. "Papa, kalau adik bayi lahir, aku boleh main sama dia tiap hari?"Raka tertawa kecil, berjalan mendekati putranya. "Tentu saja, tapi kamu harus hati-hati. Adik bayi masih kecil dan butuh banyak istirahat."Citra menatap dua lelaki kesayangannya dengan perasaan penuh syukur. Setelah semua yang mereka lalui—pengkhianatan, konflik keluarga, ancaman, bahkan kehilangan—akhirnya mereka bisa sampai di titik ini. Kehidupan mereka kini jauh lebih damai.Pernikahan Sederhana NadyaDi tempat lain, Nadya berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya putih sederhana. Matanya berbinar, campuran gugup dan bahagia."Kamu cantik sekali, Nadya," puji Citra yang berdiri di belakangnya.Nadya tersenyum malu. "Kak,
Bab 128: Awal Baru"Nadya, aku di sini," ujar Raka lembut sambil menepuk pundak adik iparnya. Suaranya tenang, namun penuh kekhawatiran.Nadya duduk di kursi belakang mobil dengan tubuh gemetar. Ia memandang Raka dengan mata yang basah. "Terima kasih, Raka... kalau bukan karena kamu, aku mungkin..." Suaranya terputus oleh isak tangis."Sudah, jangan pikirkan itu lagi," potong Raka. "Yang penting sekarang kamu selamat. Kita akan bawa kamu pulang.""Aku nggak tahu apa aku bisa kembali," kata Nadya pelan. "Semua ini terlalu berat. Aku malu...""Nggak ada yang perlu kamu malu, Nadya," sahut Raka tegas. "Apa yang terjadi ini bukan salahmu. Kamu adalah korban."Di kursi depan, salah satu anggota tim keamanan berbalik. "Pak Raka, kita sebaiknya menuju tempat aman dulu sebelum membawa dia pulang. Gudang tadi mungkin masih diawasi anak buah Fajar."Raka mengangguk. "Benar. Kita ke tempat yang sudah disiapkan. Nadya butuh istirahat.""Aku... aku nggak ingin merepotkan," kata Nadya, suaranya ham
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay