"Citra! Citra, ada yang nyariin kamu," seru Lia, teman kampus Citra, sambil berlari kecil menghampirinya yang sedang duduk di taman kampus, karena baru saja menyelesaikan bimbingannya dengan dosen. Citra yang sedang merapikan buku di meja kantin langsung menoleh dengan alis terangkat. "Siapa?" tanyanya sambil menutup buku catatan di hadapannya."Kayaknya cowok. Aku gak kenal sih, tapi dia nanyain kamu tadi di lobi," jawab Lia, sedikit terengah-engah.Citra mengerutkan kening. Siapa yang mencariku? Dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran sekaligus waspada. Ia bukan tipe orang yang sering dicari orang, apalagi di kampus. Lagipula, siapa pria yang mencarinya tanpa ada kabar sebelumnya?"Aku coba cek dulu," ucap Citra sambil bangkit dari kursinya. Langkahnya cepat menuju lobi kampus. Namun, saat matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat pintu masuk,Citra mengernyitkan kening, merasa heran juga terkejut.Arga?!Mau apa dia mencariku? Arga berdiri di sana dengan tatapan yang tajam,
Citra menutup pintu rumah dengan pelan, dan melangkah masuk. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan campur aduk setelah bertemu lagi dengan Arga. Dirinya tak menyangka bahwa Arga akan menemuinya dan membicarakan hal gila sehari setelah pernikahannya dengan Nadya. Begitu kakinya melangkah menuju ruang tengah, Citra dapat melihat Raka yang sedang duduk di sofa sambil menatap layar laptopnya dengan raut wajah serius. “Mas, aku sudah pulang,” Citra menyapa Raka dengan lembut. Namun, sedetik kemudian ia merasa heran, karena Raka tak membalas sapaannya. Apa pria itu tidak mendengar suaranya?Lalu, Citra semakin menghampiri Raka sebelum akhirnya kembali berkata, “Mas, sudah makan?” Raka kini mendongakan kepalanya menatap Citra sesaat, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada laptop. “Ya,” jawabnya singkat. Kening Citra mengernyit, masih merasa heran. Seingatnya, dia tidak berbuat salah. Dia tidak pulang larut malam, sehingga harus mengabarkan Raka. Selain itu, hubungan mereka
Melihat Raka yang diam saja dan nampak enggan menjawab, Citra jadi salah tingkah.“Ehh.. itu aku hanya asal bertanya saja kok, Mas. Gak perlu dianggap serius,” Citra kemudian mengalihkan pandangannya pada layar TV di depan, yang sejak tadi bersuara namun tak satupun dari dirinya atau Raka memberi perhatian. “Citra,” suara Raka terdengar lembut memanggilnya, “Maaf, seharusnya aku bertanya lebih dulu.”Citra menatap Raka dengan sedikit kaget. Ia tidak menyangka Raka akan minta maaf. Citra tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa, “Gapapa, Mas. Tapi, bagaimana jika kita membuat perjanjian lain?”Raka menaikan satu alisnya.Dengan cepat Citra kembali melanjutkan, “Perjanjian untuk lebih terbuka satu sama lain.”“Baiklah. Lalu, bagaimana dengan perjanjian sebelumnya mengenai jangan mencampuri urusan masing-masing?” Citra nampak menimbang ucapan Raka beberapa saat, “Aku rasa kita bisa menyesuaikan perjanjian itu. Jika memang Mas atau aku merasa keberatan untuk men
"Arga, kamu lihat deh, sepatu ini bagus nggak?" suara Nadya terdengar ceria. Dia sedang memamerkan sepatu berharga jutaan yang baru saja dilihat di layar ponselnya.Arga tidak mengangkat kepalanya dari laptop. Jemarinya masih terus mengetik, ekspresi serius tergurat di wajahnya. "Kamu nggak capek belanja terus, Nad?" tanyanya dengan nada datar, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.Nadya mendesah pelan, meletakkan ponselnya di atas meja, "Belanja itu hiburan buat aku, Ga," jawab Nadya akhirnya. "Kamu kan tahu, sejak aku resign, aku jadi di rumah terus. Aku butuh sesuatu buat ngisi waktu."Arga menutup laptopnya dengan sedikit keras, "Waktu? Kalau begitu mending kamu balik bekerja lagi saja, daripada belanja terus. Kondisi perusahaan lagi nggak bagus," ujarnya, nadanya mulai meninggi.Pasalnya baru beberapa hari mereka menikah, namun Nadya sudah begitu boros. Hampir setiap hari, Nadya berbelanja di mall maupun melalui online. Dan harga belanjaannya itu cukup fantastis. Tas seh
Arga melangkah keluar dari kamarnya, bergegas menuju garasi. Namun, langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sosok Raka yang baru saja keluar dari ruang kerja kakeknya. “Bang Raka? Untuk apa dia sudah ada di sini pagi-pagi,” gumam Arga, kembali merasa cemas. Terutama ketika menyadari bahwa tidak ada kehadiran Citra. Artinya Kakek hanya berbincang berdua dengan Raka. Karena rasa penasaran, dia pun menghampiri Raka,“Kenapa Bang Raka ada di sini?” Raka menaikan sebelah alisnya, “Sejak kapan aku harus melapor setiap datang ke sini?” “Bu-bukan seperti itu. Aku hanya ingin tahu ada urusan apa Bang Raka dengan kakek,” suara Arga terdengar sedikit gugup, ia bahkan tak berani membalas tatapan Raka. Mendengar hal itu, mata Raka mengernyit. “Itu urusan pribadi,” jawab Raka singkat, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Raka hendak pergi, namun kemudian kembali berbalik dan menatap Arga dengan tajam, “Dengar, aku tidak suka kau memaksa bertemu dengan istriku. Jangan lakukan itu lagi.”
Citra, yang baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja, tersenyum lebar. Melihat Raka yang sedang duduk di ruang tengah, tanpa sadar Citra langsung bercerita, “Hari ini seru banget, Mas! Aku pikir bakalan canggung atau gimana, tapi ternyata semuanya asyik. Suasananya hangat, terus pelanggan-pelanggannya juga ramah.”Raka mengalihkan perhatiannya dari layar dan kini menatap Citra yang nampak berbinar. Raka ikut tersenyum tipis.“Oh, ya ngomong-ngomong, aku sempat salah mengira pemilik kafe. Rupanya bukan Pak Bagus pemiliknya.” Raka mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Oh ya? Jadi, kamu udah ketemu pemilik aslinya?”Citra menggeleng. “Belum, aku dengar dari teman di sana katanya pemiliknya jarang nongol. Tapi aku penasaran juga, siapa sih yang punya kafe itu. Kamu tahu gak, Mas?” tanya Citra sambil menatap Raka dengan alis sedikit terangkat, penuh rasa ingin tahu.Pasalnya Raka yang merekomendasikan dirinya, jadi Citra berfikir mungkin Raka mengetahui hal itu. Raka tersenyum t
"Surprise!" Nadya berseru dengan penuh semangat begitu Arga masuk ke dalam kamar.Arga yang baru saja pulang kerja terkejut mendapati suasana kamar gelap, hanya diterangi oleh lilin-lilin kecil di sekitar tempat tidur. Di sudut kamar, ada meja kecil dengan botol wine yang belum dibuka dan dua gelas kristal yang berkilauan di bawah nyala lilin. Nadya berdiri di depan tempat tidur, hanya mengenakan lingerie, menatap Arga dengan senyum menggoda."Ini semua aku siapkan untukmu, sayang," lanjut Nadya sambil perlahan melangkah mendekati Arga, matanya memancarkan harapan akan respons yang ia tunggu-tunggu.Namun, bukannya terpesona atau tergoda, Arga hanya menatapnya datar. "Kenapa gelap begini? Aku hampir jatuh tadi."Nadya yang berharap reaksi berbeda dari Arga merasa sedikit kecewa, tapi tetap mencoba mempertahankan semangatnya. "Aku ingin membuat suasana romantis. Kamu kan pasti capek habis kerja. Aku pikir ini bisa jadi kejutan yang menyenangkan."Arga melepas jas kerjanya dan meletakk
"Aku perlu kasih tau Mas Raka gak, ya?" Gumam Citra pelan. Pikirannya bergejolak, mengingat kejadian pagi tadi saat Arga kembali menemuinya di kampus. Arga memang tidak berbuat hal yang mengganggu secara langsung seperti waktu itu, tapi kehadirannya sudah cukup membuat Citra merasa tidak nyaman."Apa aku berlebihan kalau kasih tahu dia?" Citra terus berbicara pada dirinya sendiri. Setelah beberapa menit ragu, akhirnya Citra memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada Raka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas layar ponsel, mengetik pesan sederhana:"Arga tadi datang ke kampus, Mas. Dia cuma datang untuk ngasih makanan, tapi aku udah tegur dia lagi."Pesan itu singkat dan langsung pada intinya. Citra menghela napas setelah menekan tombol kirim, merasa lega. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, tanda pesan balasan masuk."Oke."Balasan singkat dari Raka membuat Citra sedikit mengernyitkan kening, merasa heran. Citra mulai merasa serba salah."Apa aku terlalu berlebihan?" Citra m
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay
"Ibu!" suara Citra menggema di ruang tamu yang sudah tegang sejak mereka tiba. "Aku nggak bisa diam begitu saja setelah apa yang Ibu katakan tadi. Jelaskan sekarang! Apa maksud Ibu dengan semua tuduhan itu tentang ibu kandungku?"Anita, yang sedang menuang teh ke cangkir, berhenti sejenak. Ia menatap Citra dengan tatapan dingin, lalu meletakkan teko perlahan. "Kamu benar-benar ingin tahu, Citra? Aku rasa kamu nggak akan suka jawabannya.""Aku nggak peduli! Aku berhak tahu!" Citra membalas dengan nada penuh emosi.Ahmad, yang duduk di kursi seberang, mencoba meredakan suasana. "Sudahlah, Anita. Ini bukan waktunya membahas hal-hal seperti ini."Namun Anita hanya mendengus kesal. "Diam, Mas. Ini saatnya kebenaran keluar. Selama ini kamu selalu berlindung di balik kesopananmu, tapi semua ini terjadi karena keputusan bodohmu sendiri."Ahmad menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Sementara itu, Citra menatap mereka bergantian, hatinya terasa berat."Dulu, aku nggak puny
"Mas, aku nggak tenang," suara Citra terdengar lirih saat ia duduk di sofa, tangannya memegang perutnya yang semakin membesar. "Nadya nggak kasih kabar sama sekali. Aku nggak tahu dia di mana atau gimana keadaannya."Raka meletakkan koran yang sejak tadi ia baca, menatap istrinya dengan penuh perhatian. "Citra, kamu harus fokus sama kesehatanmu dan bayi kita. Jangan terlalu stres.""Aku nggak bisa," Citra membalas cepat. "Dia saudara aku, Mas. Kalau aku diam saja, aku nggak tahu apa yang mungkin terjadi padanya. Aku harus cari dia."Raka menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Kamu ini keras kepala, ya. Kamu tahu nggak kalau sekarang prioritas kamu itu diri kamu sendiri dan bayi ini? Nadya itu sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya, Mas!" Citra menaikkan nada suaranya sedikit. "Nadya bukan tipe orang yang diam saja kalau ada masalah. Dia pasti sedang dalam kondisi buruk kalau sampai menghilang seperti ini. Aku mohon, temani aku cari dia."Raka terdiam, melih