Share

Bab 6. Kecurigaan

Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan.

Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya.

Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan.

Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.”

Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi.

Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?"

Citra mengangguk sambil tersenyum. "Iya, soalnya bahan makanannya hanya ada itu saja di kulkas. Sepulang kuliah nanti aku akan belanja bahan lainnya."

Raka menatap nasi goreng di hadapannya, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengambil sendok dan mulai makan.

Mereka menikmati sarapan bersama dalam keheningan.

Setelah selesai, Citra kemudian bersiap untuk berangkat kuliah. Ia mengenakan jaket dan mengambil tas-nya dengan cepat dari dalam kamar.

Ketika Citra muncul di ruang tamu, siap untuk pergi, Raka menatapnya dari balik cangkir kopi yang sedang dia pegang. "Aku akan mengantarmu ke stasiun. Lebih cepat kalau kita pakai mobil," kata Raka, menawarkan diri dengan nada yang tidak bisa ditolak.

Citra, meskipun sedikit ragu, akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu."

Di perjalanan menuju stasiun, Citra duduk dengan gelisah, merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Akhirnya, rasa penasaran yang selama ini dia pendam mulai menggelayuti pikirannya.

Dia tidak bisa lagi menahannya.

"Mas Raka," panggil Citra dengan hati-hati. "Boleh aku bertanya sesuatu?"

Raka melirik Citra sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke jalan. "Ada apa?"

Citra menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku penasaran ... semua barang-barang yang ada di rumah kita, termasuk mobil ini ... apakah semuanya pemberian dari Kakek Bramantyo?"

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Dia tidak langsung menjawab, membuat Citra merasa tidak nyaman.

Citra mulai merasa bahwa dia telah menyinggung suaminya. Mungkin dia seharusnya tidak menanyakan hal itu.

"Tidak masalah, kalau Mas tidak ingin menjawabnya," tambah Citra dengan suara rendah, merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang mungkin seharusnya menjadi rahasia.

Raka tetap diam selama beberapa detik lagi, sebelum akhirnya malah berbalik bertanya, "Mengapa kamu berpikir demikian?”

Citra menatapnya dengan rasa bingung, ”Karena Mas tidak bekerja..?”

Raka berusaha menahan senyumnya melihat ekspresi wajah Citra. Hal itu membuat dirinya semakin tidak ingin menjelaskan kebenarannya pada gadis itu.

Setibanya di stasiun, Raka menghentikan mobilnya di depan pintu masuk.

Citra merasa lega ketika sadar sudah sampai, artinya ia tidak perlu berlama-lama menahan rasa canggung di dalam mobil dengan Raka, apa lagi dirinya telah salah berbicara. Padahal jelas-jelas dirinya juga yang membuat perjanjian untuk tidak mencampuri urusan masing-masing.

“Terima kasih, Mas. Hati-hati di jalan,” ucap Citra sebelum menutup pintu mobil dan berlalu masuk ke dalam stasiun.

*

Setelah jadwal bimbingan skripsinya telah selesai, Citra bergegas berangkat ke kafe tempatnya bekerja part time sebagai pelayan di sana. Sejak dulu Citra selalu merasa tertarik untuk menjadi seorang baker, sehingga diam-diam dia selalu belajar di tempat kerjanya.

Begitu sampai, kafe sudah terlihat cukup ramai. Citra segera menggunakan atribut seragamnya dan diminta untuk mengantarkan pesanan ke salah satu meja di pojok kafe.

“Silahkan, ini pesanan And–” ucapan Citra terpotong begitu matanya bertatapan dengan pelanggan yang duduk di meja, yang berbalik menatapnya dengan tatapan merendahkan.

“Wah, ternyata kamu masih bekerja di sini, ya?” ejek Nadya dengan nada meremehkan. “Menyedihkan sekali, sudah menikah dengan cucu buangan, tidak ada bulan madu, kini malah masih harus bekerja untuk membiayai hidupmu sendiri.”

Citra mencoba untuk tetap tenang, meskipun hati kecilnya merasa terganggu dengan ejekan itu. “Aku suka bekerja di sini. Lagipula, tidak ada yang salah dengan bekerja keras.”

Kafe tempatnya bekerja memang cukup dekat dengan perusahaan milik Kakek Bramantyo, hanya saja biasanya Nadya tidak pernah mau datang ke sini. Sepertinya tujuan Nadya datang saat ini, hanya kembali untuk mengejek dirinya.

Nadya melanjutkan dengan senyum mengejek, “Benar, kamu harus bekerja keras. Bagaimanapun suamimu mana mungkin bisa membiayaimu.”

Nadya menunjukan cincin yang ada di jari manisnya, sebelum lanjut berkata, “Lihat ini, Arga yang membelikannya untukku, bahkan kami sudah berencana setelah menikah nanti akan bulan madu ke Eropa dan aku tidak akan bekerja lagi. Hanya perlu mengurusi suami di rumah dan bersenang-senang.”

Citra menahan diri untuk tidak terbawa suasana. Ia tahu bahwa Nadya hanya berusaha memanas-manasi situasi.

“Aku sibuk, tidak ada waktu untuk meladeni ucapan omong kosongmu.”

Citra kemudian pergi meninggalkan Nadya, yang masih melihat kepergiannya dengan geram, “Lihat saja nanti, aku akan buat kamu tidak bisa bersikap sombong dan berbalik memohon kepadaku!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status