Pagi itu, Citra merasa ada yang aneh. Rasanya seperti ada benda berat yang menekan perutnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia mulai membuka matanya perlahan. Perlahan kesadarannya kembali, dan ia menyadari ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya—sebuah tangan. Citra menoleh dan matanya terbelalak begitu menyadari bahwa tangan itu milik Raka.Dia tersentak kaget. "Ya ampun..." gumamnya dalam hati, setengah tidak percaya. Semalam, ia ingat betul kalau dirinya tidur sendirian. Tapi sekarang, dia terbangun dalam pelukan Raka. Citra menahan napas, hatinya berdebar tak karuan.Dengan hati-hati, Citra mencoba menyisihkan lengan Raka dari pinggangnya. Dia tidak ingin membuat pria itu terbangun, terutama karena keadaan ini cukup canggung untuknya. Namun, saat ia hendak bangun dari tempat tidur dan duduk di tepi ranjang, tiba-tiba tubuhnya ditarik kembali oleh Raka."Mau ke mana?" Raka bergumam pelan dengan mata setengah terbuka. Tangannya yang tadi melingkar di pinggang Citra k
“Apa sudah siap?” tanya Raka sambil menarik dasi yang baru saja ia pasang. Ia menatap Citra yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan gaun yang ia kenakan. Gaun itu sederhana, tidak terlalu mencolok, tetapi cukup elegan dan terlihat cocok di tubuh Citra. Tanpa sadar senyum Raka muncul begitu melihat Citra yang nampak menawan. Mengingatkan dirinya akan sosok Citra saat menggunakan gaun pengantin di hari pernikahan mereka. “Masih ada kesempatan jika tidak jadi ingin pergi kesana,” ada sedikit nada canda di dalam suara Raka, karena melihat raut wajah Citra yang masih nampak enggan untuk pergi. Citra menghela napas. “Tidak ada pilihan. Ayahku meminta aku datang, jadi aku harus datang.” jawabnya sambil memutar tubuhnya sedikit untuk memastikan penampilannya terlihat rapi.Raka tertawa pelan.Citra memutar bola matanya, “Kita berangkat sekarang saja, daripada terlambat Mas."Raka hanya mengangguk, mengambil kunci mobil dan melangkah keluar rumah bersama Citra. Setibanya di kediama
"Citra, bagaimana tanggapan kamu soal permintaan Kakek tadi?" suara Raka terdengar serius, memecah keheningan di antara mereka setelah pernyataan mengejutkan dari Kakek Bramantyo tadi. Mereka berdua duduk di dalam mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah setelah acara pernikahan Arga dan Nadya yang berakhir dengan kecanggungan tak terduga. Raka menatap Citra dengan ekspresi yang sulit dibaca, membuat Citra merasa semakin tidak nyaman."Apa, Mas?" Citra menjawab dengan suara pelan, matanya fokus pada jalan di depan, meskipun pikirannya berkecamuk. Citra menghela napas panjang. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka adalah perjodohan yang diatur oleh keluarga. Tapi, soal anak? Itu topik yang sangat rumit. Ia bahkan tidak yakin bagaimana harus menjawab Raka tanpa memicu diskusi yang lebih sulit."Aku... aku belum tahu harus gimana, Mas," jawab Citra akhirnya, suaranya gemetar sedikit. Ia menatap tangan yang tergenggam di pangkuannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat."Belum ta
Setelah percakapan dengan ayahnya, Arga akhirnya kembali menuju kamarnya. Tarikan napas kasar terdengar dari bibir Arga. Sejak dulu dia tidak pernah bisa melawan perintah ayahnya dan kakeknya. Arga baru saja membuka pintu kamar, suara Nadya sudah terdengar, “Arga, kamu kenapa malah ikut dukung keputusan Mama? Aku kan pengen bulan madu ke Eropa.” Arga menghela napas panjang, tidak berniat merespons. Niatnya ingin istirahat, tapi baru masuk, ia sudah harus menghadapi keluhan Nadya.Tapi Nadya jelas tidak berniat membiarkan itu terjadi."Kenapa diem aja? Gak ada niat buat jelasin atau belain aku?" Nadya melanjutkan, suaranya semakin tinggi. "Sudah tidak merayakan pernikahan dengan mewah, sekarang bulan madu juga batal. Kenapa kamu nggak pernah coba melawan, sih?"Arga kembali mengabaikan Nadya, langsung menuju ke kasur tanpa menjawab satu kata pun. Ia duduk di pinggir tempat tidur, melepas jam tangan dan sepatu dengan gerakan lambat. Dalam hatinya, ia berharap Nadya akan berhenti bicar
"Citra! Citra, ada yang nyariin kamu," seru Lia, teman kampus Citra, sambil berlari kecil menghampirinya yang sedang duduk di taman kampus, karena baru saja menyelesaikan bimbingannya dengan dosen. Citra yang sedang merapikan buku di meja kantin langsung menoleh dengan alis terangkat. "Siapa?" tanyanya sambil menutup buku catatan di hadapannya."Kayaknya cowok. Aku gak kenal sih, tapi dia nanyain kamu tadi di lobi," jawab Lia, sedikit terengah-engah.Citra mengerutkan kening. Siapa yang mencariku? Dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran sekaligus waspada. Ia bukan tipe orang yang sering dicari orang, apalagi di kampus. Lagipula, siapa pria yang mencarinya tanpa ada kabar sebelumnya?"Aku coba cek dulu," ucap Citra sambil bangkit dari kursinya. Langkahnya cepat menuju lobi kampus. Namun, saat matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat pintu masuk,Citra mengernyitkan kening, merasa heran juga terkejut.Arga?!Mau apa dia mencariku? Arga berdiri di sana dengan tatapan yang tajam,
Citra menutup pintu rumah dengan pelan, dan melangkah masuk. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan campur aduk setelah bertemu lagi dengan Arga. Dirinya tak menyangka bahwa Arga akan menemuinya dan membicarakan hal gila sehari setelah pernikahannya dengan Nadya. Begitu kakinya melangkah menuju ruang tengah, Citra dapat melihat Raka yang sedang duduk di sofa sambil menatap layar laptopnya dengan raut wajah serius. “Mas, aku sudah pulang,” Citra menyapa Raka dengan lembut. Namun, sedetik kemudian ia merasa heran, karena Raka tak membalas sapaannya. Apa pria itu tidak mendengar suaranya?Lalu, Citra semakin menghampiri Raka sebelum akhirnya kembali berkata, “Mas, sudah makan?” Raka kini mendongakan kepalanya menatap Citra sesaat, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada laptop. “Ya,” jawabnya singkat. Kening Citra mengernyit, masih merasa heran. Seingatnya, dia tidak berbuat salah. Dia tidak pulang larut malam, sehingga harus mengabarkan Raka. Selain itu, hubungan mereka
Melihat Raka yang diam saja dan nampak enggan menjawab, Citra jadi salah tingkah.“Ehh.. itu aku hanya asal bertanya saja kok, Mas. Gak perlu dianggap serius,” Citra kemudian mengalihkan pandangannya pada layar TV di depan, yang sejak tadi bersuara namun tak satupun dari dirinya atau Raka memberi perhatian. “Citra,” suara Raka terdengar lembut memanggilnya, “Maaf, seharusnya aku bertanya lebih dulu.”Citra menatap Raka dengan sedikit kaget. Ia tidak menyangka Raka akan minta maaf. Citra tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa, “Gapapa, Mas. Tapi, bagaimana jika kita membuat perjanjian lain?”Raka menaikan satu alisnya.Dengan cepat Citra kembali melanjutkan, “Perjanjian untuk lebih terbuka satu sama lain.”“Baiklah. Lalu, bagaimana dengan perjanjian sebelumnya mengenai jangan mencampuri urusan masing-masing?” Citra nampak menimbang ucapan Raka beberapa saat, “Aku rasa kita bisa menyesuaikan perjanjian itu. Jika memang Mas atau aku merasa keberatan untuk men
"Arga, kamu lihat deh, sepatu ini bagus nggak?" suara Nadya terdengar ceria. Dia sedang memamerkan sepatu berharga jutaan yang baru saja dilihat di layar ponselnya.Arga tidak mengangkat kepalanya dari laptop. Jemarinya masih terus mengetik, ekspresi serius tergurat di wajahnya. "Kamu nggak capek belanja terus, Nad?" tanyanya dengan nada datar, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.Nadya mendesah pelan, meletakkan ponselnya di atas meja, "Belanja itu hiburan buat aku, Ga," jawab Nadya akhirnya. "Kamu kan tahu, sejak aku resign, aku jadi di rumah terus. Aku butuh sesuatu buat ngisi waktu."Arga menutup laptopnya dengan sedikit keras, "Waktu? Kalau begitu mending kamu balik bekerja lagi saja, daripada belanja terus. Kondisi perusahaan lagi nggak bagus," ujarnya, nadanya mulai meninggi.Pasalnya baru beberapa hari mereka menikah, namun Nadya sudah begitu boros. Hampir setiap hari, Nadya berbelanja di mall maupun melalui online. Dan harga belanjaannya itu cukup fantastis. Tas seh
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
Arga, kamu kelihatan tegang sekali," suara Nadya terdengar santai di belakang Arga yang sejak tadi mondar-mandir di kamar mereka. Arga berhenti, menatap Nadya dengan wajah cemas. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Nadya. Ini... ini di luar kendaliku. Citra … dia pingsan karena aku," Arga mengusap wajahnya, tampak bingung. Nadya justru tersenyum tipis, tak terlihat cemas sedikit pun. "Menurutku, apa yang kamu lakukan nggak salah. Malah seharusnya sudah lama dilakukan. Kamu kan tahu, hamilnya Citra justru membuat kita semakin terancam di keluarga ini." Saat Arga mengonfrontasi Citra, Nadya ada di sana. Diam-diam melihat mereka berdua bertengkar di balik pilar. Nadya senang Arga bisa meluapkan kekesalan pada Citra karena selama ini Arga selalu membela Citra padahal jelas-jelas selama ini Nadya yang selalu ada untuk Arga. Arga mendelik ke arah Nadya, terkejut mendengar ucapannya. "Kamu ... benar-benar nggak merasa bersalah, ya? Citra itu sedang hamil dan aku mendorongnya! Bagaimana kalau
"Citra, kamu sudah sadar?" Suara lembut Raka menyapa saat Citra perlahan membuka mata.Citra mengerjap, melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia berada di ruangan putih dengan peralatan medis. Napasnya pelan dan lemah.Wajah Raka terlihat khawatir di sebelahnya, sedangkan kakek Bramantyo yang duduk di kursi sebelahnya, tampak menunjukkan raut kelegaan di wajahnya yang tua dan berwibawa itu."Mas Raka… Kakek… Kenapa aku ada di sini?" Citra bertanya, suaranya serak dan pelan.Raka menatapnya dalam, ada pancaran kemarahan matanya, tetapi Raka tetap terlihat tenang. "Aku yang harusnya bertanya, Citra. Bagaimana kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi sebelum itu?"Citra mengerutkan keningnya, mengingat kejadian saat itu. "Aku ... aku terjatuh, Mas.""Terjatuh? Apa maksudnya kamu terjatuh?" tanya Raka pelan dan dingin. Tidak mungkin Citra bisa ceroboh dengan terjatuh sendiri dan Raka juga tidak bodoh untuk mengerti bahwa mungkin ada seseorang yang ingin mencelakakan istrinya. “Katakan padaku
Setelah makan malam merayakan ulang tahun Kakek Bramantyo, Kakek Bramantyo memanggil Raka ke ruangannya dan berbicara berdua.Entah apa yang kakeknya dan cucu terbuang itu bicarakan, tetapi Arga menjadi semakin sebal melihat kepergiam Raka bersama Kakek Bramantyo dan mengetahui Citra kini telah hamil.Kepalan tangan di kedua sisi tubuh Arga mengerat dan rahangnya mengeras. Posisinya kini benar-benar terancam dan Arga tidak bisa membiarkan hal itu lebih parah lagi.Tanpa pikir panjang Arga menghampiri Citra yang ditinggal sendiri oleh Raka.“Citra, kamu sengaja, ‘kan?!” Arga mendesis sambil melangkah mendekati Citra yang duduk sendirian di ruang tamu.Citra mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Arga. “Apa maksudmu, Arga? Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”Arga mencibir, matanya berkedip penuh amarah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti merasa menang sekarang karena berhasil hamil. Kamu pikir kamu bisa menguasai keluarga Bramantyo hanya karena itu?”Napas Citra tertahan
“Sayang, kamu yakin kuat?” tanya Raka, menatap Citra dengan penuh perhatian sambil mengulurkan tangannya.Citra tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Raka. “Iya, aku baik-baik saja, Mas. Lagipula, ini kan ulang tahun kakek. Masa aku nggak datang?”Mendengar ucapan Citra, Raka tampak ragu. “Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi, aku nggak mau kalau Nadya berpikir aku takut sama dia kalau sampai nggak datang ke ulang tahun Kakek,” jawab Citra dengan tegas.Raka mengangguk, “Baiklah, asal kamu janji nggak memaksakan diri. Kalau mulai capek atau nggak enak badan, kamu bilang, ya.”Citra tersenyum dan mengangguk. “Pasti. Terima kasih ya, Mas.”Mereka kemudian berjalan menuju pintu depan rumah besar keluarga Bramantyo dengan hadiah di tangan. Raka masih sesekali melirik Citra, memastikan istrinya baik-baik saja. Begitu pintu terbuka, aroma masakan menguar dari ruang makan.“Selamat ulang tahun, Kek!” seru Citra ceria saat melihat Kakek Bramantyo duduk di ujung meja.Kakek Bramantyo langsung