Raka menoleh ke arah Citra yang duduk diam di sebelahnya, pandangannya lurus ke depan, namun matanya kosong. Perjalanan pulang menuju Jakarta terasa begitu sunyi sejak mereka meninggalkan Bandung.Citra tidak sekalipun mengalihkan pandangan dari jendela mobil. Suara mesin mobil dan deru jalan tol menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Raka sesekali melirik Citra, mencoba membaca ekspresinya yang terlihat hampa. Dalam benaknya, Raka masih memikirkan ucapan ayah Arga tadi—tuduhan yang tidak masuk akal, namun menohok. Dia tahu Citra tidak mungkin melakukan hal sekejam itu, tapi tanpa bukti, apa yang bisa dia lakukan sekarang?Setelah mereka sampai di rumah, Citra bergegas menuju kamarnya tanpa berkata apa-apa. Raka bisa merasakan kesedihan dan rasa frustasi yang begitu kuat dari gerak-geriknya. Sebelum Citra menutup pintu kamarnya, Raka memanggilnya."Citra."Citra berhenti, namun tidak langsung berbalik. Dia hanya menung
"Arga, kamu benar-benar tidak bisa diandalkan," suara Andi terdengar dingin namun mengancam di ujung telepon. Arga menahan napas sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi mulutnya terasa terkunci. Tak ada jawaban yang keluar. "Bagaimana kamu bisa membiarkan Nadya kehilangan bayi kalian? Itu satu-satunya jalan untuk membuat Kakek Bramantyo sedikit melunak terhadapmu," lanjut Andi, dengan nada penuh penekanan. "Sekarang kamu sudah gagal dalam hal itu, jangan sampai kamu juga gagal dalam proyek kita." "Aku tahu, Pa," jawab Arga akhirnya, suaranya pelan, seakan kehilangan tenaga. Andi mendengus, "Apa gunanya tahu kalau kau tak bisa bertindak dengan benar? Kamu seharusnya lebih fokus menjaga kandungan Nadya. Sekarang semuanya berantakan." Andi menambahkan dengan suara semakin rendah namun tajam, "Jika kamu tak bisa diandalkan dalam menjaga anak, bagaimana kamu bisa dipercaya dalam mengurus perusahaan?" Arga masih diam, rasa tertekan semakin menyeruak dalam dadanya. Dia mem
"Citra, ngapain kamu ke sini?" Nadya langsung menyambut kedatangan Citra dengan tatapan dingin begitu dia memasuki kamar rumah sakit. Citra menghentikan langkahnya, merasa canggung di bawah tatapan Nadya, ayah, dan ibu tirinya yang duduk di sebelah ranjang. Dari semua orang di ruangan itu, hanya ayahnya yang tampak diam, menundukkan kepala tanpa menyapa. Ibu tiri Citra, Anita, langsung menatapnya dengan mata menyipit, seolah keberadaan Citra sudah cukup untuk membuat suasana semakin panas. "Aku... aku cuma ingin memastikan Nadya baik-baik saja," Citra menjawab pelan, suaranya bergetar. Dia tidak menyangka akan menemukan keluarganya di sini, terlebih dengan suasana yang penuh ketegangan. "Baik-baik saja?" Nadya tertawa pendek, namun terdengar sinis. "Kamu pikir aku bisa baik-baik saja setelah apa yang kamu lakukan?" Citra menggigit bibir, merasa serba salah. "Aku nggak bermaksud... Aku benar-benar nggak sengaja waktu itu. Aku nggak menarik kamu dengan keras, Nadya." "Nggak
"Argaku sayang, aku sudah boleh pulang," ujar Nadya dengan senyuman manis, sambil merapikan rambutnya yang tampak masih rapi, meski baru saja keluar dari masa perawatan.Arga, yang sedang sibuk membereskan tas di sampingnya, menoleh dengan wajah bingung. "Cepat sekali kamu pulih, Nadya. Padahal kemarin masih lemah, sekarang malah terlihat seperti nggak pernah sakit."Nadya tertawa kecil. "Dari dulu aku memang cepet sembuh. Selain itu, pengobatan di rumah sakit ini mahal, jadi hasilnya juga pasti lebih cepat."Hening sejenak, tapi kemudian Nadya kembali berucap dengan lugas. "Sungguh aku puas sekali dengan layanan di rumah sakit ini. Benar benar membuat orang sakit cepat sembuh."Arga hanya mengangguk, walaupun ada rasa curiga yang masih tersisa. "Ya... mungkin memang karena perawatannya bagus."Nadya melirik ke arah jendela kamar rumah sakit sambil tersenyum tipis. "Aku bilang, kan, kamu nggak perlu khawatir."Tanpa berdebat lebih jauh, Arga berdiri dan mengambil tas yang tadi ia siap
"Mas, kenapa kita harus ke sini? Kamu yakin ini cuma pertemuan keluarga biasa?" Citra berbisik dengan cemas, menggenggam tangan Raka saat mereka melangkah masuk ke rumah besar milik Kakek Bramantyo. "Tenang, Citra. Kita diundang, pasti ada sesuatu yang penting," Raka menjawab dengan suara tenang, tapi matanya waspada, seolah sudah tahu lebih banyak dari yang ia ungkapkan. Begitu mereka masuk ke ruang tengah, Nadya, yang sudah duduk dengan percaya diri, langsung menatap Citra dengan senyum sinis. "Oh, Citra... akhirnya datang juga. Sebaiknya kamu siap-siap saja dimarahi habis-habisan oleh Kakek. Setelah keguguran yang aku alami, Kakek pasti sangat kecewa. Apalagi setelah berita itu menyebar, Kakek nggak pernah menghubungi kamu lagi, ‘kan?" Citra terdiam. Kata-kata Nadya membuat kecemasannya semakin menjadi. Benar, sejak berita tentang keguguran Nadya, Kakek Bramantyo memang tidak pernah menghubunginya. Apakah benar dia akan disalahkan? Raka, merasakan kegelisahan Citra, menggengga
"Papa tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud berbuat seperti ini. Ini semua karena aku begitu mencintai Arga," suara Nadya bergetar, wajahnya basah oleh air mata, masih duduk di lantai ruang keluarga Kakek Bramantyo. Semua orang sudah pergi meninggalkannya, dan kini hanya ada dia dan Andi, yang baru saja datang kembali.Andi memandang Nadya dengan ekspresi dingin, tatapannya sulit diartikan. Ia tidak langsung menjawab permohonan Nadya, hanya berdiri diam di ambang pintu, mengamati dengan teliti. Nadya merasa jantungnya berdegup kencang, takut akan apa yang akan dikatakan Andi.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Andi akhirnya membuka suara."Apa kamu sungguh mencintai Arga?" tanya Andi, suaranya datar, tanpa emosi.Nadya mengangguk dengan cepat. "Tentu saja, Pa! Aku sangat mencintai Arga. Aku melakukan ini karena aku takut kehilangannya. Aku... aku terlalu takut jika dia akan meninggalkanku," jawabnya terbata-bata.Andi menarik napas panjang dan kemudian menghela d
Setelah beberapa hari Citra tidak dapat tidur dengan nyenyak karena hatinya cemas dan dipenuhi rasa bersalah, kali ini Citra merasa puas karena kembali bisa beristirahat dengan nyenyak. Citra terbangun dan duduk di tepi ranjang sambil tersenyum kecil. Mengingat permasalah yang memberatkan hatinya kini sudah terselesaikan. Ia kemudian beranjak dari kamar menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja kakinya melangkah. Ia mendapati Raka ternyata sudah bagun lebih dulu, bahkan pria itu kini terlihat sudah berpakaian rapi. Raka menyesap tehnya sambil membaca koran. Di samping Raka, Citra mendapati keranjang yang berisi makanan serta tikar. Kening Citra mengernyit heran, “Mas, kamu mau pergi hari ini?” Mendengar pertanyaan Citra, Raka menaruh korannya di atas meja, “Ya, kita akan pergi hari ini.”“Kita? Pergi kemana?” Seingat Citra mereka tidak memiliki janji untuk pergi hari ini. Raka kemudian bangkit berdiri dari sofa dan berjalan menghampiri Citra, “Pergi untuk mengga
Citra merasakan sinar matahari menyentuh wajahnya, perlahan matanya mulai terbuka dan mendapati Raka masih terlelap di sampingnya, tanpa busana. Jantungnya berdegup kencang saat mengingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Wajahnya seketika memerah, tak menyangka, akhirnya mereka benar-benar melewati malam pertama bersama. Citra menggigit bibirnya, berusaha tenang. Namun, suasana pagi yang hening justru membuat kenangan semalam semakin jelas dalam ingatannya. Sentuhan Raka, kehangatan yang mereka bagi, semuanya membuatnya tersipu malu. Dia melirik ke arah Raka yang masih terlelap, lalu dengan pelan-pelan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Tapi saat itu, Raka tiba-tiba bergerak dan matanya terbuka sedikit. Raka tersenyum kecil melihat Citra yang tampak berusaha menutupi diri. “Kenapa ditutup-tutupin? Semalam kan aku udah lihat semuanya,” kata Raka dengan nada menggoda. Citra langsung tersipu dan membuang muka. "Mas Raka!" serunya pelan, mencoba menyembunyikan
“Mas, tadi Kakek sempat bilang sesuatu yang membuatku berpikir,” ujar Citra sambil duduk di sofa, menarik selimut ke tubuhnya. Malam itu udara terasa dingin, tetapi hangatnya percakapan mereka mencairkan suasana.“Apa yang Kakek bilang?” Raka bertanya, mendekat sambil membawa dua cangkir teh hangat. Ia menyerahkan satu kepada Citra sebelum duduk di sampingnya.Citra memegang cangkir itu dengan kedua tangan, meniup uap yang mengepul. “Dia bilang menjadi orang tua itu tidak mudah. Kita harus saling mendukung, dan aku setuju dengan itu. Aku tahu kita masih belajar, tapi aku berharap kita bisa menjadi tim yang baik.”Raka tersenyum, menatap istrinya penuh kasih. “Aku setuju, Cit. Aku tahu aku belum sempurna, tapi aku berjanji akan belajar. Aku akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik. Aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu keluarga kecil kita.”Citra menatap Raka dengan mata lembut. “Aku percaya padamu, Mas. Tapi aku juga berharap kita selalu saling mendukung, apa pun yang terjad
“Citra, mana aku taruh kue lapis legit tadi? Rasanya tadi aku letakkan di meja dapur!” Suara Raka terdengar sedikit panik dari arah dapur.Citra yang sedang mengatur hiasan bunga di ruang tamu, menoleh sambil tersenyum. “Itu sudah aku pindahkan ke meja buffet, Mas. Nanti kalau taruh di dapur, lupa dihidangkan.”Raka mengangguk cepat, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman. “Wah, bagus sekali susunan bunganya. Kamu memang selalu bisa membuat semuanya terlihat lebih indah.”“Memuji terus dari tadi. Apa kamu takut aku stress menghadapi acara ini?” goda Citra sambil tertawa kecil.Raka meletakkan nampan di meja, kemudian mendekat dan meraih tangan Citra. “Aku memujimu karena kamu pantas dipuji, Cit. Lagi pula, acara ini kan untuk kebahagiaan kita.”Citra tersenyum, sedikit terharu dengan ucapan suaminya. “Terima kasih, Mas. Aku tahu kamu sudah berusaha keras untuk membantu.”Belum sempat Raka menjawab, bel pintu berbunyi. “Itu pasti tamu pertama kita,” kata Raka bersemanga
“Kamu memang tidak pandai menyimpan rahasia, ya,” ujar Citra dengan nada menggoda, sambil menatap Raka yang sedang sibuk menata lilin di atas meja taman kecil itu.Angin malam yang lembut meniup rambutnya, sementara wangi bunga lavender di sekeliling taman membuat suasana semakin hangat.Raka, yang sedang menyalakan lilin terakhir, menoleh sambil tersenyum. “Mungkin aku memang tidak pandai menyimpan rahasia,” balasnya santai, “tapi aku pandai membuatmu tersenyum, ‘kan?”Citra tertawa kecil, melipat tangannya di dada. “Yah, setidaknya itu benar. Tapi serius, Mas. Apa ini semua untukku?”Raka berjalan mendekat, menarik kursi untuk Citra agar duduk. “Menurutmu?” tanyanya balik sambil memasang senyum jahil.“Hmm, kalau bukan untukku, untuk siapa lagi?” jawab Citra sambil duduk. Ia memandangi meja kecil itu, dihiasi taplak sederhana berwarna putih dengan beberapa tangkai bunga mawar merah. Di tengah meja, lilin-lilin kecil menyala, memberikan cahaya hangat yang memantul di matanya.Raka du
“Mas, aku ingin mengadakan syukuran kecil,” ujar Citra tiba-tiba di ruang makan saat mereka sedang sarapan. Ia menatap suaminya yang tengah sibuk dengan layar ponselnya. “Kita bisa undang keluarga dan teman-teman dekat. Hanya acara sederhana untuk merayakan kehamilan ini.”Raka mendongak, alisnya terangkat. “Syukuran? Apa tidak terlalu merepotkan? Bukankah kita bisa merayakannya berdua saja?”Citra tertawa kecil. “Mas, ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan ini. Lagipula, sudah lama kita tidak berkumpul dengan orang-orang terdekat sejak kejadian itu.”“Tapi, Cit…” Raka mencoba membantah, namun pandangan penuh harap dari istrinya membuatnya menahan diri. “Apa tidak lebih baik kalau kita fokus saja pada persiapan nanti setelah bayi lahir?”Citra menggeleng. “Bayi ini belum lahir, tapi aku ingin semua orang tahu betapa bersyukurnya kita. Acara ini tidak harus besar, hanya sekadar makan bersama dan doa sederhana.”Raka menghela napas, mencoba mencari ala
“Citra, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kamu,” suara Raka terdengar pelan, namun ada kejujuran mendalam di dalamnya. Ia menatap Citra yang sedang duduk di sofa ruang tamu, memandanginya dengan penuh perhatian. “Kamu begitu sabar menghadapi semua kekacauan ini.”Citra menghentikan tangannya yang sedang memegang cangkir teh, lalu mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Ada sedikit keheranan di wajahnya. “Kenapa tiba-tiba bicara begitu, Mas? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”“Tidak, ini lebih dari itu,” jawab Raka, menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Aku sadar selama ini aku terlalu sibuk dengan masalahku sendiri. Aku seringkali lupa bahwa kamu juga ikut menanggung semua beban ini, bahkan ketika itu bukan kesalahanmu.”Citra tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kamu membuatku terdengar seperti pahlawan, padahal aku cuma ingin kita melewati semuanya bersama. Bagaimanapun juga, keluarga ini adalah bagian dari hidupku.”Rak
“Baik, semua sudah berkumpul?” Raka membuka suara dengan tenang tetapi tegas, berdiri di tengah ruang keluarga besar Bramantyo.Anggota keluarga yang hadir saling pandang, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Kakek Bramantyo duduk di samping Arga, terlihat waspada. Nadya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi datar, meskipun jari-jarinya saling menggenggam erat.“Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada keluarga ini,” lanjut Raka. “Ini menyangkut kejujuran, kehormatan, dan kepercayaan dalam keluarga besar kita.”Citra yang duduk di dekatnya menatap Raka dengan dukungan penuh. Ia tahu betapa pentingnya momen ini untuk membongkar semua kebohongan yang telah merusak kedamaian keluarga mereka.“Raka, langsung saja ke intinya,” suara dingin Kakek Bramantyo terdengar. “Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?”Raka menarik napas panjang. “Saya memiliki bukti bahwa Nadya selama ini telah membohongi kita semua.”“Raka!” Nadya langsung berdiri, suaranya meninggi. “Apa maksudmu? Jangan bi
“Arga, aku perlu bicara sekarang. Ini penting,” kata Raka dengan nada serius saat memasuki ruang kerja Arga.Arga yang sedang membaca dokumen mendongak, memasang ekspresi sedikit terganggu. “Apa lagi kali ini, Bang? Aku lelah dengan masalah keluarga yang sepertinya terus dibesar-besarkan.”Raka mendekat, meletakkan amplop cokelat di meja. “Bukan aku yang membesar-besarkan. Ini soal Nadya. Aku rasa kamu perlu melihat ini.”Arga mengernyit, tetapi tetap membuka amplop itu. Di dalamnya ada laporan DNA, beberapa foto, dan transkrip percakapan yang telah disusun oleh Budi.“Apa ini?” tanya Arga dengan suara rendah, tetapi jelas menunjukkan ketegangan.“Laporan DNA,” jawab Raka singkat. “Lengkapnya kamu bisa membaca dokumen itu.” Raka memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.Arga menatap laporan itu dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu pasti bercanda. Untuk apa sampai test DNA segala?"“Arga,” Raka menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi semua bu
“Mas, aku harus bicara sama Nadya. Ini sudah keterlaluan,” kata Citra dengan nada tegas, menatap Raka yang sedang duduk di meja kerjanya.Raka menghela napas panjang. “Sayang, aku tahu kamu marah. Tapi ini bukan cara yang tepat. Nadya bisa memutarbalikkan semua perkataanmu.”“Justru karena itu aku harus bicara langsung. Kalau aku diam terus, dia akan merasa menang dan terus menyebarkan fitnahnya. Aku nggak mau keluarga kita hancur karena dia,” jawab Citra dengan sorot mata yang tajam.Raka bangkit dari kursinya dan mendekati Citra. “Aku ngerti perasaanmu, tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kamu terpancing emosinya. Nadya itu licik.”“Aku nggak akan marah, Mas. Aku cuma mau dia tahu kalau aku nggak akan tinggal diam,” kata Citra sambil menggenggam tangan Raka.Raka menatap istrinya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Baiklah, tapi aku tetap ada di dekatmu. Kalau dia mulai melampaui batas, aku akan turun tangan.”*Citra berjalan di ruang tamu, di mana Nadya sedang duduk santai sambil
“Tante Dewi, saya benar-benar nggak tahu lagi harus bagaimana…” Nadya berkata pelan, suaranya dibuat terdengar lemah. Ia duduk di ruang tamu sambil menundukkan kepala, sesekali mengusap matanya seolah mencoba menahan tangis.Bu Dewi, salah satu anggota keluarga Bramantyo, yang duduk di depannya menghela napas. “Nadya, kamu kenapa? Kok kelihatan sedih sekali?”“Saya hanya merasa semua orang di rumah ini sudah nggak peduli sama saya, Tante. Mereka hanya pura-pura baik demi menjaga nama baik keluarga besar. Apalagi Raka dan Citra…” Nadya terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan.Mata Bu Dewi menyipit, penasaran. “Kenapa dengan Raka dan Citra?”Nadya memainkan ujung kerudungnya, berpura-pura ragu. “Saya nggak mau menuduh, Tante, tapi saya lihat mereka itu seperti hanya berpura-pura bahagia. Semuanya terasa… palsu. Mungkin demi menyenangkan Kakek Bramantyo saja.”Bu Dewi terdiam, memikirkan kata-kata Nadya. “Maksudmu, mereka tidak benar-benar bahagia?”“Entahlah, Tante. Tapi setiap kali say