Share

Bab 7. Raka Yang Misterius

Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan.

Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja.

Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air.

Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka.

“Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka.

Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?”

Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena dulu, ayahnya saja bahkan tak peduli, ia mau pulang jam berapa.

“Eumm..maaf, Mas. Aku lupa bilang kalau hari ini kafe tempat kerja paruh waktuku sedang ramai.”

Alis Raka naik, namun masih menatap Citra dalam, “Kerja paruh waktu?”

Citra mengangguk, entah mengapa dirinya merasa sedang disidang oleh Raka dan itu membuatnya merasa gugup.

“Lain kali beri kabar jika akan pulang malam.”

Citra mengangguk lagi.

Raka kemudian bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar.

Citra menghembuskan nafas lega begitu dirinya sendirian di dapur. Ia meminum air dan baru menyadari ada sekotak ayam di meja makan. Melihat dari bungkusannya, sepertinya belum ada yang membukanya.

‘Apa Mas Raka beli ini buat makan malam bersama, tapi akhirnya gak jadi makan karena aku belum pulang?’ Citra mendadak merasa bersalah pada Raka.

Ia pun membuka bungkus ayam itu dan kemudian menghangatkannya. Setelah merapikan di meja makan, Citra menghampiri kamar Raka untuk memanggilnya. Namun, sebelum ia mengetuk pintu, suara Raka terdengar di telinganya.

Raka berbicara dengan suara rendah, namun beberapa kata masih terdengar jelas ditelinga Citra, karena pintu kamar Raka yang tak sepenuhnya tertutup.

“Lakukan penyamaran dan terus ikuti dia. Jangan sampai lepas,” suara Raka kemudian kembali terdengar, “Siksa mereka jika tidak mau mengaku ..."

Citra tiba-tiba merasa tubuhnya menegang. Apa maksud Raka? Siapa yang dia bicarakan?

‘Siksa?’ Suara itu terus bergaung di kepala Citra, membuat pikirannya melayang jauh.

Mungkinkah Raka adalah seorang intelijen yang sedang menyamar? Atau ... jangan-jangan dia justru seorang pembunuh bayaran? Segala kemungkinan muncul di benak Citra, mengingat betapa misteriusnya Raka selama ini. Barang-barang mewah yang ada di rumah mereka, mobil mahal, semua itu mungkin bukan berasal dari kakeknya, tapi dari pekerjaan rahasianya yang gelap.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Raka kini terdengar jelas di telinga Citra, bahkan dia sudah berdiri di hadapan Citra.

Tidak menduga akan hal itu, Citra sontak terkejut dan mundur beberapa langkah.

“Ah, I-itu, aku sudah menyiapkan makan malam. Sepertinya, Mas juga belum makan,” Citra berusaha mengalihkan pandangannya dari wajah Raka.

“Kalau begitu, kita makan bersama,” setelah mengatakan itu Raka menuju dapur dengan diikuti oleh Citra.

Di meja makan, Citra berusaha makan seperti biasa, namun Raka merasa ada sesuatu yang aneh pada Citra.

Gadis itu seakan menjaga jarak darinya, dan selalu menundukan kepala saat mata mereka bertatapan. Raka menduga bahwa Citra merasa takut padanya setelah ditegur pulang larut malam tadi. Tetapi, memilih untuk tidak langsung bertanya.

Keduanya makan dengan hening, tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Hingga suara ponsel Raka memecah keheningan.

Raka mengambil ponselnya dari meja dan membaca pesan dengan serius. Rupanya pesan dari Kakek Bramantyo.

‘Bawa Citra ke rumah Kakek besok, ada urusan penting yang perlu kita bahas.’

Citra dapat melihat raut wajah Raka mendadak berubah, seakan sedang berpikir keras.

Raka tidak pernah suka jika diminta hadir ke rumah Kakeknya, sebab itu ia tidak pernah hadir dalam setiap pertemuan keluarga dan selalu berakhir dimarahi. Meski demikian, ia tetap tidak pernah datang, sehingga berakhir dengan sebutan sebagai ‘cucu terbuang.’

Namun, setelah berpikir beberapa saat, Raka akhirnya mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke Citra, “Kakek meminta kita datang ke kediamannya besok. Dia bilang ada urusan penting.”

Citra menatap Raka beberapa saat, dan kembali menundukan kepalanya, “Baiklah,” jawabnya dengan suara pelan, kemudian lanjut berkata, “Tapi, aku ada kuliah besok, Mas.”

“Tidak masalah, aku akan menjemputmu, dan kita bisa datang bersama ke rumah Kakek.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status