“Kakek benar-benar serius, ya,” kata Citra pelan kepada Raka setelah makan malam selesai dan mereka berdua sedang menuju rumah mereka.Raka menatapnya sejenak. “Kakek selalu serius dengan apa yang diinginkannya.”Citra menghela napas panjang. Ia tahu Kakek sangat menginginkan cucu dari mereka. Tetapi, situasinya tidak semudah itu, membuat Citra semakin tertekan dengan semua ini."Mas, kamu ada ide nggak gimana caranya kita bisa nolak permintaan Kakek?" Citra bertanya dengan suara lembut, mengalihkan pandangannya dari jendela mobil.Raka menoleh sekilas, tersenyum tipis melihat wajah istrinya yang tampak serius. "Tolak apa?" tanyanya, meski dia tahu pasti apa yang dimaksud Citra."Ya, soal bulan madu itu. Kakek pengen kita bulan madu kan, Mas. Aku nggak enak kalau kita bilang nggak bisa," jawab Citra, nadanya terdengar cemas. “Bagaimana dengan alasan, kalau Mas nggak bisa ambil libur karena pekerjaan?” lanjut Citra sambil menjentikan jarinya, seakan menemukan sebuah ide baru. Raka ter
“Arga! Kamu ini gimana sih?!” suara Nadya terdengar tajam saat ia membanting pintu kamar mereka. Wajahnya memerah karena marah. Setelah acara makan malam, amarahnya tak tertahan lagi. Nadya melempar tasnya ke tempat tidur dengan kasar.Arga yang baru saja masuk kamar setelah menutup pintu, menghela napas berat. Ia tahu, masalah ini akan meledak. "Kamu kenapa lagi, sih?" tanya Arga dengan nada lelah. Ia tahu jawaban yang akan keluar, tapi tetap mencoba mendengar penjelasan dari istrinya.“Kamu nanya kenapa?” seru Nadya, matanya berkilat marah. “Citra lagi-lagi yang menang! Kakek jelas-jelas lebih membela dia daripada kita! Dan kamu? Kamu diem aja! Apa kamu nggak lihat tadi?!”Arga menatap Nadya dengan mata setengah tertutup, mencoba menahan emosinya yang juga sudah berada di ujung tanduk. “Aku diem bukan berarti aku nggak peduli, Nad. Kamu juga tahu Kakek itu nggak suka kalau kita bikin masalah di depan orang lain.”Nadya mendengus, melipat tangan di dadanya. “Oh, jadi kamu sekarang b
"Mas ... Lihat ini deh," Citra menggumam sambil menatap layar ponselnya dengan mata masih setengah terbuka. Ia baru saja terbangun dari tidur yang tak begitu panjang. Ketika tangannya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, sebuah pesan dari Bramantyo langsung menarik perhatiannya.Raka yang sedang berdiri di dapur, menoleh sebentar."Kakek kirim voucher hotel bintang lima di Bandung. Katanya buat bulan madu yang tertunda..." Citra mendesah panjang. Ia tahu benar sifat keras Kakek Bramantyo, dan menolak permintaan beliau bukanlah sesuatu yang mudah."Aku jadi nggak enak. Kayak... kok kakek harus repot-repot begini?" Citra melanjutkan masih dengan merasa tak enak."Kalau kamu merasa nggak enak, telepon aja kakek. Bilang terima kasih." Raka menatap Citra dengan ekspresi tenang."Ya, aku memang mau telepon Kakek," jawab Citra. Dia langsung mencari nomor Bramantyo. Tak butuh waktu lama sebelum suara ceria kakeknya terdengar di ujung sana."Halo, Citra! Kamu sudah lihat vouchernya, ‘ka
“Kakek serius, pesan kamar VVIP di hotel bintang lima?” Nadya menempelkan telinganya di pintu ruang kerja Bramantyo, menguping percakapan telepon kakeknya dengan asistennya. Wajahnya yang semula datar perlahan berubah geram. “Untuk Citra dan Raka?!” Dia mendengar Bramantyo tertawa kecil sebelum berkata, “Pastikan semua fasilitas terbaik disiapkan untuk mereka. Raka dan Citra harus mendapat layanan istimewa selama di sana. Aku tidak mau ada yang kurang.” Mendengar itu, darah Nadya mendidih. Tanpa berpikir panjang, dia langsung berlari kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Nadya duduk di tepi ranjang dan cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tangannya gemetar saat mencari nama Arga di kontaknya. Setelah menemukannya, dia menekan tombol panggil dan menunggu. “Halo?” Suara Arga terdengar lemah di seberang sana, seakan-akan dia baru saja bangun tidur atau lebih tepatnya sedang tidak berminat menerima telepon. “Arga, kamu harus dengar ini.” Nadya berbicara dengan nada mend
“Kamu yakin kita enggak lupa bawa apa-apa, Mas?” Citra bertanya sambil melirik koper yang sudah rapi di dekat pintu. Dia sudah bangun sejak subuh untuk menyiapkan sarapan ringan bagi mereka berdua. Ini pertama kalinya dia merasa begitu bersemangat setelah sekian lama, terutama sejak kematian ibunya.“Sudah, tenang saja,” jawab Raka sambil tersenyum kecil. Dia bisa melihat rona semangat di wajah Citra. “Lagipula, kalau ada yang lupa, nanti bisa kita beli di sana.”Citra mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, aku cuma nggak pengen ada yang ketinggalan, soalnya dulu, aku jarang bisa jalan-jalan kayak gini. Paling-paling cuma waktu study tour sekolah.”Raka tertawa kecil mendengar itu. “Pantas kamu kelihatan semangat.”“Iya, dulu aku cuma bisa jalan-jalan waktu study tour, itu pun cuma ke tempat-tempat biasa,” Citra terkekeh pelan sambil memasukkan beberapa kotak bekal kecil ke dalam tas. Raka tersenyum, senang melihat Citra begitu bersemangat. Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil,
“Surprise!” seru Nadya dengan senyum lebar. “Kami juga ke sini buat bulan madu!”“Apa?” Citra hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kalian juga menginap di sini?”Arga yang berdiri di sebelah Nadya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Ya, kita pikir ini bakal seru kalau kita semua di sini bareng-bareng.”Citra yang masih terkejut hanya bisa memandang Raka dengan kebingungan. Mencoba mencari penjelasan dari Raka, karena seingatnya Kakek juga tidak mengatakan perihal Arga dan Nadya yang akan bulan madu bersama. Sementara itu, Raka hanya menatap tak suka pada Arga, jelas merasa terganggu dengan kedatangan pasangan itu.Nadya tidak memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Citra atau Raka. Dia justru masuk ke kamar mereka tanpa permisi, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Sekaligus memastikan bahwa fasilitas yang diberikan pada Citra, juga harus dia nikmati. Arga tersenyum, "Kebetulan aja kami dapat izin juga. Jadi kami pikir, kenapa nggak bulan madu
"Mas Raka, tidur di sofa semalaman?" Citra terbangun pagi itu dan mendapati Raka meringkuk di sofa dengan selimut tipis. Ia berjalan perlahan mendekat dan duduk di tepi sofa, menatap Raka dengan rasa bersalah.Raka tidak menjawab, masih tertidur lelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak damai. Citra menghela napas pelan, lalu mengambil selimut tebal dari tempat tidur dan menyelimuti tubuh Raka yang tampak kedinginan.“Semua ini dibiayai oleh Kakek Bramantyo, tapi malah kamu yang harus tidak nyaman tidur di sofa,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Setelah memastikan Raka tertutup rapat oleh selimut, Citra berdiri, mengambil handuk, dan menuju kamar mandi.*Setelah mandi, Citra memutuskan untuk keluar kamar lebih dulu. Udara pagi yang sejuk menyegarkan tubuhnya yang masih sedikit pegal. Ia memutuskan untuk pergi ke kolam renang, berharap bisa sedikit relaksasi dengan berenang. Tapi begitu sampai di sana, langkahnya langsung terhenti."Arga?" bisik Citra, wajahnya berubah
Saat mereka berjalan kembali menuju kamar setelah sarapan, seorang staff hotel menghampiri mereka dengan senyum ramah, "Permisi, Bu Citra. Saat ini sedang ada kelas yoga di taman belakang, mungkin Bu Citra tertarik untuk mengikutinya?" Citra berhenti sejenak dan menatap Raka, seakan meminta persetujuan dari pria itu. Raka tersenyum tipis dan mengangguk kecil. "Baiklah, saya ikut." Citra akhirnya setuju untuk ikut kelas yoga, dan mengikuti langkah staff menuju taman belakang. Namun, tak disangka, saat tiba di kelas yoga, dia melihat sosok yang tidak diharapkan—Nadya.“Citra?” Nadya melirik ke arahnya dengan tatapan sinis. “Nggak nyangka kita ketemu di sini.”Citra tersenyum kaku. “Ya, siapa yang nyangka.”Instruktur yoga datang dan menyambut mereka berdua dengan ramah, “Selamat datang di kelas yoga pagi ini. Hari ini kita akan fokus pada pasangan pose. Jadi, kalian berdua akan bekerja sama.”Citra menghela napas pelan, berharap semuanya berjalan lancar. Mereka memulai pose-pose yog
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
Arga, kamu kelihatan tegang sekali," suara Nadya terdengar santai di belakang Arga yang sejak tadi mondar-mandir di kamar mereka. Arga berhenti, menatap Nadya dengan wajah cemas. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Nadya. Ini... ini di luar kendaliku. Citra … dia pingsan karena aku," Arga mengusap wajahnya, tampak bingung. Nadya justru tersenyum tipis, tak terlihat cemas sedikit pun. "Menurutku, apa yang kamu lakukan nggak salah. Malah seharusnya sudah lama dilakukan. Kamu kan tahu, hamilnya Citra justru membuat kita semakin terancam di keluarga ini." Saat Arga mengonfrontasi Citra, Nadya ada di sana. Diam-diam melihat mereka berdua bertengkar di balik pilar. Nadya senang Arga bisa meluapkan kekesalan pada Citra karena selama ini Arga selalu membela Citra padahal jelas-jelas selama ini Nadya yang selalu ada untuk Arga. Arga mendelik ke arah Nadya, terkejut mendengar ucapannya. "Kamu ... benar-benar nggak merasa bersalah, ya? Citra itu sedang hamil dan aku mendorongnya! Bagaimana kalau
"Citra, kamu sudah sadar?" Suara lembut Raka menyapa saat Citra perlahan membuka mata.Citra mengerjap, melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia berada di ruangan putih dengan peralatan medis. Napasnya pelan dan lemah.Wajah Raka terlihat khawatir di sebelahnya, sedangkan kakek Bramantyo yang duduk di kursi sebelahnya, tampak menunjukkan raut kelegaan di wajahnya yang tua dan berwibawa itu."Mas Raka… Kakek… Kenapa aku ada di sini?" Citra bertanya, suaranya serak dan pelan.Raka menatapnya dalam, ada pancaran kemarahan matanya, tetapi Raka tetap terlihat tenang. "Aku yang harusnya bertanya, Citra. Bagaimana kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi sebelum itu?"Citra mengerutkan keningnya, mengingat kejadian saat itu. "Aku ... aku terjatuh, Mas.""Terjatuh? Apa maksudnya kamu terjatuh?" tanya Raka pelan dan dingin. Tidak mungkin Citra bisa ceroboh dengan terjatuh sendiri dan Raka juga tidak bodoh untuk mengerti bahwa mungkin ada seseorang yang ingin mencelakakan istrinya. “Katakan padaku
Setelah makan malam merayakan ulang tahun Kakek Bramantyo, Kakek Bramantyo memanggil Raka ke ruangannya dan berbicara berdua.Entah apa yang kakeknya dan cucu terbuang itu bicarakan, tetapi Arga menjadi semakin sebal melihat kepergiam Raka bersama Kakek Bramantyo dan mengetahui Citra kini telah hamil.Kepalan tangan di kedua sisi tubuh Arga mengerat dan rahangnya mengeras. Posisinya kini benar-benar terancam dan Arga tidak bisa membiarkan hal itu lebih parah lagi.Tanpa pikir panjang Arga menghampiri Citra yang ditinggal sendiri oleh Raka.“Citra, kamu sengaja, ‘kan?!” Arga mendesis sambil melangkah mendekati Citra yang duduk sendirian di ruang tamu.Citra mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Arga. “Apa maksudmu, Arga? Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”Arga mencibir, matanya berkedip penuh amarah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti merasa menang sekarang karena berhasil hamil. Kamu pikir kamu bisa menguasai keluarga Bramantyo hanya karena itu?”Napas Citra tertahan
“Sayang, kamu yakin kuat?” tanya Raka, menatap Citra dengan penuh perhatian sambil mengulurkan tangannya.Citra tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Raka. “Iya, aku baik-baik saja, Mas. Lagipula, ini kan ulang tahun kakek. Masa aku nggak datang?”Mendengar ucapan Citra, Raka tampak ragu. “Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi, aku nggak mau kalau Nadya berpikir aku takut sama dia kalau sampai nggak datang ke ulang tahun Kakek,” jawab Citra dengan tegas.Raka mengangguk, “Baiklah, asal kamu janji nggak memaksakan diri. Kalau mulai capek atau nggak enak badan, kamu bilang, ya.”Citra tersenyum dan mengangguk. “Pasti. Terima kasih ya, Mas.”Mereka kemudian berjalan menuju pintu depan rumah besar keluarga Bramantyo dengan hadiah di tangan. Raka masih sesekali melirik Citra, memastikan istrinya baik-baik saja. Begitu pintu terbuka, aroma masakan menguar dari ruang makan.“Selamat ulang tahun, Kek!” seru Citra ceria saat melihat Kakek Bramantyo duduk di ujung meja.Kakek Bramantyo langsung