Share

Bab 3. Menikah Dengan Cucu Terbuang

Citra menelan ludah seraya menatap wajah Arga. Dirinya tidak mau menikah dengan Raka, tapi dia lebih tidak mau menikah dengan pria brengsek di depannya ini, “Keputusanku tak akan pernah berubah sampai kapan pun, Arga.”

Arga menggigit bibir bawahnya, tahu jika wanita di hadapannya tak gampang berpindah haluan. Sesaat kemudian dia pun tersenyum licik.

“Citra, kamu benar-benar tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi,” Arga berkata dengan nada mengejek, matanya menyala dengan amarah yang bercampur frustasi. “Kamu pikir Bang Raka adalah solusi? Dia punya penyakit aseksual! Kamu akan terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, tanpa kebahagiaan. Hidupmu hanya akan menjadi neraka, Citra.”

Citra menatap Arga dengan tatapan tajam, “Arga, aku tidak akan kembali padamu. Bahkan jika aku harus menikahi Mas Raka, setidaknya aku tidak akan menjadi istri dari pria yang mengkhianati kepercayaannya sendiri.”

Arga terdiam, tidak menyangka Citra akan memberikan jawaban tegas. “Citra, aku serius. Kamu harus tahu, Bang Raka bukan pria yang akan mencintaimu. Dia tak pernah peduli dengan hubungan atau keluarga. Kamu hanya akan menderita.”

“Cukup Arga, apa kamu lupa bahwa kini Kak Nadya sedang hamil anakmu?” 

Arga memalingkan wajahnya, “Itu tidak benar. Lagi pula dia bisa menggugurkannya dan kita tetap bisa menikah sesuai rencana.”

Mendengar ucapan itu keluar dari mulut Arga, Citra semakin merasa terkejut. Bagaimana bisa pria di depannya ini mengatakan untuk menggugurkan anaknya sendiri dengan semudah itu?

Citra menatap Arga tajam, “Apa kamu mau dipukul lagi oleh Kakek?”

Arga terdiam, teringat akan pukulan yang diterimanya tadi dari Bramantyo. Dirinya merasa frustasi dan kalah. Dia kemudian meninggalkan Citra dan kembali masuk ke kediaman Bramantyo. Berusaha mencari cara lain agar Citra bisa kembali kepadanya. 

Sedangkan Citra akhirnya bisa bernafas lega begitu Arga meninggalkannya.

Mengingat ucapan Arga, bahwa Raka memiliki kelainan aseksual. Dalam benaknya sebuah ide muncul—sebuah perjanjian pernikahan yang akan dirinya ajukan. Dengan perjanjian itu, Citra bisa memastikan bahwa pernikahan ini hanya formalitas dan tidak ada yang harus terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan.

** 

Pagi ini, Citra sudah berada di hotel tempat pernikahannya akan berlangsung. Citra melirik aula yang sudah dipenuhi dengan tamu yang datang dari berbagai penjuru, menambah kegugupan yang sudah menumpuk di dalam hati Citra.

Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa terlalu berat di pundaknya, seolah-olah dia membawa seluruh beban hidupnya bersamanya.

Di pojok ruangan, Nadya dan ibu tirinya, Bu Anita, tidak segan-segan mengejek Citra dengan bisikan-bisikan tajam. “Lihat saja, Nadya. Dia akan menikah dengan pria yang bahkan tidak peduli padanya,” ujar Bu Anita, senyum sinis terukir di wajahnya. “Bukan hanya ditolak Arga, sekarang dia akan menikah dengan pria yang dianggap sampah oleh keluarganya sendiri.” 

Nadya tertawa kecil, menambahkan, “Ya, benar. Raka itu bukan siapa-siapa. Citra, kamu tahu, hidupmu akan berakhir di tempat yang tidak layak. Jangan harap kamu bisa hidup bahagia seperti yang kamu bayangkan.”

Citra merasa matanya memanas, tetapi dia menahan diri untuk tidak menangis, “Tutup mulut kalian!”

Plak!

Anita menampar wajah Citra, membuat pipi Citra terasa panas, “Beraninya kamu membentak kami!”

Merasa bahwa perlakuan mereka semakin keterlaluan, Citra mengangkat tangannya mencoba untuk membalas tamparan ibu tirinya. Namun, belum sempat melakukan hal itu, Nadya sudah lebih dulu mendorong tubuh Citra dengan kuat.

Citra sudah bersiap untuk terjatuh ke lantai sambil memejamkan matanya. Namun, sepersekian detik, ia merasa bahwa tubuhnya tidak membentur apa pun. Citra kemudian menyadari sesuatu yang hangat dan kokoh memeluk pinggangnya, mencoba menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

“Apa yang kalian lakukan pada pengantin wanita?”

Seketika, suasana ruangan menjadi hening. Semua kepala menoleh ke arah suara tersebut. Mata Citra juga mengikuti, dan hatinya hampir berhenti saat melihat siapa yang sedang memeluknya dari belakang. 

Di sana, berdiri seorang pria yang tinggi dan tampan, dengan rambut hitam yang tertata rapi dan rahang yang kuat. Matanya yang tajam dan dalam menatap langsung ke arah Nadya dan Anita, membuat mereka terdiam seketika. Pria itu mengenakan setelan jas yang pas di tubuhnya, memancarkan wibawa dan kekuatan yang tidak bisa dipungkiri.

Citra merasa wajah pria ini cukup familiar, namun meskipun sudah mencoba mengingatnya, Citra tak dapat mengenalinya.

“Anda siapa? Jangan ikut campur urusan keluarga kami,” Anita kembali memasang wajah angkuh.

Pria itu menatap Anita dengan senyum penuh arti, “Aku Raka Bramantyo, calon suami Citra.”  

‘Ya Tuhan ….’

Entah mengapa Citra merasakan jantungnya kini berdegup begitu kencang. Tidak menyangka bahwa pria tampan di hadapannya ini adalah Raka, cucu Bramantyo yang terbuang itu?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status