Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan.
Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya. Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.” Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi. Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?" Citra mengangguk sambil tersenyum. "Iya, soalnya bahan makanannya hanya ada itu saja di kulkas. Sepulang kuliah nanti aku akan belanja bahan lainnya." Raka menatap nasi goreng di hadapannya, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengambil sendok dan mulai makan. Mereka menikmati sarapan bersama dalam keheningan. Setelah selesai, Citra kemudian bersiap untuk berangkat kuliah. Ia mengenakan jaket dan mengambil tas-nya dengan cepat dari dalam kamar. Ketika Citra muncul di ruang tamu, siap untuk pergi, Raka menatapnya dari balik cangkir kopi yang sedang dia pegang. "Aku akan mengantarmu ke stasiun. Lebih cepat kalau kita pakai mobil," kata Raka, menawarkan diri dengan nada yang tidak bisa ditolak. Citra, meskipun sedikit ragu, akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu." Di perjalanan menuju stasiun, Citra duduk dengan gelisah, merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Akhirnya, rasa penasaran yang selama ini dia pendam mulai menggelayuti pikirannya. Dia tidak bisa lagi menahannya. "Mas Raka," panggil Citra dengan hati-hati. "Boleh aku bertanya sesuatu?" Raka melirik Citra sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke jalan. "Ada apa?" Citra menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku penasaran ... semua barang-barang yang ada di rumah kita, termasuk mobil ini ... apakah semuanya pemberian dari Kakek Bramantyo?" Pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Dia tidak langsung menjawab, membuat Citra merasa tidak nyaman. Citra mulai merasa bahwa dia telah menyinggung suaminya. Mungkin dia seharusnya tidak menanyakan hal itu. "Tidak masalah, kalau Mas tidak ingin menjawabnya," tambah Citra dengan suara rendah, merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang mungkin seharusnya menjadi rahasia. Raka tetap diam selama beberapa detik lagi, sebelum akhirnya malah berbalik bertanya, "Mengapa kamu berpikir demikian?” Citra menatapnya dengan rasa bingung, ”Karena Mas tidak bekerja..?” Raka berusaha menahan senyumnya melihat ekspresi wajah Citra. Hal itu membuat dirinya semakin tidak ingin menjelaskan kebenarannya pada gadis itu. Setibanya di stasiun, Raka menghentikan mobilnya di depan pintu masuk. Citra merasa lega ketika sadar sudah sampai, artinya ia tidak perlu berlama-lama menahan rasa canggung di dalam mobil dengan Raka, apa lagi dirinya telah salah berbicara. Padahal jelas-jelas dirinya juga yang membuat perjanjian untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. “Terima kasih, Mas. Hati-hati di jalan,” ucap Citra sebelum menutup pintu mobil dan berlalu masuk ke dalam stasiun. * Setelah jadwal bimbingan skripsinya telah selesai, Citra bergegas berangkat ke kafe tempatnya bekerja part time sebagai pelayan di sana. Sejak dulu Citra selalu merasa tertarik untuk menjadi seorang baker, sehingga diam-diam dia selalu belajar di tempat kerjanya. Begitu sampai, kafe sudah terlihat cukup ramai. Citra segera menggunakan atribut seragamnya dan diminta untuk mengantarkan pesanan ke salah satu meja di pojok kafe. “Silahkan, ini pesanan And–” ucapan Citra terpotong begitu matanya bertatapan dengan pelanggan yang duduk di meja, yang berbalik menatapnya dengan tatapan merendahkan. “Wah, ternyata kamu masih bekerja di sini, ya?” ejek Nadya dengan nada meremehkan. “Menyedihkan sekali, sudah menikah dengan cucu buangan, tidak ada bulan madu, kini malah masih harus bekerja untuk membiayai hidupmu sendiri.” Citra mencoba untuk tetap tenang, meskipun hati kecilnya merasa terganggu dengan ejekan itu. “Aku suka bekerja di sini. Lagipula, tidak ada yang salah dengan bekerja keras.” Kafe tempatnya bekerja memang cukup dekat dengan perusahaan milik Kakek Bramantyo, hanya saja biasanya Nadya tidak pernah mau datang ke sini. Sepertinya tujuan Nadya datang saat ini, hanya kembali untuk mengejek dirinya. Nadya melanjutkan dengan senyum mengejek, “Benar, kamu harus bekerja keras. Bagaimanapun suamimu mana mungkin bisa membiayaimu.” Nadya menunjukan cincin yang ada di jari manisnya, sebelum lanjut berkata, “Lihat ini, Arga yang membelikannya untukku, bahkan kami sudah berencana setelah menikah nanti akan bulan madu ke Eropa dan aku tidak akan bekerja lagi. Hanya perlu mengurusi suami di rumah dan bersenang-senang.” Citra menahan diri untuk tidak terbawa suasana. Ia tahu bahwa Nadya hanya berusaha memanas-manasi situasi. “Aku sibuk, tidak ada waktu untuk meladeni ucapan omong kosongmu.” Citra kemudian pergi meninggalkan Nadya, yang masih melihat kepergiannya dengan geram, “Lihat saja nanti, aku akan buat kamu tidak bisa bersikap sombong dan berbalik memohon kepadaku!”Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan. Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena du
Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama. Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan
Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
Pagi - pagi, Citra sudah sibuk menyiapkan sarapan seadanya sambil memikirkan jadwal kuliahnya yang padat. Saat dia memindahkan piring ke meja makan, tiba-tiba sebuah tangan diulurkan ke hadapannya. Tangan itu memegang sebuah dus berukuran sedang. Citra mendongak dan melihat ke arah Raka dengan raut wajah bingung. Sedangkan yang ditatap, masih saja menampakan wajah datar. Merasa Citra tak juga mengambil dus itu dari tangannya, Raka akhirnya berkata dengan singkat, “Ambil, ini untukmu.”Citra membulatkan mulutnya, membentuk kata ‘Ohh’ dan mengambil dus itu dari tangan Raka. Namun, ketika akhirnya tersadar, Citra membulatkan matanya, “I-ini kan handphone keluaran terbaru? Kenapa Mas memberikannya padaku?” “Bukankah ponselmu rusak?”Sejujurnya Citra tak menyangka bahwa Raka akan membelikannya ponsel baru, karena mengingat sikap pria itu semalam yang terlihat cuek begitu saja. Siapa sangka, Raka masih menaruh perhatian padanya. Namun, rasa khawatir kembali terbesit di pikirannya. Baga
Sesampainya di rumah, Citra hanya bisa terduduk lesu di ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Raka masuk. Ia sempat terkejut begitu melihat Citra, "Citra? Kukira kamu akan pulang larut malam?" tanyanya dengan nada heran.Citra hanya menunduk, tidak mampu menjawab.Raka mendekat, merasakan ada sesuatu yang salah, "Kamu baik-baik saja?"Citra masih enggan berbicara. Dari sudut matanya, Raka dapat melihat bekas air mata di wajah Citra. Tapi, ia juga tak dapat memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Sehingga dengan nada lembut, Raka kembali berkata, “Malam ini tidak perlu memasak, aku akan membeli makanan dari luar.” Citra hanya merespon ucapan Raka dengan mengangguk kecil. Kemudian membiarkan Raka pergi meninggalkannya. Di kamar, Raka segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Bantu cari tahu apa yang terjadi di Kafe Scarlett siang tadi,” Raka segera memerintah setelah panggilan tersambung dan mematikan sambungan itu. Malam itu, Citra bahkan tak
Sepeninggalan Nadya dan Arga, Citra akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Ia melirik pada Raka yang masih terdiam di sampingnya, dan kemudian memutuskan untuk bertanya darimana Raka mengetahui kejadian ini, “Mas tahu dari mana jika ponselku diambil Nadya?” “Aku menghubungi ponselmu, tapi Nadya yang menjawab. Kemudian aku memintanya untuk bertemu.”Citra mengernyitkan keningnya, masih merasa heran, “Lalu?” Bukannya Raka yang kembali menjawab, melainkan manajer Citra, “Citra maaf karena kemarin langsung memecatmu tanpa melihat bukti lebih dulu. Ini sebuah kebodohan, maafkan saya Citra.”Melihat manajernya membungkukan badan pada Citra, tentu dia merasa tak tega. Karena sejak awal dia pun juga tak menyalahkan manajernya. Di saat terdesak seperti kemarin, mereka bahkan tak memikirkan mengenai soal rekaman. “Gapapa, Pak. Saya paham,” mendengar Citra berkata begitu, Pak manajer baru mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum lega. “Untungnya tadi malam, ada seseorang yang menghubungi
Citra menutup telepon dengan raut wajah bahagia. Dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya atas kabar baik itu. Ketika kembali duduk di meja makan, Raka sudah menunggu dengan tatapan penuh tanya. "Siapa yang telepon?" tanya Raka sambil memotong potongan daging di piringnya. Citra tersenyum lebar. "Aku baru saja diundang untuk interview di kafe. Padahal aku nggak merasa pernah melamar di sana." Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Oh ya? Kafe yang mana?" "Kafe di daerah pusat kota. Kata mereka, mereka tertarik untuk menjadikanku asisten chef pastry. Bayangkan, bukan pelayan atau barista, tapi asisten chef!" Citra tertawa kecil, masih terheran-heran dengan kesempatan yang tiba-tiba ini. "Tapi ... aku heran, kok bisa ya mereka tahu nomorku?" Raka hanya mengangguk pelan. "Mungkin mereka dapat rekomendasi dari seseorang. Siapa tahu?" Citra menatapnya curiga, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang kecurigaan itu. Dia terlalu senang dengan kesempatan baru ini untuk memikir