Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan.
Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena dulu, ayahnya saja bahkan tak peduli, ia mau pulang jam berapa. “Eumm..maaf, Mas. Aku lupa bilang kalau hari ini kafe tempat kerja paruh waktuku sedang ramai.” Alis Raka naik, namun masih menatap Citra dalam, “Kerja paruh waktu?” Citra mengangguk, entah mengapa dirinya merasa sedang disidang oleh Raka dan itu membuatnya merasa gugup. “Lain kali beri kabar jika akan pulang malam.” Citra mengangguk lagi. Raka kemudian bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar. Citra menghembuskan nafas lega begitu dirinya sendirian di dapur. Ia meminum air dan baru menyadari ada sekotak ayam di meja makan. Melihat dari bungkusannya, sepertinya belum ada yang membukanya. ‘Apa Mas Raka beli ini buat makan malam bersama, tapi akhirnya gak jadi makan karena aku belum pulang?’ Citra mendadak merasa bersalah pada Raka. Ia pun membuka bungkus ayam itu dan kemudian menghangatkannya. Setelah merapikan di meja makan, Citra menghampiri kamar Raka untuk memanggilnya. Namun, sebelum ia mengetuk pintu, suara Raka terdengar di telinganya. Raka berbicara dengan suara rendah, namun beberapa kata masih terdengar jelas ditelinga Citra, karena pintu kamar Raka yang tak sepenuhnya tertutup. “Lakukan penyamaran dan terus ikuti dia. Jangan sampai lepas,” suara Raka kemudian kembali terdengar, “Siksa mereka jika tidak mau mengaku ..." Citra tiba-tiba merasa tubuhnya menegang. Apa maksud Raka? Siapa yang dia bicarakan? ‘Siksa?’ Suara itu terus bergaung di kepala Citra, membuat pikirannya melayang jauh. Mungkinkah Raka adalah seorang intelijen yang sedang menyamar? Atau ... jangan-jangan dia justru seorang pembunuh bayaran? Segala kemungkinan muncul di benak Citra, mengingat betapa misteriusnya Raka selama ini. Barang-barang mewah yang ada di rumah mereka, mobil mahal, semua itu mungkin bukan berasal dari kakeknya, tapi dari pekerjaan rahasianya yang gelap. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Raka kini terdengar jelas di telinga Citra, bahkan dia sudah berdiri di hadapan Citra. Tidak menduga akan hal itu, Citra sontak terkejut dan mundur beberapa langkah. “Ah, I-itu, aku sudah menyiapkan makan malam. Sepertinya, Mas juga belum makan,” Citra berusaha mengalihkan pandangannya dari wajah Raka. “Kalau begitu, kita makan bersama,” setelah mengatakan itu Raka menuju dapur dengan diikuti oleh Citra. Di meja makan, Citra berusaha makan seperti biasa, namun Raka merasa ada sesuatu yang aneh pada Citra. Gadis itu seakan menjaga jarak darinya, dan selalu menundukan kepala saat mata mereka bertatapan. Raka menduga bahwa Citra merasa takut padanya setelah ditegur pulang larut malam tadi. Tetapi, memilih untuk tidak langsung bertanya. Keduanya makan dengan hening, tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Hingga suara ponsel Raka memecah keheningan. Raka mengambil ponselnya dari meja dan membaca pesan dengan serius. Rupanya pesan dari Kakek Bramantyo. ‘Bawa Citra ke rumah Kakek besok, ada urusan penting yang perlu kita bahas.’ Citra dapat melihat raut wajah Raka mendadak berubah, seakan sedang berpikir keras. Raka tidak pernah suka jika diminta hadir ke rumah Kakeknya, sebab itu ia tidak pernah hadir dalam setiap pertemuan keluarga dan selalu berakhir dimarahi. Meski demikian, ia tetap tidak pernah datang, sehingga berakhir dengan sebutan sebagai ‘cucu terbuang.’ Namun, setelah berpikir beberapa saat, Raka akhirnya mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke Citra, “Kakek meminta kita datang ke kediamannya besok. Dia bilang ada urusan penting.” Citra menatap Raka beberapa saat, dan kembali menundukan kepalanya, “Baiklah,” jawabnya dengan suara pelan, kemudian lanjut berkata, “Tapi, aku ada kuliah besok, Mas.” “Tidak masalah, aku akan menjemputmu, dan kita bisa datang bersama ke rumah Kakek.”Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama. Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan
Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
Pagi - pagi, Citra sudah sibuk menyiapkan sarapan seadanya sambil memikirkan jadwal kuliahnya yang padat. Saat dia memindahkan piring ke meja makan, tiba-tiba sebuah tangan diulurkan ke hadapannya. Tangan itu memegang sebuah dus berukuran sedang. Citra mendongak dan melihat ke arah Raka dengan raut wajah bingung. Sedangkan yang ditatap, masih saja menampakan wajah datar. Merasa Citra tak juga mengambil dus itu dari tangannya, Raka akhirnya berkata dengan singkat, “Ambil, ini untukmu.”Citra membulatkan mulutnya, membentuk kata ‘Ohh’ dan mengambil dus itu dari tangan Raka. Namun, ketika akhirnya tersadar, Citra membulatkan matanya, “I-ini kan handphone keluaran terbaru? Kenapa Mas memberikannya padaku?” “Bukankah ponselmu rusak?”Sejujurnya Citra tak menyangka bahwa Raka akan membelikannya ponsel baru, karena mengingat sikap pria itu semalam yang terlihat cuek begitu saja. Siapa sangka, Raka masih menaruh perhatian padanya. Namun, rasa khawatir kembali terbesit di pikirannya. Baga
Sesampainya di rumah, Citra hanya bisa terduduk lesu di ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Raka masuk. Ia sempat terkejut begitu melihat Citra, "Citra? Kukira kamu akan pulang larut malam?" tanyanya dengan nada heran.Citra hanya menunduk, tidak mampu menjawab.Raka mendekat, merasakan ada sesuatu yang salah, "Kamu baik-baik saja?"Citra masih enggan berbicara. Dari sudut matanya, Raka dapat melihat bekas air mata di wajah Citra. Tapi, ia juga tak dapat memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Sehingga dengan nada lembut, Raka kembali berkata, “Malam ini tidak perlu memasak, aku akan membeli makanan dari luar.” Citra hanya merespon ucapan Raka dengan mengangguk kecil. Kemudian membiarkan Raka pergi meninggalkannya. Di kamar, Raka segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Bantu cari tahu apa yang terjadi di Kafe Scarlett siang tadi,” Raka segera memerintah setelah panggilan tersambung dan mematikan sambungan itu. Malam itu, Citra bahkan tak
Sepeninggalan Nadya dan Arga, Citra akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Ia melirik pada Raka yang masih terdiam di sampingnya, dan kemudian memutuskan untuk bertanya darimana Raka mengetahui kejadian ini, “Mas tahu dari mana jika ponselku diambil Nadya?” “Aku menghubungi ponselmu, tapi Nadya yang menjawab. Kemudian aku memintanya untuk bertemu.” Citra mengernyitkan keningnya, masih merasa heran, “Lalu?” Bukannya Raka yang kembali menjawab, melainkan manajer Citra, “Citra maaf karena kemarin langsung memecatmu tanpa melihat bukti lebih dulu. Ini sebuah kebodohan, maafkan saya Citra.” Melihat manajernya membungkukan badan pada Citra, tentu dia merasa tak tega. Karena sejak awal dia pun juga tak menyalahkan manajernya. Di saat terdesak seperti kemarin, mereka bahkan tak memikirkan mengenai soal rekaman. “Gapapa, Pak. Saya paham,” mendengar Citra berkata begitu, Pak manajer baru mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum lega. “Untungnya tadi malam, ada seseorang yang menghubu
Citra menutup telepon dengan raut wajah bahagia. Dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya atas kabar baik itu. Ketika kembali duduk di meja makan, Raka sudah menunggu dengan tatapan penuh tanya. "Siapa yang telepon?" tanya Raka sambil memotong potongan daging di piringnya. Citra tersenyum lebar. "Aku baru saja diundang untuk interview di kafe. Padahal aku nggak merasa pernah melamar di sana." Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Oh ya? Kafe yang mana?" "Kafe di daerah pusat kota. Kata mereka, mereka tertarik untuk menjadikanku asisten chef pastry. Bayangkan, bukan pelayan atau barista, tapi asisten chef!" Citra tertawa kecil, masih terheran-heran dengan kesempatan yang tiba-tiba ini. "Tapi ... aku heran, kok bisa ya mereka tahu nomorku?" Raka hanya mengangguk pelan. "Mungkin mereka dapat rekomendasi dari seseorang. Siapa tahu?" Citra menatapnya curiga, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang kecurigaan itu. Dia terlalu senang dengan kesempatan baru ini untuk memikir
Citra menyambut Kakek Bramantyo dengan senyum ramah ketika ia masuk ke dalam rumah. Meski dalam hatinya ada kegelisahan yang tak terungkap, karena khawatir Kakek akan mengetahui bahwa selama ini dirinya dan Raka tidur pisah kamar. Namun, Citra tetap berusaha menampakkan wajah tenang di hadapan sang kakek. Raka berjalan di belakangnya dengan langkah santai, sementara Kakek Bramantyo menatap mereka berdua dengan tatapan hangat penuh kebahagiaan. "Silakan duduk, Kek," kata Citra sambil mempersilahkannya menuju sofa di ruang tamu. "Mau minum apa, Kek? Teh, kopi, atau air putih?" "Teh hangat saja, Cit," jawab Kakek Bramantyo sambil duduk dengan tenang. "Aku hanya ingin berbincang dengan kalian." Citra tersenyum kecil dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh. Di sana, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dari kegugupannya. Setelah menyiapkan teh, Citra kembali ke ruang tamu dengan nampan di tangannya. Ia menaruh cangkir teh di hadapan Kakek Bramantyo yang lan
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
Arga, kamu kelihatan tegang sekali," suara Nadya terdengar santai di belakang Arga yang sejak tadi mondar-mandir di kamar mereka. Arga berhenti, menatap Nadya dengan wajah cemas. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Nadya. Ini... ini di luar kendaliku. Citra … dia pingsan karena aku," Arga mengusap wajahnya, tampak bingung. Nadya justru tersenyum tipis, tak terlihat cemas sedikit pun. "Menurutku, apa yang kamu lakukan nggak salah. Malah seharusnya sudah lama dilakukan. Kamu kan tahu, hamilnya Citra justru membuat kita semakin terancam di keluarga ini." Saat Arga mengonfrontasi Citra, Nadya ada di sana. Diam-diam melihat mereka berdua bertengkar di balik pilar. Nadya senang Arga bisa meluapkan kekesalan pada Citra karena selama ini Arga selalu membela Citra padahal jelas-jelas selama ini Nadya yang selalu ada untuk Arga. Arga mendelik ke arah Nadya, terkejut mendengar ucapannya. "Kamu ... benar-benar nggak merasa bersalah, ya? Citra itu sedang hamil dan aku mendorongnya! Bagaimana kalau
"Citra, kamu sudah sadar?" Suara lembut Raka menyapa saat Citra perlahan membuka mata.Citra mengerjap, melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia berada di ruangan putih dengan peralatan medis. Napasnya pelan dan lemah.Wajah Raka terlihat khawatir di sebelahnya, sedangkan kakek Bramantyo yang duduk di kursi sebelahnya, tampak menunjukkan raut kelegaan di wajahnya yang tua dan berwibawa itu."Mas Raka… Kakek… Kenapa aku ada di sini?" Citra bertanya, suaranya serak dan pelan.Raka menatapnya dalam, ada pancaran kemarahan matanya, tetapi Raka tetap terlihat tenang. "Aku yang harusnya bertanya, Citra. Bagaimana kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi sebelum itu?"Citra mengerutkan keningnya, mengingat kejadian saat itu. "Aku ... aku terjatuh, Mas.""Terjatuh? Apa maksudnya kamu terjatuh?" tanya Raka pelan dan dingin. Tidak mungkin Citra bisa ceroboh dengan terjatuh sendiri dan Raka juga tidak bodoh untuk mengerti bahwa mungkin ada seseorang yang ingin mencelakakan istrinya. “Katakan padaku
Setelah makan malam merayakan ulang tahun Kakek Bramantyo, Kakek Bramantyo memanggil Raka ke ruangannya dan berbicara berdua.Entah apa yang kakeknya dan cucu terbuang itu bicarakan, tetapi Arga menjadi semakin sebal melihat kepergiam Raka bersama Kakek Bramantyo dan mengetahui Citra kini telah hamil.Kepalan tangan di kedua sisi tubuh Arga mengerat dan rahangnya mengeras. Posisinya kini benar-benar terancam dan Arga tidak bisa membiarkan hal itu lebih parah lagi.Tanpa pikir panjang Arga menghampiri Citra yang ditinggal sendiri oleh Raka.“Citra, kamu sengaja, ‘kan?!” Arga mendesis sambil melangkah mendekati Citra yang duduk sendirian di ruang tamu.Citra mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Arga. “Apa maksudmu, Arga? Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”Arga mencibir, matanya berkedip penuh amarah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti merasa menang sekarang karena berhasil hamil. Kamu pikir kamu bisa menguasai keluarga Bramantyo hanya karena itu?”Napas Citra tertahan
“Sayang, kamu yakin kuat?” tanya Raka, menatap Citra dengan penuh perhatian sambil mengulurkan tangannya.Citra tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Raka. “Iya, aku baik-baik saja, Mas. Lagipula, ini kan ulang tahun kakek. Masa aku nggak datang?”Mendengar ucapan Citra, Raka tampak ragu. “Mas, aku tahu kamu khawatir. Tapi, aku nggak mau kalau Nadya berpikir aku takut sama dia kalau sampai nggak datang ke ulang tahun Kakek,” jawab Citra dengan tegas.Raka mengangguk, “Baiklah, asal kamu janji nggak memaksakan diri. Kalau mulai capek atau nggak enak badan, kamu bilang, ya.”Citra tersenyum dan mengangguk. “Pasti. Terima kasih ya, Mas.”Mereka kemudian berjalan menuju pintu depan rumah besar keluarga Bramantyo dengan hadiah di tangan. Raka masih sesekali melirik Citra, memastikan istrinya baik-baik saja. Begitu pintu terbuka, aroma masakan menguar dari ruang makan.“Selamat ulang tahun, Kek!” seru Citra ceria saat melihat Kakek Bramantyo duduk di ujung meja.Kakek Bramantyo langsung