"Argaku sayang, aku sudah boleh pulang," ujar Nadya dengan senyuman manis, sambil merapikan rambutnya yang tampak masih rapi, meski baru saja keluar dari masa perawatan.Arga, yang sedang sibuk membereskan tas di sampingnya, menoleh dengan wajah bingung. "Cepat sekali kamu pulih, Nadya. Padahal kemarin masih lemah, sekarang malah terlihat seperti nggak pernah sakit."Nadya tertawa kecil. "Dari dulu aku memang cepet sembuh. Selain itu, pengobatan di rumah sakit ini mahal, jadi hasilnya juga pasti lebih cepat."Hening sejenak, tapi kemudian Nadya kembali berucap dengan lugas. "Sungguh aku puas sekali dengan layanan di rumah sakit ini. Benar benar membuat orang sakit cepat sembuh."Arga hanya mengangguk, walaupun ada rasa curiga yang masih tersisa. "Ya... mungkin memang karena perawatannya bagus."Nadya melirik ke arah jendela kamar rumah sakit sambil tersenyum tipis. "Aku bilang, kan, kamu nggak perlu khawatir."Tanpa berdebat lebih jauh, Arga berdiri dan mengambil tas yang tadi ia siap
"Mas, kenapa kita harus ke sini? Kamu yakin ini cuma pertemuan keluarga biasa?" Citra berbisik dengan cemas, menggenggam tangan Raka saat mereka melangkah masuk ke rumah besar milik Kakek Bramantyo. "Tenang, Citra. Kita diundang, pasti ada sesuatu yang penting," Raka menjawab dengan suara tenang, tapi matanya waspada, seolah sudah tahu lebih banyak dari yang ia ungkapkan. Begitu mereka masuk ke ruang tengah, Nadya, yang sudah duduk dengan percaya diri, langsung menatap Citra dengan senyum sinis. "Oh, Citra... akhirnya datang juga. Sebaiknya kamu siap-siap saja dimarahi habis-habisan oleh Kakek. Setelah keguguran yang aku alami, Kakek pasti sangat kecewa. Apalagi setelah berita itu menyebar, Kakek nggak pernah menghubungi kamu lagi, ‘kan?" Citra terdiam. Kata-kata Nadya membuat kecemasannya semakin menjadi. Benar, sejak berita tentang keguguran Nadya, Kakek Bramantyo memang tidak pernah menghubunginya. Apakah benar dia akan disalahkan? Raka, merasakan kegelisahan Citra, menggengga
"Papa tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud berbuat seperti ini. Ini semua karena aku begitu mencintai Arga," suara Nadya bergetar, wajahnya basah oleh air mata, masih duduk di lantai ruang keluarga Kakek Bramantyo. Semua orang sudah pergi meninggalkannya, dan kini hanya ada dia dan Andi, yang baru saja datang kembali.Andi memandang Nadya dengan ekspresi dingin, tatapannya sulit diartikan. Ia tidak langsung menjawab permohonan Nadya, hanya berdiri diam di ambang pintu, mengamati dengan teliti. Nadya merasa jantungnya berdegup kencang, takut akan apa yang akan dikatakan Andi.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Andi akhirnya membuka suara."Apa kamu sungguh mencintai Arga?" tanya Andi, suaranya datar, tanpa emosi.Nadya mengangguk dengan cepat. "Tentu saja, Pa! Aku sangat mencintai Arga. Aku melakukan ini karena aku takut kehilangannya. Aku... aku terlalu takut jika dia akan meninggalkanku," jawabnya terbata-bata.Andi menarik napas panjang dan kemudian menghela d
Setelah beberapa hari Citra tidak dapat tidur dengan nyenyak karena hatinya cemas dan dipenuhi rasa bersalah, kali ini Citra merasa puas karena kembali bisa beristirahat dengan nyenyak. Citra terbangun dan duduk di tepi ranjang sambil tersenyum kecil. Mengingat permasalah yang memberatkan hatinya kini sudah terselesaikan. Ia kemudian beranjak dari kamar menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja kakinya melangkah. Ia mendapati Raka ternyata sudah bagun lebih dulu, bahkan pria itu kini terlihat sudah berpakaian rapi. Raka menyesap tehnya sambil membaca koran. Di samping Raka, Citra mendapati keranjang yang berisi makanan serta tikar. Kening Citra mengernyit heran, “Mas, kamu mau pergi hari ini?” Mendengar pertanyaan Citra, Raka menaruh korannya di atas meja, “Ya, kita akan pergi hari ini.”“Kita? Pergi kemana?” Seingat Citra mereka tidak memiliki janji untuk pergi hari ini. Raka kemudian bangkit berdiri dari sofa dan berjalan menghampiri Citra, “Pergi untuk mengga
Citra merasakan sinar matahari menyentuh wajahnya, perlahan matanya mulai terbuka dan mendapati Raka masih terlelap di sampingnya, tanpa busana. Jantungnya berdegup kencang saat mengingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Wajahnya seketika memerah, tak menyangka, akhirnya mereka benar-benar melewati malam pertama bersama. Citra menggigit bibirnya, berusaha tenang. Namun, suasana pagi yang hening justru membuat kenangan semalam semakin jelas dalam ingatannya. Sentuhan Raka, kehangatan yang mereka bagi, semuanya membuatnya tersipu malu. Dia melirik ke arah Raka yang masih terlelap, lalu dengan pelan-pelan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Tapi saat itu, Raka tiba-tiba bergerak dan matanya terbuka sedikit. Raka tersenyum kecil melihat Citra yang tampak berusaha menutupi diri. “Kenapa ditutup-tutupin? Semalam kan aku udah lihat semuanya,” kata Raka dengan nada menggoda. Citra langsung tersipu dan membuang muka. "Mas Raka!" serunya pelan, mencoba menyembunyikan
Melihat Raka yang nampak diam seakan tengah berpikir, Bramantyo kembali bertanya, "Jadi, kamu tahu semua ini dari mana, Raka?" Bramantyo menatap cucunya dengan pandangan penuh pertanyaan.Raka menatap kakeknya sejenak sebelum menjawab, "Aku meminta seseorang untuk menyelidikinya, Kek."Bramantyo mengangguk pelan, tampak merenung sejenak sebelum bertanya lagi, "Baiklah, Kakek paham. Lalu, kapan kamu mau kembali ke perusahaan? Usahamu sendiri sudah terlihat baik-baik saja. Kamu tidak harus mengurusnya setiap hari, kan?"Raka menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku akan kembali setelah urusanku selesai, Kek."Bramantyo mengernyit, penasaran dengan jawabannya. "Urusan apa yang kamu maksud, Raka? Apa yang begitu penting sampai kamu harus menundanya?"Raka menatap kakeknya dengan serius, ada kesedihan yang tersirat di matanya. "Kakek masih ingat kecelakaan orang tuaku? Kenapa Kakek terlihat baik-baik saja setelah kematian mereka?"Pertanyaan itu langsung menghentikan Bramantyo. Ia terd
"Kenapa kamu masih di sini, Nadya?" Bramantyo berdiri di ambang pintu ruang tengah, baru sampai setelah dari rumah Raka, terkejut mendapati Nadya duduk di sana. Nadya yang sedang berbicara pelan dengan Andi langsung terdiam, suasana ruangan mendadak tegang. Andi mencoba tersenyum tenang, berdiri menghampiri Bramantyo. "Pa, tenang dulu. Aku bisa jelaskan semuanya." "Jelaskan apa, Andi?" Bramantyo memotong tajam, suaranya bergetar menahan marah. "Kenapa kamu masih membiarkan Nadya di sini? Dia sudah membohongi kita semua, membohongi keluarga kita! Seharusnya dia diusir keluar, bukan malah dipertahankan!" Andi menarik napas dalam, berusaha meredam situasi. "Pa, aku tahu apa yang Nadya lakukan salah. Tapi aku pikir kita bisa memberikan kesempatan padanya. Dia juga manusia, Pa. Dia menyesal atas semua yang dia lakukan." "Nadya menyesal?" Bramantyo jelas tidak percaya. "Seharusnya dia langsung pergi dari sini, dan Arga menceraikannya. Tidak ada tempat untuk orang yang mengkhianati ke
“Citra, kamu sudah siap?” Suara Raka terdengar dari pintu kamar, menyela aktivitas Citra yang sedang mematut diri di depan cermin.Citra menoleh, mendapati Raka yang sudah rapi dengan kemeja casual dan celana jeans. “Iya, sebentar lagi,” jawabnya sambil merapikan rambutnya yang sudah ditata rapi. Hari ini Citra sudah kembali bekerja di kafe setelah beberapa hari libur.Raka melangkah masuk, memperhatikan Citra yang sibuk memoles sedikit lipstik. “Biar aku antar kamu ke kafe.”Citra menatap Raka melalui cermin, alisnya terangkat. “Mas, kebetulan lewat sana juga?”Raka tersenyum tipis. “Ya, ada urusan di sekitar sana. Jadi bisa sekalian antar kamu.”Citra tertawa kecil mendengar nada suara Raka yang terkesan formal. “Baiklah, kalau begitu, Mas,” ucapnya sambil mengambil tas tangan kecilnya.Mereka berdua keluar rumah dan menuju mobil yang terparkir di halaman.Citra memandangi pemandangan jalanan kota yang mulai ramai dengan aktivitas pagi.“Ngomong-ngomong, kapan kamu wisuda?” tanya Ra
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
Arga, kamu kelihatan tegang sekali," suara Nadya terdengar santai di belakang Arga yang sejak tadi mondar-mandir di kamar mereka. Arga berhenti, menatap Nadya dengan wajah cemas. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Nadya. Ini... ini di luar kendaliku. Citra … dia pingsan karena aku," Arga mengusap wajahnya, tampak bingung. Nadya justru tersenyum tipis, tak terlihat cemas sedikit pun. "Menurutku, apa yang kamu lakukan nggak salah. Malah seharusnya sudah lama dilakukan. Kamu kan tahu, hamilnya Citra justru membuat kita semakin terancam di keluarga ini." Saat Arga mengonfrontasi Citra, Nadya ada di sana. Diam-diam melihat mereka berdua bertengkar di balik pilar. Nadya senang Arga bisa meluapkan kekesalan pada Citra karena selama ini Arga selalu membela Citra padahal jelas-jelas selama ini Nadya yang selalu ada untuk Arga. Arga mendelik ke arah Nadya, terkejut mendengar ucapannya. "Kamu ... benar-benar nggak merasa bersalah, ya? Citra itu sedang hamil dan aku mendorongnya! Bagaimana kalau
"Citra, kamu sudah sadar?" Suara lembut Raka menyapa saat Citra perlahan membuka mata.Citra mengerjap, melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia berada di ruangan putih dengan peralatan medis. Napasnya pelan dan lemah.Wajah Raka terlihat khawatir di sebelahnya, sedangkan kakek Bramantyo yang duduk di kursi sebelahnya, tampak menunjukkan raut kelegaan di wajahnya yang tua dan berwibawa itu."Mas Raka… Kakek… Kenapa aku ada di sini?" Citra bertanya, suaranya serak dan pelan.Raka menatapnya dalam, ada pancaran kemarahan matanya, tetapi Raka tetap terlihat tenang. "Aku yang harusnya bertanya, Citra. Bagaimana kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi sebelum itu?"Citra mengerutkan keningnya, mengingat kejadian saat itu. "Aku ... aku terjatuh, Mas.""Terjatuh? Apa maksudnya kamu terjatuh?" tanya Raka pelan dan dingin. Tidak mungkin Citra bisa ceroboh dengan terjatuh sendiri dan Raka juga tidak bodoh untuk mengerti bahwa mungkin ada seseorang yang ingin mencelakakan istrinya. “Katakan padaku
Setelah makan malam merayakan ulang tahun Kakek Bramantyo, Kakek Bramantyo memanggil Raka ke ruangannya dan berbicara berdua.Entah apa yang kakeknya dan cucu terbuang itu bicarakan, tetapi Arga menjadi semakin sebal melihat kepergiam Raka bersama Kakek Bramantyo dan mengetahui Citra kini telah hamil.Kepalan tangan di kedua sisi tubuh Arga mengerat dan rahangnya mengeras. Posisinya kini benar-benar terancam dan Arga tidak bisa membiarkan hal itu lebih parah lagi.Tanpa pikir panjang Arga menghampiri Citra yang ditinggal sendiri oleh Raka.“Citra, kamu sengaja, ‘kan?!” Arga mendesis sambil melangkah mendekati Citra yang duduk sendirian di ruang tamu.Citra mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Arga. “Apa maksudmu, Arga? Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”Arga mencibir, matanya berkedip penuh amarah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti merasa menang sekarang karena berhasil hamil. Kamu pikir kamu bisa menguasai keluarga Bramantyo hanya karena itu?”Napas Citra tertahan
“Sayang, kamu yakin kuat?” tanya Raka, menatap Citra dengan penuh perhatian sambil mengulurkan tangannya.Citra tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Raka. “Iya, aku baik-baik saja, Mas. Lagipula, ini kan ulang tahun kakek. Masa aku nggak datang?”Mendengar ucapan Citra, Raka tampak ragu. “Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi, aku nggak mau kalau Nadya berpikir aku takut sama dia kalau sampai nggak datang ke ulang tahun Kakek,” jawab Citra dengan tegas.Raka mengangguk, “Baiklah, asal kamu janji nggak memaksakan diri. Kalau mulai capek atau nggak enak badan, kamu bilang, ya.”Citra tersenyum dan mengangguk. “Pasti. Terima kasih ya, Mas.”Mereka kemudian berjalan menuju pintu depan rumah besar keluarga Bramantyo dengan hadiah di tangan. Raka masih sesekali melirik Citra, memastikan istrinya baik-baik saja. Begitu pintu terbuka, aroma masakan menguar dari ruang makan.“Selamat ulang tahun, Kek!” seru Citra ceria saat melihat Kakek Bramantyo duduk di ujung meja.Kakek Bramantyo langsung