“Apa sudah siap?” tanya Raka sambil menarik dasi yang baru saja ia pasang. Ia menatap Citra yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan gaun yang ia kenakan. Gaun itu sederhana, tidak terlalu mencolok, tetapi cukup elegan dan terlihat cocok di tubuh Citra. Tanpa sadar senyum Raka muncul begitu melihat Citra yang nampak menawan. Mengingatkan dirinya akan sosok Citra saat menggunakan gaun pengantin di hari pernikahan mereka. “Masih ada kesempatan jika tidak jadi ingin pergi kesana,” ada sedikit nada canda di dalam suara Raka, karena melihat raut wajah Citra yang masih nampak enggan untuk pergi. Citra menghela napas. “Tidak ada pilihan. Ayahku meminta aku datang, jadi aku harus datang.” jawabnya sambil memutar tubuhnya sedikit untuk memastikan penampilannya terlihat rapi.Raka tertawa pelan.Citra memutar bola matanya, “Kita berangkat sekarang saja, daripada terlambat Mas."Raka hanya mengangguk, mengambil kunci mobil dan melangkah keluar rumah bersama Citra. Setibanya di kediama
"Citra, bagaimana tanggapan kamu soal permintaan Kakek tadi?" suara Raka terdengar serius, memecah keheningan di antara mereka setelah pernyataan mengejutkan dari Kakek Bramantyo tadi. Mereka berdua duduk di dalam mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah setelah acara pernikahan Arga dan Nadya yang berakhir dengan kecanggungan tak terduga. Raka menatap Citra dengan ekspresi yang sulit dibaca, membuat Citra merasa semakin tidak nyaman."Apa, Mas?" Citra menjawab dengan suara pelan, matanya fokus pada jalan di depan, meskipun pikirannya berkecamuk. Citra menghela napas panjang. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka adalah perjodohan yang diatur oleh keluarga. Tapi, soal anak? Itu topik yang sangat rumit. Ia bahkan tidak yakin bagaimana harus menjawab Raka tanpa memicu diskusi yang lebih sulit."Aku... aku belum tahu harus gimana, Mas," jawab Citra akhirnya, suaranya gemetar sedikit. Ia menatap tangan yang tergenggam di pangkuannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat."Belum ta
Setelah percakapan dengan ayahnya, Arga akhirnya kembali menuju kamarnya. Tarikan napas kasar terdengar dari bibir Arga. Sejak dulu dia tidak pernah bisa melawan perintah ayahnya dan kakeknya. Arga baru saja membuka pintu kamar, suara Nadya sudah terdengar, “Arga, kamu kenapa malah ikut dukung keputusan Mama? Aku kan pengen bulan madu ke Eropa.” Arga menghela napas panjang, tidak berniat merespons. Niatnya ingin istirahat, tapi baru masuk, ia sudah harus menghadapi keluhan Nadya.Tapi Nadya jelas tidak berniat membiarkan itu terjadi."Kenapa diem aja? Gak ada niat buat jelasin atau belain aku?" Nadya melanjutkan, suaranya semakin tinggi. "Sudah tidak merayakan pernikahan dengan mewah, sekarang bulan madu juga batal. Kenapa kamu nggak pernah coba melawan, sih?"Arga kembali mengabaikan Nadya, langsung menuju ke kasur tanpa menjawab satu kata pun. Ia duduk di pinggir tempat tidur, melepas jam tangan dan sepatu dengan gerakan lambat. Dalam hatinya, ia berharap Nadya akan berhenti bicar
"Citra! Citra, ada yang nyariin kamu," seru Lia, teman kampus Citra, sambil berlari kecil menghampirinya yang sedang duduk di taman kampus, karena baru saja menyelesaikan bimbingannya dengan dosen. Citra yang sedang merapikan buku di meja kantin langsung menoleh dengan alis terangkat. "Siapa?" tanyanya sambil menutup buku catatan di hadapannya."Kayaknya cowok. Aku gak kenal sih, tapi dia nanyain kamu tadi di lobi," jawab Lia, sedikit terengah-engah.Citra mengerutkan kening. Siapa yang mencariku? Dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran sekaligus waspada. Ia bukan tipe orang yang sering dicari orang, apalagi di kampus. Lagipula, siapa pria yang mencarinya tanpa ada kabar sebelumnya?"Aku coba cek dulu," ucap Citra sambil bangkit dari kursinya. Langkahnya cepat menuju lobi kampus. Namun, saat matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat pintu masuk,Citra mengernyitkan kening, merasa heran juga terkejut.Arga?!Mau apa dia mencariku? Arga berdiri di sana dengan tatapan yang tajam,
Citra menutup pintu rumah dengan pelan, dan melangkah masuk. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan campur aduk setelah bertemu lagi dengan Arga. Dirinya tak menyangka bahwa Arga akan menemuinya dan membicarakan hal gila sehari setelah pernikahannya dengan Nadya. Begitu kakinya melangkah menuju ruang tengah, Citra dapat melihat Raka yang sedang duduk di sofa sambil menatap layar laptopnya dengan raut wajah serius. “Mas, aku sudah pulang,” Citra menyapa Raka dengan lembut. Namun, sedetik kemudian ia merasa heran, karena Raka tak membalas sapaannya. Apa pria itu tidak mendengar suaranya?Lalu, Citra semakin menghampiri Raka sebelum akhirnya kembali berkata, “Mas, sudah makan?” Raka kini mendongakan kepalanya menatap Citra sesaat, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada laptop. “Ya,” jawabnya singkat. Kening Citra mengernyit, masih merasa heran. Seingatnya, dia tidak berbuat salah. Dia tidak pulang larut malam, sehingga harus mengabarkan Raka. Selain itu, hubungan mereka
Melihat Raka yang diam saja dan nampak enggan menjawab, Citra jadi salah tingkah.“Ehh.. itu aku hanya asal bertanya saja kok, Mas. Gak perlu dianggap serius,” Citra kemudian mengalihkan pandangannya pada layar TV di depan, yang sejak tadi bersuara namun tak satupun dari dirinya atau Raka memberi perhatian. “Citra,” suara Raka terdengar lembut memanggilnya, “Maaf, seharusnya aku bertanya lebih dulu.”Citra menatap Raka dengan sedikit kaget. Ia tidak menyangka Raka akan minta maaf. Citra tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa, “Gapapa, Mas. Tapi, bagaimana jika kita membuat perjanjian lain?”Raka menaikan satu alisnya.Dengan cepat Citra kembali melanjutkan, “Perjanjian untuk lebih terbuka satu sama lain.”“Baiklah. Lalu, bagaimana dengan perjanjian sebelumnya mengenai jangan mencampuri urusan masing-masing?” Citra nampak menimbang ucapan Raka beberapa saat, “Aku rasa kita bisa menyesuaikan perjanjian itu. Jika memang Mas atau aku merasa keberatan untuk men
"Arga, kamu lihat deh, sepatu ini bagus nggak?" suara Nadya terdengar ceria. Dia sedang memamerkan sepatu berharga jutaan yang baru saja dilihat di layar ponselnya.Arga tidak mengangkat kepalanya dari laptop. Jemarinya masih terus mengetik, ekspresi serius tergurat di wajahnya. "Kamu nggak capek belanja terus, Nad?" tanyanya dengan nada datar, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.Nadya mendesah pelan, meletakkan ponselnya di atas meja, "Belanja itu hiburan buat aku, Ga," jawab Nadya akhirnya. "Kamu kan tahu, sejak aku resign, aku jadi di rumah terus. Aku butuh sesuatu buat ngisi waktu."Arga menutup laptopnya dengan sedikit keras, "Waktu? Kalau begitu mending kamu balik bekerja lagi saja, daripada belanja terus. Kondisi perusahaan lagi nggak bagus," ujarnya, nadanya mulai meninggi.Pasalnya baru beberapa hari mereka menikah, namun Nadya sudah begitu boros. Hampir setiap hari, Nadya berbelanja di mall maupun melalui online. Dan harga belanjaannya itu cukup fantastis. Tas seh
Arga melangkah keluar dari kamarnya, bergegas menuju garasi. Namun, langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sosok Raka yang baru saja keluar dari ruang kerja kakeknya. “Bang Raka? Untuk apa dia sudah ada di sini pagi-pagi,” gumam Arga, kembali merasa cemas. Terutama ketika menyadari bahwa tidak ada kehadiran Citra. Artinya Kakek hanya berbincang berdua dengan Raka. Karena rasa penasaran, dia pun menghampiri Raka,“Kenapa Bang Raka ada di sini?” Raka menaikan sebelah alisnya, “Sejak kapan aku harus melapor setiap datang ke sini?” “Bu-bukan seperti itu. Aku hanya ingin tahu ada urusan apa Bang Raka dengan kakek,” suara Arga terdengar sedikit gugup, ia bahkan tak berani membalas tatapan Raka. Mendengar hal itu, mata Raka mengernyit. “Itu urusan pribadi,” jawab Raka singkat, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Raka hendak pergi, namun kemudian kembali berbalik dan menatap Arga dengan tajam, “Dengar, aku tidak suka kau memaksa bertemu dengan istriku. Jangan lakukan itu lagi.”
“Mas, tadi Kakek sempat bilang sesuatu yang membuatku berpikir,” ujar Citra sambil duduk di sofa, menarik selimut ke tubuhnya. Malam itu udara terasa dingin, tetapi hangatnya percakapan mereka mencairkan suasana.“Apa yang Kakek bilang?” Raka bertanya, mendekat sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Citra sebelum duduk di sampingnya.Citra memegang cangkir itu dengan kedua tangan, meniup uap yang mengepul. “Dia bilang menjadi orang tua itu tidak mudah. Kita harus saling mendukung, dan aku setuju dengan itu. Aku tahu kita masih belajar, tapi aku berharap kita bisa menjadi tim yang baik.”Raka tersenyum, menatap istrinya penuh kasih. “Aku setuju, Cit. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku berjanji akan belajar. Aku akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu keluarga kecil kita.”Citra menatap Raka dengan mata lembut. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi aku juga berharap kita selalu saling mendukung, apa pun yang terjad
“Citra, mana aku taruh kue lapis legit tadi? Rasanya tadi aku letakkan di meja dapur!” Suara Raka terdengar sedikit panik dari arah dapur.Citra yang sedang mengatur hiasan bunga di ruang tamu, menoleh sambil tersenyum. “Itu sudah aku pindahkan ke meja buffet, Mas. Nanti kalau taruh di dapur, lupa dihidangkan.”Raka mengangguk cepat, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman. “Wah, bagus sekali susunan bunganya. Kamu memang selalu bisa membuat semuanya terlihat lebih indah.”“Memuji terus dari tadi. Apa kamu takut aku stress menghadapi acara ini?” goda Citra sambil tertawa kecil.Raka meletakkan nampan di meja, kemudian mendekat dan meraih tangan Citra. “Aku memujimu karena kamu pantas dipuji, Cit. Lagi pula, acara ini kan untuk kebahagiaan kita.”Citra tersenyum, sedikit terharu dengan ucapan suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu sudah berusaha keras untuk membantu.”Belum sempat Raka menjawab, bel pintu berbunyi. “Itu pasti tamu pertama kita,” kata Raka bersemanga
“Kamu memang tidak pandai menyimpan rahasia, ya,” ujar Citra dengan nada menggoda, sambil menatap Raka yang sedang sibuk menata lilin di atas meja taman kecil itu.Angin malam yang lembut meniup rambutnya, sementara wangi bunga lavender di sekeliling taman membuat suasana semakin hangat.Raka, yang sedang menyalakan lilin terakhir, menoleh sambil tersenyum. “Mungkin aku memang tidak pandai menyimpan rahasia,” balasnya santai, “tapi aku pandai membuatmu tersenyum, ‘kan?”Citra tertawa kecil, melipat tangannya di dada. “Yah, setidaknya itu benar. Tapi serius, Mas. Apa ini semua untukku?”Raka berjalan mendekat, menarik kursi untuk Citra agar duduk. “Menurutmu?” tanyanya balik sambil memasang senyum jahil.“Hmm, kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?” jawab Citra sambil duduk. Ia memandangi meja kecil itu, dihiasi taplak sederhana berwarna putih dengan beberapa tangkai bunga mawar merah. Di tengah meja, lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya hangat yang memantul di matanya.Raka du
“Mas, aku ingin mengadakan syukuran kecil,” ujar Citra tiba-tiba di ruang makan saat mereka sedang sarapan. Ia menatap suaminya yang tengah sibuk dengan layar ponselnya. “Kita bisa undang keluarga dan teman-teman dekat. Hanya acara sederhana untuk merayakan kehamilan ini.”Raka mendongak, alisnya terangkat. “Syukuran? Apa tidak terlalu merepotkan? Bukankah kita bisa merayakannya berdua saja?”Citra tertawa kecil. “Mas, ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan ini. Lagipula, sudah lama kita tidak berkumpul dengan orang-orang terdekat sejak kejadian itu.”“Tapi, Cit…” Raka mencoba membantah, namun pandangan penuh harap dari istrinya membuatnya menahan diri. “Apa tidak lebih baik kalau kita fokus saja pada persiapan nanti setelah bayi lahir?”Citra menggeleng. “Bayi ini belum lahir, tapi aku ingin semua orang tahu betapa bersyukurnya kita. Acara ini tidak harus besar, hanya sekadar makan bersama dan doa sederhana.”Raka menghela napas, mencoba mencari ala
“Citra, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kamu,” suara Raka terdengar pelan, namun ada kejujuran mendalam di dalamnya. Ia menatap Citra yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memandanginya dengan penuh perhatian. “Kamu begitu sabar menghadapi semua kekacauan ini.”Citra menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir teh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ada sedikit keheranan di wajahnya. “Kenapa tiba-tiba bicara begitu, Mas? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”“Tidak, ini lebih dari itu,” jawab Raka, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Aku seringkali lupa bahwa kamu juga ikut menanggung semua beban ini, bahkan ketika itu bukan kesalahanmu.”Citra tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu membuatku terdengar seperti pahlawan, padahal aku cuma ingin kita melewati semuanya bersama. Bagaimanapun juga, keluarga ini adalah bagian dari hidupku.”Rak
“Baik, semua sudah berkumpul?” Raka membuka suara dengan tenang tetapi tegas, berdiri di tengah ruang keluarga besar Bramantyo.Anggota keluarga yang hadir saling pandang, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Kakek Bramantyo duduk di samping Arga, terlihat waspada. Nadya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi datar, meskipun jari-jarinya saling menggenggam erat.“Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada keluarga ini,” lanjut Raka. “Ini menyangkut kejujuran, kehormatan, dan kepercayaan dalam keluarga besar kita.”Citra yang duduk di dekatnya menatap Raka dengan dukungan penuh. Ia tahu betapa pentingnya momen ini untuk membongkar semua kebohongan yang telah merusak kedamaian keluarga mereka.“Raka, langsung saja ke intinya,” suara dingin Kakek Bramantyo terdengar. “Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?”Raka menarik napas panjang. “Saya memiliki bukti bahwa Nadya selama ini telah membohongi kita semua.”“Raka!” Nadya langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Jangan bi
“Arga, aku perlu bicara sekarang. Ini penting,” kata Raka dengan nada serius saat memasuki ruang kerja Arga.Arga yang sedang membaca dokumen mendongak, memasang ekspresi sedikit terganggu. “Apa lagi kali ini, Bang? Aku lelah dengan masalah keluarga yang sepertinya terus dibesar-besarkan.”Raka mendekat, meletakkan amplop cokelat di meja. “Bukan aku yang membesar-besarkan. Ini soal Nadya. Aku rasa kamu perlu melihat ini.”Arga mengernyit, tetapi tetap membuka amplop itu. Di dalamnya ada laporan DNA, beberapa foto, dan transkrip percakapan yang telah disusun oleh Budi.“Apa ini?” tanya Arga dengan suara rendah, tetapi jelas menunjukkan ketegangan.“Laporan DNA,” jawab Raka singkat. “Lengkapnya kamu bisa membaca dokumen itu.” Raka memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.Arga menatap laporan itu dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu pasti bercanda. Untuk apa sampai test DNA segala?"“Arga,” Raka menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi semua bu
“Mas, aku harus bicara sama Nadya. Ini sudah keterlaluan,” kata Citra dengan nada tegas, menatap Raka yang sedang duduk di meja kerjanya.Raka menghela napas panjang. “Sayang, aku tahu kamu marah. Tapi ini bukan cara yang tepat. Nadya bisa memutarbalikkan semua perkataanmu.”“Justru karena itu aku harus bicara langsung. Kalau aku diam terus, dia akan merasa menang dan terus menyebarkan fitnahnya. Aku nggak mau keluarga kita hancur karena dia,” jawab Citra dengan sorot mata yang tajam.Raka bangkit dari kursinya dan mendekati Citra. “Aku ngerti perasaanmu, tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kamu terpancing emosinya. Nadya itu licik.”“Aku nggak akan marah, Mas. Aku cuma mau dia tahu kalau aku nggak akan tinggal diam,” kata Citra sambil menggenggam tangan Raka.Raka menatap istrinya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi aku tetap ada di dekatmu. Kalau dia mulai melampaui batas, aku akan turun tangan.”*Citra berjalan di ruang tamu, di mana Nadya sedang duduk santai sambil
“Tante Dewi, saya benar-benar nggak tahu lagi harus bagaimana…” Nadya berkata pelan, suaranya dibuat terdengar lemah. Ia duduk di ruang tamu sambil menundukkan kepala, sesekali mengusap matanya seolah mencoba menahan tangis.Bu Dewi, salah satu anggota keluarga Bramantyo, yang duduk di depannya menghela napas. “Nadya, kamu kenapa? Kok kelihatan sedih sekali?”“Saya hanya merasa semua orang di rumah ini sudah nggak peduli sama saya, Tante. Mereka hanya pura-pura baik demi menjaga nama baik keluarga besar. Apalagi Raka dan Citra…” Nadya terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan.Mata Bu Dewi menyipit, penasaran. “Kenapa dengan Raka dan Citra?”Nadya memainkan ujung kerudungnya, berpura-pura ragu. “Saya nggak mau menuduh, Tante, tapi saya lihat mereka itu seperti hanya berpura-pura bahagia. Semuanya terasa… palsu. Mungkin demi menyenangkan Kakek Bramantyo saja.”Bu Dewi terdiam, memikirkan kata-kata Nadya. “Maksudmu, mereka tidak benar-benar bahagia?”“Entahlah, Tante. Tapi setiap kali say