"Jadi... kamu mau datang ke pernikahan Arga dan Nadya?" tanya Raka sambil memandang Citra dari ujung meja makan. Mereka berdua baru saja mengantar Kakek Bramantyo yang baru saja dijemput supir.Citra mendongak, pandangannya bertemu dengan Raka. "Aku... belum tahu," jawabnya pelan. Jujur saja, dia tidak terlalu ingin hadir, tapi juga tahu bahwa posisinya sebagai istri Raka menuntut kehadirannya di acara itu. Lagi pula Nadya adalah kakak tirinya. Raka menatap Citra dengan raut wajah serius, seolah sedang mencerna kata-katanya. "Apa karena kamu masih berat melihat Arga menikah dengan orang lain?" tanyanya tiba-tiba.Citra menatap Raka dengan tatapan terkejut. "Apa maksudmu? Bukan begitu!" jawab Citra tegas, suaranya naik sedikit. Dia merasa kesal bahwa Raka berpikir demikian."Lalu kenapa?" desak Raka, alisnya berkerut.Citra menggeleng, masih kesal dengan dugaan Raka. "Aku cuma... merasa aneh saja."Raka memperhatikan ekspresi wajah Citra, lalu menghela napas. "Baiklah," katanya sambi
Pagi itu, Citra merasa ada yang aneh. Rasanya seperti ada benda berat yang menekan perutnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia mulai membuka matanya perlahan. Perlahan kesadarannya kembali, dan ia menyadari ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya—sebuah tangan. Citra menoleh dan matanya terbelalak begitu menyadari bahwa tangan itu milik Raka.Dia tersentak kaget. "Ya ampun..." gumamnya dalam hati, setengah tidak percaya. Semalam, ia ingat betul kalau dirinya tidur sendirian. Tapi sekarang, dia terbangun dalam pelukan Raka. Citra menahan napas, hatinya berdebar tak karuan.Dengan hati-hati, Citra mencoba menyisihkan lengan Raka dari pinggangnya. Dia tidak ingin membuat pria itu terbangun, terutama karena keadaan ini cukup canggung untuknya. Namun, saat ia hendak bangun dari tempat tidur dan duduk di tepi ranjang, tiba-tiba tubuhnya ditarik kembali oleh Raka."Mau ke mana?" Raka bergumam pelan dengan mata setengah terbuka. Tangannya yang tadi melingkar di pinggang Citra k
“Apa sudah siap?” tanya Raka sambil menarik dasi yang baru saja ia pasang. Ia menatap Citra yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan gaun yang ia kenakan. Gaun itu sederhana, tidak terlalu mencolok, tetapi cukup elegan dan terlihat cocok di tubuh Citra. Tanpa sadar senyum Raka muncul begitu melihat Citra yang nampak menawan. Mengingatkan dirinya akan sosok Citra saat menggunakan gaun pengantin di hari pernikahan mereka. “Masih ada kesempatan jika tidak jadi ingin pergi kesana,” ada sedikit nada canda di dalam suara Raka, karena melihat raut wajah Citra yang masih nampak enggan untuk pergi. Citra menghela napas. “Tidak ada pilihan. Ayahku meminta aku datang, jadi aku harus datang.” jawabnya sambil memutar tubuhnya sedikit untuk memastikan penampilannya terlihat rapi.Raka tertawa pelan.Citra memutar bola matanya, “Kita berangkat sekarang saja, daripada terlambat Mas."Raka hanya mengangguk, mengambil kunci mobil dan melangkah keluar rumah bersama Citra. Setibanya di kediama
"Citra, bagaimana tanggapan kamu soal permintaan Kakek tadi?" suara Raka terdengar serius, memecah keheningan di antara mereka setelah pernyataan mengejutkan dari Kakek Bramantyo tadi. Mereka berdua duduk di dalam mobil, dalam perjalanan pulang ke rumah setelah acara pernikahan Arga dan Nadya yang berakhir dengan kecanggungan tak terduga. Raka menatap Citra dengan ekspresi yang sulit dibaca, membuat Citra merasa semakin tidak nyaman."Apa, Mas?" Citra menjawab dengan suara pelan, matanya fokus pada jalan di depan, meskipun pikirannya berkecamuk. Citra menghela napas panjang. Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka adalah perjodohan yang diatur oleh keluarga. Tapi, soal anak? Itu topik yang sangat rumit. Ia bahkan tidak yakin bagaimana harus menjawab Raka tanpa memicu diskusi yang lebih sulit."Aku... aku belum tahu harus gimana, Mas," jawab Citra akhirnya, suaranya gemetar sedikit. Ia menatap tangan yang tergenggam di pangkuannya, berusaha mencari kata-kata yang tepat."Belum ta
Setelah percakapan dengan ayahnya, Arga akhirnya kembali menuju kamarnya. Tarikan napas kasar terdengar dari bibir Arga. Sejak dulu dia tidak pernah bisa melawan perintah ayahnya dan kakeknya. Arga baru saja membuka pintu kamar, suara Nadya sudah terdengar, “Arga, kamu kenapa malah ikut dukung keputusan Mama? Aku kan pengen bulan madu ke Eropa.” Arga menghela napas panjang, tidak berniat merespons. Niatnya ingin istirahat, tapi baru masuk, ia sudah harus menghadapi keluhan Nadya.Tapi Nadya jelas tidak berniat membiarkan itu terjadi."Kenapa diem aja? Gak ada niat buat jelasin atau belain aku?" Nadya melanjutkan, suaranya semakin tinggi. "Sudah tidak merayakan pernikahan dengan mewah, sekarang bulan madu juga batal. Kenapa kamu nggak pernah coba melawan, sih?"Arga kembali mengabaikan Nadya, langsung menuju ke kasur tanpa menjawab satu kata pun. Ia duduk di pinggir tempat tidur, melepas jam tangan dan sepatu dengan gerakan lambat. Dalam hatinya, ia berharap Nadya akan berhenti bicar
"Citra! Citra, ada yang nyariin kamu," seru Lia, teman kampus Citra, sambil berlari kecil menghampirinya yang sedang duduk di taman kampus, karena baru saja menyelesaikan bimbingannya dengan dosen. Citra yang sedang merapikan buku di meja kantin langsung menoleh dengan alis terangkat. "Siapa?" tanyanya sambil menutup buku catatan di hadapannya."Kayaknya cowok. Aku gak kenal sih, tapi dia nanyain kamu tadi di lobi," jawab Lia, sedikit terengah-engah.Citra mengerutkan kening. Siapa yang mencariku? Dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran sekaligus waspada. Ia bukan tipe orang yang sering dicari orang, apalagi di kampus. Lagipula, siapa pria yang mencarinya tanpa ada kabar sebelumnya?"Aku coba cek dulu," ucap Citra sambil bangkit dari kursinya. Langkahnya cepat menuju lobi kampus. Namun, saat matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat pintu masuk,Citra mengernyitkan kening, merasa heran juga terkejut.Arga?!Mau apa dia mencariku? Arga berdiri di sana dengan tatapan yang tajam,
Citra menutup pintu rumah dengan pelan, dan melangkah masuk. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan campur aduk setelah bertemu lagi dengan Arga. Dirinya tak menyangka bahwa Arga akan menemuinya dan membicarakan hal gila sehari setelah pernikahannya dengan Nadya. Begitu kakinya melangkah menuju ruang tengah, Citra dapat melihat Raka yang sedang duduk di sofa sambil menatap layar laptopnya dengan raut wajah serius. “Mas, aku sudah pulang,” Citra menyapa Raka dengan lembut. Namun, sedetik kemudian ia merasa heran, karena Raka tak membalas sapaannya. Apa pria itu tidak mendengar suaranya?Lalu, Citra semakin menghampiri Raka sebelum akhirnya kembali berkata, “Mas, sudah makan?” Raka kini mendongakan kepalanya menatap Citra sesaat, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada laptop. “Ya,” jawabnya singkat. Kening Citra mengernyit, masih merasa heran. Seingatnya, dia tidak berbuat salah. Dia tidak pulang larut malam, sehingga harus mengabarkan Raka. Selain itu, hubungan mereka
Melihat Raka yang diam saja dan nampak enggan menjawab, Citra jadi salah tingkah.“Ehh.. itu aku hanya asal bertanya saja kok, Mas. Gak perlu dianggap serius,” Citra kemudian mengalihkan pandangannya pada layar TV di depan, yang sejak tadi bersuara namun tak satupun dari dirinya atau Raka memberi perhatian. “Citra,” suara Raka terdengar lembut memanggilnya, “Maaf, seharusnya aku bertanya lebih dulu.”Citra menatap Raka dengan sedikit kaget. Ia tidak menyangka Raka akan minta maaf. Citra tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa, “Gapapa, Mas. Tapi, bagaimana jika kita membuat perjanjian lain?”Raka menaikan satu alisnya.Dengan cepat Citra kembali melanjutkan, “Perjanjian untuk lebih terbuka satu sama lain.”“Baiklah. Lalu, bagaimana dengan perjanjian sebelumnya mengenai jangan mencampuri urusan masing-masing?” Citra nampak menimbang ucapan Raka beberapa saat, “Aku rasa kita bisa menyesuaikan perjanjian itu. Jika memang Mas atau aku merasa keberatan untuk men
"Kamu masih mau membelanya, Mas? Setelah semua ini?" suara Anita memecah keheningan di ruang makan kecil itu. Nada suaranya tajam, penuh dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Ahmad meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, mencoba menjaga ketenangan meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Anita, aku hanya mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lebih adil. Nadya sudah cukup menderita. Apa salahnya kita beri dia sedikit ruang untuk memperbaiki semuanya?"Anita tertawa pendek, hampir sinis. "Adil? Kamu benar-benar berpikir dia pantas mendapatkan keadilan setelah apa yang dia lakukan? Dia bahkan menghancurkan hubungan dengan keluarga Bramantyo."Ahmad menggeleng, mencoba tetap tenang. "Dia butuh bantuan, Anita. Apa salahnya kalau kita mencoba membantu? Bagaimanapun juga, dia anak kita."Anita memutar matanya dengan kesal. "Bagian keluarga? Jangan mulai, Mas. Dia sudah kehilangan hak itu sejak dia nggak mau menuruti perintahku. Dan jujur saja, aku muak melihat kamu terus-terus
“Kenapa kamu terus-terusan bersikap seperti itu, Mas? Bukankah Nadya sudah minta maaf?” Citra duduk di sofa ruang tamu, tatapannya lurus ke arah suaminya yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi berlapis kain cokelat.Raka mendesah pelan, tetapi sorot matanya tajam. “Minta maaf? Citra, kamu benar-benar percaya permintaan maaf itu tulus? Kamu lupa apa saja yang dia lakukan selama ini?”Citra menggeleng lemah. “Aku tahu apa yang dia lakukan dulu, tapi kali ini... Aku benar-benar merasa dia tulus. Orang bisa berubah, Mas.”Raka terkekeh sarkastik, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. “Berubah? Orang seperti Nadya nggak akan pernah berubah. Dia cuma pintar memainkan perasaan orang. Sekarang dia datang dengan wajah sedih, bilang ‘maaf’, dan kamu langsung percaya?”Citra berdiri, mencoba mendekati Raka. “Bukan masalah percaya atau tidak, tapi aku yakin dia benar-benar menyesal. Kamu lihat sendiri, kan, dia nggak seperti Nadya yang dulu. Bahkan dia sampai kehilangan seg
"Bu, tolong angkat telepon ini... aku tidak punya tempat lain untuk pergi," suara Nadya terdengar parau, hampir tertelan isak tangisnya. Ponsel di tangannya terus berdering tanpa jawaban. Untuk keempat kalinya ia mencoba, tetapi hasilnya tetap sama. Nadya memandang layar ponselnya yang redup, lalu dengan berat hati ia menyelipkannya kembali ke tas kecil yang sudah usang.Ia berdiri di depan rumah sakit dengan tubuh lemah, menggigit bibir untuk menahan tangis yang semakin mendesak keluar. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya, namun lebih menusuk lagi rasa kehilangan yang kini memenuhi dadanya.“Harus ke mana aku sekarang?” Nadya bergumam pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Ia mulai melangkah, tanpa arah, hanya mengikuti trotoar panjang yang dihiasi lampu jalan yang suram.Langkah kakinya membawanya ke sebuah taman kecil. Di sana, ia melihat sekelompok ibu-ibu yang tengah duduk bercengkerama di bangku taman. Nadya mengenali beberapa wajah mereka—orang-orang yang d
Di ruang tamu yang megah namun dingin, keluarga Bramantyo berkumpul. Bramantyo duduk di kursi paling ujung, memancarkan aura otoritas yang tidak bisa diganggu gugat.Andi duduk di sampingnya, dengan ekspresi tegas yang mencerminkan pendiriannya, dan Arga duduk di hadapan Andi dengan ekspresi sedih dan kebingungan di saat yang sama.Ahmad berdiri di hadapan mereka, terlihat gelisah namun tetap mencoba mempertahankan ketenangan. Anita, yang berdiri sedikit di belakang Ahmad, menyaksikan pertemuan ini dengan tatapan dingin.“Dia tidak punya tempat lagi di keluarga ini, Arga. Tidak peduli seberapa menderita dia sekarang,” suara Bramantyo menggema di ruangan, tegas dan penuh emosi.Arga mengangguk pelan. “Saya setuju, Kek. Nadya telah melampaui batas,” ucapnya pelan. “Perbuatannya terlalu kejam untuk dimaafkan. Bahkan setelah semua kesempatan yang kita berikan, dia tetap mengkhianati keluarga ini.”Ahmad menghela napas berat, lalu mencoba berbicara dengan nada lebih tenang. “Pak, saya meng
Di ruangan rumah sakit yang hening, Nadya terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya tampak pucat, dengan mata yang sembab akibat tangis tiada henti. Pintu kamar diketuk perlahan.“Masuk,” suara Nadya terdengar serak, hampir tak terdengar.Citra dan Raka melangkah masuk. Nadya terkejut melihat mereka, terutama Citra.“Kalian…” ucap Nadya dengan nada bergetar.“Kami datang untuk memastikan kamu baik-baik saja,” kata Citra, mencoba tersenyum meski canggung.Raka berdiri beberapa langkah di belakang Citra, tatapannya dingin. “Dia baik-baik saja? Aku rasa kita sudah tahu jawabannya. Kenapa kita harus ke sini?”Citra melirik Raka sejenak, mengabaikan komentarnya. Ia mendekati ranjang Nadya. “Apa kamu butuh sesuatu? Mungkin air atau makanan?”Nadya menggeleng pelan. “Aku… tidak butuh apa-apa. Terima kasih sudah datang.”“Jangan terlalu cepat berterima kasih,” potong Raka tajam. “Kami di sini bukan untuk memberikan simpati tanpa alasan.”“Mas!” tegur Citra. “Dia baru saja kehilangan anaknya.
Anita dan Ahmad tiba di rumah sakit pagi itu. Mereka langsung menuju kamar Nadya, yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajah Anita tegang, sementara Ahmad tampak mencoba menahan kekhawatirannya.“Bagaimana ini bisa terjadi, Nadya? Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” Suara Anita terdengar tajam, penuh kecemasan.Nadya menunduk. Suaranya hampir tak terdengar. “Bu... Aku... aku nggak tahu.”“Anita, jangan terlalu keras,” Ahmad menengahi, mencoba menenangkan suasana. “Ini sudah cukup berat buat Nadya.”“Saya nggak keras, Mas!” Anita menatap suaminya tajam. “Tapi saya nggak paham, kenapa anak kita bisa sampai seperti ini?”Nadya tetap diam, tangannya memegangi perutnya yang kosong. Matanya tertuju ke lantai, menghindari tatapan ibunya.Anita maju beberapa langkah, suaranya makin meninggi. “Nadya, jawab ibu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ceroboh begini? Seharusnya kamu jaga diri, jaga bayi itu!”“Bu, tolong...” Nadya akhirnya bersuara, suaranya pecah oleh tangis. “Ini salahku. S
Nadya terbangun di ranjang rumah sakit, rasa sakit menjalari tubuhnya. Kepalanya berat, matanya bengkak akibat tangisan semalam. Pintu kamar terbuka, seorang dokter masuk dengan wajah penuh empati.“Bu Nadya,” panggil dokter itu pelan, duduk di sisi ranjang. “Kami perlu bicara.”Nadya berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Apa yang terjadi, Dok?” tanyanya dengan suara parau.Dokter menatapnya sejenak, ragu untuk berbicara. “Kami sudah melakukan semua yang kami bisa, tapi ... bayi Anda tidak bisa diselamatkan.”Wajah Nadya pucat. Tatapan dan pikirannya mendadak kosong. Saat ini Nadya tidak dapat merasakan apa-apa. Namun, air mata tiba-tiba saja mengalir di pelupuk matanya.Apakah ini adalah karma yang harus ia terima? Tetapi, mengapa Tuhan harus mengambil calon bayinya yang tidak berdosa? Mengapa Tuhan tidak mengambil dirinya saja?Melihat pasiennya menangis, sang dokter menundukkan kepala. “Saya turut berduka. Ini bukan kesalahan Anda, tapi kondisi Anda memang terlalu berat u
"Arga, tolong aku. Aku butuh bantuanmu kali ini," ujar Nadya dengan suara memelas. Ia memegang ponsel dengan tangan gemetar, berharap ada sedikit empati dari orang yang masih berstatus suaminya itu.Namun, suara di ujung telepon terdengar dingin. "Nadya, aku sudah bilang, aku tidak mau terlibat lagi denganmu. Aku punya keluarga dan reputasi yang harus aku jaga. Jangan cari aku lagi.""Arga, tunggu! Aku benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi!" teriak Nadya dengan putus asa, tetapi telepon sudah terputus. Ia menatap layar ponselnya yang gelap dengan tatapan kosong.*Tak mau menyerah, Nadya mencoba menghubungi Rama, mantan kekasihnya yang dulu selalu mendukungnya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara Rama terdengar."Nadya? Ada apa?" tanyanya dengan nada waspada."Rama, aku butuh bantuanmu. Aku benar-benar terpojok sekarang. Semua orang meninggalkanku, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi," kata Nadya dengan suara serak, matanya mulai basah oleh air mata.Rama terdiam sejenak
“Kamu bilang akan membantuku, tapi kenapa ini terasa seperti jebakan?” Nadya berbicara dengan nada kesal, namun ada ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan.Di depannya, pria misterius itu duduk dengan santai di kursi, senyumnya tipis dan penuh makna. “Jebakan? Nadya, aku hanya memberikan apa yang kau minta. Kau ingin kembali mendapatkan segalanya, bukan? Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ada harga yang harus kau bayar.”Nadya mengepalkan tangannya di bawah meja. “Harga? Apa lagi yang kau mau dariku? Aku sudah melakukan semua yang kau perintahkan!”Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang Nadya dengan tatapan tajam. “Belum semuanya, Nadya. Aku butuh kau menyerahkan satu hal terakhir. Informasi.”“Informasi?” Nadya menatapnya bingung. “Informasi tentang apa?”“Semua hal tentang keluarga Bramantyo. Detail yang mungkin terlihat sepele bagimu, tapi penting bagi kami,” jawab pria itu, sambil menyipitkan matanya.Nadya mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres.