Pagi ini Citra sudah berada di kampus, setelah semalam ia begadang untuk melakukan revisi dengan dibantu oleh Raka serta mempersiapkan presentasinya untuk sidang. Citra baru saja menyelesaikan presentasinya, dan kini menatap ketiga dosennya dengan penuh harap. Tangannya terasa dingin, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Dosen yang duduk di depannya, Pak Dwi, menatap serius sambil membolak-balikan lembaran skripsi yang ada di tangannya. Ia menghela napas sejenak, kemudian ketiga dosen saling berbicara satu sama lain dengan suara kecil. Melihat hal itu membuat Citra semakin gugup.“Citra, selamat kamu dinyatakan lulus,” kata Pak Dwi sambil tersenyum kecil.Wajah Citra langsung cerah, senyumnya melebar. “Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak! Saya nggak nyangka akhirnya bisa selesai juga.”“Kerja kerasmu terbayar, Citra. Semoga ilmunya bermanfaat, ya,” tambah Dosen yang duduk di sebelah Pak Dwi seraya memberikan kembali dokumen tersebut. “Sekarang kamu tinggal fokus memper
“Kakek benar-benar serius, ya,” kata Citra pelan kepada Raka setelah makan malam selesai dan mereka berdua sedang menuju rumah mereka.Raka menatapnya sejenak. “Kakek selalu serius dengan apa yang diinginkannya.”Citra menghela napas panjang. Ia tahu Kakek sangat menginginkan cucu dari mereka. Tetapi, situasinya tidak semudah itu, membuat Citra semakin tertekan dengan semua ini."Mas, kamu ada ide nggak gimana caranya kita bisa nolak permintaan Kakek?" Citra bertanya dengan suara lembut, mengalihkan pandangannya dari jendela mobil.Raka menoleh sekilas, tersenyum tipis melihat wajah istrinya yang tampak serius. "Tolak apa?" tanyanya, meski dia tahu pasti apa yang dimaksud Citra."Ya, soal bulan madu itu. Kakek pengen kita bulan madu kan, Mas. Aku nggak enak kalau kita bilang nggak bisa," jawab Citra, nadanya terdengar cemas. “Bagaimana dengan alasan, kalau Mas nggak bisa ambil libur karena pekerjaan?” lanjut Citra sambil menjentikan jarinya, seakan menemukan sebuah ide baru. Raka ter
“Arga! Kamu ini gimana sih?!” suara Nadya terdengar tajam saat ia membanting pintu kamar mereka. Wajahnya memerah karena marah. Setelah acara makan malam, amarahnya tak tertahan lagi. Nadya melempar tasnya ke tempat tidur dengan kasar.Arga yang baru saja masuk kamar setelah menutup pintu, menghela napas berat. Ia tahu, masalah ini akan meledak. "Kamu kenapa lagi, sih?" tanya Arga dengan nada lelah. Ia tahu jawaban yang akan keluar, tapi tetap mencoba mendengar penjelasan dari istrinya.“Kamu nanya kenapa?” seru Nadya, matanya berkilat marah. “Citra lagi-lagi yang menang! Kakek jelas-jelas lebih membela dia daripada kita! Dan kamu? Kamu diem aja! Apa kamu nggak lihat tadi?!”Arga menatap Nadya dengan mata setengah tertutup, mencoba menahan emosinya yang juga sudah berada di ujung tanduk. “Aku diem bukan berarti aku nggak peduli, Nad. Kamu juga tahu Kakek itu nggak suka kalau kita bikin masalah di depan orang lain.”Nadya mendengus, melipat tangan di dadanya. “Oh, jadi kamu sekarang b
"Mas ... Lihat ini deh," Citra menggumam sambil menatap layar ponselnya dengan mata masih setengah terbuka. Ia baru saja terbangun dari tidur yang tak begitu panjang. Ketika tangannya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, sebuah pesan dari Bramantyo langsung menarik perhatiannya.Raka yang sedang berdiri di dapur, menoleh sebentar."Kakek kirim voucher hotel bintang lima di Bandung. Katanya buat bulan madu yang tertunda..." Citra mendesah panjang. Ia tahu benar sifat keras Kakek Bramantyo, dan menolak permintaan beliau bukanlah sesuatu yang mudah."Aku jadi nggak enak. Kayak... kok kakek harus repot-repot begini?" Citra melanjutkan masih dengan merasa tak enak."Kalau kamu merasa nggak enak, telepon aja kakek. Bilang terima kasih." Raka menatap Citra dengan ekspresi tenang."Ya, aku memang mau telepon Kakek," jawab Citra. Dia langsung mencari nomor Bramantyo. Tak butuh waktu lama sebelum suara ceria kakeknya terdengar di ujung sana."Halo, Citra! Kamu sudah lihat vouchernya, ‘ka
“Kakek serius, pesan kamar VVIP di hotel bintang lima?” Nadya menempelkan telinganya di pintu ruang kerja Bramantyo, menguping percakapan telepon kakeknya dengan asistennya. Wajahnya yang semula datar perlahan berubah geram. “Untuk Citra dan Raka?!” Dia mendengar Bramantyo tertawa kecil sebelum berkata, “Pastikan semua fasilitas terbaik disiapkan untuk mereka. Raka dan Citra harus mendapat layanan istimewa selama di sana. Aku tidak mau ada yang kurang.” Mendengar itu, darah Nadya mendidih. Tanpa berpikir panjang, dia langsung berlari kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Nadya duduk di tepi ranjang dan cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tangannya gemetar saat mencari nama Arga di kontaknya. Setelah menemukannya, dia menekan tombol panggil dan menunggu. “Halo?” Suara Arga terdengar lemah di seberang sana, seakan-akan dia baru saja bangun tidur atau lebih tepatnya sedang tidak berminat menerima telepon. “Arga, kamu harus dengar ini.” Nadya berbicara dengan nada mend
“Kamu yakin kita enggak lupa bawa apa-apa, Mas?” Citra bertanya sambil melirik koper yang sudah rapi di dekat pintu. Dia sudah bangun sejak subuh untuk menyiapkan sarapan ringan bagi mereka berdua. Ini pertama kalinya dia merasa begitu bersemangat setelah sekian lama, terutama sejak kematian ibunya.“Sudah, tenang saja,” jawab Raka sambil tersenyum kecil. Dia bisa melihat rona semangat di wajah Citra. “Lagipula, kalau ada yang lupa, nanti bisa kita beli di sana.”Citra mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, aku cuma nggak pengen ada yang ketinggalan, soalnya dulu, aku jarang bisa jalan-jalan kayak gini. Paling-paling cuma waktu study tour sekolah.”Raka tertawa kecil mendengar itu. “Pantas kamu kelihatan semangat.”“Iya, dulu aku cuma bisa jalan-jalan waktu study tour, itu pun cuma ke tempat-tempat biasa,” Citra terkekeh pelan sambil memasukkan beberapa kotak bekal kecil ke dalam tas. Raka tersenyum, senang melihat Citra begitu bersemangat. Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil,
“Surprise!” seru Nadya dengan senyum lebar. “Kami juga ke sini buat bulan madu!”“Apa?” Citra hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kalian juga menginap di sini?”Arga yang berdiri di sebelah Nadya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Ya, kita pikir ini bakal seru kalau kita semua di sini bareng-bareng.”Citra yang masih terkejut hanya bisa memandang Raka dengan kebingungan. Mencoba mencari penjelasan dari Raka, karena seingatnya Kakek juga tidak mengatakan perihal Arga dan Nadya yang akan bulan madu bersama. Sementara itu, Raka hanya menatap tak suka pada Arga, jelas merasa terganggu dengan kedatangan pasangan itu.Nadya tidak memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Citra atau Raka. Dia justru masuk ke kamar mereka tanpa permisi, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Sekaligus memastikan bahwa fasilitas yang diberikan pada Citra, juga harus dia nikmati. Arga tersenyum, "Kebetulan aja kami dapat izin juga. Jadi kami pikir, kenapa nggak bulan madu
"Mas Raka, tidur di sofa semalaman?" Citra terbangun pagi itu dan mendapati Raka meringkuk di sofa dengan selimut tipis. Ia berjalan perlahan mendekat dan duduk di tepi sofa, menatap Raka dengan rasa bersalah.Raka tidak menjawab, masih tertidur lelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak damai. Citra menghela napas pelan, lalu mengambil selimut tebal dari tempat tidur dan menyelimuti tubuh Raka yang tampak kedinginan.“Semua ini dibiayai oleh Kakek Bramantyo, tapi malah kamu yang harus tidak nyaman tidur di sofa,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Setelah memastikan Raka tertutup rapat oleh selimut, Citra berdiri, mengambil handuk, dan menuju kamar mandi.*Setelah mandi, Citra memutuskan untuk keluar kamar lebih dulu. Udara pagi yang sejuk menyegarkan tubuhnya yang masih sedikit pegal. Ia memutuskan untuk pergi ke kolam renang, berharap bisa sedikit relaksasi dengan berenang. Tapi begitu sampai di sana, langkahnya langsung terhenti."Arga?" bisik Citra, wajahnya berubah
“Mas, tadi Kakek sempat bilang sesuatu yang membuatku berpikir,” ujar Citra sambil duduk di sofa, menarik selimut ke tubuhnya. Malam itu udara terasa dingin, tetapi hangatnya percakapan mereka mencairkan suasana.“Apa yang Kakek bilang?” Raka bertanya, mendekat sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Citra sebelum duduk di sampingnya.Citra memegang cangkir itu dengan kedua tangan, meniup uap yang mengepul. “Dia bilang menjadi orang tua itu tidak mudah. Kita harus saling mendukung, dan aku setuju dengan itu. Aku tahu kita masih belajar, tapi aku berharap kita bisa menjadi tim yang baik.”Raka tersenyum, menatap istrinya penuh kasih. “Aku setuju, Cit. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku berjanji akan belajar. Aku akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu keluarga kecil kita.”Citra menatap Raka dengan mata lembut. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi aku juga berharap kita selalu saling mendukung, apa pun yang terjad
“Citra, mana aku taruh kue lapis legit tadi? Rasanya tadi aku letakkan di meja dapur!” Suara Raka terdengar sedikit panik dari arah dapur.Citra yang sedang mengatur hiasan bunga di ruang tamu, menoleh sambil tersenyum. “Itu sudah aku pindahkan ke meja buffet, Mas. Nanti kalau taruh di dapur, lupa dihidangkan.”Raka mengangguk cepat, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman. “Wah, bagus sekali susunan bunganya. Kamu memang selalu bisa membuat semuanya terlihat lebih indah.”“Memuji terus dari tadi. Apa kamu takut aku stress menghadapi acara ini?” goda Citra sambil tertawa kecil.Raka meletakkan nampan di meja, kemudian mendekat dan meraih tangan Citra. “Aku memujimu karena kamu pantas dipuji, Cit. Lagi pula, acara ini kan untuk kebahagiaan kita.”Citra tersenyum, sedikit terharu dengan ucapan suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu sudah berusaha keras untuk membantu.”Belum sempat Raka menjawab, bel pintu berbunyi. “Itu pasti tamu pertama kita,” kata Raka bersemanga
“Kamu memang tidak pandai menyimpan rahasia, ya,” ujar Citra dengan nada menggoda, sambil menatap Raka yang sedang sibuk menata lilin di atas meja taman kecil itu.Angin malam yang lembut meniup rambutnya, sementara wangi bunga lavender di sekeliling taman membuat suasana semakin hangat.Raka, yang sedang menyalakan lilin terakhir, menoleh sambil tersenyum. “Mungkin aku memang tidak pandai menyimpan rahasia,” balasnya santai, “tapi aku pandai membuatmu tersenyum, ‘kan?”Citra tertawa kecil, melipat tangannya di dada. “Yah, setidaknya itu benar. Tapi serius, Mas. Apa ini semua untukku?”Raka berjalan mendekat, menarik kursi untuk Citra agar duduk. “Menurutmu?” tanyanya balik sambil memasang senyum jahil.“Hmm, kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?” jawab Citra sambil duduk. Ia memandangi meja kecil itu, dihiasi taplak sederhana berwarna putih dengan beberapa tangkai bunga mawar merah. Di tengah meja, lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya hangat yang memantul di matanya.Raka du
“Mas, aku ingin mengadakan syukuran kecil,” ujar Citra tiba-tiba di ruang makan saat mereka sedang sarapan. Ia menatap suaminya yang tengah sibuk dengan layar ponselnya. “Kita bisa undang keluarga dan teman-teman dekat. Hanya acara sederhana untuk merayakan kehamilan ini.”Raka mendongak, alisnya terangkat. “Syukuran? Apa tidak terlalu merepotkan? Bukankah kita bisa merayakannya berdua saja?”Citra tertawa kecil. “Mas, ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan ini. Lagipula, sudah lama kita tidak berkumpul dengan orang-orang terdekat sejak kejadian itu.”“Tapi, Cit…” Raka mencoba membantah, namun pandangan penuh harap dari istrinya membuatnya menahan diri. “Apa tidak lebih baik kalau kita fokus saja pada persiapan nanti setelah bayi lahir?”Citra menggeleng. “Bayi ini belum lahir, tapi aku ingin semua orang tahu betapa bersyukurnya kita. Acara ini tidak harus besar, hanya sekadar makan bersama dan doa sederhana.”Raka menghela napas, mencoba mencari ala
“Citra, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kamu,” suara Raka terdengar pelan, namun ada kejujuran mendalam di dalamnya. Ia menatap Citra yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memandanginya dengan penuh perhatian. “Kamu begitu sabar menghadapi semua kekacauan ini.”Citra menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir teh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ada sedikit keheranan di wajahnya. “Kenapa tiba-tiba bicara begitu, Mas? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”“Tidak, ini lebih dari itu,” jawab Raka, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Aku seringkali lupa bahwa kamu juga ikut menanggung semua beban ini, bahkan ketika itu bukan kesalahanmu.”Citra tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu membuatku terdengar seperti pahlawan, padahal aku cuma ingin kita melewati semuanya bersama. Bagaimanapun juga, keluarga ini adalah bagian dari hidupku.”Rak
“Baik, semua sudah berkumpul?” Raka membuka suara dengan tenang tetapi tegas, berdiri di tengah ruang keluarga besar Bramantyo.Anggota keluarga yang hadir saling pandang, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Kakek Bramantyo duduk di samping Arga, terlihat waspada. Nadya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi datar, meskipun jari-jarinya saling menggenggam erat.“Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada keluarga ini,” lanjut Raka. “Ini menyangkut kejujuran, kehormatan, dan kepercayaan dalam keluarga besar kita.”Citra yang duduk di dekatnya menatap Raka dengan dukungan penuh. Ia tahu betapa pentingnya momen ini untuk membongkar semua kebohongan yang telah merusak kedamaian keluarga mereka.“Raka, langsung saja ke intinya,” suara dingin Kakek Bramantyo terdengar. “Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?”Raka menarik napas panjang. “Saya memiliki bukti bahwa Nadya selama ini telah membohongi kita semua.”“Raka!” Nadya langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Jangan bi
“Arga, aku perlu bicara sekarang. Ini penting,” kata Raka dengan nada serius saat memasuki ruang kerja Arga.Arga yang sedang membaca dokumen mendongak, memasang ekspresi sedikit terganggu. “Apa lagi kali ini, Bang? Aku lelah dengan masalah keluarga yang sepertinya terus dibesar-besarkan.”Raka mendekat, meletakkan amplop cokelat di meja. “Bukan aku yang membesar-besarkan. Ini soal Nadya. Aku rasa kamu perlu melihat ini.”Arga mengernyit, tetapi tetap membuka amplop itu. Di dalamnya ada laporan DNA, beberapa foto, dan transkrip percakapan yang telah disusun oleh Budi.“Apa ini?” tanya Arga dengan suara rendah, tetapi jelas menunjukkan ketegangan.“Laporan DNA,” jawab Raka singkat. “Lengkapnya kamu bisa membaca dokumen itu.” Raka memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.Arga menatap laporan itu dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu pasti bercanda. Untuk apa sampai test DNA segala?"“Arga,” Raka menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi semua bu
“Mas, aku harus bicara sama Nadya. Ini sudah keterlaluan,” kata Citra dengan nada tegas, menatap Raka yang sedang duduk di meja kerjanya.Raka menghela napas panjang. “Sayang, aku tahu kamu marah. Tapi ini bukan cara yang tepat. Nadya bisa memutarbalikkan semua perkataanmu.”“Justru karena itu aku harus bicara langsung. Kalau aku diam terus, dia akan merasa menang dan terus menyebarkan fitnahnya. Aku nggak mau keluarga kita hancur karena dia,” jawab Citra dengan sorot mata yang tajam.Raka bangkit dari kursinya dan mendekati Citra. “Aku ngerti perasaanmu, tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kamu terpancing emosinya. Nadya itu licik.”“Aku nggak akan marah, Mas. Aku cuma mau dia tahu kalau aku nggak akan tinggal diam,” kata Citra sambil menggenggam tangan Raka.Raka menatap istrinya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi aku tetap ada di dekatmu. Kalau dia mulai melampaui batas, aku akan turun tangan.”*Citra berjalan di ruang tamu, di mana Nadya sedang duduk santai sambil
“Tante Dewi, saya benar-benar nggak tahu lagi harus bagaimana…” Nadya berkata pelan, suaranya dibuat terdengar lemah. Ia duduk di ruang tamu sambil menundukkan kepala, sesekali mengusap matanya seolah mencoba menahan tangis.Bu Dewi, salah satu anggota keluarga Bramantyo, yang duduk di depannya menghela napas. “Nadya, kamu kenapa? Kok kelihatan sedih sekali?”“Saya hanya merasa semua orang di rumah ini sudah nggak peduli sama saya, Tante. Mereka hanya pura-pura baik demi menjaga nama baik keluarga besar. Apalagi Raka dan Citra…” Nadya terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan.Mata Bu Dewi menyipit, penasaran. “Kenapa dengan Raka dan Citra?”Nadya memainkan ujung kerudungnya, berpura-pura ragu. “Saya nggak mau menuduh, Tante, tapi saya lihat mereka itu seperti hanya berpura-pura bahagia. Semuanya terasa… palsu. Mungkin demi menyenangkan Kakek Bramantyo saja.”Bu Dewi terdiam, memikirkan kata-kata Nadya. “Maksudmu, mereka tidak benar-benar bahagia?”“Entahlah, Tante. Tapi setiap kali say