“Kamu yakin kita enggak lupa bawa apa-apa, Mas?” Citra bertanya sambil melirik koper yang sudah rapi di dekat pintu. Dia sudah bangun sejak subuh untuk menyiapkan sarapan ringan bagi mereka berdua. Ini pertama kalinya dia merasa begitu bersemangat setelah sekian lama, terutama sejak kematian ibunya.“Sudah, tenang saja,” jawab Raka sambil tersenyum kecil. Dia bisa melihat rona semangat di wajah Citra. “Lagipula, kalau ada yang lupa, nanti bisa kita beli di sana.”Citra mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, aku cuma nggak pengen ada yang ketinggalan, soalnya dulu, aku jarang bisa jalan-jalan kayak gini. Paling-paling cuma waktu study tour sekolah.”Raka tertawa kecil mendengar itu. “Pantas kamu kelihatan semangat.”“Iya, dulu aku cuma bisa jalan-jalan waktu study tour, itu pun cuma ke tempat-tempat biasa,” Citra terkekeh pelan sambil memasukkan beberapa kotak bekal kecil ke dalam tas. Raka tersenyum, senang melihat Citra begitu bersemangat. Keduanya kemudian masuk ke dalam mobil,
“Surprise!” seru Nadya dengan senyum lebar. “Kami juga ke sini buat bulan madu!”“Apa?” Citra hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kalian juga menginap di sini?”Arga yang berdiri di sebelah Nadya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Ya, kita pikir ini bakal seru kalau kita semua di sini bareng-bareng.”Citra yang masih terkejut hanya bisa memandang Raka dengan kebingungan. Mencoba mencari penjelasan dari Raka, karena seingatnya Kakek juga tidak mengatakan perihal Arga dan Nadya yang akan bulan madu bersama. Sementara itu, Raka hanya menatap tak suka pada Arga, jelas merasa terganggu dengan kedatangan pasangan itu.Nadya tidak memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Citra atau Raka. Dia justru masuk ke kamar mereka tanpa permisi, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Sekaligus memastikan bahwa fasilitas yang diberikan pada Citra, juga harus dia nikmati. Arga tersenyum, "Kebetulan aja kami dapat izin juga. Jadi kami pikir, kenapa nggak bulan madu
"Mas Raka, tidur di sofa semalaman?" Citra terbangun pagi itu dan mendapati Raka meringkuk di sofa dengan selimut tipis. Ia berjalan perlahan mendekat dan duduk di tepi sofa, menatap Raka dengan rasa bersalah.Raka tidak menjawab, masih tertidur lelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak damai. Citra menghela napas pelan, lalu mengambil selimut tebal dari tempat tidur dan menyelimuti tubuh Raka yang tampak kedinginan.“Semua ini dibiayai oleh Kakek Bramantyo, tapi malah kamu yang harus tidak nyaman tidur di sofa,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Setelah memastikan Raka tertutup rapat oleh selimut, Citra berdiri, mengambil handuk, dan menuju kamar mandi.*Setelah mandi, Citra memutuskan untuk keluar kamar lebih dulu. Udara pagi yang sejuk menyegarkan tubuhnya yang masih sedikit pegal. Ia memutuskan untuk pergi ke kolam renang, berharap bisa sedikit relaksasi dengan berenang. Tapi begitu sampai di sana, langkahnya langsung terhenti."Arga?" bisik Citra, wajahnya berubah
Saat mereka berjalan kembali menuju kamar setelah sarapan, seorang staff hotel menghampiri mereka dengan senyum ramah, "Permisi, Bu Citra. Saat ini sedang ada kelas yoga di taman belakang, mungkin Bu Citra tertarik untuk mengikutinya?" Citra berhenti sejenak dan menatap Raka, seakan meminta persetujuan dari pria itu. Raka tersenyum tipis dan mengangguk kecil. "Baiklah, saya ikut." Citra akhirnya setuju untuk ikut kelas yoga, dan mengikuti langkah staff menuju taman belakang. Namun, tak disangka, saat tiba di kelas yoga, dia melihat sosok yang tidak diharapkan—Nadya.“Citra?” Nadya melirik ke arahnya dengan tatapan sinis. “Nggak nyangka kita ketemu di sini.”Citra tersenyum kaku. “Ya, siapa yang nyangka.”Instruktur yoga datang dan menyambut mereka berdua dengan ramah, “Selamat datang di kelas yoga pagi ini. Hari ini kita akan fokus pada pasangan pose. Jadi, kalian berdua akan bekerja sama.”Citra menghela napas pelan, berharap semuanya berjalan lancar. Mereka memulai pose-pose yog
Raka menoleh ke arah Citra yang duduk diam di sebelahnya, pandangannya lurus ke depan, namun matanya kosong. Perjalanan pulang menuju Jakarta terasa begitu sunyi sejak mereka meninggalkan Bandung.Citra tidak sekalipun mengalihkan pandangan dari jendela mobil. Suara mesin mobil dan deru jalan tol menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Raka sesekali melirik Citra, mencoba membaca ekspresinya yang terlihat hampa. Dalam benaknya, Raka masih memikirkan ucapan ayah Arga tadi—tuduhan yang tidak masuk akal, namun menohok. Dia tahu Citra tidak mungkin melakukan hal sekejam itu, tapi tanpa bukti, apa yang bisa dia lakukan sekarang?Setelah mereka sampai di rumah, Citra bergegas menuju kamarnya tanpa berkata apa-apa. Raka bisa merasakan kesedihan dan rasa frustasi yang begitu kuat dari gerak-geriknya. Sebelum Citra menutup pintu kamarnya, Raka memanggilnya."Citra."Citra berhenti, namun tidak langsung berbalik. Dia hanya menung
"Arga, kamu benar-benar tidak bisa diandalkan," suara Andi terdengar dingin namun mengancam di ujung telepon. Arga menahan napas sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi mulutnya terasa terkunci. Tak ada jawaban yang keluar. "Bagaimana kamu bisa membiarkan Nadya kehilangan bayi kalian? Itu satu-satunya jalan untuk membuat Kakek Bramantyo sedikit melunak terhadapmu," lanjut Andi, dengan nada penuh penekanan. "Sekarang kamu sudah gagal dalam hal itu, jangan sampai kamu juga gagal dalam proyek kita." "Aku tahu, Pa," jawab Arga akhirnya, suaranya pelan, seakan kehilangan tenaga. Andi mendengus, "Apa gunanya tahu kalau kau tak bisa bertindak dengan benar? Kamu seharusnya lebih fokus menjaga kandungan Nadya. Sekarang semuanya berantakan." Andi menambahkan dengan suara semakin rendah namun tajam, "Jika kamu tak bisa diandalkan dalam menjaga anak, bagaimana kamu bisa dipercaya dalam mengurus perusahaan?" Arga masih diam, rasa tertekan semakin menyeruak dalam dadanya. Dia mem
"Citra, ngapain kamu ke sini?" Nadya langsung menyambut kedatangan Citra dengan tatapan dingin begitu dia memasuki kamar rumah sakit. Citra menghentikan langkahnya, merasa canggung di bawah tatapan Nadya, ayah, dan ibu tirinya yang duduk di sebelah ranjang. Dari semua orang di ruangan itu, hanya ayahnya yang tampak diam, menundukkan kepala tanpa menyapa. Ibu tiri Citra, Anita, langsung menatapnya dengan mata menyipit, seolah keberadaan Citra sudah cukup untuk membuat suasana semakin panas. "Aku... aku cuma ingin memastikan Nadya baik-baik saja," Citra menjawab pelan, suaranya bergetar. Dia tidak menyangka akan menemukan keluarganya di sini, terlebih dengan suasana yang penuh ketegangan. "Baik-baik saja?" Nadya tertawa pendek, namun terdengar sinis. "Kamu pikir aku bisa baik-baik saja setelah apa yang kamu lakukan?" Citra menggigit bibir, merasa serba salah. "Aku nggak bermaksud... Aku benar-benar nggak sengaja waktu itu. Aku nggak menarik kamu dengan keras, Nadya." "Nggak
"Argaku sayang, aku sudah boleh pulang," ujar Nadya dengan senyuman manis, sambil merapikan rambutnya yang tampak masih rapi, meski baru saja keluar dari masa perawatan.Arga, yang sedang sibuk membereskan tas di sampingnya, menoleh dengan wajah bingung. "Cepat sekali kamu pulih, Nadya. Padahal kemarin masih lemah, sekarang malah terlihat seperti nggak pernah sakit."Nadya tertawa kecil. "Dari dulu aku memang cepet sembuh. Selain itu, pengobatan di rumah sakit ini mahal, jadi hasilnya juga pasti lebih cepat."Hening sejenak, tapi kemudian Nadya kembali berucap dengan lugas. "Sungguh aku puas sekali dengan layanan di rumah sakit ini. Benar benar membuat orang sakit cepat sembuh."Arga hanya mengangguk, walaupun ada rasa curiga yang masih tersisa. "Ya... mungkin memang karena perawatannya bagus."Nadya melirik ke arah jendela kamar rumah sakit sambil tersenyum tipis. "Aku bilang, kan, kamu nggak perlu khawatir."Tanpa berdebat lebih jauh, Arga berdiri dan mengambil tas yang tadi ia siap
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay
"Ibu!" suara Citra menggema di ruang tamu yang sudah tegang sejak mereka tiba. "Aku nggak bisa diam begitu saja setelah apa yang Ibu katakan tadi. Jelaskan sekarang! Apa maksud Ibu dengan semua tuduhan itu tentang ibu kandungku?"Anita, yang sedang menuang teh ke cangkir, berhenti sejenak. Ia menatap Citra dengan tatapan dingin, lalu meletakkan teko perlahan. "Kamu benar-benar ingin tahu, Citra? Aku rasa kamu nggak akan suka jawabannya.""Aku nggak peduli! Aku berhak tahu!" Citra membalas dengan nada penuh emosi.Ahmad, yang duduk di kursi seberang, mencoba meredakan suasana. "Sudahlah, Anita. Ini bukan waktunya membahas hal-hal seperti ini."Namun Anita hanya mendengus kesal. "Diam, Mas. Ini saatnya kebenaran keluar. Selama ini kamu selalu berlindung di balik kesopananmu, tapi semua ini terjadi karena keputusan bodohmu sendiri."Ahmad menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Sementara itu, Citra menatap mereka bergantian, hatinya terasa berat."Dulu, aku nggak puny
"Mas, aku nggak tenang," suara Citra terdengar lirih saat ia duduk di sofa, tangannya memegang perutnya yang semakin membesar. "Nadya nggak kasih kabar sama sekali. Aku nggak tahu dia di mana atau gimana keadaannya."Raka meletakkan koran yang sejak tadi ia baca, menatap istrinya dengan penuh perhatian. "Citra, kamu harus fokus sama kesehatanmu dan bayi kita. Jangan terlalu stres.""Aku nggak bisa," Citra membalas cepat. "Dia saudara aku, Mas. Kalau aku diam saja, aku nggak tahu apa yang mungkin terjadi padanya. Aku harus cari dia."Raka menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Kamu ini keras kepala, ya. Kamu tahu nggak kalau sekarang prioritas kamu itu diri kamu sendiri dan bayi ini? Nadya itu sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya, Mas!" Citra menaikkan nada suaranya sedikit. "Nadya bukan tipe orang yang diam saja kalau ada masalah. Dia pasti sedang dalam kondisi buruk kalau sampai menghilang seperti ini. Aku mohon, temani aku cari dia."Raka terdiam, melih